What Are You?

What Are You?

“Kamu keberatan jika saya menelusuri pekerjaan kamu sebelumnya lewat referensi yang kamu tulis di CV?”

“Silahkan Pa, anda boleh cek.”

“Kenapa kamu tidak mengisi pertanyaan terakhir yang saya ajukan?”

Is that necessary? I mean…for what?

“Jelas penting buat saya. Itu memberikan gambaran tentang sisi lain dari diri kamu!”

Sebenarnya alasan aku tidak mengisi pertanyaan itu, karena aku menganggap bahwa pertanyaan itu konyol dan sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan pekerjaanku nanti.

“Hey!….Saya sebutkan saja pertanyaannya dan kamu boleh jawab langsung, tidak usah ditulis. Sebutkan dua orang yang kamu harap bisa satu cubicle dengan kamu dan dua orang yang kamu tidak harapkan satu cubicle dengan kamu!”

Celebrity?” Tanyaku lagi yang masih kebingungan dengan pertanyaan aneh ini.

“Iya, karena kalau kamu sebutkan keluarga atau teman kamu, I’m afraid that I don’t know them.”

“Saya tidak berharap satu cubicle dengan Kanye West dan Justin Bieber.” Dia menatap dalam mataku dan memiringkan kepalanya seolah penasaran dengan jawabanku.

“Saya harap saya bisa satu cubicle dangan Sarah Sechan dan Rafi Ahmad.” Dia bergeming dan melanggar janjinya untuk tidak mempertanyakan jawabanku.

“Kenapa harus mereka berdua?” Tanyanya.

Why not? They both Indonesian Sweetheart.” Jawabku lugas.

I see…good choice.” Balasnya.

Dia berdiri dan mengulurkan tangannya kepadaku. Aku menyambut jabat tangannya dengan tegas, karena jabatan tangan juga bisa mencerminkan kepribadian diri kita.

“Selamat bergabung di perusahaan kami. Saya rasa kamu berkompeten untuk bekerja di sini bersama saya, menjadi asisten pribadi saya.”

Really?” Dia tersenyum dan mengangguk menjawab pertanyaan bodohku.

I said, really?…What the??? Interview pertama langsung diterima? Padahal sebelum aku menjawab pertanyaan terakhirnya itu, dia sempat ragu-ragu dan berkata bahwa akan ada interview lanjutan jika hari ini aku lolos.

Aku merayakan kemenanganku hari ini karena sudah diterima menjadi asisten pribadi editor in chief majalah wanita nomor satu di dunia, walaupun versi lokalnya. Besok aku sudah mulai bekerja dan aku pastikan bahwa hari-hariku selanjutnya pasti akan padat. Maka dari itu, sepulang dari interview, aku langsung memasuki salon langgananku and get spa.

Selesai body scrub and massage aku melakukan meni pedi. Aku ingin menampilkan kesan yang baik di hari pertama aku bekerja, sehingga mereka bisa mengingatku sebagai atmosphere yang positif. Melihat semua karyawan super modis dan up to date, aku harus mulai beradpatasi.

“Aku pulang!” Aku meletakkan tasku di atas sofa dan membuka stilletto-ku.

Hi there! Kesayangan Papa udah pulang. Ceritakan sama Papa, kenapa kamu bisa diterima secepat itu?” Aku meraih tangan papa dan menciumnya. Aku duduk bersandar di samping Papa yang selalu hangat menyambut kedatanganku.

“Aku juga bingung Pa, pertanyaan penentu itu sepertinya benar-benar membawaku bekerja di sana.” Papa membelai rambutku sambil tersenyum.

“Kenapa pertanyaan seperti itu bisa berpengaruh ya?” Aku memang sudah memberi kabar sebelumnya kepada Papa lewat telepon.

“Bos kamu seperti apa? Dia seumur Papa atau lebih tua, atau?…”

“Aku googling tadi Pa, ternyata umur dia masih tergolong muda. Umurnya 33 tahun. Masih sangat muda tapi sudah bisa menjadi bos besar. Aku salut sama dia, Pa.”

“Ganteng?” Papa mencolek daguku mencoba menggodaku dengan pertanyaannya itu.

From 1 to 10?….Twelve! Jawabku seraya membayangkan sosok sempurna Bos-ku.

“Tinggi, gagah, bersih, lebih cocok jadi model.” Jawabku. Papa sangat antusias mendengar penjelasanku.

“Kamu pasti belum makan?” Papa menarikku menuju ke dapur, karena sampai sekarang aku tergolong susah makan.

Aku tinggal di rumah ini bersama kedua orang tuaku serta adik perempuan dan keponakanku yang berumur 2 tahun. Adik iparku kerja di laut lepas dan pulang setiap sebulan sekali, karena itu setiap ditinggal kerja suaminya, adikku selalu tinggal di rumah ini.

Selama 27 tahun ini aku tinggal di sini. Home sweet home. Aku tidak pernah berpikiran untuk tinggal di apartemen ataupun keluar dari rumah ini. Rumah ini selalu memberikan energi positif bagiku, mungkin karena Papaku juga percaya dengan feng shui, sehingga dia menata rumah ini sedemikian apik.

The Twelve Weirdo

Seperti biasa, setelah sholat subuh aku sempatkan lari di sekitar komplek selama 15-20 menit. Setelah itu aku sarapan pagi dan dilanjutkan membersihkan badan dengan air yang langsung mengucur dari shower. Hhhhhmmmm….bisa menambah level semangatku pagi ini.

Finally, aku diantarkan papa ke kantor. Selagi Papa ada waktu, aku tidak pernah diizinkan untuk pergi ke kantor sendiri. Papa dan Mamaku mempunyai bakery yang lumayan rame. Papa lebih sering diam di rumah, sementara Mama selalu mengontrol pegawai setiap hari.

Aku turun dari Peogeout hitam yang lumayan tua itu. Aku melangkahkan kakiku dengan pasti menuju gedung tempatku bekerja. Aku tiba 15 menit lebih awal dari jadwal masuk. Aku ingin lebih leluasa supaya bisa observasi tempat baru ini.

“Selamat pagi Mba!…” Seorang Office Boy menyapaku. Aku melihat name tag yang menempel di seragamnya.

“Selamat pagi Ujang! Jawabku.”

“Asisten barunya Pa Enzo ya?” Aku mengangguk. Aku berusaha memperhatikan lantai tempat aku bekerja ini. Kalau aku tidak salah dengar, bosku bilang tempat aku duduk tepat di depan pintu ruangan dia yang berdinding kaca itu. Aku duduk di kursi tunggu di depan ruangan bosku.

“Selamat pagi Jules! Silahkan ikuti saya!” Entah datang darimana, yang pasti Si Bos sudah ada di depanku. Aku mengikuti instruksinya.

“Jadi, hari ini saya akan berikan job description kamu. Kamu bisa mulai bekerja di meja kamu dan jika perlu komunikasi dengan saya, kamu bisa pergunakan line telephone di meja kamu.” Terangnya sambil menunjuk ke meja kerja di depan ruangannya.

“Baik Pa, terima kasih.” Aku berlalu meninggalkan dia.

Wait! I’m a coffee addict, kamu bisa bawakan saya kopi setiap 2 jam sekali. Kopi, gula dan krimer, semuanya satu sendok takar.”

“Oke, saya bawakan yang pertama sekarang?” Si Bos mengangguk dan mulai duduk melihat berkas-berkas yang berserakan di mejanya.

Aku meninggalkan dia dan menuju pantry mencari OB. Aku tidak melihat satupun OB di sana. Aku berinisiatif untuk membuat kopi sendiri.

“Satu kopi, satu gula, satu krimer.” Gumamku.

“Pasti asisten barunya Enzo ya?” Seorang perempuan edgy, kira-kira early fourty menghampiriku. Sosoknya seperti Indy Barends. Aku bergeser sedikit memberikan ruang baginya yang saat itu hendak menikmati secangkir kopi pula. Aku sendiri tidak begitu menyukai kopi,walaupun wanginya terkadang suka menggugah selera.

“Iya, saya Jules.” Perempuan itu mengulurkan tangannya dan tersenyum hangat, menunjukkan lesung pipitnya yang manis.

“Aku Cathy, bagian wardrobe di sini.” Jawabnya ramah.

I see…mungkin nanti kita bisa lunch bareng ya?”

I’d loved too, tapi buat asistennya Enzo? Kamu bakalan jarang sekali bisa lunch di pantry. Darling…Kamu bisa lunch di meja kamu saja sudah untung.” Penjelasan Cathy itu benar-benar membuatku ingin cepat membaca job description-ku.

Really? Well, just watch and see. Nice to see you!” Aku berlalu meninggalkan Cathy.

Aku mengetuk pintu ruangan Bos-ku, aku melihatnya masih serius mempelajari berkas-berkas di meja. Aku menyimpan kopi di pinggir meja kerjanya dan segera menuju mejaku.

Aku mempelajari job description yang dia berikan kepadaku. Aku bisa menangkap kalau pekerjaanku di sini ibarat menjadi bayangannya Si Bos. Apapun yang akan dia kerjakan semuanya harus melalui aku terlebih dahulu. Kemana dia pergi, aku harus selalu ada mendampinginya. Sebelumnya, aku bekerja sebagai sekretaris direksi di perusahaan advertising.

Tuttt…tuttt…pesawat teleponku berbunyi.

“Jules, kamu tolong pelajari berkas New Product, kita ada meeting dadakan sejam lagi.” Aku melihat ke arahnya, matanya masih tertuju pada berkas yang sedang dia pelajari dari pagi.

Aku mempelajari semua bahan New Product yang dimaksud. Passion aku di bidang mode memang sangat dalam. Aku mempelajari semua hal yang berhubungan dengan majalah ini dengan semangat, tanpa terbebani sama sekali. Bekerja di sini merupakan kesenangan bagiku. New product yang dimaksud Si Bos bukan sembarang New Product. Kali ini kebaya rancangan Anne Avantie yang diusung untuk next issue.

Sejam kemudian Si Bos keluar dari ruangannya, dia berhenti di depan mejaku. Dia memakai blazernya dan membawa beberapa berkas.

Come on! Kita meeting sekarang!” Ajaknya. Aku buru-buru berdiri dari kursiku dan membawa beberapa berkas serta tas dan iPad-ku. Aku berjalan berdampingan dengannya.

Di dalam lift…..hening….and that was awkward. Bisa dibilang kalau aku baru saja kenal dengan Bos-ku dan belum tahu dia seperti apa. Aku harus bersikap seperti apa di depannya? Akhirnya aku memilih diam tidak berusaha membuka percakapan.

Kita pergi dengan diantar supir pribadinya, Pa Ade. Aku duduk berdampingan dengan Si Bos di belakang. Dia sama sekali bukan tipe orang yang senang menghabiskan waktu dengan gadget, sehingga akupun tidak berani mengisi kecanggungan ini dengan gadget.

“Kamu memang sediam ini ya?” Tanyanya.

“Enggak, saya belum berani membuka pembicaraan dengan Bapa.” Dia tersenyum… and that’s….aaarrrrrggghhhhhh….lovely!

Oke!First, you can call me Enzo. Anggap saja aku ini temen kamu. Karena kalau kamu sudah membaca job description kamu, kamu pasti tahu kalau pekerjaan kamu itu melulu mengikuti aku dan mendampingi aku. Aku tidak mau kalau sampai besok lusa kamu keluar kerja gara-gara tidak nyaman dengan situasi yang kaku seperti ini. Aku malas melakukan interview lagi.” Terangnya.

“Oke, aku akan berusaha menjadi asisten yang baik. Aku kira tadi meeting-nya di kantor, kita mau meeting di mana?” Enzo mulai bersandar di jok mobil, dia terlihat lebih relax sekarang.

“Kita meeting di Hotel Four Season. Kita ketemu designer-nya langsung di sana.”

“Kita ketemu Anne Avantie?” Aku sangat antusias mendengar kita akan meeting dengan salah satu tokoh inspirasiku. Enzo tersenyum melihat tingkahku ini.

“Iya, tapi kamu jangan kelihatan seperti fans dia yang urakan ya!” Aku menggeleng dan masih menyeringai membayangkan akan bertemu beliau.

Dua puluh menit menuju Hotel Four Season benar-benar tidak terasa. Ternyata Enzo adalah sosok pria yang menyenangkan sekaligus pintar. Dia juga sangat menghargai lawan bicaranya siapapun itu. Kami menuju salah satu kamar hotel tempat designer ternama ini menginap. Dia sedang menghadiri acara di hotel ini. Di sana dia didampingi oleh seorang sekretaris dan seorang asisten.

Aku serahkan bahan meeting ini kepada Enzo. Aku juga ikut berperan serta membantu Enzo berbicara di meeting ini. Saat ini kita sedang membahas tentang bagaimana Hasil karyanya akan disuguhkan di halaman majalah kami, siapa modelnya, bagaimana set pemotretan-nya, seperti apa temanya sampai siapa fotographer yang dia percaya untuk mengantarkan kreasinya kepada readers?

Meeting berjalan sesuai yang diharapkan. Akhirnya kita bisa mencapai suatu keputusan. Aku bangga dengan hasil kerja sama kami yang pertama ini. Dua jam berlangsung sangat cepat, sampai akhirnya kami keluar dari hotel itu menuju lobi.

Let’s celebrate!” Ucap Enzo. Aku tersenyum menyambut ajakannya itu.

“Kita lunch aja ya! Ini kan kerja sama kita yang pertama, tapi aku sudah bisa melihat hasil kerja kamu yang cukup memuaskan.” Ajak Enzo lagi.

Enzo memilih sebuah resto yang tidak jauh dari Hotel tadi. Di sini kami memulai pembicaraan layaknya seorang teman. Entah kenapa, berada di dekat Enzo seperti berada di dekat seseorang yang sudah dekat denganku.

“Jadi kamu hanya punya seorang saudara perempuan? Tell me about your niece!

“Mmmhhh…umurnya 2 tahun, anaknya lucu, matanya sipit, kulitnya coklat.”

“Pasti rame ya di rumah kalau ada anak seumur itu?” Tanya Enzo. Alunan suara Robin Thicke-Blur lines terdengar dari smartphone-nya Enzo.

“Iya, nanti Papa pulang cepet kok. Oke, nanti Papa bantu menggambar.” Ternyata Enzo sudah mempunyai seorang anak.

“Jules, nanti tolong pelajari lagi berkas-berkas lain untuk meeting lanjutan ya!” Aku mengangguk.

Kami kembali ke kantor pukul 3 sore. Setelah sampai di ruanganku, aku melihat di ruangan Enzo sudah ada seorang anak perempuan berusia kira-kira 4 tahun. Dengan rambut bob lurus hitam dan kulit yang bersih. Anak itu bersama seorang bapa-bapa yang perawakannya mirip Prof. X di film X-Man, walaupun sudah botak tapi masih gagah dengan stelan jas yang rapi. Anak itu memeluk Enzo yang baru saja datang. Aku rasa dia adalah anak yang sama yang menelepon Enzo tadi.

Aku kembali meneruskan pekerjaanku, kali ini aku melihat OB lewat di sekitarku, aku menyuruhnya membawakan kopi untuk Enzo. Cathy dari kejauhan melambaikan tangannya, kemudian dia menghampiriku.

“Gimana? Benerkan kamu ga bisa lunch di pantry?

“Iya, aku sama Enzo ada meeting dadakan di Four Season. Setelah itu, baru kita lunch.”

“Enzo? Did you just call him Enzo?” Aku mengangguk ragu-ragu.

“Kamu pake kata ganti apa kalau bicara dengan Enzo?”

“A-aku, Kamu?….” Jawabku terbata-bata.

Oh my Gosh!” Cathy sepertinya kaget dengan jawabanku.

“Aku kasih kamu bocoran ya. Enzo itu selalu ingin dipangil Bapa, dia juga menggunakan kata ganti saya dan selalu berbicara dengan kata-kata baku kepada siapapun selama di lingkungan kantor termasuk sama asistennya.”

Really?” Aku setengah tidak percaya dengan fakta yang baru saja disampaikan Cathy. Aku memandang ke ruangan Enzo dan aku melihat dia sedang menatapku, kemudian mengangkat gagang telepon. Yap! Dia meneleponku.

“Jules, come here!” Aku segera mengakhiri pembicaraanku degan Cathy. Aku tidak mau sampai kena semprot di hari pertamaku bekerja karena kepergok sedang menggosip. Cathy kembali ke ruangannya, sementara aku menuju ruangan Enzo. Bapa-bapa itu sedang membaca koran di sofa, sementara anak kecil itu berdiri di samping Enzo.

“Hai Tante!” Sapaan lembut dari anak kecil berparas cantik.

“Hai!” Aku melambaikan tanganku.

“Ini ada berkas tambahan yang harus kamu siapkan untuk meeting besok pagi. I’m afraid that you should bring this files to your home.” Ucap Enzo.

“Oke!” Aku mengambil berkas itu dan bermaksud segera keluar dari ruangan Enzo.

“Tante Jules kan? Aku Adeline.” Enzo melihatku, kemudian melihat Adeline.

“Iya, nice to meet you Adeline.” Jawabku berusaha ramah dengannya.

Nice to meet you too. I like you.” Enzo tersenyum menanggapi ucapan Adeline. Aku membalikan badanku hendak keluar. Tapi langkahku kembali terhenti ketika bapa-bapa itu menyapaku juga.

“Saya Darwin, Papanya Enzo.” Aku menghampirinya dan menjabat tangan Pa Darwin. Dia bangkit dari tempat duduk dan membalas jabatan tanganku.

“Senang bisa bertemu dengan anda, Pa. Saya Jules, saya mohon undur diri karena harus melanjutkan pekerjaan saya.”

Suasana di dalam sudah pasti berubah menjadi rame setelah kehadiran makhluk kecil barusan. Aku sesekali memperhatikan Enzo dari luar. Dia membantu anaknya menggambar dan mewarnai. He’s definitely hot dad!

Lamunanku tiba-tiba terpotong saat Rose the receptionist menghampiri mejaku dengan didampingi OB. Bruk!! Dia meletakkan beberapa amplop surat dan satu buah paket di mejaku. Dia melambaikan tangannya dan berlalu dengan senyuman mengembang di bibirnya. Lamunanku kembali berlanjut setelah aku memperhatikan bahwa tidak ada satupun foto istri Enzo di dalam ruangannya. Kira-kira seperti apa ya wanita beruntung itu?

Enzo dengan segala kesempurnaan yang dimilikinya. Perempuan seperti apa yang kira-kira dia pilih untuk menjadi pendamping hidupnya? Perempuan seperti apa yang dia percaya untuk menambatkan hatinya? Pikiranku jauh melayang membayangkan kira-kira wajah artis siapa yang paling cocok untuk bersanding di sebelah bos-ku ini? Sepertinya artis sekelas Dian Sastro ataupun Raisa juga pantas bersanding dengannya.

“Hai Jules! Gimana Bos ganteng kamu? Ada tanda-tanda dia kelepek-kelepek sama kamu gak?” Ucap Vivi asal.

Yeah, right!” Jawabku gak kalah asalnya. Aku mengeluarkan bungkusan di tasku dan memberikannya kepada Lilian yang serta merta memburu kedatanganku. Jelly dan ice cream kesukaannya.

“Gimana hari pertama kamu bekerja?” Aku menghampiri Mama yang sedang menyiapkan makan malam di dapur. Aku mencomot satu perkedel kornet yang sudah disajikan di atas meja.

“Lancar, Ma!” Gumamku sambil mengunyah. Papa tersenyum dan kami mulai menempati kursi masing-masing untuk jamuan makan malam ala Ibu Nadine.

Seperti biasa, di meja makan, kami menceritakan tentang semua kejadian hari ini. Dari mulai customer Mama yang mendadak ingin memesan 1.000 croisant isi ayam, padahal selama ini Mama belum pernah membuat croisant isi ayam, untuk itu Mama sedang berusaha mengkreasikan resep baru pesanan customernya. Ada juga Vivi yang mendapat kabar bahwa kedatangan suaminya akan diundur seminggu dari waktu yang sebelumnya sudah ditetapkan. Papa yang hari ini membawa mobil tua kesayangannya ke bengkel sampai Lilian yang sudah bisa mengucapkan kata-kata yang sedikit rumit. Seperti itulah suasana rumah yang selalu membuatku meridukan pulang disaat aku sedang berada di luar

Heeeemmmm….what a good day! Sebelum memejamkan mata, kali ini aku memeriksa dulu semua kesiapanku untuk meeting besok. Setelah semuanya oke, saatnya menjelajah dunia mimpi. Hoooaaaammmm…I Hope tomorrow is better than today. Thanks God for everything.

Kembali ke rutinitas. Pagi ini, baru saja sampai di mejaku, Enzo sudah keluar dari ruangannya menuju mejaku. Rupanya dia datang lebih awal. Dia terlihat sangat serius untuk meeting pagi ini.

Let’s go to the meeting room!” Aku mengikutinya.

Begitu terkejutnya aku ketika melihat Papanya Enzo juga hadir di ruangan meeting. Mereka masih bersiap-siap dengan bahan untuk meeting sekarang. Aku memanfaatkan situasi ini untuk meminta Enzo menyebutkan siapa saja orang yang ada di ruangan ini.

“Kamu bisa sebutin siapa saja yang ada di ruangan ini?” Bisikku kepada Enzo.

“Penasehat, Konsultan Hukum, Redaktur, Sekretaris Redaksi, Editor, Reporter, Artistik, Fotografer, General Manager and also Founder.”

Mulutku seolah susah untuk menutup kembali ketika Enzo menyebutkan orang terakhir seraya menunjuk orang di sebelahnya. Yap! Papanya sendiri. Dia adalah pemilik Majalah besar ini. Bodohnya aku tidak sempat mencari tahu tentang semua ini. Mereka semua datang bersama asistennya.

Meeting kali ini cukup alot, kita membahas tentang kelangsungan majalah ini di tengah makin banyaknya kompetitor. Perbedaan pendapat dari beberapa orang cukup untuk membuat pagi ini terasa cukup berat. Bahan yang aku ajukan bersama Enzo pun sempat ditentang oleh beberapa orang sampai akhirnya disetujui setelah melalui beberapa pertimbangan.

Setelah 3,5 jam berlangsung, akhirnya rampung juga. Semua orang kembali ke ruangannya masing-masing. Aku, Enzo dan Pa Darwin keluar paling terakhir sampai redaktur yang Enzo sebutkan menghampiri kami. Seorang wanita cantik berambut panjang mempunyai kulit kuning langsat, dengan tubuh yang proporsional serta gayanya yang elegan.

“Hai, bagaimana kabar Adeline?” Enzo sepertinya tidak ingin menanggapi perempuan itu, dia lebih memilih meninggalkannya. Alhasil, Pa Darwin yang meladeninya. Aku masih sibuk membereskan berkas-berkasku.

“Baik, terima kasih sudah bertanya.” Aku tidak ingin dianggap menguping pembicaraan mereka, aku segera menyusul Enzo. Aku bertemu Cathy yang hendak ke pantry. Dia mendekatiku and still…dia masih ingin membahas obrolan kami yang terakhir.

“Gimana bos kamu?”

Fine!… iseng banget sih, Mba!” Cathy menunjuk Enzo yang saat itu sedang duduk di meja kerjaku.

See? Dia udah nungguin kamu.” Aku tersenyum dan berlalu meniggalkan Cathy.

“Hai!” Sapa Enzo singkat. Dia memeriksa berkas-berkas di mejaku.

“Hai! Boleh nanya?” Enzo menatapku. Dia mengangguk.

“Kamu kenapa pergi duluan?”

“Kamu mau aku tungguin?” Enzo mencoba menggodaku dengan pertanyaannya itu. Dan itu semua berhasil membuatku gelagapan. Dia tertawa melihatku salah tingkah.

Relax, Jules!…Meeting-nya sudah selesai, jadi aku keluar.” Sebenarnya dia tahu kalau arah pertanyaanku bukan ke sana. Tapi aku lebih memilih mengikuti dia, aku tidak mau dia menganggapku terlalu ingin tahu.

“Ada yang mau ditanyain lagi?” Aku menggeleng. Sebenarnya banyak sekali yang ingin aku ketahui tentang Enzo, tapi aku rasa nanti saja, lain waktu aku akan bertanya lagi.

“Kamu bisa tolong ambilkan aku makan siang? Kalau bisa kamu temenin aku makan siang di ruanganku.”

“Oke, kamu mau diambilkan apa?”

“Sandwich tuna sama kopi.”

“Oke, I’ll be right back!

Kali ini di pantry aku bertemu dengan redaktur tadi. Dia membawakanku secangkir kopi disaat aku akan membuatkannya untuk Enzo.

“Satu kopi, satu gula dan satu krimer.” Dia menyodorkan secangkir kopi di tangannya padaku. Aku menaruh baki yang berisi 2 sandwich di meja terdekat.

“Untuk Enzo?” Tanyaku penasaran.

“Aku June. I used to make this coffee for him.” Aku membalas jabatan tangannya.

“Oh…I see. Thank you for helping me.” Ucapku.

“Mungkin lain kali kita bisa bercakap-cakap lagi.” Ucapnya. Aku mengangguk dan berlalu meninggalkan dia.

Seperti permintaan Enzo sebelumnya, aku menemani dia makan siang di ruangannya sambil menonton fashion TV. Sangat cocok dengan bidang yang kita tekuni.

“Boleh nanya lagi?” Enzo mengangguk.

“Tadi aku ketemu June di pantry. Dia bikinin kopi buat kamu sebelum aku sempet bikin. Dia bilang kalau dulu dia suka membuatkan kamu kopi juga.” Enzo tampaknya sangat membenci June.

“Kamu gak boleh seenaknya nerima apa yang orang bikinin buat aku. Gimana kalau orang itu naruh racun di sana? Kamu mau tanggung jawab?” Enzo mulai terlihat kesal dan mendorong kopi itu ke arahku.

“Eh…sorry, aku gak enak nolaknya. Lain kali aku bakalan lebih hati-hati. Nanti aku ganti kopinya. Yang ini gak usah kamu minum.” Enzo kembali menikmati makan siangnya sambil menyaksikan Fashion TV. Sementara aku mulai tidak enak karena kecerobohanku sendiri. Enzo sepertinya menyadari ekspresi wajahku yang sedikit berubah.

“Dia itu ibunya Adeline.” Aku menatap Enzo. Apa mungkin mereka sudah bercerai ya? Aku tidak menanggapi jawaban Enzo. Aku berusaha menikmati kembali sandwich tunaku. Sampai akhirnya kita selesai dengan makan siang yang hening dan membosankan. Aku beranjak dari sofa hendak menuju meja kerjaku.

“Mulai besok, kamu satu ruangan sama aku. Di luar banyak gangguan, banyak gosip, banyak orang yang sok tahu dan pengen banyak tahu juga.”

“Oke…mmhhhh…kamu keberatan ya kalau aku ngobrol sama Mba Cathy? Dia kelihatannya baik dan ramah.”

“Enggak masalah, tapi lama kelamaan bukan hanya Mba Cathy yang bakalan nyamperin kamu untuk sekedar ngobrol. Informan-informan gak jelaspun bakalan bermunculan.” Senyuman Enzo tidak tampak setelah bahasan June sampai kalimat terakhir yang terlontar dari mulutnya. Aku berlalu meninggalkan Enzo.

“Aku pulang!” Seperti biasa, aku menyimpan tas di sofa dan duduk membuka stilletto-ku.

“Jules…Jules…” Seorang makhluk kecil yang sudah tidak asing lagi berlari ke arahku. Sebenarnya dia hendak memanggilku Mama Jules, karena adikku memberikan sebutan seperti itu kepada anaknya. Tapi, karena dia masih belum lancar berbicara, alhasil makhluk kecil ini memanggil potongan kata terakhir, Jules.

“Hai!…I miss you so much!” Aku mencium dan menggendong ponakanku ini. Sudah menjadi habbit anak ini, begitu aku pulang pasti dia membuka tasku dan mencari oleh-oleh untuknya. Aku selalu menyempatkan ke mini market untuk sekadar membeli coklat, Jelly atau ice cream.

“Hai! Gimana hari kedua?” Tanya adikku. Dia duduk disampingku dan membantu anaknya membuka coklat yang aku bawa.

It’s… a good day, I guess!” Jawabku. Dia tersenyum jahil.

“Kamu pasti mulai jatuh cinta sama bos kamu ya?”

What the??? He’s married!

“Wah! Cantik gak istrinya?” Aku mengangguk.

“Pantesan kamu lemes!” Aku menimpuknya dengan bantal kursi di pangkuanku.

“ Dasar! Aku bingung aja. Kenapa dia ga akur sama istrinya ya?” Aku menceritakan semua kejadian tadi di kantor. Kebetulan saat itu ada mama dan papaku juga. Keluarga kami terbiasa dengan kebersamaan dan keterbukaan.

“Nih! Croisant ayam ibu Nadine akhirnya rampung.” Ucap Mama bangga sambil menyodorkan seloyang croisant hangat yang wanginya menggugah selera. Kami berebut mengambil hidangan yang sangat susah ditolak itu. Memang Mama tidak pernah mengenal menyerah jika ada permintaan baru dari customernya. Dia selalu berusaha menciptakan the best recipe.

Pagi ini, ketika aku tiba di depan ruangan Enzo, aku melihat mejaku dan semua yang biasanya di depan ruangan Enzo, sudah lenyap dan berpindah ke dalam. Dari luar aku melihat Enzo sedang memberi instruksi kepada beberapa orang pegawai. Dia mencoba mengatur letak mejaku. Dia memberi isyarat dengan tangannya menyuruhku masuk.

“Hai, gimana pendapat kamu?”

Nice!” Enzo tersenyum. Dia menyuruh orang-orang itu keluar. Aku mengeluarkan bungkusan tupperware dari tasku.

“Nih! Dari Mamaku. Kamu harus coba croisant ayam resep terbarunya.”

“Kamu tahu aja kalau aku belum sarapan.” Dia membuka bekal yang aku bawakan dan langsung menyantapnya. Aku segera menempati meja baruku.

Aku baru sadar kalau Enzo sepertinya bermalam di sini. Bajunya yang kemarin aku lihat menumpuk di bawah meja kerjanya.

“Kamu tidur di sini?” Dia mengangguk tanpa menoleh kepadaku. Aku menghampirinya dan duduk di samping Enzo. Aku sudah merasa kalau dia itu temanku, jadi aku tidak merasa canggung lagi berdampingan dengan dia.

“Kenapa? Kalau kamu banyak kerjaan, kenapa gak kamu delegasikan sama aku?”

“Nop! Aku lagi males pulang aja.” weird!

“Aku gak pernah ngerasa males pulang. Rumah buat aku sesuatu yang aku tunggu-tunggu. Tempat aku melepas lelah, penat setelah seharian bekerja.” Enzo bergeming.

“Itu karena kamu punya semua yang kamu mau di rumah. Kalau aku, aku lebih merasa ruangan ini adalah rumahku.”

“Berarti kamu sering tidur di sini?” Enzo mengangkat bahunya.

Weirdo!” Aku berlalu meninggalkannya dan menuju ke mejaku.

Pa Darwin mengetuk pintu ruangan dan masuk ke ruanganku. Dia melihat Enzo sedang menyantap sarapannya. Dia tersenyum kepadaku. Aku sebenarnya ingin keluar untuk memberi ruang kepada mereka berdua, siapa tahu dia ingin berbicara 4 mata dengan anaknya. Tapi niatku ini disanggah olehnya. Pa Darwin mempersilahkanku untuk melanjutkan pekerjaanku.

“Kamu tidur di sini?” Pa Darwin menyalakan TV dan duduk di sofa berbincang dengan Enzo. Enzo mengangguk sambil terus mengunyah.

“Kamu kan bisa pulang ke apartemen kamu kalau gak pulang ke rumah?”

“Males Pa, aku lagi pengen tenang!” Enzo menyelesaikan sarapannya dan menyeruput kopi yang sudah ada di mejanya semenjak aku datang.

“Gimana Adeline, Pa?”

“Baik. Kamu berhenti memikirkan dia untuk beberapa saat, pikirkan juga diri kamu sendiri.” Aku mulai tidak enak dengan pembicaraan intern ini, akhirnya aku pamit berdalih ke toilet.

Kenapa Pa Darwin malah menyuruh anaknya untuk melupakan cucu dia sendiri ya? Keluarga yang aneh!

Aku biasanya jarang sekali ngopi, tapi daripada bengong di pantry gak karuan, aku sengaja membuat kopi untukku sendiri. Disaat seperti ini, Cathy tidak juga muncul, padahalkan banyak sekali yang ingin aku tanyakan.

Aku menikmati secangkir kopi sambil menonton Fashion TV seperti biasa. Kalau saja tadi aku membawa smartphone-ku, mungkin saat ini aku akan menelepon Vivi menceritakan semuanya, atau hanya sekadar mendengarkan ocehan Lilian yang masih belajar ngomong.

Bruk!…lamunanku dikagetkan dengan duduknya Enzo di hadapanku. Aku gelagapan karena ini bukan waktunya break, tapi aku sudah berleha-leha di pantry.

Sorry, aku baru mau ke ruangan sekarang.” Enzo menatapku. Sepertinya dia kelelahan, atau mungkin dia kurang tidur? Dia menghela nafas berat.

Just stay!” Jawabnya lagi. Seperti biasa, aku mangut terhadap perintah bos ku ini.

“Kamu kenapa gak pernah ngebantah perintah aku?” Tanya Enzo. Aku bingung dengan pertanyaan dia yang suka tiba-tiba gak jelas.

“Karena aku di sini kerja dan kamu atasan aku. Perintah kamu harus aku jalankan selama tidak keluar dari job description.” Jelasku. Dia mengangguk.

“Kamu kenapa?” Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa menanggapi sikap Enzo ini.

“Aku butuh udara segar! Let’s go!” Aku mengikuti Enzo. Saat ini, disaat Pa Ade membukakan pintu mobil, Enzo malah menyuruhnya beristirahat di kantor. Dia memilih membawa mobil sendiri.

Aku duduk di sampingnya dan merasa sangat amat canggung. Enzo membuka dasi dan blazer-nya. Dia juga membuka 3 kancing kemejanya. Mobilpun meluncur dengan halus. Enzo menyalakan tape dan mulai terdengar alunan suara dari Neyo menyanyikan Let me love you. Saat ini aku baru mengetahui sisi lain dari Enzo, ternyata dia sama saja dengan laki-laki normal seusia dia.

Aku masih mengamati gerak-gerik Enzo yang sangat berbeda dari biasanya. Dia tidak berusaha membuka percakapan lebih dulu. Kali ini aku juga memutuskan untuk menikmati hari bebas dari pekerjaan. Setelah beberapa saat berkendara, aku baru sadar kalau ini adalah jalan menuju tempatku tinggal. Aku tidak tahu kalau Enzo mempunyai kenalan atau saudara di komplek ini juga. Tapi ternyata, dia memang berhenti tepat di depan rumahku.

“Aku mau tahu, kenapa kamu sangat betah di rumah? Kamu gak keberatan kan kalau hari ini aku berkunjung ke rumah kamu?” Aku masih shock karena tiba-tiba saja berada di depan rumah dengan Enzo.

“Hey, Jules! Aku tahu alamat rumah kamu dari CV. Kalau kamu keberatan kita balik lagi ke kantor.”

“Hah? Mmhhhh…sorry…sorry…kamu kan gak bilang mau ke rumahku, jadi aku masih kaget.” Dia tersenyum dan keluar dari mobil. Tampak dari dalam gerbang rumah, Lilian berlari menyambutku dan berusaha membuka gerbang yang dikunci.

“Jules…Jules…” teriaknya. Enzo tertawa melihat tingkah Lilian yang memang menggemaskan. Aku baru melihat Enzo tertawa seperti itu.

Papaku terlihat menyusul Lilian dan membukakan gerbang. Dia sama kagetnya denganku melihat Enzo di depan rumah. Sebelumnya aku sempat memperlihatkan foto Enzo dari internet kepada orang-orang di rumah.

“Selamat pagi menjelang siang, Pa….Saya Enzo.” Papa menjabat tangan Enzo dan mempersilahkannya masuk. Kebiasaan di keluarga kami menyambut tamu yang dianggap baik haruslah di dapur, karenanya Papa langsung menggiring Enzo ke dapur. Hari ini mama sedang berada di rumah tidak pergi ke toko.

“Nak Enzo ya? Kebetulan Mama lagi bikin camilan nih!” Enzo sepertinya memang sudah lama tidak menemukan suasana rumah seperti ini.

Lilian terihat malu-malu mendekati Enzo, sementara Enzo berusaha menjadi teman yang baik untuknya. Dia memberikan coklat yang memang ada di saku kemejanya. Lilian hilir mudik dari dapur ke ruang tamu dan terus bolak balik mencari perhatian.

“Pantesan Jules seneng sekali kalau waktunya pulang, suasana rumahnya hangat seperti ini. Siapapun pasti mau pulang ke rumah seperti ini.” Mama sepertinya terenyuh mendengar ucapan Enzo. Dia segera menyuguhkan kopi yang pas dengan takaran Enzo.

“Satu kopi, satu gula, satu krimer-kan?” Canda Mama. Enzo tersenyum melihatku dan masih tidak percaya kalau aku menceritakan hal-hal seperti ini kepada keluargaku.

Semuanya ini berlangsung sampai jam makan siang. Yap! Enzo yang aku ingatkan untuk kembali ke kantor malah menolak dan ingin menghabiskan waktu makan siang di rumahku. Setelah selesai, baru kami kembali ke kantor.

“Besok kan Jumat, hari terakhir kerja. Biasanya aku akan menjamu klien-klien di luar. Kamu juga seperti biasa ikut aku menjamu mereka. Sehabis pulang kerja kita merapat ke tempat yang sudah mereka tentukan.” Aku mengangguk.

Hari ini di kantor rutinitas kembali lagi seperti biasa. Semuanya berjalan lancar. Hanya saja aku tidak melihat Mba Cathy. Pa Darwin beberapa kali terlihat mengontrol Enzo dari luar ruangan.

A moment on your lips, forever on your hips….” Gumamku berulang-ulang. Enzo menatapku bingung, dia menggeser kursinya dan menghampiriku.

What are you doing? Staring at your lunch box and mumbling.” Tanyanya. Aku menghela nafas panjang. Hari ini aku membawa bekal dessert seperti biasa. Enzo sudah menyantap bagiannya, sementara aku hanya menatap bagianku.

“Berat badan aku sepertinya naik bulan ini.” Enzo membelalakan matanya, hening sesaaat….kemudian tawanya mulai pecah.

Are you kidding me? Kamu itu bener-bener ringan, Jules. Bahkan, aku yakin kalau anginpun bisa menerbangkanmu saking ringannya.” Aku mendengus kesal.

Let’s go!” Sepulang kerja seperti instruksi Enzo kemarin, aku harus menemaninya menjamu klien. Enzo juga menolak diantar Pa Ade. Style-ku hari ini Casual Friday. Aku memakai stelan denim biru dan melilitkan syal bercorak abstrak di leherku, sementara rambut sebahuku aku ikat ponytail. Enzo sendiri memakai stelan hitam-hitam, celana jeans hitam dan sweater hitam dengan blazer hitam juga.

Enzo memarkir mobilnya di pelataran parkir salah satu tempat dugem terbesar di Jakarta. Aku tidak pernah menyangka kalau kita akan ke tempat seperti ini. Enzo sendiri sepertinya baru menyadari kalau aku belum pernah mengunjungi tempat seperti ini.

Can I skip this part?” Tanyaku ragu-ragu.

Come on, you are save with me.” Jawab Enzo berusaha menenangkanku.

Memang tepat dugaanku, keadaan di dalam sana gelap, musik yang bising, serta lampu yang kelap-kelip membuatku pusing. Enzo memang selalu di dekatku, tapi tetap saja aku merasa tidak nyaman berada di tempat seperti ini.

Semakin malam, klien yang datang semakin banyak. Aku dikagetkan dengan datangnya segerombolan perempuan yang dengan santainya mencium bibir Enzo satu persatu. Mereka adalah model-model yang akan dipakai oleh klien kami untuk photoshoot nanti. Tidak heran kenapa dia dan istrinya tidak akur. Istri mana yang rela suaminya dicium sembarang perempuan.

Jamuan pun dimulai, berbagai macam minuman beralkohol disuguhkan di meja. Mereka semua minum apapun yang tersaji di sana. Enzo sendiri sepertinya tidak menikmati semuanya ini, tapi kenapa dia tidak keluar saja dari tempat ini dan meninggalkan mereka semua? Akhirnya Enzo pun ikut minum, awalnya dia membatasi apa yang dia minum, tapi selanjutnya dia mulai kehilangan kendali dan minum seperti mereka.

Aku memperhatikan dia, selalu tersimpan sorot mata sendu dibalik apa yang selalu dia tampilkan di depan public. Dari awal bertemu, sampai seminggu ini aku mengenal dia, aku yakin kalau dia sebenarnya laki-laki yang baik.

Jam 2 dini hari aku mengajak dia pulang dan tentu saja aku yang membawa mobil kali ini. Aku tidak tahu rumah ataupun apartemen dia dimana. Aku duduk di belakang kemudi, sementara dia duduk di sampingku. Aku bermaksud mengambil dompetnya dan melihat ID card dia, sehingga aku tahu harus mengantar dia kemana.

Aku memiringkan badannya dan merogoh sakunya. Dia yang sempat memejamkan matanya, terbelalak dan menatapku dekat sekali. Aku kembali menatapnya, entah kenapa saat itu aku merasa sangat ingin tahu kehidupan dia. Aku mencoba menggali lebih dalam melalui sorot matanya, dia juga masih menatapku.

What?” Ucapnya. Aku bergeming. Aku membuka dompetnya dan melihat alamat yang tertera di SIM A -nya. Tapi kemudian dia merebut SIM A di tanganku.

“Boleh aku menginap di rumah kamu malam ini? Di sofa juga gak masalah?” Aku merasa aneh karena dia masih bisa bicara dengan jelas dan masih bisa meminta dengan sopan kepadaku.

“Nop! Aku gak mau orang-orang di rumahku melihat kamu mabuk. Kamu masih hafal jalan ke rumah kamu? Aku antar kamu sekarang.” Enzo hanya menatapku dan masih tidak mau memberikan alamat rumahnya. Akhirnya aku memutuskan untuk mengantar dia ke rumah keduanya, Yap! Kantor. Diapun tidak protes dengan langkah yang aku ambil ini. Aku membaringkannya di sofa dengan bantuan satpam kantor.

“Aku pulang ya! Aku diantar Pa Ade, kamu istirahat.” Aku melihat Enzo yang terbaring setengah sadar dan masih lekat menatapku, seperti seekor anjing yang enggan ditinggalkan majikannya. Aku duduk di sofa tempatnya berbaring, untuk sesaat aku merasakan iba seperti seorang teman. Aku mengusap wajahnya dan membelai lembut rambutnya. Dia tersenyum dan menggenggam tanganku.

Please stay?” Pintanya. Aku menggeleng.

“Aku harus segera pulang karena Papa sudah mulai khawatir.” Aku memutuskan untuk menemaninya hingga dia tertidur. Aku menelepon Papa dan menjelaskan situasinya. Setelah yakin dia tertidur, aku meninggalkan Enzo tidur sendirian di ruangan ini.

Pa Ade mengantarku tepat di depan gerbang rumah. Papa sudah duduk menunggu di teras. Jam 3 dini hari ketika aku melihat jam tanganku. Papa membawakanku selimut dan melingkarkannya di bahuku.

“Gimana keadaan Enzo?”

Miserable.” Jawabku yakin.

Intro lagu Problem dari Ariana grande membangunkanku pagi ini…ooopppsss! Siang ini maksudku, ternyata sudah jam 11 siang. Dengan suara yang parau aku jawab panggilan itu.

“Iya…siapa?”

“Hai! Kamu baru bangun ya?”

“Hah? Ini siapa?” Aku sama sekali tidak mengetahui nomor yang masuk ini.

“Enzo…”

“Oh, hai! Kamu udah baikan?”

“Aku di bawah tangga kamar kamu sekarang. Mama kamu lagi masakin makan siang.”

“Kamu apa???….” Aku menutup telepon dan bergegas mandi karena aku tidak mau kalau Enzo sampai melihatku berantakan. Semalam aku tidak sempat mandi, eyeliner-ku sudah mulai berantakan.

Aku turun setelah selesai mandi dengan style sehari-hari. Celana pendek navy blue, kaos putih polos dan flip flops. Memang benar Enzo sedang ngobrol di belakang dengan Papaku, dia melemparkan senyumannya kepadaku.

Sementara itu aku mendengar Lilian seperti sedang bermain di depan rumah. Aku pergi keluar dan setengah tidak percaya melihat pemandangan di depanku. Adeline sedang bermain dengan Lilian. Enzo bawa Adeline ke rumahku?

“Hai Tante!” Anak ini selalu ramah menyapaku, seperti pertama bertemu dulu.

“Hai! Kamu dari tadi?” Dia menghampiriku dan memelukku seakan-akan sangat merindukan sosok seorang ibu. Dia mengangguk dan terus memelukku. Aku membiarkannya untuk beberapa saat. Aku menoleh ke belakang dan Enzo sudah berada di belakangku.

“Bisa kita bicara sebentar?” Pintaku kepada Enzo. Adeline kembali bermain dengan Lilian. Mereka berlari-lari mengejar kelinci. Aku duduk di teras dengan Enzo.

“Sebenarnya aku gak mau kamu menganggap aku terlalu ikut campur dengan keluarga kamu. Tapi karena sekarang kamu sendiri yang meminta aku terlibat, aku mau tanya sebenarnya apa yang terjadi antara kamu, Adeline dan June?” Enzo menatapku seolah menyesal karena aku menanyakan semuanya itu. Aku sendiri lebih menginginkan penjelasan supaya tidak digunjingkan orang dikemudian hari.

“June lebih memilih karier dibandingkan anaknya sendiri. Itu alasannya aku tidak bisa akur dengan dia.” Lagi-lagi Enzo hanya menjawab sepotong dari panjangnya jawaban yang seharusnya dia ceritakan kepadaku.

That’s it?…” Aku masih menginginkan kelanjutan untuk jawabannya.

“Yah, that’s it! At least for today!” Sambungnya singkat.

Adeline berlari membawa kelinci putih itu ke pangkuan Enzo. Mereka bermain di halaman rumahku seperti di rumah mereka sendiri. Aku sendiri memperhatikan mereka dari teras. Papa duduk di sampingku ikut memperhatikan mereka.

“Papa rasa Enzo itu laki-laki yang baik, Jules.”

“Laki-laki yang baik, tapi punya orang, Pa.” Sanggahku sambil berlalu ke dapur.

Disaat makan siang, Adeline dan Lilian memilih makan di tenda buatan mereka di halaman. Vivi bertugas menyuapi mereka berdua. Di dapur tinggal Papa, Mama, aku dan Enzo. Enzo selalu saja bisa mencari topik yang pas untuk menjadi bahan obrolan dengan orang tuaku. Selesai makan siang, Mama dan Papa bergabung bersama Vivi di depan.

“Hey…sorry semalam kamu harus pulang sama Pa Ade.”

It’s oke. Kamu jemput Adeline jam berapa?”

“Dia yang jemput aku ke kantor.” Enzo menatapku lekat dan aku tidak bisa melakukan hal yang sama seperti waktu dia tidak sadarkan diri.

“Eh, emang kalau weekend kalian suka kemana?” Aku berusaha menghentikan suasana aneh ini.

“Ganti-ganti sih! Seperti sekarang, dia minta ketemu kamu. Besok dia minta dianter ke salon.” Aku tertawa mendengar Enzo mau mendampingi putri tercintanya kemanapun, termasuk ke salon.

You are a wonderful dad, I mean it.” Dia menyunggingkan sedikit senyuman di bibirnya.

Hot Dad you mean? Thank you.” Aku tertawa mendengar Enzo memuji dirinya sendiri.

Pukul 5 sore, akhirnya Enzo mau juga meninggalkan rumahku. Sebenarnya Adeline ingin menginap di rumahku, tapi aku masih merasa asing dengan mereka. Baru seminggu aku mengenal mereka, aku belum merasa siap jika harus terjun terlalu dalam.

Aku dan keluargaku mengantar mereka sampai mobil. Setelah mobil Enzo menghilang dari pandangan kami, Vivi mulai menggodaku dengan tatapan nakal.

Wow! Definitely Twelve!…” Ucapnya.

Yess!…Sunday morning…I love it! Setelah jogging seperti hari-hari biasanya, hari minggu aku tambah dengan kelas yoga, yang kebetulan studionya tidak jauh dari rumahku. Biasanya aku bersepeda ke sana.

Wow! What a wonderful view!…..Instruktur yoga baru ternyata memang gorgeous. Disaat posisi yang memperlihatkan bokong dan pinggul, hampir semua anggota melihat ke arah bokongnya. Ckkk…ckkk…where does he come from? Disaat meditasi, seharusnya semua orang memejamkan mata, aku dengan berjuta rasa penasaranku ingin melihat dia dalam keadaan mata terpejam. Aku membuka sebelah mataku,….and surprise!!! He just looking at me too!…and he smile. Aku buru-buru menutup mataku.

Smartphone-ku berbunyi disaat aku baru saja keluar dari ruang ganti. Nomor baru yang sekarang mulai sering menghubungiku, yap! That’s Enzo. Aku duduk di teras studio bermaksud menerima panggilan Enzo. Tanpa diduga, instruktur ganteng itu baru saja keluar dari studio dan duduk di sampingku. Aku mengurungkan niatku dan menyimpan smartphone-ku ke dalam tas.

“Hai!….Kenapa teleponnya gak dijawab?” Aku tersenyum.

“Engga, bos aku.” Dia mengangkat alisnya.

“Kalau dipecat gimana?” Aku terkekeh mendengar pertanyaannya.

“Ini kan hari libur, jadi ga masalah.” Dia tersenyum. Dia mengulurkan tangannya.

“Aku Ronald.” Ronald terlihat sangat ramah dan tenang.

“Aku Jules, aku tinggal deket sini.” Smartphone-ku kembali berbunyi, dan lagi-lagi Enzo yang menghubungiku. Kali ini aku mematikan smartphone-ku karena masih ingin melanjutkan perbincanganku dengan Ronald.

“Ehemmm…gotcha!” Suara Enzo mengagetkanku. Dia seperti seseorang yang memiliki kekuatan super dan bisa sampai dimanapun disaat dia mau.

“Eh..kamu kok di sini?” Dia tersenyum jahil dan melihat Ronald. Ronald melihat ke arahku dan aku benar-benar kesal dengan kelakuan Enzo.

“Mmmhhh…Ronald, ini bos aku Enzo.” Ronald beranjak dari tempat duduk dan menjabat tangan Enzo. Tidak lama, dia berlalu. Sekarang giliran Enzo duduk di sampingku.

“Jadi yang seperti itu ya tipe kamu?” Ledek Enzo. Aku berdiri dan meninggalkan Enzo dengan kesal. Dia mengejarku dan menarik-narik kuncirku. Aku tidak menghiraukannya. Aku menuju tempat parkir sepeda dan menggoes sepedaku. Enzo mengikutiku dengan mobilnya.

“Kamu tahu gak? Sepertinya Ronald itu gay?” Enzo masih belum puas juga meledekku. Aku tidak bergeming walaupun dia tetap mengeluarkan keisengannya sepanjang jalan. Akhirnya aku sampai di rumahku, aku membuka gerbang dan menyimpan sepedaku di halaman. Enzo tidak keluar dari mobilnya, dia malah membunyikan klakson berusaha menarik perhatianku. Aku tidak mempunyai pilihan selain menghampirinya.

“Apa???” Aku masih kesal dengan kelakuannya yang sudah mengganggu minggu pagiku.

“Wuihhh!!…Galak amat sih!…Ikut yuk!”

“Enggak ah, aku mau istirahat!” Aku masih menjawabnya dengan ketus.

“Kamu kan belum nanya aku mau ajakin kamu kemana? Masa udah jawab enggak.”

“Terserah, yang jelas hari minggu aku istirahat di rumah!”

“Ke salon, nemenin Adeline. Come on, Jules! Aku gak mau nungguin anak cewek di salon sendirian.” Aku terkekeh dan berniat membalas kejahilan Enzo.

“Coba kalau kamu tadi gak ngisengin aku, aku masih mau mempertimbangkan ajakan kamu tadi. Tapi…karena kamu nyebelin, kamu nikmatin aja hari ini berdua sama Adeline di salon!” Aku melipat kedua tanganku dan menyuruhnya segera pergi. Enzo tampak kesal tapi akhirnya dia hilang dari pandanganku.

“Jules!…Enzo kenapa gak masuk?” Teriak Papa yang ternyata sedang memperhatikan dari dalam rumah.

“Enggak Pa, males. Urusan pribadi kok, nganterin dia sama anaknya ke salon.”

“Jules…Papa rasa dia sudah cerai dengan istrinya. Kalau enggak mana mungkin dia ajakin anaknya ke sini?” Aku menghela nafas panjang dan menjatuhkan diriku di atas sofa. Sepertinya mata ini sudah berat.

“Bodo ah, Pa!” Aku mencoba beristirahat memejamkan kedua mataku. Papa duduk di sofa lainnya sambil membaca koran hari ini.

It’s Monday morning! Back to work! Aku bangun agak kesiangan, sehingga sampai kantor tepat jam 9 pagi. Baru saja aku akan membuka pintu ruangan, Enzo seperti biasa sudah berada di sampingku, kali ini dia seperti berusaha menghindariku.

“Pagi!” Enzo berlalu mempercepat langkahnya ketika aku menatapnya. Aku berusaha menahan tawaku saat berhadapan dengannya.

Don’t laugh at me!” Ucapnya.

I’m trying reaaaally hard not to!” Aku tidak tahan melihat rambut Enzo yang tiba-tiba berubah menjadi blonde.

“Kamu kenapa? Rambut kamu kenapa?” Setelah pintu ditutup, tawaku akhirnya pecah. Enzo terlihat sangat kesal karena aku menertawakannya.

“Ini gara-gara kamu gak ikut kemaren, coba kalau kamu ikut, pasti kamu yang sekarang jadi pirang!” Tawaku makin menjadi-jadi. Aku dia jadikan tameng? Aneh!

“Adeline paksa kamu buat cat rambut?” Aku berusaha menghentikan tawaku.

“Dia merengek-rengek minta rambutku pirang supaya mirip Papa-papa di film Barbie. Kalau aku gak turutin dia bakalan nangis sekeras-kerasnya.” Aku menghampiri Enzo dan merapikan rambutnya yang mungkin sengaja tidak dia sisir karena kesal. Aku tersenyum setelah melihat rambutnya terlihat lebih rapih. Aku kembali ke mejaku dan bermaksud meninjau pekerjaanku hari ini.

How can you do that?” Tanya Enzo.

Do what?” Jawabku. Seperti biasa, ini merupakan salah satu pertanyaan dia yang gak jelas. Aku tidak menghiraukannya dan kembali meneruskan pekerjaanku.

Small things, do matter…” Ucap Enzo singkat.

What?…”

Never mind!” Enzo mulai bertingkah normal lagi dan meneruskan pekerjaannya seperti biasa.

Tidak terasa sudah masuk waktu makan siang. Aku masih duduk di mejaku karena belum merasa lapar. Aku tidak sadar kalau ternyata Enzo sedang memperhatikanku.

What??” Tanyaku.

“Kamu gak makan?” Aku menggeleng.

Tidak lama kemudian bagian pantry datang ke ruanganku membawa baki berisi 2 piring sandwich tuna, kopi dan air mineral. Enzo menyuruhku berhenti bekerja dan menemaninya makan siang di sofa.

“Aku belum laper, kamu duluan aja.”

I am not asking, that’s an order!” Mau tidak mau aku menuruti instruksinya seperti biasa.

“Lusa kita ke Bandung 2 hari. Ada gathering sama exhibition di sana.” Aku mengangguk.

Belum setengahnya aku menghabiskan lunch, Pa Darwin dan June memasuki ruangan kami dan tentu saja Enzo langsung terlihat kesal dengan kedatangan June. Aku sendiri berinisiatif hendak pindah ke pantry, tapi Enzo sudah melihat gelagatku dan menyuruhku tinggal.

“Hai, Jules!” Sapa June yang memang selalu ramah kepadaku.

“Hai!” Jawabku. Pa Darwin tersenyum kepadaku dan memberikan isyarat supaya aku meneruskan makan siangku. Tapi sudah pasti aku berhenti dan mencoba bersifat senormal mungkin dalam posisi seperti ini.

“Enzo, Papa mau bahas tentang kakak kamu.” Enzo berhenti mengunyah, dia minum air mineral dari botol yang sama yang baru saja aku minum. June sepertinya merasa ada kejanggalan dengan keakraban Enzo denganku. Enzo menghela nafas panjang.

“Bisa tunggu sampai aku selesai makan? Mulai besok aku taruh satpam di depan ruangan aku biar orang yang mau masuk ke sini pake izin, gak bisa seenaknya!” Jelas Enzo geram. Aku sampai penasaran, kenapa dia bisa semarah itu kepada istrinya?

Enzo bangkit dari sofa dan tanpa disangka-sangka dia menarik tanganku dan menyeretku untuk mengikutinya. Aku gelapan dengan semua yang secara tiba-tiba ini. Pa Darwin berusaha menyuruh Enzo tinggal tapi dia tidak menggubris perintah ayahnya. Sementara itu, June hanya bisa bengong memperhatikan tanganku yang ditarik Enzo. Enzo tidak melepaskan tanganku sampai di dalam lift. Cathy yang berpapasan denganku di sepanjang koridor pun ikut bertanya-tanya melihat Enzo menyeretku.

“Kamu kenapa? Aku malu di depan Papa kamu sama June, kamu tarik-tarik tangan aku.” Enzo sama sekali tidak bereaksi dengan ucapanku ini.

Sesampainya di lobby, Pa Ade sudah siap mengantar kami entah kemana. Enzo membuka dasinya dan membuka kancing kemejanya hingga sedikit longgar. Aku memberikannya waktu untuk berfikir sampai dia sedikit tenang.

“Kita ke rumah kamu sekarang, kamu siapkan semua keperluan kamu, kita ke Bandung lebih awal.”

“Hah? Empat hari maksud kamu?” Enzo melihatku seperti seorang singa yang akan menyantap mangsanya.

“Iya, kamu keberatan? Kamu itu bayangan aku. Kemana aku pergi kamu ikut! You work for me!” Ucap Enzo yang kemudian menjatuhkan punggungnya di jok. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aku sendiri bisa memaklumi semua perkataan Enzo padaku saat itu sehingga aku tidak merasa tersinggung.

Enzo tidak mau turun dari mobil, dia membiarkanku mempersiapkan semua perlengkapanku. Papa mengantarku ke mobil membawakan koper. Enzo terperanjat dan keluar dari mobil untuk sekadar basa-basi kepadanya.

“Siang Pa! Maaf dadakan.”

“Siang Enzo, gak apa-apa. Hati-hati ya! Semoga urusannya lancar.” Enzo mengangguk dan kami melanjutkan perjalanan kami. Aku tidak tahu kalau ternyata Enzo mampir ke apartemennya untuk mempersiapkan semua keperluan dia. Aku diajaknya masuk karena dia ingin aku yang menyiapkan semua keperluannya.

Apartemen-nya typical apartemen laki-laki single. Tidak banyak foto, hanya foto dia dan Adeline di atas meja sudut di kamarnya. Enzo duduk di atas tempat tidur di sampingku sementara aku membereskan bajunya ke dalam koper. Dia yang biasanya tidak terlalu suka berlama-lama dengan gadget, kali ini benar-benar betah dengan gadget-nya.

“Aku hanya dapet jadwal selama 2 hari, 2 hari dari sekarang jadwalnya apa? Aku gak tahu harus bawain baju apa buat kamu?”

“Banyakin casual-nya aja.” Jawabnya singkat. Dalam situasi yang dingin seperti ini, datanglah panggilan telepon dari unknown number kepadaku. Aku tidak pernah mengangkat panggilan dari nomor yang tidak dikenal, kecuali saat linglung baru bangun tidur. Aku meminta Enzo untuk menjawab panggilan itu dan dia bersedia.

“Hallo!”

“Mmmhhhh…Jules ada?”

“Ini siapa?”

“Ronald.”

“Oh, dia lagi kerja.”

“Oh, sorry. Nanti saya hubungi dia lain kali.” Teleponnya pun ditutup. Aku bertanya kepada Enzo siapa yang barusan meneleponku, tapi dia enggan menjawabnya, dia bilang kalau itu telepon gak penting.

“Kamu gak bisa gitu. Itu kan telepon buat aku. Kenapa kamu gak mau bilang?”

“Kenapa kamu gak mau angkat?” Aku menghela nafas panjang sambil menutup resleting koper. Enzo membawa kopernya dan kamipun meninggalkan apartemennya menuju ke Bandung.

Dua jam kemudian kami sampai di Hotel Hilton Bandung. Kamar aku dan Enzo berdampingan. Aku membongkar semua barang bawaanku dan membereskannya ke dalam lemari. Tok…tok…tok…Kamarku sudah diketuk, Enzo pastinya. Aku membuka pintu setengah, dia melongok ke arah belakangku. Aku sendiri sampai melihat ke belakang.

What??

“Kamu udah bongkar koper kamu kan?”

“Iya.”

Good, sekarang bongkarin punya aku, tolong beresin, aku gak mau pakaian aku kusut. Let’s go!” Benar-benar menyebalkan. Aku ingin sekali beristirahat sebentar saja, tapi sekarang masih jam 4, jam kerjaku belum habis. Apa mungkin jika di luar kota aku lembur setiap hari sampai dia tidur? Oh my dear God!

Aku mulai membereskan semua baju dan barang-barang Enzo lainnya, aku menggantung semua kemeja dan blazer. Setelah benar-benar beres dan rapi, aku bertanya-tanya apa tugas aku selanjutnya? Tapi, ternyata Enzo sudah tidak sadarkan diri di atas tempat tidur. Entah kenapa, aku selalu senang melihat orang-orang tertidur atau memejamkan mata. Untuk sesaat aku memandanginya dan aku tidak bisa menahan tanganku untuk tidak membelai rambutnya. Aku membelainya dan mengusap rambutnya. Aku merasa tenang melihat dia damai seperti ini. Kenapa June bisa meninggalkan laki-laki seperti Enzo?

“Jules…” Enzo menyadarkanku dari lamunanku.

“Yah…”

Keep doing that, I feel relief.” Dia masih memejamkan matanya. Aku tersenyum dan tetap membelai rambutnya sampai dia benar-benar tertidur. Aku meninggalkan kamarnya dan kali ini aku menuju pool side area untuk sekedar melepas penat.

Aku penasaran dengan panggilan misterius yang Enzo jawab. Akhirnya aku berinisiatif untuk menelepon balik nomor itu.

“Jules…”

“Iya, ini siapa?”

“Ronald. Sorry, aku dapet nomor kamu dari data keanggotaan.”

“Oh, that’s oke!

“Siapa yang angkat telepon sebelumnya?”

“Oh, bos aku.”

Really? I think he crush on you, Jules. I saw that in his eyes when we met before.”

“Hahaha…No he’s not. He’s married. Dia emang seperti itu, kita seperti teman. Trust me!

Really?…Can I ask you on a date?

What?…I mean yes, of course.”

How about this Saturday night? I pick you at 7.

Oke!…”

Aku baru ingat kalau aku belum menghubungi Papa. Aku kembali memijit nomor telepon rumah dan memberi kabar bahwa aku sudah sampai di Bandung. Di rumah sepertinya sedang banyak orang karena terdengar sangat ramai.

“Pa, ada siapa di rumah? Rame banget.”

“Ini, Tora baru pulang jemput Vivi sama Lilian.”

“Oh, pantesan rame. Aku udah sampai di Bandung kira-kira sejam yang lalu.”

“Syukurlah, Enzo mana?”

“Enzo…Dia tidur.” Tiba-tiba saja, Enzo sudah duduk di sebelahku dan merebut handphone-ku.

“Sore, Pa. Saya di sini, enggak tidur kok.” Kenapa selalu saja seperti itu, selalu datang disaat yang tidak diharapkan.

“Sore, Enzo. Semoga pekerjaan kalian lancar.”

“Terima kasih, Pa.” Enzo menutup teleponnya dan tersenyum lebar tepat di depan mukaku. Annoying!

“Kamu kenapa gak bilang kalau yang nelepon aku Ronald?”

“Ronald? Ronald siapa?” Aarrrrggghhhh…benar-benar kekanak-kanakan.

“Ayo kita makan, biar kamu gak kurus! Jadi kalau kamu berisi, kamu punya tenaga buat nemenin aku kemana-mana.” Sekarang dia punya hobi baru, Yap! Hobi menarik tanganku untuk mengikutinya. Saat ini kita berada di resto hotel. Aku seperti biasa duduk di samping Enzo.

“Jadi, Si Ronald bilang apa?”

“Rahasia lah, masa aku harus ngumbar kehidupan pribadi aku sama kamu?”

“Kamu mau maen rahasia-rahasiaan sama aku?” Aku menampakkan ekspresi wajah aneh atas pertanyaan gak jelas dia yang lainnya.

“Kamu betah gak kerja sama aku?” Aku menatapnya sesaat dan mengangguk.

“Kalau aku cerita semua kehidupan pribadi aku sama kamu, kamu keberatan?” Tanya Enzo lagi.

“Emang harus cerita ya?”

“Aku gak pernah cerita apapun sama orang lain.”

“Terus, kenapa sekarang kamu mau cerita sama aku?”

“Karena kamu bukan orang lain buat aku.” Aku mengerutkan dahiku, aku masih tidak percaya bahwa dalam waktu satu minggu dia bisa mempercayaiku dan akupun bisa menganggapnya seperti seorang teman lama.

“Eh, kamu mau tahu gak, Ronald bilang apa? He ask me on a date, this Saturday night.”

Really? Wow!…that’s great! Ungkap Enzo. Aku tersenyum dan kembali melanjutkan makan malamku.

“Kamu mau cerita apa? I’m listening…”

“Enggak sekaranglah, mungkin lain waktu.” Jawab Enzo. Benar-benar makhluk aneh!

“Eh, besok agenda kita apa?”

“Mmmhhh…yang jelas kamu ikut aku kemana aja aku pergi.”

“Hhhmmm…kalau itu sih pasti.” Jawabku. Enzo tersenyum dan meneruskan makan malamnya.

Pukul 9 malam, kita kembali ke kamar masing-masing. Akhirnya, Me time! Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur besar ini. Aku menyalakan televisi dan menonton film horor Asia yang baru saja tayang. Aku menarik selimutku dan memeluk guling seerat mungkin. Ilustrasi musik dan special effect-nya berhasil membuatku larut dalam suasana ini. Kalau musiknya udah gini, biasanya hantunya sebentar lagi muncul. 1…2…3….

“Aaaaaaaaaa……” Aku berteriak sekencang mungkin disaat hantunya muncul dan pintu kamarku terbuka. Enzo tertawa keras melihat ekspresiku. Sementara aku melemparkan bantal ke arahnya karena sudah seenaknya masuk kamar orang.

“Kamu tuh! Makanya kunci kamar, jangan dibiarin seenaknya! Lagian, kalau penakut ngapain nonton film horor sendirian?” Enzo mendorong tubuhku hingga sedikit menjauh darinya, dia berbaring di sebelahku menemaniku nonton film horor ini.

“Aku udah pernah nonton film ini, hantunya gak asyik!”

“Berisik!” Aku benar-benar penasaran dengan endingnya, sepertinya seru.

Saking seriusnya menyaksikan film horor ini, aku sampai tidak peduli kalau dari tadi Enzo asyik menatapku. Setelah film-nya selesai, Enzo sudah berada di alam mimpi. Film-nya berlanjut ke film horor kedua. Aku tidak tahu bagaimana kelanjutan film kedua ini, yang jelas aku menyusul Enzo ke alam mimpi.

“Jules…”

“Hhhhmmm…”

“Jules….”

“Hhhhhhhmmmmmmm…..” Jawabku geram. Aku bisa mendengar Enzo menahan tawanya. Aku paling benci dibangunkan saat aku masih enak tidur.

“Jules…pesenin sarapan dong!”

“Pesen aja sendiri!”

“Oke! Berarti kamu yang gaji aku ya?” Pagi buta Enzo sudah asyik membuatku kesal. Aku berusaha bangkit dari alam bawah sadarku karena aku harus mulai bekerja. Belum juga aku bangkit dari tempat tidurku, Enzo sudah menyodorkan gagang telepon di telingaku.

“Hallo!” Shit!

“Eh…ehhhmmm hallo! Iya saya minta sarapan ke kamar…ehhhhmmm…kamar…”

“203…” Bisik Enzo.

“203…” Jawabku.

“Minta menu apa Bu?”

“Ehhhmmm…apa ya?…ehhhmmmm…eh, adanya apa mas?” Sial, Enzo! Aku masih setengah sadar, kamu minta aku bicara normal!

“Pancake sama waffle.” Bisik Enzo lagi.

“Pancake sama waffle.” Enzo menaruh kembali gagang telepon ke tempatnya. Dia menyeringai puas sudah berhasil menjahiliku di pagi hari.

Will you please go back to your room?” Pintaku. Enzo malah ikut berbaring lagi dan menyalakan televisi.

“Nop!…Aku bosen sendirian.”

“Terus kenapa kamu gak pesen satu kamar aja yang double bed?

“Aku gak mau kamu ketakutan, itu kan formalitas aja.”

Yeah right!” Sindirku.

“Mantan-mantan asisten kamu sering kamu bikin sekamar juga?” Aku tidak berusaha menjaga omonganku saat ini, karena aku merasa masih belum waktunya bekerja, jadi aku masih bisa menganggap Enzo sebagai temanku.

“Enggak! Mereka gak ada yang asyik!” Aku menutup kepalaku dengan bantal dan melanjutkan lagi tidurku.

“Jules…Jules…”

You’ve got to be kidding me!” Aku membalikkan tubuhku ke arah Enzo.

“Kamu kan bisa buka pintu sendiri…”Sebelum aku meneruskan kata-kataku, potongan strawberry segar dari pancake atau waffle, maybe…sudah mendarat di mulutku. Enzo ternyata sudah membukakan pintu dan sedang menyantap sarapannya.

Breakfast time! Waky….waky!” Seingatku, aku baru saja memejamkan mata setelah membuat panggilan ke bagian pantry.

“Tidur kamu ngorok!” Ungkap Enzo sambil terus melahap sarapannya dan fokus dengan ESPN.

“Enggak! Enak aja!” Aku mengambil segelas orange juice yang sudah tinggal setengahnya lagi, sementara gelas yang satunya sudah kosong.

“Minum kamu tuh kayak onta, ngabisin orang!” Ucapku yang mau tidak mau harus minum satu gelas lagi bersama Enzo.

“Kalau tiba-tiba June dateng kesini, terus dia lihat kita sekamar gimana?” Tanyaku penasaran.

“June?…Hah! Ngapain dia ngurusin aku? Aku gak ada hubungan apa-apa lagi sama dia.” Berarti memang mereka sudah bercerai.

“Aku boleh nanya?” Enzo menatapku, seakan aku ini menjengkelkan baginya.

“Kamu kan memang dari tadi nanya terus!” Jawabnya.

“Waktu di tempat dugem itu, emang biasa ya gerombolan cewek-cewek itu ciumin kamu kayak gitu?” Aku bertanya sambil menyeringai jijik membayangkan semuanya. Enzo mulai tersenyum jahil. Aku tahu kalau itu pertanda sebentar lagi aku akan menjadi objek penderitanya.

“Enggak selalu, aku jarang banget ketemu mereka. Kamu cemburu ya?” Aku yang masih mengunyah sampai tersedak mendengar ucapan Enzo. Enzo tertawa melihatku gelagapan.

Hari ini, Enzo memintaku menemaninya belanja dan wisata kuliner di Bandung. Ternyata Bandung memang Paris Van Java, bikin orang betah di sini. Suasananya juga adem. Jadwal kita hari ini memang berkeliling Bandung.

Siang ini kami berkeliling factory outlet yang terletak di sepanjang Jl. Riau. Kami sempatkan lunch di salah satu kedai terkenal di Bandung, kedai Mamah Eha. Aku dan Enzo memesan nasi timbel, pulut durian, cilok dan minuman khas kedai ini. Bandung memang terkenal juga dengan wisata kulinernya….Mmmmhhh…siap-siap saja 3 hari ini memanjakan lidah dengan hidangan khas kota kembang ini.

Sore menjelang malam Enzo mengajakku ke Lembang, ini seperti kawasan puncak. Jagung bakar, susu murni, ketan bakar…makanan-makanan yang biasa terdapat di daerah dingin seperti ini.

Kita sampai ke hotel jam 9 malam. Di lobby hotel, aku melihat Pa Darwin dan tim lainnya yang selalu hadir di ruang meeting sudah tiba. Enzo memintaku untuk mengikuti dia kemanapun dia pergi. Pa Darwin menghentikan langkah Enzo yang tadinya hendak langsung menuju kamar.

“Kamu mau lari sampai kapan?” Enzo tidak menghiraukan ucapan Papanya. Seperti biasa, dia malah menarik tanganku. Kali ini Pa Darwin ikut menarik tanganku yang satunya. Enzo menatap Papanya, mungkin dia tidak menyangka Papanya akan melakukan hal yang sama dengan dia.

“Oke…Papa mau ngomong? Let her go!” Pa Darwin tersenyum kepadaku dan akhirnya melepaskan genggaman tangannya dariku. Aku buru-buru menuju lift, aku melihat mereka berdua dan juga June mengisi kursi di cafe hotel. Sementara yang lainnya sudah berbaur.

Tok…tok…tok…pasti Enzo. Kali ini dia harus tidur di kamarnya, bisa gawat kalau yang lain tahu.

“Hai!…” June? Aku tidak mengharapkan itu adalah June.

“Hai! Mmmhhh…Ada apa ya?”

May I come in?

“Mmmmhh…of course.” Ucapku ragu. Aku membuka pintu kamarku dengan lebar. Tapi, lagi-lagi Enzo muncul entah dari mana. Dia masuk mendahului June dan memblokade jalan ke kamarku.

This is a forbidden area for you or anyone else but me!” Terang Enzo. Itu semua membuatku tidak enak di depan June. June sendiri kebingungan dengan tindakan Enzo.

“Kalian sekamar?”

“Engga! Iya!” Jawabku dan Enzo berbarengan. June shock dengan jawaban Enzo.

“Kenapa? Kamu jangan mikir yang enggak-enggak ya!” Sanggah Enzo. Dia menarikku ke dalam dan menutup pintunya. Aku berusaha keluar untuk menjelaskannya kepada June, tapi Enzo melarangku.

Stay!” Bentak Enzo. Baru kali ini dia membentakku. Aku duduk di tempat tidur dan menyalakan TV serta mengeraskan volume-nya sampai suara Enzo tidak bisa aku dengar. Enzo membiarkanku protes seperti ini. Enzo duduk di sampingku dan menatapku lekat. Dia mengambil remote TV dan mengecilkan volume-nya.

I’m sorry. I just trying to protect you from an evil.”

I quit!” Enzo bergeming.

No, you can’t! You are my shadow.”

“Kamu pikir dong! Gimana kalau dia laporin semunya ini sama Papa kamu atau dia sebarin sama orang-orang sekantor? Aku gak bisa lagi kerja dengan nyaman.”

“Kita kan seharian di ruangan. Kita juga hampir tiap hari makan di ruangan, biarin aja mereka ngomong apa.”

“Aku gak mau! Kamu jelasin dulu semuanya sama dia, terus kamu tidur di kamar kamu sendiri!”

“Aku jelasin semuanya sama dia, tapi aku tetep tidur di sini.”

Really? Itu intinya, Enzo. Kita gak boleh sekamar!” Kali ini Enzo menutup kepalanya dengan bantal. Aku hendak keluar dan tidur di kamar Enzo, tapi dia menyimpan kunci kamarku di saku celananya. Aku menghela nafas panjang dan akhirnya berbaring seperti posisi semalam, di samping Enzo…sampai keesokan paginya.

Aku membangunkan Enzo untuk bersiap-siap di kamarnya. Gathering dimulai pukul 8 pagi hingga pukul 4 sore. Kali ini dia mengikuti instruksiku. Aku sendiri bergegas mandi dan prepare. Aku sengaja meminta sarapan di kamarku untuk menghindari June.

Tok…tok…tok…What the? Aku membuka pintu dan Enzo menerobos masuk membawa baki berisi sarapan.

“Aku benci makan sendiri!” Dia meletakkan bakinya di tempat tidur dan mulai menyantap sarapannya.

Sebelum aku sempat menutup pintunya, Pa Darwin sudah berada di depanku dan menanyakan keberadaan Enzo.

“Boleh saya masuk?” Sepertinya dia melihat anaknya masuk ke kamarku. Aku gelagapan mencoba menjelaskan keadaan ini kepadanya. Tapi terlambat, sepertinya anak dan ayah ini sudah terbiasa menyerobot masuk ke kamar orang. Enzo tampak kesal dengan kunjungan ayahnya ini.

“Enzo, kamu sudah menyiapkan part kamu untuk gathering kali ini kan?” Aku masih berdiri di dekat pintu karena tidak mau sampai menjadi third wheel lagi.

“Iya, Pa. Aku sama Jules sudah menyiapkan semuanya. Sekarang, kalau Papa tidak keberatan, beri kami waktu untuk sarapan dengan tenang. Papanya tersenyum lega dan meninggalkan kamarku.

“Kamu harus habisin sarapan kamu, supaya punya tenaga buat ngikutin aku!” Ucap Enzo. Padahal jujur saja aku sangat merindukan suasana rumahku yang tenang dan tidak pernah ada drama.

I miss my home!” Ratapku. Enzo menatapku.

“Yah!…I miss your home too.” Jawabnya enteng. Aku menggeleng tidak percaya dengan semua kengeyelan Enzo. Aku kembali meneruskan sarapanku.

Aku dan Enzo menuju ballroom hotel. Kami berjalan beriringan. Ballroom hotel ini sudah didekor sedemikian rupa sehingga tidak membosankan. Wajar saja, karena gathering ini akan berlangsung selama kurang lebih 8 jam. Kalau suasananya tidak menarik, sudah pasti para peserta akan merasa bosan atau malah ngantuk dan tidak memperhatikan lagi isi acara ini.

Enzo mengenakan stelan jas hitam dengan kemeja pastel serta dasi yang senada. Aku sendiri mengenakan rok pensil hitam dan blus putih. Aku melihat June dari keajuhan sudah mengisi mejanya, sementara Pa Darwin semeja denganku. Enzo tampak sangat relax. Sesekali dia melempar senyumannya kepadaku. Aku berusaha bersikap profesional di hadapan semua orang. Aku adalah asisten Enzo, walaupun hubungan kami sebenarnya seperti seorang teman, tapi aku harus bersikap seolah Enzo dan aku memiliki jarak layaknya seorang atasan dan bawahan.

Acara gathering ini berlangsung lancar. Enzo bisa mempresentasikan materinya dengan baik. Dia terlihat sangat yakin sehingga bisa meyakinkan orang-orang yang hadir di sini. Aku sendiri selalu terkesima disaat Enzo sedang melakukan perannya sebagai seorang editor in chief di hadapan public. Dia selalu nampak berwibawa di depan sana, sungguh berbeda dengan Enzo yang selalu menggangguku dan manja. Kekagumanku perlahan-lahan mulai surut lagi setelah mengingat semua itu. Annoying!

Pa Darwin yang asalnya menempati kursi di sebelah Enzo, bergeser menduduki tempat Enzo, tepat di sebelahku.

“Saya senang Enzo banyak berubah ke arah positif selama kamu mendampingi dia.” Terang Pa Darwin. Aku menatapnya, mencoba mencari kunci dari ucapannya itu. Aku membalasnya dengan senyuman.

“Tolong, bantu saya supaya dia bisa lebih care terhadap dirinya sendiri.” Sambung Pa Darwin. Aku tidak bergeming, masih merasa tersesat di percakapan ini. Enzo sepertinya mulai menyadari bahwa Papanya sedang berbincang denganku. Konsentrasinya tampak sedikit buyar, tapi kemudian dia bisa kembali melanjutkan presentasinya.

“Saya senang anak saya sekarang mempunyai kecocokan dengan kamu. Saya harap kamu bisa menjadi pendamping yang baik bagi Enzo.” Aku menangkap Pa Darwin memintaku untuk menjadi asisten Enzo yang loyal. Aku membalasnya dengan senyuman lagi.

Setelah dipotong lunch dan dua kali coffee break, akhirnya gathering ini selesai juga. Aku baru tahu bahwa yang lainnya langsung kembali ke Jakarta, hanya aku dan Enzo yang menghadiri Exhibition besok.

“Papaku ngomong apa sama kamu?” Kali ini aku menonton siaran ulang film horor yang kemarin tidak sempat aku tonton. Enzo menemaniku nonton.

“Aaaaaaaaa….” Aku berteriak karena hantunya muncul jelas di layar televisi. Enzo menggeleng melihatku begitu menikmati film hantu ini.

“Hey! I’m talking to you!

“Basa-basi aja. Dia minta aku jadi asisten yang loyal buat kamu.” Sepertinya Enzo tidak percaya dengan ucapanku.

Really, what exactly he said?” Tanyanya lagi.

“Kamu bisa gak sih biarin aku nonton dengan tenang sendiri? Aaaaaaaa…..” Lagi-lagi hantunya muncul jelas.

“Tenang? Really?” Dia mencibir melihatku histeris menonton film horor ini.

“Dia bilang “Saya senang Enzo banyak berubah ke arah positif selama kamu mendampingi dia. Saya senang anak saya sekarang mempunyai kecocokan dengan kamu. Saya harap kamu bisa menjadi pendamping yang baik bagi Enzo.” Aku melanjutkan kembali menonton film, sementara Enzo masih menganga.

“Wow! Kamu hafal setiap kata yang dia bilang sama kamu?”

“Aku ini penghafal yang baik!”

“Coba-coba, ulang lagi!” Aku menatapnya kesal. Tapi, kalau tidak aku ikuti, pasti dia terus mengusikku.

“Saya senang Enzo banyak berubah ke arah positif selama kamu mendampingi dia. Saya senang anak saya sekarang mempunyai kecocokan dengan kamu. Saya harap kamu bisa menjadi pendamping yang baik bagi Enzo.” Aku melanjutkan kembali menonton film, sementara Enzo masih menganga.

That’s unbelievable! Well…kamu penghafal yang baik, tapi kamu buruk dalam mengintepretasikan.” Aku tidak menggubris kata-kata Enzo itu.

Kali ini Enzo masih terjaga, tidak seperti biasanya. Dia menarik sebelah tanganku dan meletakkannya di rambut ikalnya. Dia memintaku untuk membelai rambutnya supaya dia bisa tertidur. Aku membelai rambutnya sementara mataku masih tertuju kepada televisi. Enzo mengambil remote dan mematikan televisi. Aku merebut remote dan menyalakannya lagi. Dia kembali merebut remote dan akhirnya aku berhasil merebut remote itu kembali. Aku nyalakan TV dan surprise!

“Aaaaaaa…..” Hantunya berulang kali muncul di layar secara bergantian. Enzo tertawa melihatku, kemudian dia mematikan TV nya.

That’s an order!” Ucapnya sambil menarik kembali tanganku untuk membelai rambutnya. Seperti biasa, jika kata perintah sudah keluar dari bibirnya, aku harus patuh. Anehnya, setiap aku membelai rambutnya atau mengusap wajahnya, dia seperti langsung berada di dunianya sendiri. Mata dia langsung terpejam dan aku sendiri senang melihatnya tertidur.

“Hey! Enzo, kamu tahu gak? Aku paling suka lihat laki-laki kalau lagi merem.” Dia tersenyum tapi masih memejamkan matanya.

Really? So, enjoy it!” Aku tersenyum dan memang benar aku sangat menikmati melihat Enzo memejamkan matanya.

“Aku jadi inget Ronald. Waktu dia lagi meditasi, aku curi-curi pandang pengen lihat dia lagi merem. Eh..taunya dia juga lagi lihatin aku.”

“Enak aja aku disamain sama gay itu!” Enzo tampak kesal, tapi tetap memejamkan matanya. Aku membaringkan tubuhku sehingga sejajar dengan Enzo, wajahku sekarang berhadapan dengan dia. Aku bisa merasakan nafasnya di wajahku, aku rasa sebaliknya. Akupun tertidur entah jam berapa.”

Kali ini, Enzo terbangun dari tidurnya. Sebenarnya dia tidak benar-benar tertidur. Dia menunggu sampai wanita di sampingnya ini tertidur. Enzo memperhatikan sosok perempuan di sampingnya itu. Dia mengusap wajahnya dan membelai rambutnya. Dia mencium kening, pipi dan mengecup bibir perempuan itu. Dia sendiri tidak tahu, kenapa dia bisa jatuh hati kepada perempuan asing yang baru saja dia kenal 10 hari.

Mengenal Jules membuatnya lebih hidup. Membuatnya enggan untuk mangkir kerja ataupun ugal-ugalan. Dia ingin sekali mengungkapkan perasaannya kepada Jules, tapi rasa takut kehilangan lebih dia rasakan. Dalam waktu yang relatif singkat ini masih rentan untuk mengucapkan kata-kata cinta kepada seorang perempuan. Dia harus berhasil untuk meyakinkan Jules bahwa dia adalah laki-laki yang tepat untuknya. Dia harus bisa mendapat kepercayaan Jules sehingga Jules bisa memberikan hatinya untuk dia.

Enzo meraih tangan Jules dan menciumnya. Dia menggenggam erat tangan Jules seolah-olah enggan untuk melepaskannya. Dia sangat ingin menceritakan semua sisi dalam hidupnya sehingga dia bisa menjadi bagian dari hidup Jules.

Enzo tersenyum melihat Jules yang sedang terlelap. Dia selalu mengingat tawanya Jules, kejudesannya Jules disaat dia mengganggunya, bahkan dia selalu mengingat saat Jules merindukan rumahnya. Anehnya, dia merasa mereka berdua seperti bukan orang asing. Dia merasa bahwa mereka pernah mengenal satu sama lain di kehidupan sebelumnya. Dalam hatinya Enzo berharap bahwa memang mereka ditakdirkan untuk bersama.

Alarm di handphone-ku berbunyi, sudah jam 5.30. Aku merasakan seseorang sedang menggenggam tanganku. Ternyata Enzo sedang menggenggam tanganku, dia masih tertidur seperti seorang bayi.

“Enzo, wake up!….Enzo…”

Good morning sunshine!…Masih pagi, kamu bisa tidur lagi. Pamerannya jam 11 siang.” Gumam Enzo dengan suara serak karena baru terbangun.

“Aku tahu, aku mau pipis. Bisa lepasin tangan aku dulu?”

“Oh, sorry!” Enzo melepaskan tanganku dan kembali tidur.

Aku merasa pagi ini lebih relax, karena orang-orang kantor tidak ikut menghadiri pameran ini. Enzo di sini sebagai tamu utama. Aku memutuskan untuk berendam dan memikirkan ide-ide baru yang akan aku usung di meeting-meeting berikutnya.

Aku menggosok lembut kedua tanganku dengan busa-busa sabun dalam bath tub. Aku merasakan tangan Enzo yang masih menempel menggenggam tanganku. Aku tersenyum dalam hati membayangkan wajah Enzo yang seperti anjing meminta makan, ketika dia ingin ditemani. Selama ini aku tidak pernah mempunyai sahabat, aku selalu dekat dengan keluargaku. Tapi mungkin, inilah jalinan persahabatan yang selalu dieluk-elukan orang. Aku merasa bahwa Enzo bisa menjadi sahabat yang baik bagiku. Walaupun terkadang dia menyebalkan, tapi di lain sisi dia adalah pribadi yang baik.

Kurang lebih 20 menit aku menghabiskan waktu di kamar mandi. Apa Enzo sudah bangun, atau dia masih mendengkur di atas tempat tidur? Tiba-tiba saja terfikir olehku untuk mengerjai Enzo. Apa yang akan aku lakukan untuk membangunkan dia dari tidurnya? Yang jelas, sekarang adalah giliranku untuk mengganggunya.

Setelah keluar kamar mandi, aku melihat sarapan sudah tersedia di meja. Sepertinya Enzo kembali melanjutkan perjalanan ke alam bawah sadarnya. Aku masih mengenakan pajamas. Aku mengambil baki sarapan ke atas tempat tidur dan menyalakan televisi. Enzo tidak bergeming, dia masih asyik dengan dunianya. Aku menatapnya, kali ini aku akan membalas menjahilinya.

Aku mengambil potongan buah kiwi dengan garpu, aku menempelkannya di bibir Enzo sampai dia terbangun. Aku tertawa puas karena berhasil membalasnya. Dia menujukkan ekspresi masam karena rasa buah kiwinya.

Morning!…Waky!…waky!” Sapaku. Dia bangun dan minum jus kiwi punyaku. Dia kemudian menarik tanganku dan melahap potongan waffle di garpuku. Akhirnya aku menyuapi Enzo, sementara dia asyik menonton berita pagi.

“Nanti kita pulang ke Jakarta jam berapa?” Enzo menatapku, dia mengangkat alisnya.

“Kemaren kamu bilang betah di Bandung?”

“Iya, tapi kan rumah aku di Jakarta.”

“Oh iya, aku lupa. Kamu kan kangen rumah sempurna kamu.” Sindir Enzo. Aku tersenyum.

“Ehhhmmm…Adeline gak ketemu kamu setiap hari ya?” Enzo menggeleng.

“Kalau sama ibunya?” Enzo menggeleng.

“Kamu cinta banget ya sama Ibunya? Sampai-sampai sekarang kamu benci sama dia.”

“Kamu ngomong apa sih? Sok tahu!” Ucap Enzo geram.

Finally, The Wedding Exhibition. Hufftttt!…tinggal selangkah lagi untuk pulang. Di sini datang tamu-tamu penting dari kalangan pejabat, artis maupun umum. Wedding Exhibition ini merupakan wedding exhibition terbesar yang pernah diadakan di Jawa Barat.

Aku memperhatikan Enzo yang sedang memberikan sambutan di pembukaan event ini. Dia terkenal sebagai sosok atasan yang tegas dan berwibawa. Bagiku, dia sosok seorang atasan yang bisa dijadikan teman. Bekerja dengannya sangat menyenangkan. Bahkan…dia mengingatkanku kepada kenangan terburukku.

“Hey! Kamu terpesona ya melihatku di depan?” Aku menyipitkan mataku.

“Hemmmm????….Biasa aja!” Timpalku. Enzo terkekeh mendengar jawaban singkatku.

Kami berdua meninjau dan berbaur di wedding exhibition itu. Enzo kerap menjadi sasaran wartawan, aku berusaha membaur di pameran ini disaat dia sedang wawancara. Beberapa kali Enzo kehilangan jejakku sampai-sampai kita saling kirim pesan utuk menunggu di stand yang aku sebut.

“Kamu kenapa gak ngedampingin aku? You supposed to be my shadow.” Terang Enzo. Lampu-lampu sorot di tengah hari ini membuatku sedikit gerah.

“Iya, sorry.” Aku sedang malas berdebat dengan Enzo. Aku baru sadar kalau sepanjang pameran ini berjalan, Enzo selalu menggandeng tanganku. Jangan-jangan mereka menyangka aku ini partner-nya Enzo.

“Hey, kita langsung check out ke hotel-kan?” Tanyaku tidak sabar.

“Kamu beneran home sick ya?” Aku mengangkat bahuku. Enzo menarik tanganku dan mengajakku untuk Photo booth di salah satu stand.

Aku dan Enzo sudah mencoba berbagai macam pose. Dari mulai gaya normal dan elegan sampai muka-muka konyol. Disaat aku ingin foto seorang diri, dia selalu saja muncul dan mengganggu setiap frame yang akan aku ambil, alhasil di setiap frame-ku selalu saja muncul wajah jahil dia. Dia mengambil semua hasil jepretannya, sementara aku hanya diberi 2 lembar saja.

Aku dan Enzo menghampiri salah satu stand baju pengantin. Sekarang sedang in warna hiju mint. Kebayanya sangat beragam dan indah.

Aku dan Enzo saling menatap melihat kebaya-kebaya mewah itu. Aku penasaran, kenapa dia tidak melontarkan pujian atas baju-baju pengantin ini? Dia juga sepertinya menunggu comment-ku.

“Kenapa kamu gak comment?” Tanya Enzo.

“Bagus sih, tapi aku gak pernah ngebayangin pake kebaya seperti ini.” Jelasku.

“Kenapa? Suatu saat kalau kamu menikah pasti memakai salah satu seperti yang dipajang di sini.”

“Sok tahu! Aku kalau nikah gak mau ribet. Walaupun kebaya, aku bikin bentuk dress selutut tanpa banyak detail seperti ini dengan warna broken white. Pokoknya simpel dan enak dipake.” Enzo tersenyum.

Nice!” Jawabnya.

Setelah 2 jam menghadiri acara ini, akhirnya Enzo mengajakku kembali ke hotel. Sepertinya dia juga kelaparan dan ingin segera mengisi perutnya.

Aku hendak mengurus administrasi dan segera check out, tapi lagi-lagi Enzo menarik tanganku menuju lift. Aku menatapnya heran, kenapa dia masih belum memperbolehkanku mengurus kepulangan kami?

“Kita pulang besok pagi, langsung ke kantor.”

What? No! Tugas kita udah selesai di sini.”

“Iya, tapi aku cape. Jadi kita pulang besok pagi aja.”

“Aku mau pulang sekarang! Kamu istirahat aja lagi di sini. Aku pulang duluan pake travel.” Enzo tidak bergeming dan menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurku.

Aku menelepon Pa Ade untuk menjemput kami. Aku mulai membereskan barang-barangku. Enzo sudah terlelap. Aku pergi ke kamarnya dan membereskan barang-barangnya. Aku membawa kopernya ke kamarku. Setelah semuanya beres, aku membangunkan Enzo.

“Hey! Wake up! Pa Ade udah di bawah jemput kita.” Enzo menutup kepalanya dengan bantal.

“Suruh balik, kita pulang besok pagi!” Aku membelai rambutnya dan membujuk Enzo supaya mau pulang. Enzo bergeming.

“Ini nih, makanya aku gak mau pulang! Kalau aku pulang, aku tidur sendiri lagi, aku makan sendiri lagi dan kamu gak bakalan bisa kayak gini lagi!” Sambil menggenggam tanganku yang sedang membelai rambutnya. Aku tertawa mendengar ucapan Enzo. Aku beranjak dari tempat tidur dan mengangkat koperku. Enzo menghadangku dari depan.

“Kenapa kamu ketawa?” Aku berusaha menghentikan tawaku.

That’s mean you are lonely. Cari istri makanya!” Aku menubruk Enzo sambil menahan tawaku. Akhirnya Enzo mengangkat kopernya dan mengikutiku.

“Aku sedang dalam proses pencarian pendamping hidup.”

Really? Aku gak ngeliat semuanya itu? Setiap saat aku ini bareng kamu, gak ada tanda-tanda kamu sedang mencari pendamping hidup.” Enzo hanya menatapku sambil menggeleng.

Sepanjang perjalanan, Enzo lebih banyak diam. Mungkin dia memang kelelahan selama 4 hari ini. Aku lebih memilih diam menikmati alunan lagu yang terdengar dari tape mobil.

“Jules….”

“Heemmmm….”

“Kamu mau satu apartemen sama aku?” Aku menatap Enzo setengah tidak percaya dengan apa yang aku dengar, akhirnya aku terkekeh mendengar dia memintaku tinggal bersamanya. Sepertinya Enzo benar-benar kesepian.

Move in with you?” Dia bergeming menunjukkan ekspresi kesal.

“Iya! Kamu kan udah gede, masa masih tinggal sama orang tua kamu!” Jawabnya kesal.

I’m sorry, I can’t. Keluargaku masih old school. Prinsip mereka, anak-anaknya hanya boleh keluar dari rumah jika sudah menikah.” Enzo kembali lemas mendengar jawabanku.

Setelah 2 jam perjalanan, aku tiba di depan rumahku. Pa Ade membawakan koperku, Enzo tidak turun dari mobil dia ingin segera sampai di apartemennya.

“Aku pulang!” Seperti biasa aku duduk di sofa dan membuka stilletto-ku. Kali ini Lilian tidak lagi menyambutku karena sudah dijemput Ayahnya.

“Hai! Kesayangan Papa sudah pulang! Gimana Enzo?” Papa setia menyambutku dengan senyuman hangatnya. Aku meraih tangannya dan menciumnya.

“Enzo?…Dia makin aneh!” Papa mengacak-acak rambutku. Dia selalu saja menanyakan kabar Enzo setiap hari. Begitu juga Mama dan Adikku, mereka menanyakan Enzo setiap hari. Jangan-jangan virus aneh Enzo berhasil membius semua keluargaku. Aku merinding sendiri membayangkan semua itu.

The Weirdo’s Twin

Jumat pagi aku sampai di kantor 15 menit lebih awal. Aku menyiapkan kopi untuk Enzo sebelum dia datang. Aku menata mejaku juga merapikan meja Enzo. Aku melihat berkas lamaranku masih ada di atas meja. Aku memperhatikan foto Enzo dan Adeline di atas meja. Aku mengangkat frame silver itu dan memandangi wajah Enzo yang terlihat ceria. Aku ingat saat dia menyusulku ke tempat yoga. Aku tersenyum sendiri membayangkannya. Ridiculous!

“Eheemmm….Aku gantengkan?” Tanya Enzo yang seperti biasa selalu datang secara tiba-tiba.

“Mmmhhhh….biasa aja!” Jawabku sambil berlalu ke mejaku.

“Gimana? Udah terobati kangen rumahnya?” Aku tersenyum.

“Hari ini aku pulang awal, aku harus jemput Adeline. Lagi gak ada orang di rumah, jadi jadwal aku jaga dia maju satu hari. Kalau sempet aku balik lagi ke kantor. Kamu pulang seperti biasa aja ya!” Aku mengangguk.

“Kamu lagi siapin buat meeting hari senin kan?” Aku mengangguk. Tiba-tiba Enzo menghentikan aktivitasnya sambil memandangku kesal. Dia berhasil menarik perhatianku, aku kembali memberikan tatapan bingung kepadanya.

Really? Aku gak biasa bahasa isyarat!” Ungkap Enzo sedikit kesal karena aku tidak bersuara.

Yes, Boss!” Jawabku sambil terkekeh.

Enzo benar-benar ngebut mengerjakan tugasnya karena akan pulang lebih awal. Sampai ketika bagian pantry mengantarkan makan siang pun dia masih tidak bergeming.

“Kamu gak makan?” Tanyaku.

“Enggak.” Jawabnya singkat.

Tidak lama kemudian, Pa Darwin datang mengunjungi anaknya. Dia melihat baki makan siang yang masih utuh dan bertanya kepada Enzo.

“Kamu gak makan siang?” Enzo menggeleng. Dia melihat ke arahku.

“Jules, kenapa kamu gak paksa anak saya makan? Tugas kamu kan ngurusin segala keperluannya.”

“Saya sengaja belum makan juga, biar Enzo berhenti kerja dan makan bareng saya seperti biasa.” Enzo dan Pa Darwin sama-sama menatapku dengan heran.

“Kamu seharusnya makan. Habis itu suapin aku. Kalau kamu ikut-ikutan gak makan, gimana kalau sakit? Kan aku juga yang repot kalau kamu gak masuk.” Bantah Enzo.

“Iya, kamu harusnya suapin Enzo.” Bela Pa Darwin kepada anaknya.

“Kayak kamu gak pernah aja suapin aku! Kamu malu sama Papa kalau suapin aku?” Terang Enzo lagi. Aku seperti tersudut di sini. Di lain sisi aku takut orang-orang salah persepsi jika aku suapin Enzo, tapi jika ternyata memang ini termasuk tugasku, aku harus menjalankannya.

Aku mengambil baki makan siang dan duduk di sebelah Enzo, karena Enzo sedang mengerjakan tugasnya di sofa. Aku mengambil croisant tuna favorite-nya dan mendekatkannya ke mulut Enzo. Pa Darwin tersenyum, tapi kemudian dia pura-pura mengalihkan perhatiannya dengan melihat berkas-berkas Enzo.

“Kamu nanti makan juga ya!” Ucap Enzo. Aku mengangguk.

Selesai makan siang, Enzo pergi menjemput Adeline entah kemana. Aku tidak ingin mengetahui seluk beluk keluarga mereka lebih jauh lagi. Sekarang saja, baru sedikit aku tahu permasalahan keluarganya, aku seperti sudah jatuh tersungkur untuk ikut terlibat di dalamnya.

Cathy dari luar jendela melambaikan tangannya, seolah meminta izin padaku untuk masuk. Aku mempersilakannya masuk.

“Hai asisten teladan!” Cathy berusaha menggodaku yang sedang asyik berkutat dengan LED besar di depanku. Aku terkekeh. Dia duduk di depanku dan seolah menungguku mengeluarkan kata-kata.

What?” Tanyaku bingung.

“Empat hari di Bandung sama Bos ganteng…pasti banyak cerita?” Tanya Cathy sambil mencolek daguku.

“Mmmhhhh…Biasa aja Mba.” Jawabku santai.

Come on, Jules! Tell me what happened?” Cathy mulai merajuk.

“Oke…” Aku menyisihkan tugas-tugas di hadapanku berniat untuk menemani Cathy sebentar.

“June kaget mendapati Enzo masuk kamar hotelku.” Cathy menutup mulutnya, dia kaget mendengar ceritaku.

“Kenapa bisa begitu? Kamu sekamar sama Enzo?” Kenapa aku ceritakan masalah ini sama Cathy ya? Huuuhhhhh…Tapi sudahlah, sepertinya dia bisa dipercaya.

“Kamar dia tepat di sebelah kamarku. Alih-alih di kamarnya sendiri, dia malah melakukan semua aktivitasnya di kamarku.”

“Termasuk tidur dan mandi?” Tanyanya penasaran.

“Tidur iya, kalau mandi dia di kamarnya sendiri.” Cathy mengangguk-angguk seolah dia paham.

“Kenapa dia gak pesen satu kamar aja yang double bed?

“Aku juga tanya gitu. Tapi dia bilang, dia gak mau aku ketakutan. Jadi formalitas aja dia pesen dua kamar.” Tapi kemudian, Cathy tertegun dan matanya seperti mempertanyakan tentang sesuatu yang lebih dalam lagi. Tentang apa yang aku lakukan dengan Enzo di kamar yang sama. Seketika aku langsung membuyarkan prasangkanya yang memang beralasan itu.

No…no…no…aku sama Enzo masih sadar. Kita gak ngapa-ngapain. Kita bener-bener hanya tidur seranjang tanpa ada embel-embel aneh lainnya.

Oke…relax, I trust you!” Jelas Cathy.

Did he kissed you?” Sambung dia lagi.

No! He didn’t!” Jawabku geram.

“Masa sih bisa? Lawan jenis seranjang tapi gak ngapa-ngapain. Even just a kiss?

“Gimana sih, Mba…katanya percaya sama aku?” Cathy mulai menghentikan interogasinya. Dia mengendurkan otot-otot sarafnya sambil bersender di kursiku.

He has a thing for you. Trust me!” Ucap Cathy.

“Nah!…Impossible!…Kita baru kenal mmmhhhh…12 hari mungkin….” Jawabku ragu.

“Jules! Do you believe in love at the first sight?” Tanya Cathy. Aku menggeleng.

“Buat aku gak ada love at the first sight. Berarti orang itu hanya mencintai secara artivisual atau dari cover depannya aja. Aku gak pernah merasakan love at the first sight. Karena Mba, aku harus tau bagaimana cara dia makan dan berbicara atau lengkapnya sikap dan sifat dia. Jangan-jangan, cover-nya bagus tapi makannya bunyi….eeewwww….” Terangku panjang lebar. Akhirnya Cathy menyerah. Dia berdiri dari kursi dan menepuk pundakku.

“Terserah kamulah! Yang jelas, aku sudah pernah mengingatkan kamu tentang ini semua ya.” Dia meninggalkan ruanganku, tapi kemudian dia berhenti di depan pintu.

He’s a good man, you should trust him!” Ucap Cathy sambil mengedipkan matanya.

Aku merapikan meja Enzo kemudian merapikan mejaku. Aku mulai menyusun agenda rapat selanjutnya. Aku mendengar seseorang masuk dan menutup pintunya kembali.

Apalagi sekarang? Sudah menjelang sorepun Enzo masih saja menggodaku dengan menjalankan akting murahannya, kali ini sepertinya dia sedang terinspirasi artis-artis sinetron.

“Hah! Lelucon kamu yang lain, gak asyik!” Ucapku kesal.

“Hai! Kamu pasti Jules!” Perhatianku mulai tertarik, setelah aku lihat lebih dekat, ternyata laki-laki di kursi roda yang berparas seperti Enzo ini, bukanlah Enzo. Dia lebih kurus dan mempunyai rambut-rambut di area pipi dan dagunya. Aku gelagapan dan sampai kehilangan kata-kata.

“Ii..iya…Saya Jules!” Jawabku terbata-bata.

“Aku Kenzu, kakaknya Enzo. Lebih tepatnya, kembarannya Enzo.” Aku tersenyum aneh dan menunduk karena malu telah salah tegur.

“Gak usah merasa gak enak, sering kok orang salah sebut seperti itu. Bukan salah mereka, tapi salah kami karena punya bentuk yang sama hahahaha…” Aku tambah bingung mendengarnya tertawa.

“Kamu pasti cari Enzo kan? Dia bilang mau jemput Adeline.”

“Adeline itu anak saya Jules…” Aku kaget mendengar satu rahasia Enzo mulai terkuak.

“Oh…” Aku tidak tahu harus berkata apa

“Kamu pasti menyangka kalau Enzo itu papanya Adeline?” Aku mengangguk. Tapi selama ini Enzo memang tidak pernah menyebut Adeline adalah anaknya. Itu semua hanya persepsiku karena Adeline memanggilnya Papa.

“Hai Tante Jules! Hai Ayah!” Adeline tiba-tiba saja muncul dari pintu dan berlari memeluk ayahnya, kemudian dia memelukku. Enzo sepertinya kaget dengan kedatangan Kenzu kesini.

“Aku baru pulang dari Australia nengokin Oma, aku bawain Tante boneka koala yang isinya coklat.” Sambil membuka ransel Hello kitty-nya dan memberikan boneka itu untukku.

Thank you.” Ucapku. Enzo terus menatapku mencoba mengetahui pembicaraan yang sudah terjadi antara aku dan Kenzu. Sepertinya, saat ini waktu yang tepat untukku keluar sebelum aku terjebak lagi dalam masalah keluarga ini, atau sebelum Enzo menyeretku di hadapan Adeline.

“Hey, princess! Kamu laper gak? Soalnya Tante laper, mau gak temenin Tante ke pantry?” Adeline mengangguk dan kali ini dia yang menyeretku. Huffftttt!!!

Enzo melihat Jules berlalu dari hadapannya. Dia mencoba mencari tahu percakapan apa saja yang terjadi antara Jules dan Kenzu. Enzo menatap lekat Kenzu, dia mencoba menggali lebih dalam isi kepala Kenzu, tapi yang dia dapat hanya sedikit senyuman kemenangan dari wajah Kenzu. Enzo duduk kembali di singgasananya berpura-pura untuk mengerjakan semua pekerjaannya.

“Kamu selalu jeli dalam memilih asisten. Mereka seperti benar-benar terlahir untuk kita…Sorry, maksudku untuk kamu.” Enzo tidak bergeming.

“Kapan kamu akan beritahu dia tentang isi hatimu?, atau kamu akan menunggu waktu yang berbicara, seperti dulu? Kamu harus ingat…dan aku tahu kamu pasti ingat karena kamu dulu bersahabat dengan waktu. Waktu itu kadang menjawabnya jauh dari ekspektasi kita.” Enzo sama sekali tidak mengindahkan kata-kata Kenzu.

“Ada perlu apa ke ruanganku? Aku akan jaga Adeline sampai hari Minggu.”

“Aku hanya rindu suasana kantor. Empat tahun mengurung diri itu benar-benar membuatku sedikit linglung. Aku gak mau menunggu sampai aku gila.”

Well, itu semua kemauan kamu sendirikan? Gak ada yang paksa kamu untuk mengurung diri selama empat tahun.” Jawab Enzo ketus.

“Kamu ngomong apa sama Jules?” Sambung Enzo lagi.

“Hah…Jules! cari tahu aja sendiri. Aku gak perlu ngobrol apa-apa sama asisten kamu. I’m afraid that she’s falling for me.” Ledek Kenzu. Dick! Menyebalkan! Gerutu Enzo dalam hatinya.

“Papa, Tante Jules gambarin aku, lihat! Miripkan?” Adeline berlari menuju Enzo dan kemudian dia memperlihatkan hasil gambaranku kepada Kenzu.

“Kamu bisa gambar ya?” Tanya Enzo. Aku mengangkat bahuku.

“Kamu jadi pulang cepet?” Tanyaku.

“Iya, sekarang. Sama kamu juga!” Jelas Enzo.

“Aku?” Kenapa aku jadi pulang cepat? But, whatever! I love it!

“Hah!…Kamu takut aku meracuni pikiran Jules?” Ledek Kenzu. Enzo membawa blazernya dan menggendong Adeline serta menarik tanganku tentunya, dia meninggalkan Kenzu sendirian. Aku sendiri tidak sempat pamit kepada Kenzu, aku hanya tersenyum dan mengangguk kepadanya.

Di dalam mobil, setelah Adeline tertidur, Enzo baru membuka obrolan.

“Kenzu kakakku, Ayahnya Adeline.” Aku mengangguk. Dia sepertinya tidak puas dengan reaksiku.

“Dia ngomong apa sama kamu?”

“Adeline itu anak saya Jules… Kamu pasti menyangka kalau Enzo itu papanya Adeline?” Aku sengaja mengutip semua ucapan Kenzu. Enzo menatapku lekat seakan menyesali sesuatu.

Sorry, I never mention that.” Ucap Enzo. Aku tersenyum.

Say something!, or ask me, anything!” Sambung Enzo.

“Oke…Kenapa kamu seperti menjaga jarak dengan kakak kamu?”

“Aku gak jaga jarak. Aku bosen ketemu dia di rumah, sekarang kalau aku harus ngobrol lagi di kantor sama dia…gak ada kerjaan!” Jawab Enzo gak jelas.

So, the related with June is?” Tanyaku lagi.

“Yahhhh…Mereka berdua menikah dan mempunyai anak, lalu Kenzu kecelakaan dan mereka bercerai. That’s the end of the story.”

“Aku gak lihat ada keterkaitan antara kebencian kamu sama June dengan semua cerita kamu tadi.” Enzo menarik nafas berat.

She’s an evil. Dia meninggalkan Kenzu setelah tahu bahwa dia lumpuh, bukan hanya itu…Dia juga minta kedudukan di perusahaan atau dia akan bawa Adeline.” Aku tercengang mendengar cerita Enzo.

Wow! That’s horrible!” Aku melihat Adeline dan membelai rambutnya.

Pa Ade menghentikan mobil di depan pintu gerbang rumahku. Enzo tidak melepaskan pandangannya dariku saat aku turun dari mobil.

“Makasih ya, udah bawa aku pulang cepat hari ini.” Enzo tersenyum dan mengangguk.

Sepulang dari Bandung sampai hari ini, aku belum beristirahat dengan benar. Mungkin sekarang waktu yang tepat utuk beristirahat. Aku harap besok kencan pertamaku dengan Ronald bisa berjalan dengan lancar.

Aku terbangun pukul 3 dini hari karena suara handphone-ku. Jangan sampai telepon nyasar atau telepon iseng. Enzo? Kenapa dia menghubungiku jam segini?

“Jules…Aku di depan rumah kamu.”

“Apa?….” Aku bergegas keluar dan membuka gerbang. Enzo turun dari mobilnya dan tersenyum. Yap! He’s drunk! Perfect!

Sorry, aku habis menjamu klien. Aku gak ajak kamu karena sepertinya kamu masih cape dari luar kota kemarin.” Aku memapahnya ke ruang tamu dan membaringkannya di sofa.

“Gak usah berisik! Nanti Papa sama mama bangun. Kamu istirahat di sini ya!”

Why? I wanna sleep with you!” Aku menatapnya, Enzo terlihat seperti kucing yang ingin dibelai majikannya. Aku duduk di sampingnya. Aku membelai rambutnya dan mengusap wajahnya seperti yang selalu dia inginkan.

Thank you.” Ucap Enzo. Dia menggenggam tanganku dan…dia menciumnya. Aku rasa dia benar-benar mabuk.

Sepertinya di luar sudah sangat terang, tapi kenapa gordennya masih belum dibuka? Aku membuka mataku dan ternyata aku tidur di samping Enzo di sofa. Dia memelukku. Memang dulu aku tidur seranjang dengan dia, tapi tidak sedekat ini karena tempat tidurnya besar. Aku berusaha bangun dan menyingkirkan tangan Enzo, tapi dia bergeming dan memelukku semakin erat.

Please stay!” Ucapnya.

I can’t! nanti Papa atau mama lihat, kan gawat!”

They already did. Emang kamu pikir yang nyelimutin kita siapa?” Terang Enzo. Aku panik mendengar penjelasan Enzo. Aku refleks duduk….dan memang kami sudah berselimut. Aku berusaha bangkit tapi lagi-lagi dia memelukku semakin erat.

Stop it! It’s not funny!” Akhirnya Enzo melepaskanku. Aku duduk dan berfikir untuk mengucapkan kata-kata yang tepat kepada Mama dan Papa. Aku mengendap-endap ke belakang mencari tahu keberadaan mereka, tapi Enzo malah mengagetkanku dari belakang dan akhirnya Mama dan Papa yang berada di dapur menyadari kehadiran kami.

“Kalian sudah bangun?” Tanya Papa. Mama kemudian menyiapkan piring untuk kami berdua. Aku heran, kenapa mereka berdua selalu welcome kepada Enzo dari pertama bertemu.

“Ini, sarapan dulu. Mama bikin mac and cheese, kesukaannya Jules.”

“Oh, gitu ya? Kirain Jules gak pernah makan. Soalnya badan dia ringan sekali.” Canda Enzo. Papa tertawa mendengar lelucon Enzo yang menurutku garing. Aku sendiri tidak berselera makan karena bingung harus memberikan penjelasan apa kepada Papa dan Mama.

“Pa, bukan salah aku, aku jadi tidur sama Enzo di sofa. Semalem dia gak mau ditinggalin. Daripada bikin ribut, jadi aku tungguin dia sampai tidur, taunya aku malah ketiduran. Dia dateng jam 3 pagi.” Enzo berhenti mengunyah dan menunggu reaksi kedua orang tuaku. Aku tahu bahwa saat ini sebenarnya dia juga ingin tertawa melihat sikapku ini.

“Papa tahu. Papa juga tahu kamu, jadi Papa percaya sama kalian berdua.” Enzo tersenyum jahil melirikku. Dia meneruskan kembali mengisi perutnya dengan bermacam hidangan yang disajikan Mama.

“Gara-gara kamu aku jadi gak jogging pagi ini!” Aku menggerutu karena aku selalu menyukai rutinitasku setiap pagi. Entah kenapa setelah berolahraga aku selalu merasa lebih bahagia.

Selesai sarapan, aku naik ke atas untuk Me time! Enzo benar-benar atasan yang aneh. Dia seperti hidup merantau tanpa keluarga, padahal rumahnya aku jamin pasti lebih nyaman dari rumahku ini. Dia asyik menonton siaran tinju dengan Papa. Oh iya, aku baru ingat kalau hari ini aku akan dating dengan Ronald. Aku sudah tidak sabar bertemu dengannya.

Selesai dengan Me time, aku turun dengan mengenakan celana pendek khaki dan sweater longgar pink pastel, aku mengangkat rambutku dan menjepitnya. Aku duduk di sebelah Papa, Enzo tersenyum dan masih menatapku seperti sudah lama tidak bertemu denganku.

“Kalian berdua hari ini mau kemana?” Tanya Papa. Aku menggeleng karena aku memang tidak mempunyai rencana apa-apa dengan dia.

“Kita ajakin Adeline maen ya?” Tanya Enzo kepadaku.

“Kamu aja, aku lagi gak mau kemana-mana.”

“Kamu kalau hari libur harusnya maen, Jules. Nanti bisa-bisa kamu dianggap kudet karena gak pernah maen.” Timpal Papa. Enzo lagi-lagi menyeringai puas.

“Aku juga ada acara nanti malem, Pa.” Enzo tersenyum sinis.

“Sama gay itu?” Canda Enzo. Aku balas dia dengan senyuman sinis.

“Kamu gak pulang? Kamu kan belum ganti baju dari kemaren.” Papa melirikku karena dia pikir aku tidak sopan kepada tamu. Enzo tidak bergeming. Papa sepertinya merasa menjadi third wheel, dia pergi ke halaman membantu Mama dengan tanamannya.

“Jules…Cerita dong, tentang mantan terakhir kamu?” Ucap Enzo. Aku mengambil remote TV dan memindahkannya ke channel Fashion TV, sekarang aku sudah terbiasa menonton channel ini.

“Ngapain? Enggak ada gunanya nyeritain masa lalu.” Lagi-lagi Enzo tersenyum jahil.

“Berarti kamu masih cinta sama mantan kamu itu kalau kamu belum mau cerita.” Aku menghela nafas panjang, aku membiarkan Enzo dengan semua keisengannya. Dia mulai mendekat dan membenahi untaian rambutku yang berjatuhan. Aku tidak pernah risih dengan semua itu karena aku menganggap Enzo memang memerlukan teman untuk berbagi dan mengisi kekosongan hari-harinya.

“Jules…”

“Hemmmmm….” Mataku masih tertuju kepada televisi di depanku. Enzo menggenggam tanganku dan menciumnya.

“Aku merasa tidak asing lagi sama kamu, padahal aku baru dua minggu kenal kamu.”

“Jelaslah, kita udah berbagi tempat tidur, aku ngelonin kamu tidur, aku suapin kamu, minum aja kita udah mulai berbagi. Mana ada orang asing seperti itu.” Terangku load and clear. Enzo menyeringai.

“Berarti kamu percaya sama aku?” Aku mengangguk.

“Kalau aku minta kamu cancel pertemuan kamu sama Ronald malem ini, kamu mau?”

“Enggak!… Because this is my day off, jadi perintah kamu tidak berlaku sekarang.” Balasku enteng. Enzo menatap dalam mataku mencoba mengorek isi kepalaku. Dia menggaruk kepalanya dan memperhatikanku lagi.

“Kamu pulang dulu sana. Kamu bau, kamu mandi dong!” Enzo beranjak dari sofa dan menghampiri kedua orang tuaku untuk pamit. Mama dan Papa yang sedang asyik berkebun membuka sarung tangan mereka dan menjabat tangan Enzo. Aku duduk di teras melihatnya pergi. Dia mengedipkan matanya sebelum menginjak pedal gas. So Enzo! Papa menghampiriku dan duduk di sampingku.

“Kenapa Enzo pulang, Jules?”

“Karena dia punya rumah, Pa.” Jawabku. Papa menggeleng.

“Jules…Jangan samakan Enzo dengan Ryan.” Aku terhenyak mendengar Papa menyebut nama itu. Sudah setahun ini aku tidak mendengar nama itu. Aku benci dengan nama itu, aku ingin merobeknya dari ingatanku jika memungkinkan.

Aku tidak ingin berlama-lama membahas masalah ini. Aku mencium pipi Papa dan berlalu meninggalkannya sendiri.

This is my weekend plan : Do nothing!….Me time for two days, that’s awesome!

“Cerah banget, mau kemana? Ada acara sama Enzo?” Tanya Mama.

“Hah???…Aku seneng aja bisa istirahat 2 hari ini.”

“Kamu udah lama gak nengokin Nana. Kemarin Papa kesana, Nana nanyain kamu.” God, aku sampai lupa sama Nana-ku sendiri.

“Oke, hari ini aku nengokin Nana.”

Aku bergegas naik ke kamarku dan bersiap-siap untuk mengunjungi Nana. Hari ini aku akan mampir sebentar ke toko bunga membelikan bunga favorite Nana. Papa meminjamkan mobilnya karena aku malas mengeluarkan mobilku sendiri.

Florist langgananku terkenal murah dan pelayanannya ramah. Dari luar aku bisa melihat Yoris anak pemilik florist ini, melambaikan tangannya padaku. Toko bunga ini memang cukup besar dan terkenal di Jakarta. Biasanya dua minggu sekali aku rutin berkunjung kesini untuk membelikan Nana bunga favorite-nya.

“Hai, Jules!…Kamu tambah seger aja, kayaknya kamu lagi jatuh cinta ya?” Goda Yoris. Pria bertubuh tegap ini seumuran denganku. Dia terkenal playboy dan sering sekali mengencani perempuan-perempuan muda yang mengunjungi tokonya, terkecuali aku. Aku tidak pernah mengaggap pujian ataupun rayuannya itu serius. Oleh karena itu, dia tidak pernah merasa canggung denganku.

Really? Thank you. Jatuh cinta? Mmmmhhhh….” Aku pura-pura acting kebingungan. Yoris seperti biasa menyodorkan bunga mawar merah sambil berlutut di hadapanku. Kelakuannya ini sengaja untuk menarik mata perempuan-perempuan cantik di tokonya.

“Jules…will you marry me?” Aku terkekeh melihat aksi murahan Yoris yang mengundang perhatian para pengunjung. Aku berencana untuk menjawab pertanyaan Yoris sengawur-ngawurnya. I do….dan kemudian mengambil bunga mawar di tangan Yoris serta memeluknya. Tapi rencana tinggal rencana…

“Jules….” Sepertinya aku kenal suara itu.

“Enzo?….” Aku gelagapan karena Enzo terlihat sangat heran melihat pertunjukan opera sabun di depannya.

Will you?…” Yoris masih saja melanjutkan acting-nya. Aku melihat pengunjung juga menanti jawabanku, kecuali Enzo. Aku melihat ekspresi yang tidak asing lagi di wajahnya. Yap!….Ekspresi itu hanya muncul ketika dia akan menyeretku. Bisa-bisa terjadi keributan di sini.

“Yoris, stop it! Ini Enzo…” Yoris seketika bangkit dan merapikan kemejanya. Dia memperhatikan Enzo dari atas ke bawah. Kemudian dia tersenyum melihatku, senyuman playboy ala Yoris.

Should I kick him?” Tanya Enzo geram. Aku membelalakan mataku kepada Enzo supaya dia behave.

“Ehheemmm…Sorry, aku Yoris.” Yoris mengajak Enzo berjabat tangan, tapi Enzo tidak meladeninya. Aku menyenggol Enzo supaya dia bersikap lebih sopan lagi. Akhirnya dia menjabat tangan Yoris.

“Kamu ngapain tadi?” Tanya Enzo kepada Yoris. Yoris yang memang selengean itu terlihat menikmati sikap posesif Enzo.

“Aku…Mmmmhhhh…aku melakukan apa yang biasanya dilakukan seorang laki-laki sejati kepada perempuan yang dipujanya.” Jawab Yoris asal.

“Oh, God!…Dia Yoris, anak pemilik toko bunga ini. We’re friend. Right?” Tanyaku kepada Yoris. Akhirnya Yoris menurunkan bahunya pertanda kecewa karena aksinya kali ini gagal mendapatkan piala Oscar.

Aku menarik Enzo dari hadapan Yoris dan berkeliling memilih bunga untuk Nana. Enzo masih memperhatikan Yoris dari jauh. Aku sendiri tidak terlalu memperhatikan mereka.

“Kamu lagi apa di sini?” Tanyaku lagi.

“Aku?….what do you think?

“Beli bunga pasti….Tapi, tumben kamu beli bunga? Pacar aja gak punya, atau…kamu beli bunga buat gebetan kamu ya?” Tanyaku antusias.

“Aku lihat mobil Papa kamu parkir di depan, jadi aku bermaksud menyapa Papa kamu. Tapi ternyata yang aku temuin malah kamu lagi dilamar sama homo itu.” Aku terkekeh mendengar Enzo yang masih kesal kepada Yoris. Aku terkekeh.

“Ronald, gay…Yoris, homo…” Ledekku. Enzo tidak bergeming.

“Kamu beli bunga buat siapa?” Tanya Enzo. Entah kenapa, jika sudah melihat Enzo bereaksi seperti tadi, aku semakin ingin menjahili dia.

Guess who?” Tanyaku. Dia menghentikan langkahnya dan menatap mataku mencoba mencari apa dibalik pikiranku. Dia meneruskan langkahnya dan tidak menggubris kejahilanku ini.

“Ini Yoris, discount ya!” Ucapku kepada Yoris yang sedang membantu di meja kasir. Yoris mengedipkan matanya. Enzo yang masih berada di sampingku masih menunjukkan antipati kepada Yoris.

“Kalau kamu nerima lamaranku, bukan hanya discount. Aku kasih seisi toko bunga ini buat kamu.” Ucap Yoris asal. Enzo sepertinya sudah tidak sabar ingin melayangkan tinjunya kepada Yoris.

Akhirnya di tempat parkir aku menuju mobil Papa, dan Enzo sepertinya bingung karena aku tidak mengikutinya.

“Kamu mau kemana?” Tanya Enzo sambil menarik tanganku. Aku menunjuk mobil Papa. Dia menggeleng dan membawaku ke mobilnya.

“Enzo…Mobil Papa gimana?” Tanyaku geram.

“Nanti aku suruh Pa Ade anterin ke rumah kamu. Dia merebut kunci mobil ditanganku.”

“Aku masuk sebentar, aku titipin kunci mobil Papa kamu sama homo tadi.” Celetuknya. Aku merebut kembali kuncinya dan masuk ke dalam toko menitipkannya kepada Yoris. Bisa-bisa malah ribut kalau Enzo main titip seenaknya dengan tampang seperti itu.

So, kita mau kemana?” Tanya Enzo.

“Kalibata….” Jawabku singkat. Enzo tidak bertanya lagi, dia melaju ke arah kalibata.

“Kenapa sih Jakarta semakin hari semakin sempit?…” Enzo tidak menghiraukanku, dia fokus menatap lurus, berharap bisa menerobos kemacetan Jakarta.

“Maksud aku, dimana-mana aku pasti ketemu kamu. Padahal nih, baru pagi tadi kamu pulang dari rumah aku…kok bisa ya?” Enzo bergeming.

“Itu yang namanya jodoh, gak usah dikejar gak akan lari kemana.” Celetuk Enzo.

Jarak ke Kalibata dari tempatku sekitar 30 menit. Karena macet, akhirnya kita baru sampai di rumah Nana 40 menit kemudian. Enzo masih merasa asing dengan rumah model zaman dulu ini. Aku mengajaknya turun dan membuka pintu gerbang. Rumah Nana selalu telihat rapi, asri sekaligus sepi. Enzo berdiri di sampingku, aku memijit bel rumah sambil merapikan blouse putihku. Enzo tersenyum dan menggenggam tanganku.

Langkah kaki dan suara orang membuka kunci terdengar. Pintupun terbuka dan Nana menyambutku dengan senyuman hangatnya. Enzo tersenyum lega melihat perempuan tua berumur 75 tahunan di depanku ini. Nana masih terlihat sehat dan jalannya pun masih tegap. Pendengarannya juga masih sangat jelas, hanya saja kaca mata tebal tidak bisa lepas darinya.

Aku memeluk Nana dan menciumnya. Aku memberikan buket bunga favorite Nana. Dia mencium bunga-bunga itu dan terlihat sangat senang. Nana juga memberikkan pelukan hangatnya kepada Enzo. Enzo senang mendapat sambutan hangat dari Nana.

Aku dan Enzo segera menuju dapur seperti biasa. Di sana Nana sudah menyiapkan teh dan puding roti kesukaanku. Enzo sepertinya menikmati semua hal yang berhubungan dengan kekeluargaan. Dia juga berkali-kali mengambil puding roti dan menyantapnya.

“Jadi, kapan kalian menikah?” Aku dan Enzo langsung terdiam dan saling menatap. Aku terkekeh mendengar pertanyaan Nana. Sementara Enzo menyenggolku karena dia merasa tidak sopan untuk menertawakan orang tua, apalagi Nana.

“Ehhhmmm, Nana…” Belum selesai aku berbicara, Enzo memotong jawabanku.

“Mungkin nanti setelah Jules menerima lamaran aku, Nana.” Jelas Enzo. Aku terperangah. Lagi-lagi Enzo menjawab sekenanya.

“Maksudnya? Jules?…Kenapa kamu tidak menerima lamaran Enzo?” Tanya Nana setengah gregetan karena cucunya masih setia melajang.

“Nana kira Enzo lebih baik dari…”

“Iya Nana, aku tahu…” Aku memotong ucapan Nana. Enzo sekarang terlihat mencari potongan puzzle yang hampir saja dia selesaikan.

Biasanya jika berkunjung ke rumah Nana, aku bisa sampai malam di sini. Berhubung Enzo selalu merecoki Nana dan jangan sampai Nana terpengaruh juga, jam 4 sore aku bergegas pulang.

I like your Nana.” Ucap Enzo. Aku menatap keluar jendela dan menghela nafas panjang.

“Yah…” Jawabku.

“Enzo…kamu tahu film yang paling melegenda apa?” Enzo menatapku dan seolah sedang berfikir untuk menjawab pertanyaanku.

“Titanic….” Jawab Enzo ragu.

“Yap, betul sekali!…kamu tahu, film yang katanya hampir semua orang nonton itu…Aku sama sekali belum pernah menontonnya.” Enzo tersenyum seperti menyembunyikan sesuatu.

What?…” Tanyaku curiga.

Well…so do I…Aku juga belum pernah nonton film itu.” Aku terkekeh, karena ternyata ada juga orang kudet selain aku.

“Mungkin kapan-kapan kita harus nonton film itu.” Ajakku.

Are you asking me on a date?” Ledek enzo. Aku tersenyum dan mengedipkan mataku seperti yang biasa Enzo lakukan saat menggodaku.

Malam ini, pukul 7 tepat aku sudah siap untuk kencan pertama dengan Ronald. Aku sudah tidak sabar menunggunya. Saat bel berbunyi, Aku mengintip di jendela dan ternyata Ronald sudah berada di depan gerbang dengan Lancer hitamnya.

Hai! You look lovely!” Puji Ronald. Padahal malam ini aku berdandan se-simple mungkin. Aku mengenakan little black dress dan Stilletto hitam serta rambut yang digerai dan disisir dengan tangan.

Thank you. You too.” Jawabku.

Sepanjang perjalanan Ronald bercerita tentang pekerjaannya sebagai pialang saham juga sampingannya sebagai instruktur yoga. Aku juga menceritakan pekerjaanku dan keluargaku.

Ronald mengajakku dinner di resto yang terletak di salah satu hotel bintang 4 di Jakarta. Aku menikmati obrolan dan sajian makan malam ini. Ronald sepertinya memang tipe laki-laki yang bersahabat. Dia juga easy going.

Ronald seperti orang-orang di dekatku lainnya. Dia juga sempat mempertanyakan hubunganku dengan Enzo. Dia juga mengira bahwa Enzo menyukaiku. Tentu saja aku membantahnya seperti biasa. Why they keep asking me that? Huhhhhh…Enzo! Andai saja kamu bisa lebih menjaga sikapmu sedikit. Kalau gini, bisa-bisa aku perawan tua. Semua lelaki yang mendekatiku pasti ngeper sama Enzo. Obrolan kami sempat terputus ketika aku menerima panggilan dari Enzo.

“Kamu dimana?” what the??

“Ehhhmmm, aku masih dinner di luar.”

“Aku sebentar lagi menuju rumah kamu, aku titip Adeline, ada urusan yang harus aku selesaikan secepatnya.” You’ve got to be kidding me.

Oke…” Why I can’t say No? This is my day off. Why he did that to me? Dick!

Aku mencoba untuk menutupi kekesalanku kepada Enzo di depan Ronald. Semuanya berjalan normal, sampai 15 menit kemudian aku merasa harus mengakhiri dinner ini.

Can we go home now?” Tanyaku ragu.

Is that the phone call? Your boss, right?” Aku menghela nafas dan mengangguk. Ronald tersenyum dan mengantarku pulang. Di perjalanan aku merasa bersalah kepada Ronald, karena sepertinya aku sudah berusaha menutup telepon disaat dia masih asyik meneleponku.

“Kamu gak pernah keberatan kalau bos kamu itu gangguin libur kamu?”

“Aku baru kerja 2 minggu sama dia, aku berusaha menunjukkan loyalitas aku.”

Even on your day off?” Aku mengangguk.

“Senang sekali mempunyai asisten seperti kamu.” Ucap Ronald.

Benar saja, ketika mobil Ronald berhenti di depan rumahku, mobil Enzo juga berhenti di belakang kami. Ronald yang tadinya hendak mampir ke dalam, mengurungkan niatnya. Adeline keluar dari mobil dan memelukku. Enzo memperhatikanku dari atas ke bawah. Dia berdiri di sampingku dan menggenggam tanganku. Weird!

“Tante Jules! Aku tidur di sini boleh?” Tanya Adeline sambil memberiku sekotak coklat berbentuk hati. Ronald tersenyum dan mencubit pipi Adeline.

“Mmhhhh…Kamu gak ngorok kayak Papa kamu kan?” Shit! Oh my Dear God!

“Tahu dari mana Tante kalau Papa ngorok tidurnya?” Aku gelagapan, Enzo tersenyum jahil dan Ronald sepertinya menanti jawabanku juga. Sebelum aku menjawab, Enzo menyabotase jawabanku.

“Karena Tante Jules suka ngelonin Papa tidur, right?

What? Karena Papa kamu suka tidur di kantor waktu kerja.” Enzo menggeleng.

“Eh, kamu mampir dulu ya?” Tanyaku kepada Ronald. Aku bermaksud menghentikan keanehan ini.

“Ga usah Jules, kamu sudah kedatangan peri cantik ke rumah. Besok kita ketemu di studio ya?” Aku mengangguk. Ronald dalam sekejap sudah menghilang dari pandanganku.

You look great! Puji Enzo. Adeline menarikku ke dalam. Dia menelusuri rumahku mencari Mama dan Papa.

How is the date?” Enzo mengajakku duduk di teras.

Great!” Jawabku singkat.

Is he a gay?” Tanya Enzo. Dia mulai mengumbar keisengannya.

No he’s not! He’s a good guy, I guess…”

Am I a bad guy?

“Yah!…” Jawabku asal.

“Aku titip Adeline ya, besok pagi aku jemput. Ada urusan mendesak yang harus segera diselesaikan.”

Oke…” Jawabku. Enzo menatapku dengan tajam. Dia beranjak dari kursinya dan berdiri di depanku. Tanpa disangka-sangka dia mencium keningku…and I let him. Dia pergi meninggalkan rumahku dan anehnya, aku mulai merasa aneh dengan semua perlakuan Enzo kepadaku.

Aku berdiri dan mencari Adeline ke dalam rumah. Aku ingin mencari tahu kehidupan mereka lewat Adeline. Sepertinya anak seumur dia belum bisa berbohong.

“Hai Princess!…Ehhmmm…Kamu suka ketemu mama kamu?” Adeline sepertinya kebingungan. Mungkin dia menyebut June dengan sebutan lain.

“Mmmhhh… Ayah Kenzu, Papa Enzo, Mama???….”

“Oh…Bunda June, Mama Jules….Papa bilang sebentar lagi aku gak boleh bilang tante.” Sick! Enzo benar-benar aneh! Papa tertawa melihatku bengong. Aku menggaruk kepalaku karena kesal dengan Enzo.

Malam ini aku tidur bersama Adeline, aku menatap wajah makhluk kecil ini. Dia mempunyai mata Enzo…..maksudku Kenzu, sedangkan bibirnya benar-benar mirip sang bunda. Kasihan sekali anak sekecil ini sudah menjadi korban keegoisan orang tuanya.

Teleponku berbunyi, dan ternyata Enzo menghubungiku.

“Kenapa, Kamu ada di depan rumah aku?” Tanyaku kesal. Enzo terkekeh.

I wish I could, kamu pasti lagi mandangin Adeline ya?” Enzo seolah-olah bisa membaca jalan pikiranku.

“Iya….Aku rasa gak adil buat anak sekecil ini harus mengalami rumitnya kehidupan.”

“Heeemmmm….that’s life. Are you thinking of me?

What? No! Udah ah, aku mau tidur!” Enzo tertawa di seberang sana. Aku menutup teleponnya.

Enzo….What are you?” Lirihku di keheningan.

Adeline masih tertidur, aku menitipkannya kepada Papa dan Mama. Seperti biasa, minggu pagi setelah jogging, aku bersepeda ke studio yoga. Aku melihat Ronald keluar dari studio dan membantuku memarkir sepeda.

“Hai! I’m thinking of you all night long.

What a wonderfull greet.” Balasku. Ronald tersenyum.

How is your boss? I bet that he jelous of me, right?

Nop! He’s good. Like I said before, we’re just partner in work.”

How can you be so blind, Jules?…He’s so in to you...”

Really? Nah!…he didn’t

So, there will be another date?

If you ask me…”

Next Saturday? I pick you at 7?” Aku mengangguk.

Akhirnya sesi terakhir, aku sudah tidak sabar ingin ngobrol dengan Ronald. Aku membuka mataku disaat meditasi dan ternyata Ronald sedang tersenyum memandangku. Hatiku mendadak seperti meloncat-loncat kegirangan melihatnya tersenyum.

Setelah berganti pakaian, aku menuju keluar dan hendak menemui Ronald, tapi sepertinya aku melihat Ronald dan…Enzo sedang berbincang di depan. Aku benar-benar geram melihat Enzo sudah mulai menjadi bayanganku, bahkan disaat hari libur. Tingkah gemasku terlihat oleh Joana, Receptionist di studio yoga ini.

“Kenapa, Mba? Ditungguin 2 cowok ganteng kok sewot?” Aku tertunduk malu sambil pura-pura memijit handpone-ku. Aku beranjak keluar dan menghampiri mereka berdua.

Really, Enzo?” Dia menyeringai jahil seperti biasa. Aku tidak mau berlama-lama mengumbar keanehan ini. Aku pamit kepada Ronald dan menuju sepedaku. Tapi, Enzo menarik tangaku dan menunjuk ke arah mobilnya. Apparently my bike is on top of his car. Aku menghela nafas berat dan panjang. Aku melihat Ronald, dia tersenyum dan mengangkat alisnya, pertanda bahwa apa yang dia katakan sebelumnya tentang Enzo memang benar.

“Aku titipin Adeline sama orang tuaku.” Ucapku kesal.

“Aku mau jemput Adeline, kebetulan aku lihat sepeda kamu, jadi sekalian aku jemput kamu.” Aku membuang wajahku ke arah jendela.

“Ronald bilang, Sabtu depan kalian mau dinner lagi ya?”

“Iya!…” Bentak aku. Enzo terkekeh melihatku kesal.

“Tahu gak? Sebenernya sekarang aku pengen banget nyekek kamu sampai kejer!” Ucapku kesal. Tawa Enzo menjadi-jadi dan dia menarik kuncirku.

“Awwww!…Kamu bisa stop ngerecokin aku sama Ronald gak?” Dia menatapku sambil berfikir.

“Mmmmhhh…Nop!”….So Enzo!

“Sekarang kamu ikut aku nganterin Adeline ke ice cream shop ya, please?” Aku menghela nafas panjang dan menatap Enzo.

“Kamu mau bikin rambut kamu blonde lagi?” Enzo tertawa lepas.

“Cukup sehari aja, aku kapok. Kayak bule nyasar.” Aku tersenyum.

Akhirnya, hari Minggu yang biasanya Me time, sekarang jadi family days out. Aku pergi menyusuri mall bersama dengan Enzo dan Adeline.

Kami tiba di salah satu Ice Cream shop langganan mereka berdua. Aku dan Adeline menunggu di meja sambil mewarnai coloring book yang baru saja dia beli. Adeline membenahi rambutku yang mulai berjatuhan menutupi wajahku.

“Kalau aku gak rapihin rambut Tante, nanti Tante mewarnainya keluar garis.” Jelasnya. Aku tersenyum dan mengelus pipi anak cantik ini. Enzo memesankan Ice cream untuk kami. Dia memperhatikan kami dari kejauhan. Sepertinya dia senang hari ini aku menemaninya jalan dengan Adeline.

Hatiku tiba-tiba merasa gak karuan. Sudah lama aku tidak merasakan seperti ini. Biasanya aku merasa tidak enak kalau ada sesuatu yang tidak sreg denganku. Benar saja, aku melihat sosok seorang laki-laki yang sudah tidak asing lagi bagiku, dia menghampiriku dan menyapaku.

“Jules…” Adeline melihatku, mungkin laki-laki ini masih asing baginya. Dia menyembunyikan wajahnya di belakang punggungku.

“Ryan..Hai!” Aku benar-benar tidak pernah berharap bisa bertemu lagi dengannya. Dia adalah orang terakhir yang ingin aku temui bahkan disaat aku diambang kematian.

“Ehhhmm…Can I join you here?What? No!…Big No!!!…

“Mmmhhh…” Aku pura-pura bingung, tapi sebenarnya aku sangat enggan bisa satu cubicle dengan dia. Yah itu! Kenapa dulu aku tidak menjawab itu ya?

“Jules…” Oh god thank you, baru sekarang aku bersyukur kalau Enzo datang.

“Hai!…Mmmhh, Ini Ryan my former boss.” Terangku kepada Enzo.

“Enzo…” Jawab Enzo seraya menjabat tangan Ryan.

“Kalian???…” Ryan menunjuk aku dan Enzo, seolah menanyakan hubungan kami.

“Kenapa, ada yang aneh?” Tanya Enzo lugas. Ryan menggeleng. Dia mulai kikuk dan sepertinya tidak enak tiba-tiba muncul di tengah-tengah keluarga kecil ini. Hahahaa…at least dia berpikiran seperti itu. Akhirnya dia pergi juga dari hadapanku.

Enzo mulai membubuhkan tanda tanya besar di wajahnya. Aku tahu bahwa kali ini dia pasti akan merecokiku perihal Ryan. Tapi kalau boleh, aku ingin dia melewati yang satu ini. Please don’t do that! Ini bukan lelucon asyik buatku dan aku sama sekali tidak ingin me-rewind semuanya.

“Dia bukan hanya mantan bos kamu kan?” Tanya Enzo mencoba menggali lebih dalam hubungan aku dan Ryan. Aku membiarkannya, aku tetap membantu Adeline mewarnai. Adeline menghabiskan setengah dari ice cream-ku, sementara Enzo sengaja menyuapiku ice cream disaat aku sedang membantu Adeline mewarnai.

“Ehemmm….Hai Jules!” Pa Darwin sudah berdiri di depan meja kami. Enzo tampak tidak terganggu dengan kehadiran Pa Darwin he keep feeding me. Aku berusaha menghindar tapi Enzo selalu berhasil mengelabuiku.

“Opa dateng jemput aku ya?” Adeline membereskan barang-barangnya tanpa meminta bantuanku. Setelah selesai dia langsung menghampiri Kakeknya dan menariknya minta dibawa ke toko mainan lain.

“Papa duluan ya.” Pa Darwin pamit dan mereka berdua meninggalkan aku dan Enzo.

So, Ryan itu siapa?”

Oh my Gosh! Please shut him up!” Enzo yang tadinya duduk di depanku, pindah menjadi di sampingku.

Come on Jules! Kamu gak pernah cerita apa-apa sama aku.” Aku mencoba berfikir sejenak. Apa aku siap membuka lembaran kelam aku sekarang? Apa aku harus menceritakannya kepada Enzo?

“Jules…” Enzo mendekatkan wajahnya kepadaku. Aku bergeser memberi jarak antara kami, tapi kemudian dia bergeser lagi mendekatiku.

Why are you so annoying?” Tanyaku kesal. Enzo membelalakan matanya memaksaku bercerita. Aku menarik nafas panjang. Aku menatap Enzo…sepertinya aku memang mempercayai dia.

“Aku dulu hampir menikah dengan Ryan. He was my fiance.” Mimik wajah Enzo berubah menjadi serius.

What happened?” Tanyanya ragu.

“Kita sudah menentukan tanggal pernikahan dan memesan undangan. Tapi…Aku mergokin dia ML sama sekretaris barunya, di ruangannya dia. Ironisnya, sekretaris baru itu menggantikan posisiku. Sebelumnya Ryan memintaku resign dan ingin aku menjadi ibu rumah tangga seutuhnya.”

Wow! That’s Awful!…Why don’t you tell me about this?

For what? It’s just past!

So you just drop your Mr. Not-quite-right?” Aku mengangguk.

“Itu juga sebabnya kamu trauma punya hubungan sama bos kamu?”

“Maksud kamu?”

Come on Jules?” Jawab Enzo. Sebelum aku sempat berdebat, aku mendapat telepon dari Mama.

“Jules…Ini Mama. Kamu bisa ke rumah sakit sekarang? Papa kena serangan jantung.”

“Kok bisa, Ma? Iya..iya..aku kesana sekarang.” Aku beranjak dari kursi dan berjalan secepat mungkin. Enzo berusaha mengimbangiku, dia mempercepat jalannya juga.

“Kenapa?” Aku benar-benar tidak bisa menutupi kekhawatiranku, tapi aku berusaha tidak menangis di depan Enzo. Ya….Aku harus tegar di depannya.

“Papa aku kena serangan jantung, sekarang di rumah sakit.” Jawabku. Enzo bergeming, dia menggenggam tanganku dan mempercepat lagi langkahnya menuju parkiran.

Aku pergi ke rumah sakit bersama Enzo. Sepanjang perjalanan Enzo menggenggam erat tanganku. Mungkin dia ingin memberikan support-nya kepadaku. Perjalanan ke rumah sakit yang biasanya memakan waktu 20 menit, karena hujan lebat dan macet sudah 30 menit pun kami masih di tengah-tengah kemacetan.

“Kamu yang tenang ya, Papa kamu pasti gak apa-apa, pasti sudah baikan.” Ucap Enzo berusaha menghiburku. Aku tidak mempedulikannya, badanku terasa lemas. Aku bersandar di jok dan memalingkan wajahku keluar jendela.

“Aku selalu dekat dengan Papa, sementara Mama dengan Vivi. Aku dan Papa tidak pernah menyembunyikan apapun. Termasuk masalah laki-laki. Aku selalu bercerita kepada Papa tentang orang terdekatku. Aku takut kalau sampai Papa….” Aku tidak bisa lagi meneruskan ucapanku. Aku berusaha keras menahan air mataku di hadapan Enzo. Sampai akhirnya, aku tidak bisa menahan beberapa butir air yang keluar dari mataku. Aku cepat-cepat menghapusnya dengan punggung tanganku.

Enzo sepertinya asing dengan sikapku sekarang. Dari tadi dia lebih banyak terdiam dan menjadi pendengar setiaku. Aku tahu bahwa mungkin dia menyesal harus berada di sampingku disaat aku rapuh seperti ini. Mungkin dia akan lebih memilih pergi menjamu klien-nya daripada menenemani asistennya di saat seperti ini.

“Papa!….” Aku memeluk papa yang sedang terbaring di brankar. Papa sudah siuman tapi masih terlihat lemas. Mama yang saat itu berada di samping brangkar menenangkanku.

“Jules…Papa gak apa-apa. Hanya penyakit orang tua.” Hibur Papa berusaha membuatku tenang. Papa masih bisa bercanda disaat kritis seperti ini. Aku yang jarang sekali menangis, saat ini tidak bisa membendung air mataku. Aku menangis karena aku tidak siap jika membayangkan harus ditinggalkan Papa. Enzo mendekat dan membelai rambutku. Dia juga sama seperti Mama dan Papa, dia berusaha menenangkanku.

 

Jules…andai saja kamu tahu, aku tidak bisa melihatmu menangis seperti ini, aku tidak bisa untuk jauh-jauh darimu, aku….tidak bisa berhenti memikirkan kamu.

Papa-nya Jules sepertinya menyadari apa yang aku rasakan terhadap anak kesayangannya ini. Iya…dia selalu menyadari perasaanku kepada Jules. Tapi kenapa sangat sulit untuk Jules merasakan semua perasaanku kepadanya. Padahal itu semua terlihat jelas. Aku bahkan sudah tidak menyembuyikannya lagi.

Entah ada apa dengan Jules? Apa memang Ryan sudah membuatnya trauma untuk membuka hatinya kepadaku? Ataukah dia memang tidak pernah mempunyai perasaan apa-apa kepadaku? Ooohhh…I wish I knew what is inside your heart.

Kenapa disaat jatuh cinta aku tidak bisa berpikiran rasional? Kenapa aku terus saja memaksanya membuka hati untukku? Jelas-jelas saat ini dia sedang melakukan penjajakan dengan laki-laki lain. Tapi…aku tidak mau sampai laki-laki itu merebut Jules dariku. Aku tidak mau sampai dia memberikan perhatian kepada laki-laki itu. Aku tidak mau sampai Jules membuka hatinya untuk laki-laki lain selain aku. God damn Jules! I think that I am deeply in love with you. I don’t wanna be a stranger for you. I wanna be someone that you love the most.

Pagi ini, dari luar aku memperhatikan Jules yang sedang merapikan ruanganku. Ternyata dia datang lebih awal dariku. Aku perhatikan semua bahasa tubuhnya. Aku belum pernah merasa dekat dengan seorang perempuan dalam waktu yang singkat. Dua minggu, aku baru mengenalnya selama dua minggu. Tapi aku sama sekali tidak pernah bisa melupakan parfume-nya, wangi rambutnya dan juga tawanya.

Lagi-lagi, dia selalu mengangkat frame foto itu dan memandangnya cukup lama.

Gotcha!” Dia terperanjat karena aku sengaja membuatnya kaget.

“Kamu tiap hari ya, liatin foto itu?”

“Iya, aku makin penasaran. Ini kamu atau Kenzu?” Aku terdiam mendengar alasan dia memandang foto itu.

That’s me of course, you fool!” Semprotku. Jules duduk di kursinya dan meregangkan tubuhnya serta merileks-kan otot-otot lehernya. Dia bersiap-siap memulai pekerjaannya.

“Papa kamu sehat?” Tanyaku. Jules tersenyum dan mengangguk. That’s a good sign, aku gak akan pernah mau lagi lihat dia nangis seperti kemarin. Itu membuatku tidak mau beranjak dari sisinya. Membuatku khawatir meninggalkannya. Kemarin saja, sampai-sampai Jules meneriakiku menyuruhku pulang dari rumah sakit. Sepertinya ada lem yang menempel diantara aku dan dia.

“Jules…Apa cita-cita terbesar kamu?”

“Kenapa tiba-tiba kamu nanya gitu?” Jules balik bertanya. Aku mengangkat bahuku.

“Hhhmmmm…cita-cita terbesarku?…Aku ingin sekolah designer di Paris.”

Really?…Kamu mau berhenti kerja terus ninggalin aku jauh-jauh?” Tanyaku geram.

I’d love too.” Jawabnya ringan.

“Enzo…” Dia berhenti melanjutkan ucapannya, dan itu semua membuatku penasaran.

What? Kamu suka sama aku?” Tanyaku asal. Padahal, aku benar-benar ingin dia menanggapi pertanyaanku ini dengan serius.

Thank you…Kamu udah nemenin aku kemarin.” Good, anggap aja tadi aku gak nanya apa-apa. Kenapa dia bisa seperti itu? Apa dia berpikir kalau itu bukanlah pertanyaan yang harus dijawab? Akhirnya aku hanya bisa mengangguk.

“Nanti sore Papa aku pulang, aku boleh pulang jam 5 teng kan?” Jules mulai merajuk sepertinya.

“Aku bukan hanya mengizinkan kamu pulang jam 5 teng, aku juga yang akan nganterin kamu jemput Papa kamu di rumah sakit.” Jawabku lengkap. Jules mengangkat kedua tangannya ke atas dan bersorak kegirangan. Aku suka melihatnya gembira seperti itu.

You are the best Boss ever!” Ucapnya lagi.

But…I sleepover in your house tonight!” Dia kembali lemas dan menjatuhkan tubuhnya di atas kursi. Aku bisa tersenyum senang sekarang.

Sejak Papa pulang dari rumah sakit, semua makanan akan disaring terlebih dahulu sebelum sampai di piring Papa. Tidak ada mentega berlebih, santan, kuning telor, daging merah, semuanya tidak boleh terlalu sering dikonsumsi Papa.

“Eits….No! Omelete punya Papa sudah dipisah.” Tegasku. Papa sepertinya sudah tidak bernafsu lagi untuk makan.

“Mana enak omelete hanya dari putih telur? Sesekali kan gak apa-apa.” Papa membela dirinya sendiri. Mama akhirnya memberi sepotong kecil omelete kami untuk Papa.

“Mama udah pisahin omelete buat Enzo di tupperware biru.” Mereka hampir setiap hari menyuruhku membawakan makanan untuk Enzo. Hanya saja, tidak semuanya aku berikan kepada Enzo. Kadang aku memberikannya kepada Cathy, Rose atau siapapun tergantung mood-ku.

“Jules, dari pertemuan kamu dengan Ryan kemarin, dia sudah menghubungi kamu lagi?” Tanya Mama. Aku tidak pernah menduga kalau Mama akan menanyakan pertanyaan seperti itu. Setahun terakhir ini, mereka seolah menjaga perasaanku sehingga tabu menyebut nama itu. Tapi, sepertinya sekarang mereka sudah mulai menganggap semuanya normal kembali

“Nomorku kan ganti, Ma. Mana dia tahu…” Jawabku asal.

There you are, special omelete Ibu Nadine.” Ucapku sambil menyimpannya di meja Enzo. Enzo menggosok-gosok tangannya kegirangan. Padahal, orang seperti Enzo sebenarnya bisa makan apapun yang dia mau setiap saat. Tapi, dia selalu menantiku membawakan makanan buatan Mama.

“Kemarin, kanapa Mama kamu gak bawain aku bekal?” Ooopppsss…aku memberikannya kepada satpam kantor.

“Gak ada sisa, kalau ada sisa baru aku bawain.” Jawabku asal.

“Tapi jatah aku gak kamu kasih sama gay itu kan?” Aku mengacungkan jari tengahku.

“Hey…ada kabar dari X kamu? Sepertinya dia bingung sewaktu bertemu kita di kedai ice cream?What the? Aku hanya menggeleng tidak mau meneruskan membahas masalah ini.

Pagi ini aku belum sarapan sehingga menyempatkan diri masuk Circle K dekat kantor untuk cari sarapan. Aku membeli roti isi dan segelas Milo. Jika sarapan di pantry seperti sudah memasuki hawa kerja.

“Jules!…Hai!” Ryan? Ngapain dia di deket kantor aku?

“Hai!” Jawabku. Aku berusaha menyembunyikan semua amarah dan kebencianku kepada orang tak tahu malu ini. Aku berusaha bersikap seolah-olah dia teman lamaku.

“Kamu belum sarapan ya?” Aku mengangguk. Dia duduk mengisi kursi kosong di depanku. You make me sick!

“Jules…you look great!” Aku tersenyum. Aku ingin menunjukkan kepadanya kalau aku kuat dan sudah melupakan semua pengkhianatannya.

Thank you.” Jawabku.

“Enzo…mmhhhhhh…pacar kamu?” What the? Aku beranjak dari tempat dudukku dan meninggalkannya. Aku tidak mau dia mencampuri atau sampai masuk kehidupanku lagi. Ryan mengejarku. Dia berjalan di sampingku. Aku mempercepat langkahku, dia pun mempercepat langkahnya

“Jules…it’s been a years, come on…lupakan yang dulu, aku khilaf…aku sudah minta maaf berkali-kali sama kamu. Semuanya sudah terjadi, aku gak bisa lagi balikin semuanya seperti semula, Jules! I love you, so much!” Aku makin jijik dengan kenorakan dia mengumbar masalah seperti ini di public. Benar-benar roman picisan!

Memaafkan?…Melupakan?…sick! Aku masih bisa mengingat semuanya dengan jelas. Aku ingat seperti apa wajahnya saat bersama perempuan itu. Dick! Kemarahan dan kebencianku kepada Ryan semakin muncul di permukaan. Ryan menarik tanganku memintaku untuk berhenti dan tidak memasuki gedung kantorku. Aku berusaha melepaskannya, tapi sepertinya Ryan sudah kesetanan saat ini. Dia malah berusaha menyeretku untuk mengikutinya.

“Hei!…” Enzo muncul seperti biasa, tanpa terlihat kapan dia datang. Dia melayangkan tinjunya di muka Ryan. Aku menarik Enzo supaya dia tidak melakukannya lagi. Ryan membalas Enzo, sampai akhirnya satpam kantor keluar dan mengamankan Ryan.

“Hati-hati kamu memperlakukan perempuan, jangan seenak jidat kamu!” Sembur Enzo. Dia merangkulku dan membawaku masuk. Aku masih shock, marah dan kesal. Kalau saja bisa, sebenarnya aku ingin pulang saja dan menangis. Semua kenangan burukku, traumaku di masa lalu mulai tampak jelas kembali. Di dalam lift, Enzo terus menatapku sedangkan aku memeriksa rahangnya yang kena sasaran tinju Ryan.

Semua karyawan yang kebetulan berpapasan memandang aneh karena Enzo merangkulku. Aku sendiri tidak peduli dengan semua tanggapan mereka. Aku ingin hari ini cepat berlalu, membereskan semua pekerjaanku dan pulang memeluk Papa dan Mamaku.

Sampai di ruanganku, Enzo menutup semua gorden sehingga orang-orang tidak bisa melihat kami dengan jelas. Aku duduk di mejaku berusaha bersikap normal. Aku meyalakan computer dan mulai melihat berkas-berkas di mejaku. Enzo duduk di sofa dan menatapku seolah menunggu tangisanku meledak. Aku tidak ingin sampai bertemu pandang dengan dia.

“Jules…” Enzo ingin memastikan bahwa aku tidak apa-apa. Aku ingin sekali membalasnya, aku ingin menjelaskan kalau aku tidak apa-apa. Tapi tenggorokanku terasa berat menahan air mata yang sudah tidak bisa terbendung lagi. Alhasil, aku menutup wajahku dengan kedua tanganku bertumpu di meja. Aku mulai menangis, tapi anehnya Enzo tidak menghampiriku untuk memberikan bahunya, dia malah memperhatikanku dari kejauhan.

Setelah beberapa saat, akhirnya air mataku ini bisa berhenti dengan sendirinya. Aku mengeringkan mataku dengan tissue dan berusaha untuk tidak menangis lagi. Enzo pun menghampiriku, di duduk di atas meja persis di sampingku. Dia merapikan rambutku yang berantakan dan merapikan sedikit make up-ku yang berantakan dengan tangannya.

Enzo menatapku dan mendekatkan wajahnya, dia mencium keningku lamaaaaa sekali. Tanpa terasa, air hangat mulai membasahi pipiku lagi. Melihat Enzo begitu memperhatikanku membuat semua amarah dan kebencianku melunak. Dia memelukku dan memberikan bahunya yang lebar untuk menghangatkanku.

You know…Sometimes all you need is a hug from the right person and all your stress will melt away.” Ucap Enzo. Aku tertawa kecil mendengar ucapan Enzo.

“Ini kan romantis, ngapain kamu ketawa?”

“Aku tahu kamu copas quote itu dari BBM. Itu udah familiar!…Gak kreatif kamu!” Ucapku. Enzo gelagapan.

“Tapi intinya, bener kan apa yang aku bilang tadi?” Dia melindungi dirinya sendiri dari rasa malu, So Enzo! Aku tersenyum dan memeluknya pertanda aku sudah baikan.

“Awww….that’s hurt.” Ucap Enzo manja. Aku kembali memeriksa rahangnya dan yang nampak adalah seringai jahil Enzo saja.

Melihat Jules disakiti laki-laki brengsek itu, membuatku lebih tidak ingin jauh darinya. Melihatnya ketakutan seperti tadi, membuatku semakin ingin melindunginya. Aku selalu ingin berada di sampingnya, menemaninya bahkan di saat-saat tersulit di dalam hidupnya.

Merangkulnya disaat dia ketakutan, memberikan bahuku disaat dia butuh bersandar serta mengusap air matanya dengan tanganku. Aku ingin selalu bisa melakukan semuanya itu, tanpa terhalang ruang dan waktu.

Kenapa aku tidak memberikan bahuku disaat dia pertama kali menangis tadi? Aku ingin tahu apakah dia masih mencintai mantan tunangannya itu atau tidak. Aku menunggu sampai dia selesai menangis dan berbagi cerita tentang perasaannya terhadap Ryan. Tapi…ketakutanku itu ternyata tidak beralasan, aku tahu kalau sekarang dia memang sudah tidak mencintai laki-laki itu lagi.

Disaat dia membalas pelukanku…yang aku inginkan adalah dia tidak pernah melepaskannya dalam waktu yang lama. Aku ingin dia membalas setiap kali aku memeluknya. Aku ingin dia setiap saat tertawa manja di pelukanku. Jika saja dia menyadari semuanya….

Siang ini, seperti hari-hari kerja biasanya, aku dan Enzo masih kutat-kutet dengan pekerjaan kami. Setelah terbit edisi bulan ini, kami akan menerbitkan edisi khusus ulang tahun majalah ini. Semuanya tampak lebih sibuk dengan semua perayaan nanti. Semua kru inti dalam majalah ini akan memberikan opininya dan juga artikel mereka secara personal, termasuk Enzo dan keluarganya.

“Jules…aku harus pergi sebentar, kamu tolong selesaikan semua pertanyaan untukku di edisi mendatang.” Enzo beranjak dari kursinya dan memakai blazer yang dia simpan di sandaran kursinya.

Personal question yang harusnya kamu jawab sendirikan? Kalau aku yang jawab mungkin gak akan sejalan sama pemikiran kamu.” Enzo menghela nafas panjang, dia menghampiri mejaku.

“Kamu harus belajar tentang jalan pikiranku. I trust you! Apapun yang kamu tulis, aku setuju.” Jawabnya sambil mengacak-acak rambutku. Enzo dalam sekejap sudah hilang dari pandanganku.

Aku duduk di meja Enzo dan melihat questioner yang harus dijawabnya. Dia mengosongkan 3 kolom saja dan semuanya tentang personal opinion. Aku membacanya dan mencoba mengisinya seolah aku mendalami pemikiran Enzo.

“Apa arti kecantikan bagi kamu?” Mmmmhhhh…kira kira Enzo akan jawab apa ya?

“Kecantikan tidak melulu artivisual. It’s depend on your attitude. Jika kamu arogan, tidak bisa menghargai orang lain, maka kencantikan yang kamu punya akan ikut tenggelam di dalamnya. Sebaliknya, jika kamu humble, bisa menghargai orang lain, dengan sendirinya kecantikan itu akan muncul di dalam diri kamu.” Kira-kira Enzo sependapat gak ya?

“Apa salah satu kriteria anda dalam mencari model yang kompeten?” Pertanyaannya susah-susah gampang, tapi jawabannya harus yang berbobot untuk menunjukkan bahwa Enzo adalah seorang editor in chief yang handal. Mmmhhh…let me think…

We are not looking for any duplication, we are looking for originality.” Kira-kira itu bisa mewakili jawaban Enzo gak ya?

“Apa yang anda cari dari seorang perempuan?” Damn it, Enzo! Ini kan harusnya benar-benar dijawab sama kamu. Tipe Enzo seperti apa ya kira-kira?….tok…tok…tok…

“Jules…” Kenzu memasuki ruanganku. Dia sepertinya tahu kalau aku sedang kebingungan.

“Enzo mana? Kamu lagi ngerjain apa? Maybe I can help you.” Aku melirik Kenzu, baru sekarang dia menawarkan bantuan kepadaku.

“Aku disuruh ngisi personal opinion Enzo untuk birthday issue. Ada beberapa lagi yang belum diisi.” Kenzu mengerutkan dahinya seperti kebingungan, kemudian dia tersenyum.

“Enzo?…hahaha…dulu dia tidak akan menerima saran siapapun jika mengenai personal opinion, apalagi membiarkan orang lain mengisi untuknya. Oke, what’s the questions?” Aku sendiri tidak mengerti, kenapa sepertinya sekarang dia sangat tergantung denganku.

“Apa yang anda cari dari seorang perempuan?”

That’s easy, Jules! Tulis saja semua yang ada di diri kamu. That’s the answer!” Jawab Kenzu lantang. Me? Why me? Kakak beradik ini sama ngaconya!

“Oke, aku bantu kamu. Bisa membuat kamu nyaman dan melupakan semuanya. Bisa memotivasi diri kamu menjadi orang yang lebih baik.” Jawab Kenzu lagi.

“Ooohhh…I see, thank you.” Jawabku. Tapi sepertinya Kenzu punya urusan lain datang ke ruanganku.

“Jules, sebenernya aku cari Enzo, handphone dia mati. Aku mau minta tolong.”

“Oh, dia bilang ada perlu sebentar. Mungkin benar-benar penting, jadi dia harus matiin hp-nya.” Kenzu terlihat ragu-ragu.

“Pekerjaan kamu sudah selesai?” Aku mengangguk setelah selesai mengisi pertanyaan terakhir.

“Karena Enzo gak di sini, aku minta bantuan kamu buat anterin Adeline ketemu ibunya. Sebulan sekali jatah dia ketemu ibunya.” Again!…Why me?

“Ehhhmmmm…sorry, emang gak ada nanny-nya atau siapapun?”

“Biasanya Papa atau Enzo jika terpaksa, yang mengantar Adeline bertemu Ibunya. Aku gak tega kalau harus supir yang antar, dan jangan kamu minta aku sendiri yang mengantar bertemu perempuan itu.” Aku menghela nafas panjang.

“Kalau Enzo balik kesini terus aku gak ada gimana?”

I’ll talk to him…” Jawab Kenzu. Akhirnya aku menyetujuinya dan pergi mengantar Adeline bersama Kenzu.

Di dalam mobil, aku merasa sedikit kaku karena baru pertama kali sedekat ini dengan Kenzu. Tapi Kenzu sepertinya sudah bisa membaca ketidaknyamananku ini. Aku berusaha terbiasa seperti saat aku bersama Enzo.

“Mmmhhhh…Mama kamu gak pernah ke kantor ya?” Tanyaku.

“Mama lebih suka di Australia mengurus sekolah modelnya di sana. Makanya sering sekali Papa dan Adeline bolak balik Australia. Enzo gak pernah cerita?” Aku menggeleng.

“Enzo itu…Dia dulu selalu bercerita apapun sama aku, Papa, Mama. Tapi…sekarang dia jauh lebih tertutup.” Aku mengangguk. Aku tidak ingin tahu apa alasan dia menjadi seperti itu. Sudah cukup jauh aku masuk ke dalam keluarga ini.

“Kemarin muka Enzo memar, kamu tahu dia berkelahi dengan siapa di depan gedung kantor?” Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Kenzu itu. Aku memalingkan wajahku keluar jendela.

Ooo…I see…the other man, right?” Ucapnya. Aku memilih diam tidak menghiraukan ucapan Kenzu.

“Menurutku kalian berdua cocok…you look good with him.” What the? Aku hanya tersenyum.

Sesampainya di apartement building, aku dan Adeline turun menuju poolside area, karena June menunggu di sana. Sementara Kenzu tetap di dalam mobil bersama supirnya.

“Hallo cantik!” June menyambut Adeline dengan antusias. Begitu juga sebaliknya. Adeline memeluk Ibunya seperti dia memelukku. Aku melepaskan genggaman tangan Adeline dan segera pamit.

Thank you, Jules.” Aku tersenyum.

I mean it. Thank you, karena kamu sudah bersedia meluangkan waktu untuk mengantar anakku jalan, bahkan sleepover di rumah kamu.” Aku terhenyak karena June mengetahui semuanya.

“Ehhhmmm…Iya, sorry aku gak bilang. Enzo…dia gak pernah bilang kalau mau melakukan sesuatu.” Sanggahku berusaha menjelaskan tentang kegiatan anaknya bersamaku.

“Enzo…hahaha…Aku bisa lihat kemana arah semuanya ini.” Aku tidak terlalu menghiraukan perkataan June. Terlalu dalam terjun ke dalam masalah keluarga ini, makin aku tahu kalau mereka semua aneh.

“Huffttt!…Aku menghempaskan tubuhku di jok belakang di samping Kenzu.”

Thank you, Jules.” Ucap Kenzu.

You’re welcome!” Jawabku lagi. Aku baru teringat Enzo, apa dia sudah sampai di kantor?

“Aku sudah text Enzo lagi, tapi dia belum baca. Sebagai ucapan terima kasih, aku mau ajak kamu makan sekarang.”

It’ll be nice, but I have to go back to work!” Jawabku.

Come on, Jules…kita makan di arah yang terlewati kantor saja. Paling lama 30 menit, setelah itu kita terusin perjalanan ke kantor. Enzo juga gak bakalan marah.” Aku ragu-ragu, tapi aku merasa kalau Kenzu adalah laki-laki yang baik dan apa salahnya sekali-kali menemani dia ngobrol.

Akhirnya pilihan jatuh ke Starbuck yang berjarak 15 menit dari kantor kami. Kenzu yang menurutku sebelumnya adalah pemurung, ternyata berbeda sekali. Dia menyenangkan, humoris dan benar-benar pendengar yang baik.

“Ngapain Enzo kasih pertanyaan interview seperti itu ya?” Aku bercerita tentang pertanyaan aneh yang diajukan Enzo sewaktu interiew. Kita ngobrol ngaler ngidul dan tertawa melepas penat.

“Jules!..” Aku mendengar Enzo memanggilku. Dan memang dia berada di sana, seperti biasa, entah darimana datangnya dia suda muncul di hadapanku. Kali ini dia terlihat muram, maybe he has a bad day.

“Hai! Kamu di sini?” Tanyaku. Dia sama sekali tidak duduk, dia berdiri di depanku dan Kenzu.

“Harusnya aku yang nanya, kamu ngapain di sini? Ini masih jam kerja.”

Sorry, Bro! Tadi aku minta dia anter Adeline ke apartemen Ibunya. Handphone kamu kenapa? Kita dari tadi kirim kamu text.” Jawab Kenzu.

What are you trying to do? Tanya Enzo kepada Kenzu. Sepertinya Enzo tidak suka aku pergi disaat jam kerja.

“Enzo, kerjaan aku sudah beres. Aku bantu kakak kamu sebentar, terus aku mau balik lagi ke kantor.” Timpalku.

And here you are…” Sanggah Enzo.

“Ini bukan salah Jules, dia mau langsung balik ke kantor. Aku paksa dia nemenin aku makan sebagai ucapan terima kasih.” Enzo bergeming.

“Kamu enggak puas sama apa yang sudah kamu lakukan dulu? You never learn your lesson!” Jawab Enzo. Dia menarik tanganku dan mengajakku pergi meninggalkan Kenzu.

“Hey! Kamu tidak berhak memperlakukan Jules seperti itu, Enzo! Kamu gak lihat, dia kesakitan karena kamu tarik tangannya dalam keadaan marah seperti itu.” Enzo berhenti dan menghampiri Kenzu. Aku tidak mau sampai sesuatu yang buruk terjadi di sini. Aku mencoba membawa Enzo pergi dari sini, tapi dia tidak peduli.

Or what? Go ahead, make a move! We’ll see how it ends!” Enzo menantang Kenzu, dan Kenzu sendiri terlihat emosi dan mencoba berdiri dari kursi rodanya.

Watch your mouth!” Ucap Kenzu. Aku dengan paksa menarik Enzo dan menjauhkannya dari Kenzu. Aku berjalan setengah lari menghampiri Pa Ade di lobby. Aku bergegas masuk ke dalam mobil dan memalingkan mukaku ke luar jendela.

“Harusnya aku yang marah sama kamu!” Ucap Enzo.

Go ahead! Kamu bener-bener atasan yang posesif! Bahkan sama Kakak kamu sendiri!”

Karena sudah mulai macet, sementara jam sudah menunjukkan pukul 5 sore dan kami masih belum sampai kantor, akhirnya aku minta untuk langsung diantar pulang. Tidak ada yang berani membuka lagi pembicaraan diantara kami berdua.

Akhirnya Pa Ade berhenti di depan gerbang rumahku. Enzo mulai berani menatapku lagi. Dia membukakan pintu mobil untukku, aku rasa dia sudah mulai menyadari kesalahannya. Aku memutuskan untuk mengutarakan ganjalan yang ada di dalam kepalaku atas kejadian tadi.

“Kamu gak berhak membuat harga diri Kakak kamu jatuh di depan umum. Apa yang kamu lakukan sama Kakak kamu tadi, benar-benar tidak pantas. You better than that, you’re not a looser!” Ucapku sambil berlalu. Aku menutup gerbang dan melihat Enzo yang masih belum pergi menungguku masuk ke dalam rumah.

Enzo benar-benar sudah membuat Kakaknya sendiri malu di depan public. Terkadang aku sendiri bingung dengan sifat posesifnya. Kenapa keluarga mereka tidak bisa bersikap normal seperti keluarga lainnya. Too much drama!

Malam ini aku di rumah sendirian, karena Papa dan Mama menginap di rumah Vivi. Mereka merindukan cucu semata wayangnya. Aku mencoba memejamkan mataku lebih awal dari biasanya supaya bisa bangun lebih pagi tanpa dibangunkan Papa. Walaupun alarm handphone-ku selalu diset pukul 5 subuh, tetap saja aku matikan menunggu panggilan alam sesungguhnya, apalagi jika bukan panggilan Papa. Jika belum mempan, baru Mama turun tangan.

Drrtttt….drrrttt….drrrttttt…Handphone-ku bergetar pas di sebelah kepalaku. Oh, Gosh…jangan-jangan aku kesiangan. Aku meraba-raba menyentuh tombol answer. Dengan suara parau aku menjawab panggilan masuk.

“Iya…..”

“Jules….I’m sorry…”

What the?…You’ve got to be kidding me…Enzo! Stop bugging me! I’m just trying to sleep!” Aku melihat jam di dinding kamarku, ternyata masih jam 3 dini hari.

“Jangan bilang kalau kamu mabuk, terus kamu ada di depan gerbang aku?”

“Aku memang ada di depan rumah kamu, tapi aku 100% sadar, I swear!

“Kalau kamu sadar, kamu gak mungkin ngetuk rumah orang jam 3 subuh!”

“Jules…come on, let me in! Aku baca questioner yang kamu isi. I’m impressed.

Thank you, kita bisa bahas itu nanti di kantor.”

“Jules, kamu mau nyuruh aku tidur di kantor lagi?” Ratap Enzo. Nada bicaranya mulai terlihat hopeless.

“Kenapa harus di kantor? Kamu punya apartemen juga rumah.”

I’ll stay, untill you let me in.”

Leave!…” Aku mematikan handphone-ku dan juga lampu kamarku. Aku ingin memberi Enzo pelajaran atas kelakuannya sore tadi. Aku menghela nafas panjang dan menarik selimutku. Aku kembali menutup mataku berharap bisa tidur lagi.

Setelah selesai sholat subuh, aku bersiap-siap untuk jogging seperti biasanya. Aku membuka seluruh gorden di rumahku dan mematikan lampu. Aku membuka jendela sehingga udara segar bisa masuk ke seluruh penjuru di rumahku. Di teras rumah, bisa terlihat jelas melalui gerbang kalau mobil Enzo parkir di depan gerbang rumah seperti biasa.

Ooohhhh…Enzo, kenapa selalu kamu yang bikin huru-hara dari mulai aku membuka mata sampai aku menutup mataku. Aku membuka gembok dan menarik gerbang rumah. Aku memandanginya yang sedang terlelap di belakang kemudi. Aku bisa saja tidak menghiraukannya dan melanjutkan jadwalku seperti biasa, tapi…tok…tok…tok..aku mengetuk jendela mobilnya. Dia terperanjat, dia menggosok-gosok matanya untuk mengumpulkan kesadarannya. Kemudian muncullah senyuman hangat Enzo seperti biasa.

Good morning Sunshine!” Dia keluar dari mobilnya dan merangkulku masuk ke dalam rumah. So Enzo!…

“Kamu udah jogging?” Aku menggeleng.

“Kenapa gak jogging dulu baru bangunin aku? Kamu takut diomelin Papa kamu karena gak sopan sama tamu ya?” Aku tersenyum sinis. Aku menuju dapur dan membuatkan kopi untuknya serta menyiapkan roti dan selainya untuk sarapan. Wangi kopi mulai merebak di sekitarku.

“Mama sama Papa mana?” Aku menatapnya dengan kesal.

“Mereka lagi nginep di rumah Ade aku.” Jawabku ketus.

“Kamu dari malem sendiri?” Aku mengangkat bahuku.

So why don’t you let me in?” Tanya Enzo kesal.

“Sampai sekarang aku masih marah sama kejadian kemarin, jadi kamu gak usah baik-baik dulu sama aku.” Jawabku gak kalah kesalnya. Enzo mulai menyeruput kopinya.

Did you have a good dream?” tanya Enzo berusaha melunakkanku.

I did…Did you?” Tanyaku basa-basi.

Of course, I dreamt about you.” Aku menggeleng, tidak percaya dengan usahanya untuk membuatku memaafkannya. Aku mengoleskan roti dengan mentega dan menaburi keju juga susu kental manis. Aku taruh di piringnya. Aku meninggalkannya menuju halaman rumah. Aku memberi makan kelinci-kelinci Lilian. Enzo membawa sarapannya ke teras dan memperhatikanku seperti biasa.

“Jules…apa yang kamu pikirkan saat mengisi questioner itu?” Aku menoleh ke arahnya, aku kembali memberi makan kelinci-kelinci itu.

“Aku coba menelusuri jalan pikiran kamu.”

“Termasuk pandangan aku tentang perempuan?”

“Oooohh…kalau itu Kenzu yang bantu aku ngisi.”

“Kenzu?…Aku kan suruh kamu yang isi!” Enzo berjalan menghampiriku, dia ikut memberi makan kelinci-kelinci putih yang sudah mulai merajuk ingin keluar dari kandangnya. Enzo membuka kandangnya dan membiarkan mereka berlari-lari di halaman rumah.

“Aku bingung…Kenzu bilang, tulis saja semua yang ada di diri kamu. That’s the answer! Aku masih bingung…Jadi dia mendeskripsikannya buat aku.”

“Ke depannya aku gak mau kamu pergi sama Kenzu lagi ataupun terlalu banyak ngobrol sama dia.” Aku berusaha menahan tawaku. Enzo melihat reksiku.

“Aku serius! Aku punya sejarah buruk sama dia!” Aku mengangguk mencoba mengakhiri pembahasan tentang Kenzu.

Enzo yang semula berdiri di sampingku, sekarang berbaring di atas rumput halaman yang basah karena embun pagi. Aku menatapnya, kenapa Enzo selalu betah berada di sini? Sementara di rumahnya sendiri dia tidak betah. Aku duduk di sebelahnya dan membelai lembut salah satu kelinci yang menghampiriku.

“Kenzu kemaren nanya kamu berantem sama siapa?”

And?…”

I ignore him…”

“Jules…Promise me you won’t hang out with him anymore!” Aku menghela nafas. Aku berbaring di sebelah Enzo sambil memangku kelinci putih tadi. Aku mengangkat kelinci putih seolah aku sedang berbicara dengannya.

“Susah banget punya bos yang posesif kayak gini. Menurut kamu aku harus terusin apa tinggalin kerjaanku ini ya?” Tanyaku kepada kelinci. Enzo bergeming dan mengangkat tubuhnya sehingga berada di atasku.

What are you talking about?” Aku kaget dengan reaksinya dan melepaskan kelinci di pelukanku.

“Kejadian kayak kemaren itu bisa terulang lagi kalau kamu gak bisa merubah sikap posesif kamu!” Aku berusaha bangkit, tapi tubuhnya malah mendorongku membuatku terhimpit.

“Memangnya kamu berencana keluar lagi sama Kenzu. Atau jangan-jangan kamu mau berubah haluan jadi asisten dia?” Akhirnya aku bisa mendorong tubuh Enzo dan duduk di atas rumput. Aku membelalakan mataku sebagai protes.

“Jules! Answer me!

“Gimana bisa aku yang tadinya asisten kamu tiba-tiba jadi asisten Kakak kamu? Kalaupun aku resign jadi asisten kamu, aku bakalan cari kerjaan lain di luar kantor kamu.” Jawabku. Enzo meraih tubuhku dan memelukku dengan posisi duduk.

I keep your promise!Weird! Kenapa dia jadi emosional gini? Setelah beberapa lama akhirnya Enzo melepaskan pelukannya.

He said that we look good together…” Ucapku. Sekarang Enzo menatapku lekat.

“Jules…Hari ini kamu temenin aku beli baju kerja ya?” Nanti malam kan aku mau dinner bareng Ronald. Mudah-mudahan Enzo lupa, jadi dia tidak akan melakukan sesuatu yang bisa membatalkan dating-ku nanti. Ada baiknya aku menemani dia sekarang, sehingga sore aku bisa beristirahat di rumah dan dia pulang.

“Kemana? Tanyaku lagi. Enzo tersenyum, sepertinya dia tidak menyangka kalau aku mau menerima ajakannya.

Sejam kemudian, aku sudah sampai di apartemen Enzo. Dia bilang ingin membersihkan dulu badannya baru kita jalan. Aku menunggu di ruang tamu sambil menyalakan TV. Apartemen Enzo mempunyai 2 kamar tidur. Aku melihat-lihat album foto di bawah mejanya. Ternyata dia sangat dekat dengan Mamanya. Ada foto Adeline saat masih bayi. Dia digendong oleh June dan Kenzu…aku rasa. Tampak keakraban diantara keluarga ini di dalam foto. Tapi aku tidak melihat Enzo dalam foto-foto liburan ini. Hanya ada Kenzu.

Enzo keluar kamarnya hanya dengan mengenakan handuk yang menutupi area pinggang ke bawah. Dia memasuki kamar satunya lagi. Aku buru-buru memalingkan wajahku ke arah album foto itu lagi. Shit! That’s awesome! Teriakku dalam hati. Aku tidak pernah sekalipun melihat dia setengah telanjang seperti itu. Jangan sampai mukaku memerah melihat kejutan tadi.

Enzo keluar dari kamar itu dan masuk lagi ke kamar utama, masih dengan handuk seperti tadi. Aku memalingkan lagi wajahku ke arah album foto. Saat ini dia menghentikan langkahnya di depan kamarnya.

What? Kamu kenapa jadi kikuk gitu?” Tanyanya asal. Aku tidak percaya kalau dia akan membahas ini.

“GR kamu!” Jawabku gak kalah asalnya.

Aku sengaja mengulur-ulur waktu untuk membuat Jules terperangkap denganku sampai malam nanti. Masih jelas di ingatanku ketika Ronald memberitahuku bahwa sabtu malam ini dia akan mengajak Jules dating lagi. Aku sengaja memamerkan six pack-ku di depan Jules karena aku ingin tahu apa reaksi dia. Sepertinya aku berhasil, wajah dia memerah setelah dua kali hilir mudik di depannya dengan setengah telanjang. Awalnya dia seperti terkesima, kemudian dia jadi kikuk…hahahaa…At least, I know I have something that can make her choose me.

Sejam menahan dia di apartemen-ku sepertinya sudah cukup. Jules sudah mulai kesal karena aku terlalu lama bersiap-siap.

Let’s go!” Ajakku sambil meraih tangannya untuk bangkit dari sofa. Matanya menatapku tajam menunjukkan kekesalannya. Saat aku sudah menopang badannya, aku sengaja melemaskan tanganku sehingga dia ambruk kembali di sofa dan aku ikut ambruk di atas tubuhnya.

Really, Enzo? Udah sejam aku nungguin kamu dandan kayak banci yang mau mangkal, sekarang kamu masih mau main-main? Kamu mau aku batalin jalan atau kamu emang sengaja lagi mau lihat aku marah?” Aku berusaha menahan tawaku. Aku tahu kalau sekarang dia sangat kesal kepadaku. Aku bangkit dari atas sofa dan memberikan tanganku kembali, tapi kali ini Jules menangkisnya.

Dia jalan mendahuluiku. Di depan lift dia sudah menungguku dengan bibir yang sudah menyerupai bekicot. Aku tersenyum senang, karena jujur saja, melihat dia meluapkan bermacam-macam emosi membuatku seakan mengenal dia dan dekat dengannya.

Ting….Pintu lift terbuka dan…..June? What the? Jules sama kagetnya denganku. Dia berhenti di depanku dan melirik Jules seolah ingin tahu apa yang sedang dia lakukan di apartemenku pada waktu libur.

“Hai Jules!” Sapa June. Aku meraih tangan Jules dan menggenggamnya.

“Ha…Hai June!” Jules gelagapan menjawab sapaan June. Aku tahu Jules pasti akan tambah kesal denganku.

“Kamu…mmmhhh…Kalian?…” Tanya June. Sebelum Jules menggumam gak karuan, aku menyabotase dan menjawab pertanyaan June.

What? Kamu baru liat laki-laki sama perempuan pegangan tangan keluar dari apartemennya?” Seketika muka June memerah, dia buru-buru menyanggahnya.

Of course not, I mean…oohh…forget it, I’m sorry it’s not appropiate.” Jawabnya sambil mengibaskan tangan dan berlalu meninggalkan kami.

Kami segera masuk ke dalam lift dan sudah bisa ditebak seperti apa reaksi Jules di dalam. Dia tidak menyukai aksiku tadi.

What was that? Kamu membuat June berpikiran kalau aku ini wanita gampangan. Kamu harus telepon June dan bilang kalau kita gak ada apa-apa.” Deg…pernyataan Jules tadi membuatku terhenyak. Dia sama sekali menganggap semua pendekatan yang aku lakukan kepadanya bukan apa-apa.

Aku menatapnya lekat, aku merasa kalau Jules benar-benar tidak mempunyai perasaan apa-apa kepadaku. Tapi, kenapa dia tidak menarik tangannya dari genggamanku. Dia tidak pernah keberatan sama sekali jika aku menggenggam tangannya, mencium keningnya, memeluknya…what’s going on?

Di dalam mobil, Jules masih setia membentuk bibirnya seperti keong. Dia tidak menegurku dan akupun demikian. Hanya suara Coldplay yang sedang menyanyikan Magic menjadi rhythm kami saat itu.

Aku berpikir keras untuk membuat Jules mengakhiri kemarahannya. Akhirnya aku menemui jalan keluarnya. Aku memutar arah dan melaju ke arah rumah Vivi. Aku tahu kalau saat ini Lilian bisa meluluhkan kemarahan Jules. Aku tahu rumah Vivi karena Vivi pernah bercerita sewaktu di rumah sakit saat menjenguk Papanya.

Great!…Sekarang kamu mau bawa aku kemana?” Tanya Jules kesal.

Just watch and see!…” Jawabku.

Setelah kurang lebih 20 menit, akhirnya aku menghentikan mobilku di sebuah rumah tanpa pagar di komplek perumahan. Terlihat bahwa Vivi sama dengan orang tuanya hobi berkebun. Rumput-rumput terhampar rapi seperti karpet di halaman rumahnya. Sepeda dan mobil-mobilan mini berserakan. Sepertinya itu adalah gandengannya Lilian. Pintu rumahnya terbuka dan terdengar suara ramai di dalamnya. Seperti ciri khas rumahnya Jules, hangat dengan tawa.

Jules menatapku dengan sebuah tanda tanya. Dia pasti tidak menyangka kalau aku akan membawanya kesini. Aku tersenyum mempersilakannya keluar terlebih dahulu. Dia masih belum juga menampakkan senyumannya.

Bruk! sebuah truk mainan yang sedang dikendarai Lilian menabrak pintu mobilku. Anak itu mengenakan kaca mata hitam dengan bando besar yang dipasang asal. Sepertinya dia baru saja dress up dan make over sendiri.

“Enzoooo….” Teriaknya menyapaku. Aku tertawa mendengar suara Lilian yang sudah bisa dengan jelas memanggil namaku sekarang. Jules membungkuk dan memangku Lilian. Dia menghujani Lilian dengan kecupan di seluruh wajahnya. Akhirnya aku bisa melihat Jules tersenyum kembali.

Hai girl!” Sapaku akupun mengecup pipi Lilian. Vivi melambaikan tangannya di pintu dan menyuruh kami masuk.

“Hai, Enzo!” Sapa Tora. Seperti biasa, tempat menjamu keluarga ini adalah dapur. Di sana Mamanya Jules sudah menyiapkan berbagai macam hidangan untuk makan siang. Yap! Komplit, sampai tidak ada tempat kosong di atas meja makan. Enaknya punya mertua pengusaha bakery hehehe…

“Kenapa Adeline gak diajak?” Tanya Vivi. Jules menghempaskan tubuhnya di satu-satunya sofa yang ada di dapur. Aku melihatnya seperti ketakutan akan kehilangan momen dating dengan Ronald. Dia berkali-kali melihat arlojinya.

“Kamu tahu kan Enzo? Aku sendiri gak tahu mau kesini.” Jawab Jules sinis. Aku duduk di meja makan sambil mulai menikmati sajian makan siang ala Ibu Nadine, begitu kira-kira kalau Jules bilang.

“Nanti sore kita mau ke Ciater-Subang berenang, mungkin dini hari kita baru pulang. Kalian ikut saja.” Ajak Tora. Wuiihhhh….ini dia yang aku tunggu-tunggu, aku gak usah pusing-pusing cari cara buat menggagalkan acara dating nanti malam.

“Boleh-boleh, memang aku sama Jules lagi gak ada acara hari ini. Iya kan, Jules?” Jules melirik sinis kepadaku.

“Bagus itu, the more the better.” Jawab Vivi.

“Aku gak bisa, aku ada acara.” Shit! Dia masih ingat rupanya.

“Acara apa yang lebih penting dari acara keluarga dan kantor kamu, Jules?” Tanya Papanya Jules.

“Nge-date, Pa.” Huuufffttt…Skak Mat! Seketika pandangan keluarga Jules terarah kepadaku. Papanya melotot ke arah Jules. Aku rasa mereka semua tahu bahwa perkataan Jules tadi sebuah pukulan telak untukku.

He’s a gay!” Teriakku mencoba mencairkan kekakuan ini. Semuanya tertawa kecuali Jules. Dia mengangkat jari tengahnya kepadaku.

“Aku rasa Enzo ada benarnya, Jules. Instruktur yoga punya kecenderungan penyuka sesama jenis.” Timpal Tora. Sepertinya keluarga Jules memang berpihak kepadaku.

He’s a hundred percent straight!” Tegas Jules.

“Panna Cotta-nya enak…bener-bener enak.” Mamanya Jules bisa bikin aku gemuk kalau tiap hari aku disuguhi makanan seperti ini.

“Mama kan pernah titip sama Jules Panna Cotta seperti ini buat kamu.” Aku sepertinya tersesat, aku mengangkat alisku. Mama Jules bertolak pinggang dan membelalakan matanya ke arah Jules.

“Ohhh….ehhhmmm…itu, eehhhmmmm…kalau Enzo lagi gak ada di kantor, aku suka kasihin jatah dia sama temen kantor lainnya.” Jawab Jules. Diapun kabur dan tidak menampakkan dirinya lagi di dapur.

Di ruangan keluarga, saat suasana terasa begitu akrab, aku melihat Jules sedang mencoba memainkan gitar. Aku rasa dia tidak bisa bermain gitar, karenanya dia asal memetik sembarang senar. Aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya.

Aku merebut gitar dari tangan Jules. Aku mulai memainkan beberapa nada untuk sekedar check sound. Jules memperhatikanku, sepertinya dia penasaran dengan kelihaianku dalam bermain alat musik.

“Memarnya sudah mulai samar.” Ucap Jules sambil membolak-balik wajahku. Aku mulai memainkan intro sambil terus menatap lekat Jules.

Girl your heart, girl your face is so different from the others

I say, you’re the only one that I’ll adore

‘cause everytime your by my side

My blood rushes through my veins

And my geeky face, blushed so silly yeah, oh yeah

And I want to make you mine

Oh baby, I’ll take you to the sky

Forever you and I, you and I, you and I

And we’ll be together ‘till we die

Our love will last forever and forever you’ll be mine, you’ll be mine

Lagu Mine milik Petra Sihombing aku bawakan seapik mungkin. Semua orang di rumah ini menganga begitu aku perhatikan. Jules sama sekali tidak berkedip. Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk mencuri ciuman dari Jules. Aku mendekat dan mencium pipinya. Dia terperanjat dan menyatakan kekagumannya dengan bakatku yang satu ini. Akhirnya semua orang bertepuk tangan sekaligus berdecak kagum. Well…show off sekali-kali untuk merebut the love of your life kan gak apa-apa.

Now you’re not only twelve but thirteen!” Teriak Vivi. Aku menyipitkan mataku karena tidak mengerti dengan kata-kata Vivi tadi. Jules membelalakan matanya ke arah Vivi dan membuat Vivi sedikit mengerem omongannya. Itu justru membuatku semakin penasaran.

What thirteen?” Tanyaku dengan lantang kepada Vivi. Dia menggeleng dan seolah-olah memplester mulutnya sekarang. Jules berlalu ke belakang.

“Pertama bertemu kamu, Jules bilang kalau from 1 to 10, you’re definitely twelve!” Ucap Vivi pelan sambil tergesa-gesa karena tidak mau sampai ketahuan Kakaknya. Aku yakin kalau sekarang senyuman kemenangan kembali terlihat di wajahku.

Aku mencari-cari Jules yang ternyata sekarang tengah asyik di depan televisi menemani Lilian yang mulai terlihat ngantuk. Saat ini dia berbaring di karpet tebal yang berbentuk beruang kutub. Lilian di sebelahnya sedang minum susu di botol. Aku menghampiri Jules dan ikut berbaring di sebelah Lilian yang sekarang berada di tengah-tengah kami.

So I’m twelve, right?” Ledekku. Jules pura-pura tidak menanggapi ucapanku ini. Akhirnya setelah aku ganggu sebentar dia bergeming.

“Iya…kalau kamu lagi tidur dan diam, you’re definitely twelve!” Aku terkekeh melihat dia mencoba menutupi gengsinya karena sudah ketahuan memujiku.

Mungkin acara dating itu memang harus terjadi. Tapi aku juga tidak mau begitu saja mengantarkan Jules untuk bertemu dengan Ronald. Aku berhasil menahan Jules sampai 30 menit sebelum waktu kencan dia. Alhasil dia tidak sempat berganti pakaian dengan pakaian sexy elegan seperti yang dia kenakan di kencan pertama dia dengan Ronald. Dia hanya mengenakan dress motif flora dengan jacket jeans. Simply casual, yang menurutku hanya cocok dipakai di waktu pagi hingga sorelah hahaha….

“Hai! Sorry aku telat….mmmmhhhh…15 menit?” Ucapku ragu. Ronald beranjak dari kursinya dan mempersilakanku duduk. Kali ini kita dinner di hardrock cafe. Dia tahu bahwa aku menyukai Trio Lesari dan memang sengaja dia reservasi tempat seminggu sebelumnya karena hari ini Trio lestari Perform di sini.

It’s oke! Kamu mau langsung pesan?” Aku tidak mau berlama-lama lagi memesan dinner, karena aku rasa Ronald juga sudah kelaparan.

Menikmati hidangan dengan suguhan suara apik Sandhy Sondoro, Tompi dan Glen Fredly benar-benar membuatku terbuai. Ronald yang mempunyai selera musik yang sama denganku juga ikut menikmati malam ini.

Aku sempat beberapa kali memergoki Ronald sedang memandangku, tapi ketika aku membalas tatapannya dia seperti kehilangan kata-kata dan menunduk malu. Jika dengan Enzo…Kami terbiasa bertatapan lama, tidak merasa canggung ataupun aneh…just enjoy the moment….Wait…why do I think about him?…..

Membayangkan Enzo sedang bernyanyi tadi benar-benar membuatku meleleh. Dia bisa dengan mudah mendapatkan perempuan dengan bakat dan tampangnya itu. Tapi, selama ini dia sama sekali tidak pernah menunjukkan tanda-tanda sedang mendekati perempuan. Apa ternyata dia gay? Hhiiiiiii……

Drrrttttt…ddrrtttttt….Handphone-ku bergetar….. That’s Enzo! Tadinya aku akan matikan handphone-ku, tapi aku aku takut dia nekat datang dan mengganggu acaraku.

Hallo Sunshine! How’s your date?” Aku melihat Ronald yang sedang tersenyum menatapku. Aku berusaha mengendalikan emosiku saat ini. Aku tidak ingin Enzo sampai merusak kembali kencanku.

Wonderful...”

“Ouuucchhhh….”

What?

He’s a gay and you should remember that!

Oke, bye!” Aku menutup telepon dari Enzo walaupun dia sama sekali belum memperlihatkan tanda-tanda mengakhiri pembicaraanya denganku.

Jam 10 malam aku sudah sampai di depan gerbang rumahku. Karena sudah larut, aku tidak meminta Ronald untuk mampir ke dalam rumah. Sebelum turun dari mobil aku sempatkan untuk basa-basi sebentar.

Thank you for tonight.” Ucapku.

Thanks to you, I have a wonderful night….Mmmhhhh…” Ronald tidak meneruskan kata-katanya. Sepertinya dia ragu-ragu. Akhirnya aku mendekatinya dan mencium pipinya. Aku rasa terlalu cepat untuk mencium bibirnya. Dia tersenyum hangat sambil menatapku.

Akhirnya malam ini berjalan sesuai dengan harapanku. Enzo tidak berhasil menggangguku. Dia benar-benar teman yang mengerikan jika menyangkut pacar. Andai saja dia bisa diajak berbagi tentang malam ini, aku akan menceritakan semua kepadanya. Mmmhhhh…kenapa dia belum meneleponku juga ya?

Semenjak pertengkaran Enzo dan Kakaknya, aku belum pernah bertemu Kenzu lagi. Aku sempat mendengar kabar kalau dia sedang melakukan bermacam test untuk kesembuhannya. Hari ini, aku makan siang di pantry karena janji dengan Cathy akan membantu beberapa tugas yang membuatnya kesulitan. Sementara Enzo makan siang di resto sebelah kantor dengan kawan-kawan lamanya.

“Gimana kabarnya kamu sama Enzo?” Tanya Cathy mencoba menggodaku.

“Mmmhhhh…good. Dia bener-bener atasan yang posesif. Kemaren dia nyaris bentrok sama Kenzu gara-gara aku pergi bareng Kenzu.” Terangku.

“Atasan yang posesif? Are you sure about that?” Tanya Cathy lagi. Aku mengangguk. Cathy mencubit pipiku dengan gemas.

What? Tanyaku. Sebelum Cathy menjawab, Kenzu menghampiri mejaku.

“Hello!” Sapa Kenzu.

“Hi! Jawabku. Cathy sepertinya memperingatkanku dengan kejadian kemarin. Aku sendiri tidak tenang karena takut tiba-tiba Enzo datang.

“Enzo dimana?” Tanya Kenzu.

“Dia lunch sama temen-temennya di resto sebelah.”

“Tumben dia gak seret kamu buat nemenin dia?” Aku mengangkat bahuku. Dia mengeluarkan kertas gambar dari sebuah map.

“Aku puya titipan buat Tante Jules dari Adeline.” Ucap Kenzu. Dia menyerahkan kertas itu kepadaku. Cathy ikut melihat kertas itu. Aku tersenyum melihat Adeline menggambar seorang perempuan dewasa dan anak perempuan yang sedang berjalan di taman bergandengan tangan.

“Dia bilang, aku kangen Tante Jules. Tolong Ayah berikan gambar ini sama dia.” Ucap Kenzu menirukan suara Adeline. Aku dan Cathy tertawa. Kenzu akhirnya bergabung makan siang di meja kami. Kita membahas tentang birthday issue.

What’d I miss?Again?…Enzo sudah berada di hadapanku. Aku berusaha bersikap tenang karena kali ini Cathy berada diantara aku dan Kenzu sehingga Enzo bisa lebih rasional lagi dalam menilai kebersamaan kami.

Aku memperlihatkan gambaran Adeline tadi. Enzo melihatnya dan mencibir. Dia memandang Kenzu yang sepertinya memang tengah menertawakan dia.

Are you done? Tanya Enzo kepadaku. Dia melihat piringku yang memang sudah hampir kosong.

Yah, we’re done!” Jawabku. Dia mengajakku untuk kembali ke ruangan. Aku meninggalkan Cathy dan Kenzu di pantry.

“Kamu jangan mau dikadalin sama Kenzu! He use his daughter to get you!” Ucap Enzo kesal. Aku sama sekali tidak pernah berpikir sejauh itu. Aku mempercepat langkahku menyusul Enzo.

Watch your mouth!” Kenzu itu cuma nyari temen ngobrol, gak lebih! Semua orang di kantor ini banyak yang segan ngobrol ringan sama dia. Mungkin karena aku terbiasa ngobrol sama kamu kayak gini, dia jadi gak sungkan ngobrol sama aku.”

Yah, right!” Ledek Enzo. Aku tidak mempedulikan lagi kekesalan Enzo.

“Kamu harus pegang janji kamu sama aku!” Ucap Enzo sambil menutup pintu ruangan.

“Janji apa?” Tanyaku bingung.

You won’t hang out with him anymore!” Jelasnya. Aku menghela nafas panjang.

So, do we have a deal?” Tanya Enzo setengah memaksa.

No!” Jawabku asal.

“Jules!…” Teriak Enzo sambil bertolak pinggang.

What am I supposed to do when he approach me?” Tanyaku kesal.

Leave! And that’s an order!” Aku menatapnya.

Oke!” Jawabku malas.

Aku menghempaskan bokongku di atas kursiku. Aku mulai membuka computer dan mengerjakan semua tugas-tugasku. Enzo sepertinya sudah tahu bahwa aku kesal dengan sikap posesifnya.

How’s the date?” Aku melirik ke arahnya, terfikir olehku untuk membalas semua perlakuan dia tadi.

It was great! I kissed him…” Mata Enzo mendadak seperti meloncat keluar. Dia Melangkahkan kakinya ke arah mejaku dan berhenti tepat di sampingku. Dia membungkukkan badannya sehingga wajahnya berhadapan denganku.

Seriously?…” Aku mengangguk. Dia semakin geram, dia mencari kata-kata yang tepat untuk dilontarkan kepadaku.

“Dia gak cium kamu jadi kamu yang cium dia untuk memastikan dia bukan gay?” Aku bergeming dan bangkit dari kursiku sehingga berdiri berhadapan dengan Enzo.

“Sebelum turun, aku sempet basa basi bilang terima kasih atas malam ini.” Dia mencibir meledekku.

What exactly you said?” Kenapa jadi aku yang jadi objek penderita di sini? Padahalkan aku ingin membalas perlakuannya tadi.

Thank you for tonight. He saidThanks to you, I have a wonderfull night….Mmmhhhh…” Dia gak nerusin lagi kata-katanya. Aku rasa kalau ciuman di bibir terlalu dini, makanya aku cium pipi dia.” Jelasku. Huuu…uuuhhhh…

Oooohhh… pipi…hahaha…bukan masalah besar. But, shit! Aku rasa si Ronald bukan gay. Waktu dia gak nerusin kata-katanya, aku yakin kalau sebenarnya dia ingin mencium Jules tapi dia takut Jules marah. Aku harus bikin perhitungan sama instruktur yoga bertampang gay itu. Jangan sampai Jules mencium dia, atau dia mencium Jules.

Pintu ruanganku terbuka dan…surprise! Model-model yang selalu datang clubing mendatangi kantorku karena hari ini ada meeting tentang konsep dan segala macam tektek bengeknya. Mereka sudah bersiap untuk mendaratkan ciumannya di bibirku. Dulu aku tidak pernah menolaknya karena perasaanku kepada Jules tidak sedahsyat ini. Aku melirik Jules yang tidak menampakkan cemburu atau kesal sama sekali. Dia malah berusaha menahan tawanya ketika aku menghindari mereka dan menjadikan Jules tamengku. Ya, aku bersembunyi di belakang Jules.

Hai girls! Mulai sekarang, kalian harus siap-siap menghentikan aksi kalian menciumku setiap kali bertemu denganku.” Ucapku ragu. Para model itu sepertinya bingung dan melihat ke arah Jules. Mereka ingin memastikan bahwa alasannya adalah Jules. Aku mengangguk dan menunjuk ke arahnya. Jules gelagapan heran.

“Ohhhh….I seeCongratulation! Jawab Jena salah satu model indo Jerman mewakili 7 model lainnya. Mereka akhirnya meninggalkan kami menuju ruangan meeting bertemu dengan tim yang bersangkutan.

“Kenapa kamu menolak ciuman mereka sekarang?” Tanya Jules sambil bertolak pinggang. Aku tahu kalau dia tidak terima dijadikan tameng olehku.

Well….mmmhhhh…karena aku juga gak terima kamu dapet ciuman dari laki-laki lain.” Jawabku enteng. Jules….heeemmmm…seperti biasa hanya mengela nafas panjang dan tidak mempertanyakan alasan dari jawabanku itu.

“Jules…sudah telat, kamu masih belum turun?” Teriak Papa. Semalaman badanku meriang. Mungkin efek pergantian iklim. Sebenarnya badanku termasuk kuat, aku jarang sekali sakit. Tapi entah kenapa hari ini aku ngedrop. Aku paksakan untuk tetap bekerja, karena aku harus mendampingi Enzo meeting di kantor. Aku bergegas turun dan pergi diantar Papa seperti biasa.

Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam sambil mencoba beristirahat sebentar memejamkan mataku. Mataku terasa perih dan hidungku sepertinya panas. Tinggal setengah perjalanan ke kantor, sepertinya aku merasakan sesuatu di hidungku.

“Jules…hidung kamu berdarah, Nak.” Ucap Papa kaget. Papa memberikanku tissue dan menghentikan mobil sebentar di bahu jalan. Papa meletakkan tangannya di dahiku.

“Kamu demam? Kenapa gak bilang sama Papa? Harusnya kamu istirahat di rumah.” Omel Papa. Sekarang Papa mulai cerewet seperti Mama.

“Tadinya aku mau kerja setengah hari aja, Pa. Setelah meeting selesai aku mau izin pulang. Kasihan Enzo ada meeting penting hari ini.” Jawabku keukeuh.

“Apa kamu bisa bekerja dengan kondisi seperti ini? Yang ada kamu malah mengganggu konsentrasi orang. Biar Papa yang telepon Enzo.” Jelas Papa sambil meminta handphone-ku.

Sudah jam 9.10 menit tapi Jules belum datang juga. Aneh, dia gak pernah telat sekalipun selama bekerja di sini. Meeting dimulai jam 9.30, sedangkan dia tidak kunjung datang. Handphone-ku berbunyi, panggilan dari nomor Jules.

“Jules…kamu masih di mana? Meeting 20 menit lagi dimulai.”

“Enzo, ini Papa. Maaf sebelumnya, ini Papa sedang mengantar Jules ke klinik terdekat. Di perjalanan ke kantor tadi, Jules mimisan. Tahunya dia memang demam dari semalam, tapi dia gak bilang karena ada meeting penting hari ini. Sepertinya Jules tidak bisa kerja hari ini. Papa mau bawa dia pulang saja.” Deg…sepertinya dadaku terbentur keras mendengar Jules sakit.

“Enzo?…” Tanya Papa Jules.

“Eh,…mmhhh…Iya Pa, gak apa-apa. Bisa saya bicara sama Jules?”

“Dia masih diperiksa di dalam. Nanti Papa suruh dia hubungi kamu.”

“Gak usah, Pa. Nanti saja saya yang hubungi dia. Tolong sampaikan pesan saya supaya dia beristirahat.”

Meeting dimulai sesuai yang dijadwalkan. Aku memperhatikan Kenzu yang sedang mempresentasikan idenya di depan. Mataku terarah ke depan, tapi pikiranku sedang menjelajah di rumah Jules. Aku sedang memikirkan keadaannya sekarang. Sedang apa dia di sana? Sakit apa dia? Apa dia sudah minum obatnya? Apa dia bisa beristirahat? Apa dia memikirkanku?

“Enzo!….” Papa menegurku pelan. Aku menoleh ke sebelahku tempat Papa duduk. Papa menunjuk ke arah Kenzu. Rupanya aku sama sekali tidak mengikuti meeting kali ini dengan baik.

“Jules kemana?” Tanya Papa.

“Sakit Pa…Tadi di perjalanan ke kantor dia mimisan, demam dari semalam tapi dia nekat kerja. Papanya yang nelepon lagi bawa dia periksa di klinik terdekat.” Terangku.

“Pantes saja pikiran kamu jalan-jalan dari tadi.” Ucap Papa.

“Selesaikan dulu meeting ini, baru kamu tengok ke rumahnya.” Aku terperangah mendengar ucapan Papa. Sepertinya Papa sudah tahu mengenai perasaanku kepada Jules. Memang selama ini Papa menyuruhku untuk memperhatikan diriku sendiri, diantaranya mencari pendamping hidup.

Aku memusatkan kembali pikiranku di meeting ini. Bos besar sudah memberiku izin untuk keluar kantor. Jadi gak ada ruginya kalau berkonsentrasi penuh sampai meeting ini selesai. Siapa tahu dia mengizinkanku keluar sampai jam kantor selesai, sehingga aku bisa lama tinggal di rumah Jules, atau bahkan tidur di sana hahahaa…aku tersenyum sendiri membayangkan wajah kesal Jules jika Papanya mengizinkanku menginap di sana.

“Enzo!…Tahan dulu kegembiraan kamu sampai rapat ini selesai!” Tegas Papa. Aku buru-buru menyaksikan kembali cuap-cuap Kenzu yang sekarang mulai menampakkan wajah kesal melihatku senang.

Selesai rapat, aku memutuskan mampir ke pantry dan membuat kopiku sendiri. Aku melihat Cathy sedang break dan menonton TV. Aku menghampiri dia. Dia kan temannya Jules, siapa tahu Jules pernah bercerita tentangku.

“Hai,Mba!” Aku menaruh kopiku di atas meja yang sedang ditempati Cathy. Aku duduk di depannya.

“Hai!…Jules kemana?”

“Dia sakit…”

“Sakit?…” Cathy buru-buru mengeluarkan handphone-nya dan mengirimkan text kepada Jules.

“Mmmmhhhh…Jules pernah bercerita tentang saya?” Cathy menatapku, sepertinya dia menyembunyikan sesuatu.

“Kamu atasan yang baik, itu saja.” Jawabnya singkat.

“Hanya itu?” Cathy mengangguk. Aku tahu kalau girls talk biasanya private. Bagi mereka mungkin malah tabu untuk dibicarakan dengan laki-laki.

Are you in to her?…” Bisik Cathy ragu-ragu. Aku menatapnya, berusaha tidak kikuk atau apapun itu yang membuatnya curiga.

“Oh iya, apa dia pernah membawakan makanan dari bakery mamanya untuk Mba?” Aku mengalihkan pembicaraan ini.

“Iya…Mmmhhh…tiramisu sama panada.” Aku mengangguk dan pamit ke ruanganku membawa kopiku. Cathy sepertinya kebingungan dengan sikapku ini.

Aku melihat Rose sedang sibuk di meja resepsionis. Aku menghampiri dia untuk sekedar basa-basi.

“Hai Rose!” Dia sepertinya kaget melihatku mendatangi mejanya.

“Hai! Jules kemana, Pa?” Jules benar-benar sukses menjadi bayanganku. Kemana-mana jika melihatku, mereka pasti menanyakan Jules.

“Dia sakit…Rose, kamu pernah dikirim makanan dari bakery Mamanya Jules?”

“Iya…Mmhhhh…Eclair dan caramel custard….Bahkan saya sekarang menjadi langganan bakery Ibu Nadine.” Terang Rose. Aku mengangguk dan melengos begitu saja ke ruanganku, sementara Rose masih nanar.

“Selamat siang, Pa!” Sapaku saat Papanya Jules membukakan pintu. Aku membawa bouquet bunga untuk Jules. Orang tua Jules seperti biasa dengan ramah menyambut kedatanganku.

“Dokternya bilang apa, Pa?” Tanyaku penasaran. Mamanya Jules membawakan kopi dan kue bikinannya, kemudian dia duduk di samping suaminya.

“Dokter bilang gejala thypus, jadi harus istirahat minimal 3 hari. Makan bubur dulu selama 3 hari dan banyak minum air putih.” Ternyata Jules mendapatkan bakat menghafalnya dari Papa dia.

“Bisa saya lihat Jules.” Tanyaku tanpa basa basi lagi. Dari awal kedatanganku kesini hanya ingin bertemu dia, I miss her so much.

“Langsung saja ke atas, dia sedang beristirahat di kamarnya.” Tanpa mengulur-ulur waktu lagi, aku bergegas ke atas.

Ada 2 kamar di sini. Satu pintu bertuliskan Lilian dengan abjad warna warni. Itu pasti kamarnya Vivi. Di sebelahnya, polos tanpa ada tulisan apapun. Ruang atas ini sama dengan seluruh rumah ini, bercat cream.

Pintu kamar Jules terbuka sedikit, dia tidak menguncinya. Aku membuka pintunya sedikit lebar. Nuansa pastel sangat kental di kamar Jules. Di atas tempat tidur, Jules terlihat sedang terlelap, begitu damai. Aku melihat obat-obatan yang harus dia minum di meja sebelah tempat tidurnya.

Aku melangkahkan kakiku bergerak mendekati tempat tidurnya. Aku duduk di sebelah tubuh yang sedang terbaring lemah itu. Aku menyimpan bouquet bunga di sebelahnya. Aku menempelkan punggung tanganku di keningnya…panas, dia benar-benar demam. Mukanya pucat, bibirnya pun sama pucatnya.

Aku membelai rambutnya, sama seperti yang biasa dia lakukan padaku. Aku membelai wajahnya dan memperhatikannya. Sepertinya lem yang biasa menempel di antara kami mulai aku rasakan lagi. Aku enggan meninggalkannya sendiri, aku ingin merawatnya disaat dia sedang sakit seperti ini.

“Enzo…” Suara parau Jules memotong lamunanku. Dia heran dengan keberadaanku di kamarnya. Aku suka saat dia memanggil namaku.

Hi there!…Udah mendingan?” Tanyaku sambil memberinya bunga.

For me?…Thank you.” Ucapnya sambil tersenyum. Dia berusaha bangkit dari tempat tidurnya tapi aku melarang. Akhirnya dia duduk bersandar di tempat tidurnya.

“Kamu beli bunganya di tempat Yoris?” Tanyanya dengan tampang jahil.

“Huuhh!…Bisa telat nengokin kamu kalau aku beli di sana. Yang ada aku malah adu jotos sama homo itu.” Jules terkekeh.

Sorry aku gak bisa ngedampingin kamu meeting. Aku udah berusaha pergi ke kantor, tapi tiba-tiba di jalan aku mimisan, terus Papa bawa aku periksa dan melarang aku kerja.” Baru sebentar dia tidak hadir di kantor, tapi aku sangat merindukan dia berbicara. Harusnya disaat dia menerangkan semua itu aku memotongnya dan melontarkan beberapa kata untuk menghiburnya. But, Gosh…I really love to hear her voice.

“Enzo….” Lamunanku terhenti.

“Aku juga gak bakalan izinin kamu kerja kalau kondisi kamu seperti ini.” Jules membetulkan dasiku yang sudah tidak beraturan. Aku memandanginya, dia tidak pernah merasa risih jika aku memandangnya seperti ini. Apa dia tahu tentang perasaanku kepadanya?

“Ceritain meeting-nya?” Pinta Jules. Aku menggaruk-garuk kepalaku, karena jujur saja aku tidak mengikuti meeting ini dengan baik walaupun aku sudah berusaha konsentrasi. Aku menggeleng. Jules memberikan tatapan bingung.

“Jangan bilang kalau kamu tidak mengikuti rapat dengan baik?” Tanyanya lagi. Aku mengangkat kedua bahuku. Jules menarik nafas panjang dan menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur.

“ Kamu jangan khawatir, aku bawa semua ringkasan rapat hari ini. Aku pinjam dari asistennya Papa. Jadi kamu bisa bantu aku malam ini.” Aku sudah menyiapkan alibi untuk bisa bermalam di sini. Jules menatapku seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan.

“Kamu masih minta aku kerja disaat aku sedang sakit?” Aku buru-buru menyanggahnya.

Of course not, Dear…Aku hanya minta kamu temenin aku disaat aku kerja. I can’t work without you.” Aku mengecup keningnya. God, I miss her so much.

Malam hari aku terbangun, aku melihat Enzo tertidur di meja kerjaku. Aku memandanginya seakan tak percaya membiarkan seorang lelaki masuk bahkan menginap di kamarku. Ryan saja belum pernah memasuki kamarku. Kenapa kedua orangtuaku juga mempercayai Enzo?

Aku berusaha bangkit dari tempat tidurku dan berjalan menghampirinya, tapi…Brukkk!…aku menyenggol tupperware-ku dan membangunkan Enzo. Dia kaget melihatku berdiri dan menopang kepada tembok. Aku rasa aku pusing. Enzo bergegas menghampiriku dan membawaku kembali ke tempat tidur.

“Kamu mau ke toilet?” Tanyanya. Aku menggeleng, dia membawa tempat minumku yang terjatuh. Dia menyangka aku haus dan mencoba membawa minum sendiri. Aku menggeleng juga.

“Terus kamu ngapain berdiri?..aaahhhh….aku tahu! Kamu pasti mau ngelus-ngelus rambut aku kan? Atau mau liatin aku tidur?” Muka dia sekarang kembali berubah menjadi menyebalkan seperti biasa. Annoying!

“Kenapa kamu harus ngomong? Kamu itu lebih bagus tidur, tau gak?” Enzo sepertinya tahu kalau aku sudah pasti mengizinkan dia tidur di sebelahku karena tidak tega melihatnya tidur di meja kerjaku. Dia buru-buru berbaring di sebelahku dan aku sendiri meraih guling dan membelakangi Enzo.

Beberapa saat kemudian, akhirnya Enzo tertidur setelah tidak hentinya menggangguku. Aku baru membalikkan badanku saat aku merasa dia benar-benar tertidur. Aku tersenyum membayangkan bagaimana kegirangannya dia saat aku mengizinkannya tidur di sampingku.

Aku membelai rambut Enzo seperti biasa. Aku memandangnya lekat, aku belum pernah memandang seorang laki-laki seperti sekarang. Saat aku pertama berciuman dengan Ryan, aku memandang wajahnya. Tapi tidak selama ini, hanya beberapa saat sampai akhirnya kami kembali berciuman.

Aku seolah menemukan sisi lain Enzo saat dia tertidur. Lembut, hangat, and absolutelyTwelve! Aku mendekatkan bibirku ke wajahnya dan aku mencium kening Enzo seperti dia mencium keningku. Aku merasa ada suatu ikatan yang sulit digambarkan antara aku dan dia. Aku memejamkan mataku berusaha membawa pemandangan di depanku ini sampai alam bawah sadarku.

Did she just kiss me? Should I wake up and ask her about the kiss?…But here I am…watching you sleep, touching your lips….and giving you kiss….I’ll do anything to be with you…Just you, Jules….

“Ehhheeeemmm…Enzo…Enzoooo…” Aku membangunkan Enzo dengan sengaja berbisik tepat di telinganya. Kebo bener Enzo kalau lagi tidur!

“En….” Tiba-tiba Enzo mengangkat tubuhku dengan sigap sehingga berada di atas tubuhnya. Hidungku sekarang bersentuhan dengan hidung Enzo..Mmmhhh…Oke, that’s awkward, but…I kinda love it. Aku seakan freeze dan berusaha tetap di zona aman sehingga tidak terpeleset terlalu jauh.

What?…” Tanya Enzo. Aku menggeleng dan hidung kami masih besentuhan. Susah sekali me-manage hormon dan perasaanku disaat sakit dengan situasi seperti ini. Kami saling menatap untuk beberapa saat. Tatapan yang dalam seperti biasanya, tanpa tahu apa arti dari tatapan itu sendiri.

I’m dizzy…” Ucapku sambil menelan ludah. Karena jujur saja dengan posisi seperti barusan, sangat susah untuk menyadari bahwa laki-laki itu adalah bos-ku. Enzo menghela nafas panjang dan akhirnya menurunkan tubuhku di sampingnya.

Tell me about your first kiss?” Tanya Enzo.

What?….”

Oh come on…” Ledek Enzo.

You first….” Tantangku kepada Enzo.

Oke. It was you. You kissed me last night, right?”Wajahku sudah pasti memerah sekarang.

“Kiddin’…It was Monday morning when I was in high school. Saat semua orang belajar, aku nganterin temen sekelas aku. Mmmhhh…namanya Carol. Dia pusing, karena aku ketua kelas, aku yang anterin dia ke UKS and we kissed.” Aku tertawa mendengar cerita Enzo yang terkesan sudah lulus sensor.

Really? Just like that? Emang kalian kelas berapa?”

“Kelas 2…” Aku terkekeh. Dia menyenggolku pertanda giliranku bercerita.

“Kamu gak akan mau denger?” Aku berusaha mengelak.

“Aku kan nanya, berarti aku mau denger.”

“Ryan…his my first kiss.” Enzo menatapku seolah menyesali pertanyaannya.

“Oke, that’s enough!” Potong Enzo. Aku tersenyum.

“Aku udah gak apa-apa. Aku mau cerita sama kamu, kamu dengerin ya!” Paksaku.

Nop! Aku gak mau denger!” Aku kembali terkekeh.

“Carol itu seperti apa? Bisa deskripsikan sama aku?” Enzo menyunggingkan sedikit senyuman di bibirnya. Kami berdua sedang berbaring terlentang ketika bercerita. Dia menggenggam tanganku seperti biasa.

“Kenapa kamu mau tahu?”

“Karena aku penasaran, kira-kira tipe kamu seperti apa.” Jawabku.

“Carol itu badannya proporsional, kulitnya pucat, rambutnya panjang. But…dia sama sekali bukan tipe aku.” Aku memiringkan tubuhku dan dan mengernyitkan dahiku.

“Apa yang Kenzu bilang waktu mengisi questioner itu…he’s right…tipe aku seperti itu.” Aku mengangguk. Sekarang giliran Enzo yang memiringkan tubuhnya dan mengernyitkan dahi.

Any question?” Tanyaku. Harusnya sekarang saatnya Jules bingung karena aku secara gamblang menyebutkan tipe aku adalah dia. Kenapa dia jadi telat mikir seperti ini?

“Iya…Kamu mau pergi kerja jam berapa?” Haaahhh??????????…..Ohhhhhh My Goodness!!….Aku mengganti posisi tubuhku menjadi tengkurap dan menggeram kesal.

“Kamu kenapa sih?” Tanyanya. Sok innocent! Aku tidak menggubrisnya, aku pura-pura tertidur. Ternyata Ryan adalah cinta pertama Jules. Setelah itu, aku anggap tida ada lagi laki-laki lain. Dia sangat awam dalam urusan hati seperti ini, itu sebabnya dia kurang peka dengan urusan cinta.

“Enzo…..Aku denger langkah kaki Papa atau Mama mungkin…kamu pindah dulu ke sofa ya?” Bisik Jules. Aku bergegas pindah ke sofa di dekat meja kerjanya.

Tok…tok..tok… Papa datang membawakan sarapan untukku dan Enzo. Papa sepertinya prihatin melihat Enzo yang sedang tidur di sofa. Tidak lama kemudian Mama menyusul Papa. Mereka berdua sempat hening melihat Enzo.

“Jules…kenapa Enzo tidur di sofa? Kamar Vivi kan kosong?” Tanya Mama. Aku menggeleng.

“Kan aku udah pernah bilang sama Mama, sama Papa. Enzo itu seperti balita dan aku baby sitter-nya.”

“Kamu tahu kenapa Enzo sampai bela-belain nginep di sini?” Tanya Papa.

“Karena dia pengen aku nemenin dia kerja. Dia bawa kerjaan kesini, Pa.” Papa menghela nafas panjang.

“Bukan itu, dia peduli sama kamu, dia sayang sama kamu…Enzo, atasan kamu…dia cinta sama kamu.” Aku terkekeh mendengar Penjelasan Papa tadi.

“Gak mungkin, Pa….Enzo? Cinta sama aku? Hahaha….”

“Sebutkan satu hal saja tindakan Enzo yang tidak mencerminkan dia jatuh cinta sama kamu?” Tantang Papa.

“Mmmmhhhh….” Kenapa aku jadi tidak bisa berfikir ya? Papa mengangkat bahunya. Mereka akhirnya pergi meninggalkan kamarku. Tinggal aku memandang Enzo yang sedang pura-pura tidur di sofa. Dia bangkit, seolah-olah tidak mendengar apa yang barusan orang tuaku katakan. Dia kembali berbaring di sampingku dan memejamkan matanya.

“Kamu denger yang barusan dikatakan orang tua aku?” Tanyaku was-was.

“Iya!” Jawab Enzo langsung. Apa dia marah karena prasangka orang tuaku ya?

“Enzo…maafin mereka ya, mereka mungkin memang sulit untuk mengerti kedekatan kita.” Enzo memiringkan tubuhnya dan dengan gemasnya meremas pipiku dengan tangannya. Dia kembali menggeram seperti tadi.

“Aaarrrrgggghhhhhh….”

Weirdo!” Ucapku sambil berusaha menutup mulutnya untuk menghentikan dia berbuat kebisingan.

“Kamu yang weirdo! Tembok!” Sanggah Enzo.

What? Tembok?” Timpalku.

Setelah empat hari beristirahat, akhirnya aku kembali bekerja hari ini. Enzo sudah duduk di kursinya ketika aku membuka pintu ruangan. Dia terlihat segar sekaligus modis dengan kemeja pink pastelnya

Good morning Sunshine!” Sapa Enzo cerah. Dia tidak tahu kalau di belakangku ada Pa Darwin dan Kenzu juga.

Good morning Sweety!” Ledek Kenzu. Aku terkekeh melihat mereka sudah mulai berseteru di pagi hari. Wajah Enzo berbalik menjadi muram. Pa Darwin ikut tersenyum melihat kedua putranya.

So romantic, Enzo! Kamu pasti sangat merindukan Jules setelah 4 hari dia bolos. You should’ve buy her flowers. ” Tambah Kenzu semakin menjadi-jadi. Aku hanya bisa tersenyum melihat sikap mereka berdua yang begitu kekanak-kanakan, berbeda sekali saat mereka di ruang meeting.

“Hahh! Aku jengukin dia tiap hari, aku juga bawain dia bunga tiap hari.” Jawab Enzo setengah pamer.

“Bukan nengok namanya kalau 3 hari kamu nginep di sana!” Jawaban Kenzu membuatku sedikit kikuk karena aku kira mereka tidak mengetahui tentang itu.

“Oke, sebelum semuanya ngelantur. Papa langsung ke pokok bahasan.” Aku membereskan semua berkas di mejaku dan mulai mengerjakan tugas-tugasku yang selama tiga hari ini sudah terbengkalai. Aku membiarkan mereka berdiskusi.

“Lusa, Kamu dan Kakakmu serta June pergi ke pusat untuk beberapa kontrak baru.” Enzo dan Kenzu bergeming, mereka berdua adu protes kepada Papanya. Aku sendiri tidak heran dengan reaksi mereka itu. Pusat berarti ke Amerika. Enzo, Kenzu dan June…hahahaa…bisa aku bayangkan akan seperti apa suasananya.

Enzo melihatku yang sempat menahan tawa mendengar ucapan Papanya tadi. Dia sepertinya tidak suka melihatku menari di atas penderitaannya.

“Jules maksud Papa? Aku, Kenzu dan Jules?” Tanya Enzo berusaha meyakinkan pendengarannya. Papanya menggeleng, dia sudah tahu modus anaknya ini.

“June, kamu dan Kenzu. June!….” Jelas Pa Darwin.

“Kenapa enggak Papa, Kenzu dan Perempuan itu? Aku di sini ngurusin kantor. “ Bantah Enzo. Kenzu tidak terima, dia buru-buru menyanggahnya.

“Atau…kamu, Papa dan perempuan itu yang pergi.” Timpal Kenzu. Pa Darwin sepertinya sudah bisa membaca reaksi anak-anaknya ini.

“Atau…Papa, June dan Jules yang pergi? Kalian berdua, urusin kantor.” Ucap Pa Darwin. Enzo tertawa.

“Apa hubungannya Papa harus bawa-bawa Jules ke sana?” Pa Darwin dengan sigap menjawabnya.

“Dia bayangan kamu, otomatis dia bisa mewakili kamu.” Enzo mulai ketakutan dengan penjelasan Papanya.

“Atau aku dan Jules saja yang pergi tanpa ada orang lain lagi yang ikut.” Ucap Enzo. Gantian Kenzu sekarang yang tertawa.

“Itu sih mau kamu, Jerk!” Timpal Kenzu kesal.

“Kalau gitu, kamu dan Kakak kamu saja berdua yang pergi. Kalian 4 hari di sana.” Hening… Semuanya hening ketika Pa Darwin memukulkan palu pertanda tidak bisa lagi tawar menawar. Sudah lama sekali sepertinya Enzo dan Kenzu tidak akur. Mungkin ini salah satu strategi Pa Darwin untuk kembali mengakurkan anak-anaknya lagi.

Empat hari di Amerika, berjauhan dengan Jules selama itu….Apa aku bisa? Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja selama 4 hari. Bisa-bisa ketika aku kembali, dia sudah resmi menjadi pacar gay itu….hhhhiiiiii….aku bergidig.

“Aku gak bisa pergi kalau Jules ga ikut!” Tegasku.

Of course you can! Kamu bukan bayi yang harus selalu dijagain babysiter-nya.” Jawab Kenzu. Shit! Ngapain dia nimbrung.

She is my shadow, I can’t work without her. Come on, Pop!” Aku merajuk kepada Papa. Aku berusaha menampakkan tampang paling memelas di hadapan Papa. Dia menghela nafas panjang.

“Oke, kamu dan Jules urusin kantor. Biar Papa, Kenzu dan June yang pergi.” Aku yakin bahwa senyum kemenangan sekarang menghiasi wajahku, sementara Kenzu mengangkat jari tengahnya kepadaku.

Well, hidup ini memang sepeti Angry Bird. Disaat kita gagal selalu saja ada babi yang menertawakan kita.” Kenzu sepertinya sudah geram. Aku tahu kalau kata-katanya itu sangat familiar di BBM. Gak kreatif!

Empat hari tanpa pengawasan Papa dan Kenzu…hahahaha…aku tidak sabar menantikan lusa cepat datang.

“Aku pulang…” Seperti biasa melakukan semua ritual di sofa sampai Papa datang menghampiriku. Papa membawa amplop dan menyerahkannya kepadaku. Aku membolak balik amplopnya…Oh my Gosh!….

Sebelum aku melamar menjadi asisten Enzo, aku sempat mendaftarkan diri ke salah satu sekolah designer ternama di Amerika. Dan ternyata, sekarang datang surat pemberitahuan bahwa aku diterima di sana.

Aku meloncat-loncat kegirangan. Aku memeluk dan mencium Papaku. Mama yang terpancing dengan keributan yang aku ciptakan itu akhirnya muncul juga di depanku. Mama dan Papa mempertanyakan kegiranganku yang berlebihan ini.

“Aku diterima di sekolah design di Amerika yang pernah aku ceritain dulu, Pa, Ma.” Mereka ikut senang dengan kabar gembira ini. Tapi kemudian mereka diam dan aku baru menyadari bahwa mereka pasti sedih karena akan berpisah denganku.

“Sekarang kan teknologi sudah canggih. Kita bisa skype setiap saat Pa, Ma.” Jelasku lembut. Mereka saling memandang dan tersenyum.

“Enzo? Kamu mikirin dia juga kan?” Tanya Papa. Shit! Aku lupa….

”Nanti aku pikirin waktu yang tepat buat ngomong sama dia, Pa.”

Malam ini aku tidak bisa tidur. Entah karena terlalu bersemangat dengan sekolah designer-ku atau….sepertinya aku lebih fokus memikirkan cara untuk mengutarakan berita ini kepada Enzo.

Kami sudah sangat dekat sekarang, seperti layaknya teman dekat, sahabat…atau apapun itu. Apalagi empat hari kemarin, saat Papa dan Kakaknya ke Amerika. Dia semakin menjadi-jadi. Jules kita lunch di luar, Jules kamu lembur sampai dinner, Jules temenin aku belanja, Jules anter aku potong rambut. Job description-ku sekarang benar-benar ngawur.

Walaupun dia terkadang menyebalkan dan lebih manja dari Adeline, tapi dia sudah mengisi hari-hariku dengan tawa. Cara dia menggangguku, bahkan disaat dia sedang serius…sekarang aku selalu berharap dia akan menggangguku secepatnya..hahahaha…aneh memang…lho! Kenapa aku sekarang merasa nyaman dengan Enzo thing ya? No…no…no…aku harus stop memikirkan dia.

Good morning sunshine!” Sapa Enzo seperti biasanya. Yang tidak biasa adalah sosok seorang wanita sekitar usia Pa Darwin. Aku sudah pernah melihatnya di album foto keluarga mereka. I think that’s Enzo’s Mom. Dia tersenyum kepadaku dan menghampiriku.

You must be Jules, saya sudah sangat sering mendengar cerita tentang kamu.” Aku tersenyum dan mengulurkan tanganku hendak berjabat tangan dengannya. Tapi, ternyata reaksi yang aku harapkan tidak terjadi. Dia menarik tubuhku dan memeluknya seperti anak dia sendiri.

“Akhirnya saya bisa bertemu juga dengan perempuan yang selama ini dibicarakan suami dan anak-anak saya.” Aku masih dalam pelukan wanita berambut pendek yang masih sangat menjaga berat badannya ini. Aku melihat ke arah Enzo, dia hanya tersenyum memberikan tatapan hangatnya seperti biasa.

Tok..tok…kami bertiga serentak menoleh ke arah pintu. June?…Dia tersenyum dan melangkahkan kakinya ke arah wanita yang baru saja melepaskan pelukannya dariku.

June membuka tangannya lebar hendak memberikan pelukannya kepada mantan ibu mertuanya itu, tapi ternyata wanita di hadapanku ini hanya mengulurkan tangannya dan menjabat tangan June seperti seorang klien. Wajah June memerah dan sedikit kikuk melihat ke arahku dan Enzo. Enzo hanya tersenyum sinis.

Here we are…Drama di keluarga ini sudah dimulai. Aku bergegas duduk di kursiku dan pura-pura mengerjakan semua tugasku. Enzo malah menghampiri mejaku seolah akan memberiku tugas baru. Dia membiarkan June dan Mamanya bercakap-cakap.

“Aku dengar dari Rose kalau Mama ada di sini, jadi aku mampir karena sudah lama juga tidak bertemu Mama.”

“Ohhh…I’m flattered, ternyata kamu masih merindukan saya dan masih menganggap saya Mama mertuamu…walaupun bukan.” Kasihan sekali June. Tapi sepertinya mereka memang sudah terbiasa berdiskusi seperti itu.

“Saya sempatkan mampir sebelum besok pagi saya kembali lagi ke Australia.”

“Sepertinya ada urusan penting, mungkin saya bisa bantu.” Ucap June ramah. Dia sama sekali tidak mempedulikan sikap sinis Enzo dan Mamanya.

I’m sorry Dear, I guess you can’t.” June semakin penasaran ingin mengetahui urusan penting apa yang tidak bisa dia bantu itu.

“Saya hanya ingin makan siang dengan Jules dan anak bungsu saya. Saya ingin merasakan larut dalam roman mereka berdua, seperti yang dibicarakan Papa dan Kakaknya. Saya sendiri penasaran seperti apa jika berada dekat mereka berdua.”

Mulutku menganga tidak percaya untuk kesekian kalinya terseret ke dalam urusan keluarga mereka hanya karena June. Begitu besarkah kesalahan June sehingga mereka selalu berusaha menyingkirkan dia disaat dia sedang mendekat dan mungkin berusaha memperbaiki kesalahannya. Enzo mengibaskan tangannya di depanku. Kesadaranku akhirnya kembali dan menatap Enzo yang sedang menyeringai puas dengan perkataan Mamanya.

June segera undur diri dan sepertinya dia berusaha sebisa mungkin untuk mengendalikan emosinya di depan kami. Begitu June lenyap dari pandangan kami, Mamanya Enzo melihat ke arahku dan tersenyum hangat, berbeda sekali dengan sikapnya kepada June. Aku tidak berkata apa-apa, aku menunduk dan pura-pura sibuk di depan computerku.

Kenapa mouse-nya tidak berfungsi? Aku tidak bisa pura-pura sibuk jika mouse-nya berhenti bergerak. Enzo mengangkat tangannya dan memperlihatkan baterei mouse wireless-ku yang sudah ada di tangannya. Kali ini dia memintaku berhenti bekerja.

“Jules…maaf, saya tidak sempat bertanya sama kamu tentang ajakan makan siang ini. Nenek sihir itu keburu datang dan membuat mood saya turun drastis.” Ujar wanita ini menggebu-gebu.

“Mama aku ngajakin kamu makan siang, mau kan?” Jelas Enzo yang masih duduk di mejaku. Aku gelagapan, bingung harus menjawab apa.

“Mmmhhh…sama kamu kan?” Bisikku. Aku baru bertemu wanita ini dan tidak mau sampai kikuk karena belum terbiasa. Enzo tersenyum dan mengacak-acak rambutku.

Of course, you fool!” Jawabnya. Aku mengangguk pertanda setuju dengan ajakannya.

“So, Jules….tell me….sedekat apa hubungan kalian berdua sekarang?” Pertanyaan Mama yang seharusnya dijawab Jules dengan gelagapan ataupun salah tingkah, hanya dia tanggapi dengan tatapan kosong yang menyiratkan kebingungan.

Aku menyenggol Jules yang memang duduk di sampingku. Dia menolehku seakan memintaku untuk membantunya menjawab pertanyaan Mama. Aku membiarkan dia mendeskripsikan hubungan kami dengan kata-katanya sendiri. Aku sendiri sengaja meminta Mama menanyakannya sehingga aku tahu apa yang sebenarnya Jules rasakan.

“Mmmmhhhh…Enzo…Mmmhhhhh…” Aku gemas menunggu dia mengutarakan isi hatinya. Akhirnya aku menyodorkan sepotong buah peach di dalam piringku ke dalam mulutnya, biasanya jika sudah aku ganggu dia akan terpancing ngomel-ngomel dan menjadi dirinya sendiri. Benar saja perkiraanku, mukanya memerah, dia malu dengan mamaku dan dia menginjak kakiku. Aku rasa sekarang dia sudah mulai pemanasan.

“Mungkin orang-orang akan salah menilai hubungan kami berdua. Karena kami berdua sekarang sudah seperti teman dekat. Memang benar kata Papanya Enzo, terkadang saya seperti seorang baby sitter yang menjaga anak balita yang banyak maunya.” Mama terkekeh mendengar penjelasan Jules.

“Enzo banyak maunya, kolokan, sangat berbeda dengan sikap dia saat sedang berbicara di depan public ataupun pegawainya yang lain.” Aku sendiri tetap memperhatikan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya.

“Tapi, sebisa mungkin kami bersikap profesional di depan orang-orang layaknya seperti seorang bos dan asistennya.” Terang Jules.

“Maksud profesional seperti…merangkul kamu di dalam lift dan di depan karyawan lainnya? Atau…satu kamar walaupun pegawai lainnya juga menginap di hotel yang sama?” Tanya Mamaku berusaha mengorek lebih dalam tentang pribadi Jules.

“Itu…..Enzo…” Jules mulai tidak bisa meneruskan kata-katanya. Akhirnya Mama kembali terkekeh melihat Jules kebingungan.

Aku tidak tega lagi melihat dia sepertinya mulai tertekan dengan pertanyaan-pertanyaan Mama yang sebenarnya berusaha untuk lebih dekat dengannya. Aku meraih tangannya dan menggenggamnya di atas meja. Jules menatap tanganku yang sekarang sedang menggenggam erat tangannya. Mama memperhatikan Jules dan tersenyum. Sepertinya Mama menyukai Jules seperti Papa menyukainya juga.

Huuuffftttt….Akhirnya aku bisa berbaring di tempat tidurku. Hari ini benar-benar membuatku kelelahan. Pertanyaan-pertanyaan aneh yang terlontar dari Mamanya Enzo benar-benar membuatku tertekan.

Pada dasarnya Mamanya Enzo atau Bu Ferline memang wanita yang baik, tapi tetap saja keluarga Enzo memang aneh semua. Disaat aku tidak bisa menjawab pertanyaannya yang mulai menyudutkanku…Genggaman tangan Enzo mampu menenangkanku dan membuatku merasa tidak sendirian.

Aku hanya bisa tersenyum dalam kegelapan kamarku ini. Entah kenapa sekarang kedekatanku dan Enzo bisa membuatku nyaman dan menanti saat-saat bertemu lagi dengan Enzo. Ya tuhan…bagaimana aku memberitahukan Enzo tentang sekolah designer-ku? Tapi, kalaupun aku pergi….Apa aku bisa mendapatkan teman seperti Enzo di sana? Tapi sudahlah, sepertinya akupun tidak punya keberanian untuk mengutarakan rencanaku ini kepada Enzo.

Aku melihat kembali amplop yang kusimpan di meja sebelah tempat tidurku. Impian terbesarku…sekarang sudah di depan mata, tapi…apa aku mampu meraihnya? Sekuat apa usahaku untuk bisa mencapai cita-citaku ini? Aku menghela nafas panjang dan berusaha memejamkan mataku.

Sejak petemuan Jules dan Mama kemarin, aku semakin yakin kalau Jules masih samar menangkap sinyal dariku. Aku rasa aku harus memperjelas lagi semuanya. Secepatnya aku harus mencari waktu yang tepat untuk mengutarakan isi hatiku kepadanya.

Hari ini, aku, Kenzu dan Papa sedang mempersiapkan materi final meeting untuk birthday issue. Hubunganku dan Kenzu sudah mulai membaik. Apalagi jika bukan karena Jules yang selalu mengomeliku untuk lebih bersabar menerima segala macam kekurangan ataupun kesalahan Kakakku. Yeah right…because she doesn’t know the whole story about us.

What’s with her?” Bisik Kenzu.

“Kamu kenapa? Kayak lagi mikirin sesuatu?” Aku curiga dengan sikapnya yang cenderung lebih pendiam dari biasanya.

“Kenapa, Jules? Enzo bikin ulah lagi?” Tanya Papa.

Did I do somehing to piss you off?” Tanyaku lagi penasaran.

No, Enzo…You didn’t…..” Dia menghela nafas panjang.

“Aku diterima sekolah designer di Amerika…dan kalau aku minat, aku harus pergi minggu depan.” Saat itu, waktu seolah-olah terhenti, dan jika bisa, aku ingin menarik kembali pertanyaanku. Aku lebih baik tidak mengetahuinya, aku lebih suka jika dia kabur dan tidak memberitahuku tentang kepergiannya.

“Enzo!….” Papa menyadarkanku dari mimpi buruk ini. Please God, just tell me that it’s just a bad dream….but it’s not…

“Aku tanya kesiapan kamu tentang meeting besok siang.” Teriak Kenzu. Sepertinya aku mematung cukup lama. Papa sepertinya menyadari kekecewaan yang sedang aku rasakan. Jules tidak bereaksi seperti biasanya.

Go!...Jules…” Jules menatapku bingung, dia pasti tidak tahu arti ucapanku ini. Dia pasti tidak menyadari betapa aku ingin dia selalu berada di sisiku. Papa dan Kenzu yang sudah tahu maksud dari kata-kataku seperti mempertanyakan keputusanku itu.

That’s your dream. Go, chase it! I know you can!” Ucapku seraya berputus asa. Jika di sinipun dia masih tidak menyadari perasaanku terhadapnya, lebih baik aku melepaskannya untuk mengejar keinginan terbesarnya. Sekarang dia mulai memahami ucapanku. Matanya berkaca-kaca, dan air mukanya terlihat senang.

Really? Are you oke?…I mean, if I leave, are you oke with that?Of course I’m not, you fool!

“Yaaaahhhh…mungkin aku bakalan buka lowongan asisten lagi.” Candaku dengan tawa hambar. Aku berusaha untuk tampak baik-baik saja di depannya. Aku ingin dia bisa mencapai salah satu tujuan hidupnya.

“Sekarang sudah jam 5 sore. Kamu pulang duluan sama Pa Ade, besok kamu harus mulai urus-urus pasport sama surat-surat lainnya.” Jules meraih tanganku dan memberikan senyuman paling indah selama aku mengenalnya.

Thank you.” Ucapnya. Dia mencium pipiku untuk pertama kalinya. Dia bergegas pergi membereskan barang-barangnya dan pamit kepada Papa dan Kenzhu. Aku tidak melepaskan pandanganku sampai dia menghilang.

You idiot! Moron! Stupid! You let her go? What are you trying to do Enzo?” Teriak Kenzu.

I gave up!” Ucapku. Papa berdiri menghampiriku.

You gave up?” Papa menghela nafas panjang dan menggeleng.

She doesn,t even realize or feel what I feel. She ignore me! Paling tidak, aku memberikan jalan buatnya untuk mengejar impiannya.”

Well, you did the best you could.” Tambah Papa.

Really? Dan kamu mau membujang terus, menunggu dia sampai dia pulang? Kamu pikir Jules tidak akan mendapatkan jodohnya di sana? Dia itu perempuan yang menarik, dia bisa dengan mudah mencari laki-laki lain di sana.”

Maybe…we’re not meant to be.” Sanggahku. She’s gone…and I already miss her.

“Aku pulang!…Pa…Ma…Mama dan papa datang menyambutku. Mereka tampak heran melihatku sangat bersemangat.

“Enzo mengizinkan aku untuk bersekolah di Amerika.” Mama dan papa tertegun. Mereka sepertinya tidak merasakan kebahagianku ini. Aku mengangkat bahuku.

“Jules…Kamu sama sekali tidak memikirkan perasaan Enzo? Tanya Papa.

“Aku hanya bilang kalau aku diterima sekolah di Amerika. Dia bilang Go! Chase your dream!

“Jules….Dari pertama Enzo menginjakkan kakinya di rumah ini, Papa sudah tahu kalau dia suka sama kamu…Dan kamu tahu sendiri kalau feeling papa tidak pernah salah jika menyangkut laki-laki yang menyukai anak papa.” Aku menghela nafas panjang.

“Buktinya, dia ngijinin aku, Pa.” Aku bergegas ke kamarku untuk mempersiapkan semua dokumen yang diperlukan.

Hari Sabtu dan Minggu ini aku benar-benar disibukkan mengurus dokumen-dokumen pribadiku. Ini adalah weekend terakhirku di sini. Sabtu depan, aku sudah harus pergi meninggalkan negara ini. Ini seperti sebuah mimpi yang menjadi kenyataan. Thanks to Enzo, dia membantu semua proses pembuatan paspor dan visa-ku sehingga dipermudah.

Kelas yoga tadi merupakan kelas yoga terakhirku. Aku bisa melihat raut muka Ronald yang berusaha menyembunyikan kekecewaannya, setelah aku memberitahunya bahwa aku akan pergi. Hari Rabu nanti sepulang kerja, Ronald mengajakku dinner untuk yang terakhir kalinya.

Tumben Enzo belum berkunjung ke sini? Biasanya setiap weekend dia pasti menyempatkan ke sini atau malah menginap di sini.”

“Mungkin sekarang dia sedang bersiap-siap merekrut karyawan baru sebagai penggantiku, Pa.”

“Kamu yakin kalau dia rela melepaskan kamu?”

“Aku ini hanya asisten dia yang dia anggap temannya, Pa. Begitu juga sebaliknya.”

Seminggu ini, aku berniat untuk memanjakan Enzo sebelum kepergianku. Aku akan melayaninya dengan sepenuh hati. Aku akan membawakan kopinya setiap 2 jam sekali tanpa OB, aku juga akan membawakannya makan siang sendiri, bahkan jika perlu aku akan menyuapinya jika dia sedang sibuk.

Aku melihat laci meja Enzo sedikit terbuka. Aku bisa melihat foto-foto kami hasil foto booth sewaktu di Bandung. Aku membuka lacinya dan melihat semua foto-foto itu. Aku tersenyum sendiri melihat ekspresi wajah Enzo yang jauh dari kesan berwibawa di sana.

Aku melihat arlojiku, tumben Enzo terlambat 10 menit? Dering telepon membangunkanku dari lamunan tadi, aku mengangkatnya, dan ternyata Enzo yang menghubungiku.

Hi there! Aku ke Surabaya 4 hari, hari jumat aku baru masuk.”

“Kamu kenapa ga ajak aku? Kamu marah sama aku?”

“GR kamu! Kamu kan lagi sibuk ngurus-ngurus kepergian kamu. Jadi kali ini aku handle semuanya sendiri, gak terlalu repot juga.”

“Aku susul kamu ke sana ya?”

“Eh, gak usah. Aku sudah siapin kerjaan kamu di meja. Nanti pas aku pulang, sudah harus beres semuanya.” Aku tertegun sejenak memikirkan ucapan Enzo. Apa dia bisa di sana 4 hari tanpa aku dampingi ya? Atau jangan-jangan?

“Jules…Are you there?

“Kamu udah dapet asisten baru ya?”

What? No! Gotta go, bye!

“Enzo….” Aku ingin sekali mengutarakan apa yang ada di pikiranku sekarang, I miss him...”
“Jules….”

“Ohhh…Mmmhhh…take care.” Akhirnya hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku.

Aku memulai semua pekerjaanku seperti biasanya, tapi aneh rasanya gak ada yang ngerecokin. Enzo yang selalu berulah sekarang jauh. Enzo yang selalu berhasil menaikkan mood-ku. Enzo yang…wait…wait…kenapa aku jadi mikirin Enzo ya? Stop it!

Tiga hari berlalu tanpa Enzo menemaniku di ruangan ini. Tiga hari juga aku skip makan siang karena tidak ada lagi yang memaksaku untuk makan siang. Lima menit lagi Ronald akan menjemputku untuk yang terakhir kalinya.

So, kamu beneran mau pergi?” Ini tempat pertama aku dan Ronald kencan, di sini juga akhir kencan kita.

“Iya, aku mau mengejar cita-cita aku. Aku suka menggambar, aku suka design. Bekerja di majalah ini membuat passion-ku di bidang ini semakin dalam.”

So this is it? Ini akhir cerita kita?” Tanya Ronald. Aku melihat sekelilingku beragam orang dinner di tempat ini. Di sebelahku ada sekumpulan keluarga, Kakak laki-lakinya menarik kuncir adik perempuannya. Di depanku two love birds. Perempuan itu membelai rambut pasangannya. Agak jauh dariku sepasang sahabat sepertinya, mereka sedang berbagi cerita. Pikiranku mulai menerawang jauh, semua ini seakan-akan dejavu.

Enzo?…Selama ini?…Oh my goodness! Selama ini dia berusaha menjadi laki-laki yang baik untukku. Dia berusaha menjadi temanku, kakakku bahkan…dia mencoba untuk menjadi pasanganku…

“Jules…Jules…Are you oke?” Aku mendadak merasakan sesuatu tentang Enzo di dalam sini. Aku tidak bisa menyangkal bahwa saat ini sepertinya aku merasakan apa yang Enzo rasakan. But how? Kita baru saja mengenal selama satu bulan lebih. Aku tidak sadar kalau butiran air hangat mulai berjatuhan di pipiku.

“Enzo…” Ucapku lirih. Ronald menggenggam tanganku. Dia tersenyum dan mengangkat alisnya.

You feel it now, right?” Aku mengangguk.

Pagi ini aku menemui Mba Cathy di ruangannya. Dia salah satu orang di kantor ini yang bisa dibilang sering berbicara denganku. Aku berpamitan kepadanya. Dia menyesalkan kepergianku yang begitu cepat ini.

“Mba Cathy bener…Enzo….” Aku mulai sensitive sejak mengetahui perasaan Enzo kepadaku dan saat aku mulai merasakan sesuatu kepadanya.

“Heeemmmm….Aku rasa kalian pasangan yang serasi. Kenapa kamu tidak coba tanyakan langsung sama Enzo?” Aku menggeleng.

Entah kenapa, saat ini aku sangat enggan masuk ke ruanganku sendiri. Aku takut kalau aku tidak pernah bisa meninggalkan ruangan ini. Di sini terekam semua kenangan antara aku dan Enzo. Mungkin dia takut dalam waktu yang relatif singkat ini menyatakan isi hatinya kepadaku.

Tok…tok…tok…Pa Darwin sudah berdiri di depan pintu kaca meminta izinku untuk masuk. Aku mempersilahkannya masuk. Aku berusaha untuk bersikap senormal mungkin di hadapannya. Aku tidak mau sampai dia menyadari bahwa aku…

“Jules…Kamu sudah positive untuk pergi ke Amerika?” Aku memandang foto Enzo dan Adeline di mejanya.

“Iya, Pa.” Aku menunduk dan mengerjakan kembali semua pekerjaanku. Pa Darwin duduk menghampiri meja Enzo dan mengangkat frame itu. Dia tersenyum melihatnya.

“Kamu tahu kalau foto ini Kenzu dan Adeline?” Aku tercengang sampai akhirnya terkekeh karena selama ini Enzo memang membohongiku.

“Adeline selalu menganggap ini adalah foto dia dan Enzo sehingga dia memaksa Enzo untuk menyimpannya di sini. Mungkin karena waktu foto ini diambil, wajah Kenzu masih sangat mirip dengan Enzo. Setelah kecelakaan itu, berat badan Kenzu turun drastis dan dia tidak lagi mempedulikan penampilan fisiknya.” Aku menyimak penuturan Pa Darwin dengan seksama. Aku mulai belajar mencerna dengan baik. Selama ini aku tidak pernah bisa menafsirkan perkataan mereka dengan baik.

“Jules…Kalau bisa, kamu…mmhhh…kamu masih ingatkan kata-kata saya waktu di Bandung tempo hari?” Aku mengangguk. Dia menebar senyuman yang ramah. Tidak lama kemudian, asisten Pa Darwin menyusulnya ke ruanganku, dia beranjak pergi.

Apa yang akan aku lakukan jika saja dari dulu aku menerima sinyal yang hendak disampaikan Enzo kepadaku? Apa aku akan menjauhinya ataukah aku akan menanti kelanjutannya seperti apa? atau aku akan menerima semuanya dan membalas sinyal itu?

Sudah 4 hari ini Enzo belum menghubungiku. Apa dia sengaja menjauhiku atau memang dia sudah mulai melupakanku? Apa aku harus meneleponnya? Apa aku harus memberitahunya bahwa aku sudah mengetahui semuanya? Damn it, Enzo! Why didn’t you call me?

Esok paginya, Enzo sudah menugguku di ruang meeting. Aku sangat senang sekali akhirnya bisa melihat Enzo lagi. Enzo menatapku seperti biasa dan tersenyum hangat. Dia terlihat lebih tenang dari biasanya, tapi dia juga tidak berkata apapun. Mungkin dia benar-benar kelelahan setelah tugas solo-nya di Surabaya.

Good morning sunshine!…” Kenzu mencoba memancing Enzo dengan menyapaku seperti yang biasa Enzo lakukan. Aku terkekeh melihat Kenzu. Enzo sendiri seperti menarik dirinya dari suasana ini. Dia terlihat muram sekarang, kenapa dia tidak membalas kejahilan kakaknya ini ya?

Kali ini aku baru bisa merasakan meeting dengan Kenzu. Kenzu di sini langsung menjadi wakil Pa Darwin. Baik Kenzu maupun Enzo seperti tidak pernah mengenal perempuan di samping ayahnya. Ya, June. Sikap mereka seolah-olah seperti orang asing. Weird!

Klien kami sekarang, seorang designer ternama di Asia yang sedikit nyentrik dandanan dan tingkah lakunya juga. Mungkin jika orang awam melihatnya, mereka tidak akan menyangka dia seorang designer. Wanita berumur 50 tahunan ini lebih terlihat mirip orang stress. Dengan make up tebal dan acessories yang segala dipasang serta baju yang tabrak warna menjadi ciri khasnya.

Dia membuat suasana meeting kali ini seperti pertunjukan sirkus. Enzo dan aku sesekali terkekeh mendengar gaya bicara dia yang ceplas-ceplos.

She’s definitely crazy…” Bisik Enzo kepadaku.

I guess…” Timpalku.

How are you?” Tanyaku lagi masih berbisik. Dari tadi aku memperhatikannya, aku baru sadar kalau aku merindukan kebersamaan kami.

Fine, thank you.” Apa aku harus bilang kalau aku merindukan dia?….

“Enzo….”

What?….” Aku tersenyum dan hanya membalasnya dengan gelengan kepala.

“Mr. Enzo….” Aku terperangah ketika Miss. Joyce sang designer menegur Enzo. Mungkin karena dari tadi dia dan aku asyik sendiri.

“Ya…” Jawab Enzo.

So, we have two love birds here?” What the? Enzo menoleh ke arahku dan tersenyum.

“Kamu tidak memperhatikan saya dari tadi….”

What? I mean…of course not. Saya perhatikan setiap detail yang anda bicarakan.” Jawab Enzo. Aku menatap Enzo was-was, karena jujur saja memang aku sama sekali tidak mengikuti meeting ini dengan baik.

“Kalau begitu anda tidak keberatankan dengan permintaan saya barusan?” Permintaan? Permintaan apa? Aku dan Enzo saling menatap bingung. Kami alihkan pandangan kami kepada Pa Darwin dan Kenzu yang sama-sama terlihat bingung.

“Saya suka bernyanyi, saya selalu membawa alat musik kemanapun saya pergi. Kebetulan saat ini saya membawa gitar. Saya yakin laki-laki seperti anda mahir memainkan berbagai macam alat musik dan bernyanyikan?” Aku menahan tawaku karena klien kami satu ini benar-benar absurd.

“Laki-laki seperti saya? Mmmhhhh….” Enzo bingung. Pa Darwin dan Kenzu memandang kami berdua.

“Ini salah satu cara saya menghukum beberapa anak nakal di kantor saya.” Timpal wanita nyentrik itu. Asistennya menyodorkan gitar kepada Enzo. Mau tidak mau akhirnya Enzo berdiri dan sempat berfikir beberapa saat untuk memilih lagu yang tepat. Aku sendiri tidak sabar menanti lagu apa yang akan dibawakan Enzo, karena terakhir kali dia bermain gitar untukku, aku dibikin kelepek-kelepek karenanya.

Sing brother! This is the most romantic goodbye ever.” Ledek Kenzu. Pa Darwin sendiri menggeleng melihat anaknya kena hukuman oleh klien nyentrik ini.

“Eheeeemmm….Oke, I sing….This is for you Ma’am.” Ucap Enzo seraya mengedipkan matanya kepada wanita itu. Intro lagu terdengar dari petikan gitar yang dimainkan Enzo.

I wanna make you smile whenever you’re sad

Carry you around when your arthritis is bad

All I wanna do is grow old with you

I’ll get you medicine when your tummy aches

Build you a fire if the furnaces breaks

Oh it could be so nice, growing old ith you

I’ll miss you, kiss you

Give you my coat when you are cold

Need you, feed you

Even let ya hold the remote control

So let me do the dishes in our kitchen sink

Put you to bed if you’ve had too much to drink

I could be the man who grows old with you

I wanna grow old with you

Aku berani bertaruh kalau semua perempuan di sini dibikin Enzo meleleh.

“This is definitely for you.” Bisik Kenzu kepadaku disertai anggukan setuju Pa Darwin.

Really? Should I stay? Lirihku dalam hati. Kali ini aku mulai dililit kebimbangan. Aku benar-benar memperhatikan Enzo bernyanyi, kalau sebelumnya aku hanya menikmati nyanyiannya, kali ini aku ingin tahu apa yang Enzo rasakan saat menyanyikannya.

Tepukan tangan terdengar di penjuru ruangan ini. Bahkan Miss. Joyce sempat membunyikan siulan pertanda dia memaafkan Enzo. Enzo membungkuk hormat kepada para audiance. Pipi June terlihat bersemu merah, mungkin dia juga merasa lagu ini dinyanyikan untuk semua perempuan di ruangan ini termasuk dia.

Is that really for me? I mean…you sing for me? Not for her?” Tanya Miss Joyce sambil menunjukku. Enzo membungkukkan badannya sehingga wajahnya persis berhadapan dengan wajahku. Sepertinya semua orang menantikan kejadian selanjutnya.

“Nahhhh!….Dia terlalu sering saya nyanyikan.” Aku menghela nafas lega. Jangan sampai aku dibuat malu dihadapan orang-orang ini. Akhirnya meeting kembali berlanjut.

Aku sengaja hadir di ruang meeting lebih awal, supaya aku bisa mendahului Jules. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan hari ini. Ini adalah perpisahanku dengan Jules. Menjauhkan diri selama 4 hari di Surabaya membuat rinduku menjadi-jadi. Aku sangat ingin memberikan kabar ataupun bertanya tentang kabarnya walaupun lewat telepon atau text. Tapi ternyata…rasa takut kehilangan lagi-lagi lebih menguasaiku ketimbang rasa kangen ini. Andai saja kamu tahu, Jules…berjauhan darimu adalah mimpi buruk bagiku.

Melihatmu datang pagi ini, ingin aku menyapamu seperti biasa…Good morning sunshine!…You will always be my sunshine. Berada di sampingmu tapi tidak bertegur sapa membuatku ingin menarikmu ke dalam pelukanku.

Mungkin sudah terlambat bagiku untuk mencegah kepergianmu, Jules. Tapi, aku juga tidak ingin hanya menjadi penonton yang melihatmu berlalu di hadapanku dan tidak akan pernah muncul lagi. Aku lebih baik menjauhimu sejauh mungkin dari sekarang. Mungkin semua itu akan jauh lebih mudah. Tidak usah ada kata-kata perpisahan, pelukan perpisahan ataupun kiss goodbye. Just enough to let you go…

Meeting berlangsung lancar walaupun selalu ada bentrokan di beberapa titik, tapi pada akhirnya mencapai kesepakatan. Seperti biasa, aku, Enzo dan keluarganya masih di ruang meeting saat semuanya termasuk June sudah meninggalkan ruangan.

“Aku saja yang lunch bareng klien, Pa.” Ucap Enzo.

“Ini hari terakhir Jules kerja, Enzo.” Terang Pa Darwin.

“Besok aku pergi jam 10 pagi. Kamu ikut anterin aku kan?” Pa Darwin dan Kenzu menatap Enzo, sementara aku menunggu jawabannya.

“Ehhhhmmm…Aku kira besok aku gak bisa anter kamu, sorry…”

“Ohh…Really? Kamu becandakan?” Enzo menggeleng.

I’m afraid I’m not.” Jawab Enzo.

“Nanti sore kamu balik lagi ke kantor?” Dia menggeleng. Aku penasaran karena Enzo benar-benar terlihat jelas sedang menghindariku.

So, this is good bye? Are you avoiding me?

I’m not avoiding you. I’m busy!” Ucap Enzo setengah berteriak.

“Oh, oke….” Jawabku sambil menahan rasak sakit yang mulai menghimpit dadaku.

Thank you for being a good boss, friend and brother to me…and oh..sometimes my enemy too. Thank you.” Jelasku kepada Enzo. Enzo menunduk dan meninggalkan ruangan rapat untuk bertemu klien.

Sekarang tiba saatnya aku mengucapkan salam perpisahan kepada Pa Darwin dan Kenzu. Mereka sepertinya tahu bahwa saat ini aku tidak sanggup lagi berkata-kata karena berusaha menahan tangisku. Jadi mereka membiarkanku beberapa saat.

It’s oke, take your time…” Ucap Kenzu. Pa Darwin memberikan tissue kepadaku. Dan memang saat itu suaraku menjadi bergetar, padahal aku sudah berusaha untuk berbicara normal.

“Dia maunya apa sih? Weird!” Aku mulai terisak karena Enzo benar-benar tidak menanggapi ucapan perpisahanku.

“Kamu masih mau pergi?” Tanya Kenzu.

“Aku makin termotivasi untuk pergi.” Jawabku.

Sorry, Jules…Kalau saja aku bisa bangkit dari kursi sialan ini, aku sudah pasti seret Enzo dan tonjokin dia karena mengabaikan kamu begitu saja….You know…sometimes, loves make you weird…” Jelas Kenzu berusaha mengungkapkan apa yang kira-kira sedang dirasakan adiknya.

“Saya ijinkan kamu untuk pulang lebih awal Jules, sehingga kamu bisa beristirahat.” Ucap Pa Darwin.

“Bisa saya pulang sekarang?” Pintaku. Aku benar-benar ingin pulang dan menghabiskan hari terakhirku dengan keluarga.

“Terima kasih Jules, karena sudah menjadi bagian dari perusahaan ini. Saya harap kamu bisa meraih apa yang kamu cita-citakan. Jujur saja, sebenarnya saya tidak pernah mengharapkan kamu pergi secepat ini.” Ucap Pa Darwin. Dan uluran tanganku tanpa disangka-sangka ditampik olehnya, dia malah memberiku pelukan seperti yang dilakukan istrinya.

That’s true. I just expected that you can be my sister inlaw.” Canda Kenzu. Aku hanya bisa tersenyum hambar. Akhirnya, aku meninggalkan kantor ini untuk selama-lamanya. Aku melarang Pa Ade untuk mengantarku. Aku memutuskan untuk mampir ke rumah Nana dengan taxi. Perpisahanku dengan Enzo tidak berjalan dengan baik.

“Jules?…” Nana membuka tangannya dan memelukku. Oh, Gosh I miss her so much.

“Mana Enzo?” Tanya Nana. Aku mengangkat bahuku, Nana menggeleng. Kami melanjutkan perbincangan di dapur sambil menikmati sajian khas rumah Nana.

“Bunga dari siapa itu, Nana?” Tanyaku sambil menunju bunga di dekat sink.

“Enzo. Kemarin sore, Enzo mengunjungi Nana. Kebetulan Nana sedang merapikan tanaman-tanaman Nana di halaman, jadi Enzo ikut turun bantuin Nana.” Aku berfikir sejenak, berarti kemarin sepulang dari Surabaya dia langsung ke sini?

“Kamu kenapa malah pergi ke Amerika bukannya menerima lamaran Enzo dulu? Setinggi apapun perempuan bersekolah, ujung-ujungnya mereka pasti ngurusin suami.” Nana mulai memberikan petuah khas Oma-Oma kepadaku. Aku sebenarnya berusaha menahan tawaku ketika Nana berfikiran Enzo sudah melamarku.

“Enzo melarang Nana atau siapapun untuk mendesak kamu supaya menerima lamarannya. Biarkan Jules sendiri yang menentukan apakah aku pantas untuk menjadi pendamping dia atau tidak. Kira-kira seperti itu apa yang diucapkan Enzo.” Aku yang tadinya menganggap semua ini lucu, tiba-tiba saja merasakan sesuatu mulai menghimpit dadaku lagi. Bagaimana aku bisa sebuta ini, padahal Enzo sudah benar-benar transparan memperlihatkan bahwa dia jatuh hati kepadaku.

Sore harinya aku pamit kepada Nana seraya mengucapkan salam perpisahan. Nana juga mendoakanku supaya aku tidak betah di sana dan kembali untuk menikah dengan Enzo. Haahaha…Enzo sudah sukses merebut hati seluruh keluargaku.

Adeline?…Aku lupa belum berpamitan kepadanya. Aku mengirim text kepada Enzo supaya bisa berbicara dengan Adeline. Akhirnya Adeline menghubungiku dengan handphone Enzo.

“Tante…Tante mau pergi?” Aku yang tadinya ingin mengucapkan selamat tinggal, terisak mendengar suaranya. Sepertinya dia tahu kalau aku menangis.

“Tante…” Aku berusaha menghentikan tangisanku dan berbicara kepadanya walaupun terbata-bata. Aku tahu kalau Enzo pasti mengeraskan speaker-nya.

“Iya, Sayang. Kamu baik-baik ya, ingetin Papa kamu supaya makan dengan teratur. Jangan pulang malem. Sering-sering bawa kamu jalan. Tapi,…jangan minta dia cat rambutnya lagi ya…hahahaha…Papa kamu lebih cakep dengan warna rambutnya sekarang, ash brown, sama kayak warna rambut Tante. Hafalin warnanya ya. Tante harus pergi sekarang, I’m gonna miss you…..both of you, bye!

Aku tiba di bandara pukul 8 pagi untuk mempermudah pengecekan barang dan lainnya. Aku, mama dan papa duduk menunggu. Vivi dan Lilian di rumah, karena Lilian demam jadi tidak bisa ikut mengantarku ke bandara.

Aku mendekati salah satu booth majalah dan membaca beberapa majalah. Ada seseorang yang meraih tanganku. Enzo??? Mungkinkah?

“Jules…”

“June?” Ucapku kaget. Dia tampak heran melihatku.

“Kemarin siang aku pergi ke Batam, hari ini aku baru tiba. Kamu mengantar siapa?” Aku tidak menjawabnya, hanya tersenyum. Melihat bibir June mengingatkanku kepada Adeline.

“Bisa bicara sebentar?” Pinta June. Haruskah? Tapi ini terakhir kalinya aku berada di sini.

“Kamu pasti tahu rumor tentangku di keluarga Enzo?” Aku mengangguk.

“Apa kamu tahu bahwa sebelum aku menikah dengan Kenzu, aku adalah asisten sekaligus pacarnya Enzo?” Aku kembali tercengang mendengar fakta tersembunyi tentang Enzo. June menghela nafas panjang.

If only I could turn back time. Dulu, setelah aku menjadi asisten Enzo selama 3 bulan, aku jatuh hati kepada Enzo. Aku selalu berusaha mengerjakan segala sesuatunya dengan sempurna di mata Enzo. Dia termasuk laki-laki yang respond daripada react. Setelah 6 bulan, dia akhirnya bisa membalas perasaanku. Aku menjalin hubungan dengan Enzo selama 6 bulan. Dia tadinya akan melamarku, tapi dia belum sempat mengabarkan semuanya ini kepada keluarganya. Sampai beberapa hari kemudian, Kenzu baru datang menyelesaikan sekolahnya di Jerman. Karena dia paling tua, dia menjadi General Manager. Aku melihat Kenzu lebih romantis dari Enzo, dan…..kedudukannya lebih tinggi. Dia tidak tahu kalau aku sebenarnya adalah pacar Enzo. Aku memanfaatkan ketidaktahuannya itu. Aku menjalin hubungan dengan Kenzu tanpa sepengetahuan Enzo sampai akhirnya Kenzu melamarku. Kamu tahu seperti apa kelanjutan ceritanya.” Terang June.

Yang terpikir olehku hanyalah menelepon Enzo, tapi panggilan penerbanganku sudah diumumkan. Aku berusaha membuat panggilan secepat mungkin kepada Enzo.

Dan di sinilah aku, di kantorku…meratapi kepergian Jules dan menangisi kebodohanku sendiri karena mengabaikan perpisahannya. Semalaman aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku memandangi meja kerjanya, seakan dia masih di sana berkutat dengan pekerjaannya.

Ujang membawakanku kopi dan sepertinya dia juga mengasihani diriku saat ini. Dia bergeming. Alih-alih meninggalkan ruanganku, dia malah mengajakku ngobrol.

“Mba Jules berhenti kerja ya, Pa?” What the? Aku mengangguk.

“Padahal Pa, Mba Jules itu baik sama siapapun. Bahkan sama staff OB juga. Selalu tersenyum dan tidak pernah lupa bilang terima kasih. Sama OB lho, Pa!” Aku menatap muka Si Ujang yang sepertinya tahu kalau aku merindukan Jules.

“Gitu ya?…” Jawabku singkat.

“Oh iya, Pa. Saya sama staff OB lainnya pernah beberapa kali dibawain makanan dari bakery Mamanya. Apa itu namanya, pa? Terracota???….” Akhirnya Ujang berhasil membuatku sedikit menyeringai.

“Panna Cotta, Ujang…Panna Cotta.” Rupanya jatahku dia alihkan ke OB.

Ujang sepertinya mulai sadar kalau aku sedang tidak mau diganggu. Dia pun pamit dan berlalu dari hadapanku.

Tok..tok…tok…Papa dan Kenzu sepertinya akan memberikan dukungan moril kepadaku. Terlihat dari cara mereka melihatku dengan tatapan simpati seperti itu. Aku terbaring di atas sofa membelakangi pintu ruanganku. Pandanganku tidak bisa lepas dari meja di hadapanku.

“Kamu mau kejar dia?” Tanya Papa. Aku menggeleng.

“Jadi kamu mau apa? Mau terus seperti ini? Rotting until the end of time?” Tanya Kenzu.

You talk to much!” Jawabku. Aku menyalakan handphone-ku yang memang sengaja aku matikan dari semalam. Ternyata ada 1 pesan suara dari Jules. Aku mendengarkannya.

“Enzo, aku ketemu June di bandara. Kamu kenapa gak pernah cerita tentang kamu sama June? Selama ini aku selalu menganggap aku satu-satuya orang yang menyedihkan karena ditinggalkan calon suaminya. Tapi kamu lebih menyedihkan karena pacar kamu lebih memilih kakak kamu sendiri. Kamu bener, she’s an evil…..penumpang pesawat nomor 319 harap segera memasuki….Enzo!…aku bingung…Hari rabu kemarin aku bertemu dengan Ronald untuk yang terakhir kalinya. Di sana aku selalu inget sama aku, aku gak bisa lupa sama kamu aku baru sadar kalau ternyata selama ini kamu sudah berusaha menjadi kakak, teman dan bahkan…kamu sudah mengisi hatiku. Sampai sekarang, aku masih bingung apa aku harus pergi atau aku harus kembali lagi untuk ketemu kamu dan…tut..tut…tut…”

“Hallo! Jules…Jules!…Of course you have to go back here, you fool!….”

“Idiot! Itu kan pesan suara!” Teriak Kenzu. Aku berusaha menghubungi Jules, tapi sepertinya dia sudah mematikan handphone-nya. Aku menjatuhkan tubuhku kembali di atas sofa, aku pasrah, aku menyerah dengan keadaan ini. Aku memandangi meja itu lagi.

When you meet her, what is the first thing you’re gonna tell to her?” Tanya Kenzu. Aku memejamkan mataku dan menghela nafas panjang.

I’m gonna tell her how much I love her…and I’m apologize for being such an idiot. I want to spend the rest of my life with her.” Kenapa kemarin aku tidak mengatakan semua ini kepadanya? Dick!

“Enzo…” Jules? Apa aku mulai berhalusinasi? Aku membalikkan badanku, dan Jules memang berada di depanku.

Well, brother…you’ve already told her.” Ucap Kakakku. Kenzu dan Papa meninggalkan kami berdua. Aku beranjak dari sofa dan menarik Jules ke pelukanku. Akhirnya aku bisa memeluknya seperti ini. Aku memeluknya erat sekali karena aku tidak mau kalau dia pergi lagi.

I’m glad you’re back, I miss you so!

“Enzo, aku hanya mau bawa barang aku yang tertinggal.”

“Hahaha…No, you’re not! Now, there is no way I’m letting you go.” Bantahku, menutupi ketakutanku ditinggalkan pergi lagi olehnya.

“Enzo…kenapa kamu bisa suka sama aku dalam waktu yang singkat?”

Because you’re the first woman who can make me react, not respond.” Jules menatap wajahku dan mencoba menggalinya lebih dalam.

I’m sorry for not feeling it back…” Ucapnya.

I accept your apology. But you feel it now, right?” Tanyaku ragu. Jules mengangguk dan menempelkan wajahnya di dalam pelukanku.

Why did you want to comeback here?” Tanyaku lagi.

What do you think?” Balasnya.

“Kamu kapan mau ngajakin aku nonton Titanic? You owe me a date.” Tanyaku. Jules terkekeh dan saat ini aku benar-benar merasakan dia sudah mulai mengaggapku seseorang yang berarti untuknya.

Name it!” Hah!…sekarang dia sudah berani menantangku.

Now! I’ll take you wherever you want…” Bisikku mesra.

Now is the time….saat yang sudah lama aku tunggu-tunggu. Aku mencium bibirnya lamaaaaa sekali…dan dia membalas ciumanku. She is a good kisser and that’s make me love her more.

“Awas kamu kalau masih mau dicium sembarang perempuan!” Ancamnya. Aku menyeringai jahil. Aku kembali memeluk dia seerat mungkin.

This is the biggest step I’ve ever made before. Meninggalkan begitu saja sesuatu yang benar-benar menjadi impian terbesarku. Dan aku tersenyum bahagia, tanpa ada penyesalan sedikitpun. Aku meninggalkan semua impian itu demi satu kenyataan indah di depan mataku. Dan aku tahu kalau aku tidak akan pernah menyesalinya.

You can be in a relationship for two years and feel nothing; you can be in a relationship for two months and feel everything. Time is not a measure of quality.” Ucap Enzo. Aku membelai rambutnya, kemudian wajahnya. Senyuman itu selalu membingkai wajahnya. Dan aku akan sangat bahagia jika aku bisa menjadi alasan di balik senyumannya itu.

What are you?” Tanyaku. Aku masih tidak percaya kalau aku bisa mendapatkan hati seorang laki-laki seperti Enzo.

Guess what? Your man!” Jawab Enzo.

Dan sekarang adalah saat dimana lagu gembira sudah mulai berkumandang. Saat dimana Aku dan Enzo sudah mulai menjalin hubungan yang serius. Terompet, drum, piano dan gitar sudah memainkan irama ceria. Saat layar menjadi gelap, tulisan the end muncul serta credit title berurutan keluar. But wait, slow down!……..We still have bonus for closing.

Sore ini, sebelum pulang Enzo mengajakku ke ruangan Papanya. Ruangannya sama seperti ruanganku, semuanya berdinding kaca, aku bisa melihat Pa Darwin, Bu Ferline dan Kenzu di dalam. Setelah mengetuk pintu, kamipun masuk. Aku berjalan beriringan dengan Enzo, mencoba bersikap wajar tanpa mengumbar kemesraan kami.

Hello Sunshine!” Sapa Kenzu. Aku terkekeh karena tahu bahwa sapaan Kenzu tadi hanya bertujuan untuk menggoda kembarannya. Sikap wajarpun terhenti karena Enzo keburu terpancing dengan gurauan Kenzu, alhasil diapun menggandeng tanganku di depan semuanya.

Hello, Dear!” Sapa Mamanya Enzo, tidak lupa sambil merangkulku dengan ramah.

“Hai!” Jawabku kikuk. Pa Darwin sepertinya bingung dengan kedatanganku serta Enzo ke ruangannya.

“Ehem…Pa, Ma…Kita mau nikah bulan depan.” Ucapan Enzo disambut dengan antusias oleh mereka bertiga. Kenzu langsung menatap perutku dan mencoba mendeskripsikannya dengan membuat lingkaran bulat menggunakan tangannya.

What? No…no…no…Aku gak hamil!” Bantahku. Enzo mengernyitkan dahinya karena dia sendiri tidak pernah berpikiran seperti itu.

“Sebenarnya Mama sudah tahu karena Enzo sudah bilang semalam. Karenanya, Mama mau ngasih kejutan buat kalian. Anggap saja ini adalah hadiah pernikahan dari Mama.” Aku menatap Enzo heran.

Tok…tok…tok…Pintu terbuka dan semua orang menatap ke arah pintu.

“Hello!” Cathy datang dengan membawa sebuah mini dress berwarna broken white.

“Apa wedding gown-nya sudah sesuai dengan keinginan kamu?” Tanya Enzo. Aku melihat dan menyentuh dress simple namun elegan sekaligus mewah itu.

“Hai Tante, Om!” Suara seorang perempuan dan laki-laki yang sepertinya sudah akrab di telinga kami. Aku dan Enzo pun akhirnya berbalik, dan…..

“Mereka berdua MC di hari pernikahan kalian nanti.” Ucap Mamanya Enzo. Mulutku menganga dan sepertinya aku tidak bisa mengedipkan mataku. Mereka berdua bergantian merangkulku.

Thank you for being my huge fans.” Ucap si perempuan.

Now, I am a biggest fans of you.” Tambah Si laki-laki dengan senyuman khas-nya yang ramah

“Masih mau satu cubicle sama mereka kan?” Tanya Enzo.

Closing music playing…………….THE END.

SINOPSIS

Jules seorang perempuan menarik dan berasal dari keluarga yang masih old school. Dia baru saja diterima bekerja sebagai asisten editor in chief salah satu majalah wanita terbesar di dunia, walaupun versi lokalnya. Bos-nya, Enzo merupakan bos idaman semua orang terkecuali Jules. Keluarga Enzo yang modern sangat bertolak belakang dengan keluarga Jules.

Enzo yang termasuk tipe laki-laki respond berubah menjadi react dengan Jule’s thing-nya. Entah panah apa yang diarahkan cupid sehingga dalam waktu singkat bisa membuat Enzo bertekuk lutut di hadapan Jules. Satu-satunya kesamaan antara mereka berdua adalah masa lalu yang pahit . Apakah Jules akan membalas sinyal cinta yang diberikan Enzo atau sebaliknya? Akankah kali ini waktu bisa bersahabat dengan Enzo?

Suka Duka Menonton Film Seri

Masih ingat film seri tahun 90-2000 an? McGyver, Knight Rider, Beverly Hills 90210, Popular, Clueless, Saved By The Bell, Sabrina The Teenage Witch, Friends. Semuanya masih membekas di ingatan saya. Yang terakhir adalah yang menjadi fav saya dan adik perempuan saya yang umurnya hanya selisih setahun dengan saya, menghibur dan selalu membuat saya tertawa sendiri saat mengingat berbagai kejadian lucu di sana. Saya bahkan mengkoleksi DVD nya dari season 1-10.

I’m a big fans of Friends, sampai sekarang Jennifer Aniston selalu menjadi fav actrees saya. Selain cantik dan rambut boomingnya yang selalu menjadi model rambut saya selama beberapa tahun, gaya modis, lucu dan manjanya dia saat menjadi Rachel mampu merebut hati saya. Saya sempat menjadi hatersnya Angelina Jolie karena merebut Brad dari Jen, but…setelah dipikir-pikir ternyata masih banyak yang lebih ganteng dari Brad.

Karena semakin banyaknya film seri, semakin sulit menentukan pilihan. Apalagi sekarang sudah banyak website download gratis film seri. CSI menjadi pilihan pertama saya, dari CSI Las Vegas, Miami dan New York. Sekarang CSI Miami dan New York sudah dihentikan, itu membuat saya sedikit kecewa, karena Tim mereka sudah seperti Tim saya sendiri. Tinggal satu yang masih berlanjut, CSI Las Vegas. Walaupun beberapa pemainnya sudah mengalami pergantian, tapi saya selalu suka dengan misteri di setiap kasusnya. Gara-gara menonton ini juga saya jadi tahu caranya menghentikan pendarahan darurat dengan lem super glue.

Setelah itu, serial Desperate Houswife mulai mencuri hati saya. Ibu-ibu muda aneh dan bermasalah menurut saya, dengan keunikan yang berbeda-beda. Perselingkuhan, pembunuhan, dan berbagai intrik menarik lainnya. Saya hanya menonton sampai season 7 saja karena keburu bosen.

Next, Grey’s anatomy. Kisah kehidupan di RS, dari mulai lika-liku romantisme para dokter sampai pasiennya dan berbagai kasus para pasien. Penyakit-penyakit aneh sampai kecelakaan tragis membuat saya senang menonton film seri ini. Tapi, lagi-lagi saya hanya menontonnya sampai season 8 karena seperti biasa, mulai bosan.

Ada juga Ugly betty. Kalau ini sampai tamat karena hanya 4 season saja. Kalau sedang bosan dengan masalah yang berat, saya mencoba menjalaninya seperti di cerita ugly bety atau friends. Ya, kadang setiap masalah bisa kita atasi secara drama atau komedi. Saya suka cekikikan sendiri kalau tiba-tiba saya mengatasi complain customer seperti Amanda Si Recepsionist di cerita ugly betty.

Saya juga sempat menonton serial Lie to me. Tentang agen yang bisa menguak kebohongan seseorang. Mereka bertugas dengan aparat pemerintah juga. Tapi serial ini hanya bertahan sebentar. Yah, ga enak kalau udah gini, gantung.

Saya juga sempat menonton Fringe Supernatural, kisah tentang ilmuwan yang menangani kasus-kasus aneh yang ternyata bisa dipecahkan dengan kepintaran manusia juga. Saya hanya menonton sampai season 3, karena saya mendapatkan serial ini dari teman dengan cara mengcopy filenya. Sesudah tamat season 3, mulai malas download season berikutnya.

Serial TV yang masih saya tonton sampai sekarang yaitu Supernatural, sekarang sudah Season 9. Chemistry Sam and Dean sebagai Kakak beradik menjadi inspirasi bagi saya sebagai sulung dari 4 bersaudara. Saya juga suka dengan keluguan Castiel dan juga kenakalan Crowley, The king of hell. Kalau saja pemain Crowley segagah Sam an Dean, sudah pasti saya akan jatuh cinta juga kepada Crowley.

Lanjut ke serial TVD, The Vampire Diaries. Awalnya hanya seperti kisah cinta vampire remaja. Lama kelamaan semakin banyak misteri yang terkuak. Awalnya tokoh Damon sangat menyebalkan dengan segala macam kejahatannya. But, ternyata Damon yang bad boys lagi-lagi bisa mencuri hati saya. Kenapa saya selalu menyukai bad boys ya? Saya masih ingat kata-katanya ketika berhadapan dengan musuhnya Silas. Silas heran kenapa orang sebaik Elena bisa jatuh cinta kepada Damon, Damon hanya menjawab “That’s because you never had sex with me.” So Damon. Itu yang membuat saya mengidolakan Ian Somerhalder pemeran Damon.

Dari serial TVD, lahir serial baru The Original. Tadinya The Original adalah bagian dari TVD. The Original sendiri adalah cikal bakalnya Vampire, karena tiga bersaudara The Original ini super hot. Jadilah serial baru The original. I love Bad Claus and wise Elijah. Walaupun baru season 1, saya harap tidak berakhir dengan cepat.

Yang paling baru yang saya tonton adalah Davinci’s Demons. Walaupun baru saja merampungkan season 1, tapi sudah bisa membuat saya terkagum-kagum dengan kepintaran Leonardo. Walaupun banyak sekali adegan hot tanpa sensor, tapi semua misteri dibalik cerita ini membuat saya penasaran menontonnya.

Begitulah suka dukanya menonton film seri. Disaat filmnya masih ditayangkan, ada seri baru lagi yang lebih menarik dan kita merasa jenuh meneruskan ke season berikutnya. Bisa juga disaat kita masih bersemangat menonton season selanjutnya ternyata sudah tidak dilanjutkan.

Untuk reality show saya lebih suka menonton ANTM, America’s Next Top Model. Selain berkaitan dengan kerjaan saya, kita bisa mengetahui kualitas model yang baik itu seperti apa. Ternyata menjadi seorang model itu tidak harus melulu cantik yang penting berbakat dan mau bekerja keras.

Ada lagi yang suka nonton film seri yang masuk daftar tontonan saya? Semangat terus!GambarGambar