UAS Semester IV Universitas Terbuka

Hello there!

UAS semester IV, mmmhhh…rasanya kayak pertama kali berani masuk ke rumah hantu hehehe…Kenapa coba? Karena semester ini saya bener2 sibuk..buk..buk…Dari mulai kerjaan foto yang alhamdulillah semakin rame, siapin anak menghadapi UN plus daftar ke SMP juga. Bisa dibilang Tuton juga ngikutinnya sesempatnya aja……(hening sejenak) mmmhhh….hehehehe, sebenernya Tuton yg ga sempet satu, statistik aja. Because I finally find my weakness here, NUMBER!! I hate number!

Seperti biasa, number itu punya bad history sama saya. Number itu layaknya cowok baru, manis di awal garing di akhir. Awalnya saya masih mengerjakan dan aktif mengikutin tuton statistik sampai mengerjakan tugas 1. Setelah itu saya mengerjakan latihan inisiasi 2 dengan lumayan masih bersemangat. Memasuki inisiasi 3 dan menyambut tugas 2, mulai…numbers make me dizzy! Dan setelah dilihat, tanggal pengumpulan tugas pun telat satu hari. What a good excuse not to do my assignment. Sampai inisiasi terakhirpun akhirnya saya ketinggalan. Saya selalu mendahulukan yang mudah dan mengakhirkan yang rumit, dan subhanallah, sampai UAS dilaksanakanpun saya masih tidak bisa bersahabat dengan number.

UAS minggu pertama, 8 Mei 2016. Kebetulan lagi long weekend kan dari hari kamis-minggu. Seminggu ini pula jadwal foto dan editing lagi padet2nya. 2 minggu UAS tempatnya masih di SMKN 8, buah batu.

UAS pertama jam ke-1 Translation 3, Jam ke-2 Translation 4. Saya sengaja memilih matkul translation khusus untuk ujian pertama, setelah berkenalan dengan translation 1-2 di semester sebelumnya (lihat artikel saya tentang UAS semester 3). Translation adalah matkul yang lumayan menantang untuk saya. Kuncinya adalah managemen waktu yang baik.

Hari ini saya hanya bertemu dengan teman saya Azhar yang semester kemarin sempat cuti karena telat registrasi, hahahha…orang sibuk juga dia.Sempat berbincang sedikit tentang UAS hari ini dan ternyata sama, selalu was-was saat UAS. Obrolan kita terhenti karena bel masukpun berbunyi dengan fals hehehehe….

Seperti biasa, pengawas membacakan peraturannya. Beliau membagikan soal dan kemudian membagikan lembar untuk menjawab pertanyaan essay. Yang selalu saya ingat sebelum mengerjakan adalah memastikan bahwa tanda tangan di daftar hadir dan di lembar jawaban saya sama. Maksudnya, jangan sampai di daftar hadir saya memakai paraf, sedangkan di lembar jawaban tandatangan full seperti di ID card.

Oh iya, sempat ada sedikit insiden, karena mahasiswa sebelah meja saya lupa membawa KTPU dan identitas diri. Akhirnya ada pengawas lain datang dan memperbolehkannya mengikuti ujian, asalkan sebelum ujian selesai KTPU dan identitas diri sudah ada. Mahasiswa inipun menghubungi seseorang untuk mengantarkan ID card, dll ke lokasi ujian.

Benerkan dugaan saya…formatnya sama seperti soal Translation 1-2, ada 6 paragraph @3 Indonesia-Inggris dan @3 inggris-Indonesia. 1,5 jam? OMG! saya mulai membagi waktu, @ paragraph 15 menit max. Yeayyy!! Ada yang bisa saya kerjakan 10 menit, dan hhuuffffttt…ada yang saya kerjakan sampai 20 menitan.

Si pengawas memberitahukan kalau waktunya tinggal 10 menit lagi, and you know what? Paragraph 5 aja belum kelarrrr….hellppp meee!!…Paragraph 6 bisa saya kerjakan sampai 50% mungkin, sampai akhirnya pengawas bilang kalau waktunya sudah habis….lemessss….untuk pertama kalinya saya tidak menyelesaikan jawaban.

Biasanya, setelah jam ke-1 selesai, saya keluar kelas dulu sebentar untuk melepas ketegangan, ngobrol2 riweuh sama temen2, sayangnya, kali ini temen2 seangkatan baru mulai jam ke-3 saat saya pulang, Azhar di lantai 2. Saya putuskan ga keluar kelas dan menunggu sampai soal ke-2 dibagikan sambil meratapi nasib Translation 3 yang ga kelar.

Soal ke-2, Translation 4…eheemmm…agak mendapat pencerahan, sepertinya lebih mudah daripada translation 3. Yippieee!!….bisa terselesaikan lebih awal, tepatnya 30 menit sebelum bel akhir. Optimis lagi deh, walaupun masih dongkol dengan kejadian sebelumnya.

Alhamdulillah UAS 1 beres, pulang dijemput si ganteng. Sepertinya dia simpati mendengar istrinya galau gara2 tidak selesai mengerjakan soal. he was trying to cheer me up, with brunch and walks heehehhee…Thank u Sweetie!

UAS minggu ke-2, 15 Mei 2016

Jam pertama Reading, kedua kosong, ketiga pengantar linguistik, keempat statistik (damn!) kelima writing. Padet bingits! At least, kali ini temen2 seangkatan kelasnya sebelahan, ada tempat untuk berbagi ketegangan hehehe…

Jam-1 Reading 4, sama kayak reading 1,2,3 lah. Masalahnya, yang ada di otak hari ini cuma UAS statistik! Coba?Segimana illfeel-nya sama number sampe bisa merasuki otak murniku (hiperbola sekali2 gpp kan? asal jangan hipertensi hehhee..). Reading bisa diselesaikan lebih awal, tandanya ga terlalu rumit.

Jam ke-2, break…nongkrong di depan kelas temen2, sambil mempelajari statistik lagi, siapa tahu kali ini dia agak bersahabat. Still….ga ada titik temu. Nyesel deh, ga pelajarin ini dengan khusyu, nyesel juga ga nyempetin disela2 kepadetan tugas2 harianku. Coba kalau penyesalan tuh datengnya di awal, paling engga walaupun muntah masih harus maksain.

Akhirnya jam ke-3 pengantar linguistik. Saya kasih tahu ya, semuanya ada di modul, jadi pelajarilah modul dengan baik dan benar hehehe…done! Sholat, makan dulu ye…biar lebih powerfull menghadapi jam selanjutnya.

Jam ke-4….matkul tata boga……aarrgghhhhh! i wish i could change it! Ternyata matkul statistik diperbolehkan buka buku dan bawa kalkulator statistik, tapi tidak diperbolehkan melihat tabel. Soalnya PG seperti biasa, ada 45 soal.Soal range sama median masih okelah, soalnya kan masih mengikuti saat Tuton. No 20 dst, hik..hik…hik…bantal mana bantal?…Krik…krik…krik…(suara jangkrik ya, saking heningnya) done! Keluar kelas ternyata temen2 masih di dalam kelasnya. Satu persatu muka kusut mereka terlihat dan hanya bisa pasrah. Curhatannya sama, kayaknya cuma 40% deh yang beneran dikerjain…(hihihi…ada temen…ada temen…).

Jam terakhir writing. That’s right! Perkiraan kalau soal writing adalah letter to editor emang bener keluar. Soalnya yang ada di modul hanya tentang cara menulis essay saja, sementara di tuton dapet tugas letter to editor. Soal satu lagi essay tentang apa ya? lupa hehehe…Yap, hanya ada 2 soal. Finally, it’s a wrap! Alhamdulillah bisa istirahat dulu buat nonton film seri yang mulai memasuki episode akhir. Vampire diaries, Originals, supernatural. Oooohhh…. what a good ending.

Ikhtiar udah, sekarang tinggal berdoa semoga hasilnya bagus. Doa-kan supaya hasilnya bagus ya! Luv u full…

 

 

My Novel

Hi you! yeahhh you!….Suka baca kan? Boleh…boleh…kalau berkenan silahkan baca novel-novel saya ini.

Sebenernya awal saya suka nulis gara2 pas zaman SMP dulu suka banget baca cerpen, sampe akhirnya baru terealisasi 2 tahun kemarin. Saya nulis 4 buku yang udh rampung. Walaupun belum pernah diterbitkan, tapi untuk kalian yang hobi baca novel2 romantis, buku saya ini bisa bikin kita senyum2 sendiri, sampe2 GR karena di sana kita merasa seperti seorang perempuan yang memang layak dihargai dan mendapatkan laki-laki terbaik. Tapi jangan sampe terlalu diresapi ya, because u’re gonna die alone buat nyari cowok2 se-perfect tokoh di novel saya ini. Inspirasinya? Semua kebaikan My-X, ada semua di sana, yg jeleknya ga saya film-lah hehehehehe….

Ada 4 buku nich!

1. For My Dearest Prince Charming

2. I’d Choose u Everytime

3. It’s Complicated

4. What Are You?

Sebenernya udah 8, tapi belum rampung semuanya….

Have a good read, readers! Luv U!

What Are You?

What Are You?

“Kamu keberatan jika saya menelusuri pekerjaan kamu sebelumnya lewat referensi yang kamu tulis di CV?”

“Silahkan Pa, anda boleh cek.”

“Kenapa kamu tidak mengisi pertanyaan terakhir yang saya ajukan?”

Is that necessary? I mean…for what?

“Jelas penting buat saya. Itu memberikan gambaran tentang sisi lain dari diri kamu!”

Sebenarnya alasan aku tidak mengisi pertanyaan itu, karena aku menganggap bahwa pertanyaan itu konyol dan sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan pekerjaanku nanti.

“Hey!….Saya sebutkan saja pertanyaannya dan kamu boleh jawab langsung, tidak usah ditulis. Sebutkan dua orang yang kamu harap bisa satu cubicle dengan kamu dan dua orang yang kamu tidak harapkan satu cubicle dengan kamu!”

Celebrity?” Tanyaku lagi yang masih kebingungan dengan pertanyaan aneh ini.

“Iya, karena kalau kamu sebutkan keluarga atau teman kamu, I’m afraid that I don’t know them.”

“Saya tidak berharap satu cubicle dengan Kanye West dan Justin Bieber.” Dia menatap dalam mataku dan memiringkan kepalanya seolah penasaran dengan jawabanku.

“Saya harap saya bisa satu cubicle dangan Sarah Sechan dan Rafi Ahmad.” Dia bergeming dan melanggar janjinya untuk tidak mempertanyakan jawabanku.

“Kenapa harus mereka berdua?” Tanyanya.

Why not? They both Indonesian Sweetheart.” Jawabku lugas.

I see…good choice.” Balasnya.

Dia berdiri dan mengulurkan tangannya kepadaku. Aku menyambut jabat tangannya dengan tegas, karena jabatan tangan juga bisa mencerminkan kepribadian diri kita.

“Selamat bergabung di perusahaan kami. Saya rasa kamu berkompeten untuk bekerja di sini bersama saya, menjadi asisten pribadi saya.”

Really?” Dia tersenyum dan mengangguk menjawab pertanyaan bodohku.

I said, really?…What the??? Interview pertama langsung diterima? Padahal sebelum aku menjawab pertanyaan terakhirnya itu, dia sempat ragu-ragu dan berkata bahwa akan ada interview lanjutan jika hari ini aku lolos.

Aku merayakan kemenanganku hari ini karena sudah diterima menjadi asisten pribadi editor in chief majalah wanita nomor satu di dunia, walaupun versi lokalnya. Besok aku sudah mulai bekerja dan aku pastikan bahwa hari-hariku selanjutnya pasti akan padat. Maka dari itu, sepulang dari interview, aku langsung memasuki salon langgananku and get spa.

Selesai body scrub and massage aku melakukan meni pedi. Aku ingin menampilkan kesan yang baik di hari pertama aku bekerja, sehingga mereka bisa mengingatku sebagai atmosphere yang positif. Melihat semua karyawan super modis dan up to date, aku harus mulai beradpatasi.

“Aku pulang!” Aku meletakkan tasku di atas sofa dan membuka stilletto-ku.

Hi there! Kesayangan Papa udah pulang. Ceritakan sama Papa, kenapa kamu bisa diterima secepat itu?” Aku meraih tangan papa dan menciumnya. Aku duduk bersandar di samping Papa yang selalu hangat menyambut kedatanganku.

“Aku juga bingung Pa, pertanyaan penentu itu sepertinya benar-benar membawaku bekerja di sana.” Papa membelai rambutku sambil tersenyum.

“Kenapa pertanyaan seperti itu bisa berpengaruh ya?” Aku memang sudah memberi kabar sebelumnya kepada Papa lewat telepon.

“Bos kamu seperti apa? Dia seumur Papa atau lebih tua, atau?…”

“Aku googling tadi Pa, ternyata umur dia masih tergolong muda. Umurnya 33 tahun. Masih sangat muda tapi sudah bisa menjadi bos besar. Aku salut sama dia, Pa.”

“Ganteng?” Papa mencolek daguku mencoba menggodaku dengan pertanyaannya itu.

From 1 to 10?….Twelve! Jawabku seraya membayangkan sosok sempurna Bos-ku.

“Tinggi, gagah, bersih, lebih cocok jadi model.” Jawabku. Papa sangat antusias mendengar penjelasanku.

“Kamu pasti belum makan?” Papa menarikku menuju ke dapur, karena sampai sekarang aku tergolong susah makan.

Aku tinggal di rumah ini bersama kedua orang tuaku serta adik perempuan dan keponakanku yang berumur 2 tahun. Adik iparku kerja di laut lepas dan pulang setiap sebulan sekali, karena itu setiap ditinggal kerja suaminya, adikku selalu tinggal di rumah ini.

Selama 27 tahun ini aku tinggal di sini. Home sweet home. Aku tidak pernah berpikiran untuk tinggal di apartemen ataupun keluar dari rumah ini. Rumah ini selalu memberikan energi positif bagiku, mungkin karena Papaku juga percaya dengan feng shui, sehingga dia menata rumah ini sedemikian apik.

The Twelve Weirdo

Seperti biasa, setelah sholat subuh aku sempatkan lari di sekitar komplek selama 15-20 menit. Setelah itu aku sarapan pagi dan dilanjutkan membersihkan badan dengan air yang langsung mengucur dari shower. Hhhhhmmmm….bisa menambah level semangatku pagi ini.

Finally, aku diantarkan papa ke kantor. Selagi Papa ada waktu, aku tidak pernah diizinkan untuk pergi ke kantor sendiri. Papa dan Mamaku mempunyai bakery yang lumayan rame. Papa lebih sering diam di rumah, sementara Mama selalu mengontrol pegawai setiap hari.

Aku turun dari Peogeout hitam yang lumayan tua itu. Aku melangkahkan kakiku dengan pasti menuju gedung tempatku bekerja. Aku tiba 15 menit lebih awal dari jadwal masuk. Aku ingin lebih leluasa supaya bisa observasi tempat baru ini.

“Selamat pagi Mba!…” Seorang Office Boy menyapaku. Aku melihat name tag yang menempel di seragamnya.

“Selamat pagi Ujang! Jawabku.”

“Asisten barunya Pa Enzo ya?” Aku mengangguk. Aku berusaha memperhatikan lantai tempat aku bekerja ini. Kalau aku tidak salah dengar, bosku bilang tempat aku duduk tepat di depan pintu ruangan dia yang berdinding kaca itu. Aku duduk di kursi tunggu di depan ruangan bosku.

“Selamat pagi Jules! Silahkan ikuti saya!” Entah datang darimana, yang pasti Si Bos sudah ada di depanku. Aku mengikuti instruksinya.

“Jadi, hari ini saya akan berikan job description kamu. Kamu bisa mulai bekerja di meja kamu dan jika perlu komunikasi dengan saya, kamu bisa pergunakan line telephone di meja kamu.” Terangnya sambil menunjuk ke meja kerja di depan ruangannya.

“Baik Pa, terima kasih.” Aku berlalu meninggalkan dia.

Wait! I’m a coffee addict, kamu bisa bawakan saya kopi setiap 2 jam sekali. Kopi, gula dan krimer, semuanya satu sendok takar.”

“Oke, saya bawakan yang pertama sekarang?” Si Bos mengangguk dan mulai duduk melihat berkas-berkas yang berserakan di mejanya.

Aku meninggalkan dia dan menuju pantry mencari OB. Aku tidak melihat satupun OB di sana. Aku berinisiatif untuk membuat kopi sendiri.

“Satu kopi, satu gula, satu krimer.” Gumamku.

“Pasti asisten barunya Enzo ya?” Seorang perempuan edgy, kira-kira early fourty menghampiriku. Sosoknya seperti Indy Barends. Aku bergeser sedikit memberikan ruang baginya yang saat itu hendak menikmati secangkir kopi pula. Aku sendiri tidak begitu menyukai kopi,walaupun wanginya terkadang suka menggugah selera.

“Iya, saya Jules.” Perempuan itu mengulurkan tangannya dan tersenyum hangat, menunjukkan lesung pipitnya yang manis.

“Aku Cathy, bagian wardrobe di sini.” Jawabnya ramah.

I see…mungkin nanti kita bisa lunch bareng ya?”

I’d loved too, tapi buat asistennya Enzo? Kamu bakalan jarang sekali bisa lunch di pantry. Darling…Kamu bisa lunch di meja kamu saja sudah untung.” Penjelasan Cathy itu benar-benar membuatku ingin cepat membaca job description-ku.

Really? Well, just watch and see. Nice to see you!” Aku berlalu meninggalkan Cathy.

Aku mengetuk pintu ruangan Bos-ku, aku melihatnya masih serius mempelajari berkas-berkas di meja. Aku menyimpan kopi di pinggir meja kerjanya dan segera menuju mejaku.

Aku mempelajari job description yang dia berikan kepadaku. Aku bisa menangkap kalau pekerjaanku di sini ibarat menjadi bayangannya Si Bos. Apapun yang akan dia kerjakan semuanya harus melalui aku terlebih dahulu. Kemana dia pergi, aku harus selalu ada mendampinginya. Sebelumnya, aku bekerja sebagai sekretaris direksi di perusahaan advertising.

Tuttt…tuttt…pesawat teleponku berbunyi.

“Jules, kamu tolong pelajari berkas New Product, kita ada meeting dadakan sejam lagi.” Aku melihat ke arahnya, matanya masih tertuju pada berkas yang sedang dia pelajari dari pagi.

Aku mempelajari semua bahan New Product yang dimaksud. Passion aku di bidang mode memang sangat dalam. Aku mempelajari semua hal yang berhubungan dengan majalah ini dengan semangat, tanpa terbebani sama sekali. Bekerja di sini merupakan kesenangan bagiku. New product yang dimaksud Si Bos bukan sembarang New Product. Kali ini kebaya rancangan Anne Avantie yang diusung untuk next issue.

Sejam kemudian Si Bos keluar dari ruangannya, dia berhenti di depan mejaku. Dia memakai blazernya dan membawa beberapa berkas.

Come on! Kita meeting sekarang!” Ajaknya. Aku buru-buru berdiri dari kursiku dan membawa beberapa berkas serta tas dan iPad-ku. Aku berjalan berdampingan dengannya.

Di dalam lift…..hening….and that was awkward. Bisa dibilang kalau aku baru saja kenal dengan Bos-ku dan belum tahu dia seperti apa. Aku harus bersikap seperti apa di depannya? Akhirnya aku memilih diam tidak berusaha membuka percakapan.

Kita pergi dengan diantar supir pribadinya, Pa Ade. Aku duduk berdampingan dengan Si Bos di belakang. Dia sama sekali bukan tipe orang yang senang menghabiskan waktu dengan gadget, sehingga akupun tidak berani mengisi kecanggungan ini dengan gadget.

“Kamu memang sediam ini ya?” Tanyanya.

“Enggak, saya belum berani membuka pembicaraan dengan Bapa.” Dia tersenyum… and that’s….aaarrrrrggghhhhhh….lovely!

Oke!First, you can call me Enzo. Anggap saja aku ini temen kamu. Karena kalau kamu sudah membaca job description kamu, kamu pasti tahu kalau pekerjaan kamu itu melulu mengikuti aku dan mendampingi aku. Aku tidak mau kalau sampai besok lusa kamu keluar kerja gara-gara tidak nyaman dengan situasi yang kaku seperti ini. Aku malas melakukan interview lagi.” Terangnya.

“Oke, aku akan berusaha menjadi asisten yang baik. Aku kira tadi meeting-nya di kantor, kita mau meeting di mana?” Enzo mulai bersandar di jok mobil, dia terlihat lebih relax sekarang.

“Kita meeting di Hotel Four Season. Kita ketemu designer-nya langsung di sana.”

“Kita ketemu Anne Avantie?” Aku sangat antusias mendengar kita akan meeting dengan salah satu tokoh inspirasiku. Enzo tersenyum melihat tingkahku ini.

“Iya, tapi kamu jangan kelihatan seperti fans dia yang urakan ya!” Aku menggeleng dan masih menyeringai membayangkan akan bertemu beliau.

Dua puluh menit menuju Hotel Four Season benar-benar tidak terasa. Ternyata Enzo adalah sosok pria yang menyenangkan sekaligus pintar. Dia juga sangat menghargai lawan bicaranya siapapun itu. Kami menuju salah satu kamar hotel tempat designer ternama ini menginap. Dia sedang menghadiri acara di hotel ini. Di sana dia didampingi oleh seorang sekretaris dan seorang asisten.

Aku serahkan bahan meeting ini kepada Enzo. Aku juga ikut berperan serta membantu Enzo berbicara di meeting ini. Saat ini kita sedang membahas tentang bagaimana Hasil karyanya akan disuguhkan di halaman majalah kami, siapa modelnya, bagaimana set pemotretan-nya, seperti apa temanya sampai siapa fotographer yang dia percaya untuk mengantarkan kreasinya kepada readers?

Meeting berjalan sesuai yang diharapkan. Akhirnya kita bisa mencapai suatu keputusan. Aku bangga dengan hasil kerja sama kami yang pertama ini. Dua jam berlangsung sangat cepat, sampai akhirnya kami keluar dari hotel itu menuju lobi.

Let’s celebrate!” Ucap Enzo. Aku tersenyum menyambut ajakannya itu.

“Kita lunch aja ya! Ini kan kerja sama kita yang pertama, tapi aku sudah bisa melihat hasil kerja kamu yang cukup memuaskan.” Ajak Enzo lagi.

Enzo memilih sebuah resto yang tidak jauh dari Hotel tadi. Di sini kami memulai pembicaraan layaknya seorang teman. Entah kenapa, berada di dekat Enzo seperti berada di dekat seseorang yang sudah dekat denganku.

“Jadi kamu hanya punya seorang saudara perempuan? Tell me about your niece!

“Mmmhhh…umurnya 2 tahun, anaknya lucu, matanya sipit, kulitnya coklat.”

“Pasti rame ya di rumah kalau ada anak seumur itu?” Tanya Enzo. Alunan suara Robin Thicke-Blur lines terdengar dari smartphone-nya Enzo.

“Iya, nanti Papa pulang cepet kok. Oke, nanti Papa bantu menggambar.” Ternyata Enzo sudah mempunyai seorang anak.

“Jules, nanti tolong pelajari lagi berkas-berkas lain untuk meeting lanjutan ya!” Aku mengangguk.

Kami kembali ke kantor pukul 3 sore. Setelah sampai di ruanganku, aku melihat di ruangan Enzo sudah ada seorang anak perempuan berusia kira-kira 4 tahun. Dengan rambut bob lurus hitam dan kulit yang bersih. Anak itu bersama seorang bapa-bapa yang perawakannya mirip Prof. X di film X-Man, walaupun sudah botak tapi masih gagah dengan stelan jas yang rapi. Anak itu memeluk Enzo yang baru saja datang. Aku rasa dia adalah anak yang sama yang menelepon Enzo tadi.

Aku kembali meneruskan pekerjaanku, kali ini aku melihat OB lewat di sekitarku, aku menyuruhnya membawakan kopi untuk Enzo. Cathy dari kejauhan melambaikan tangannya, kemudian dia menghampiriku.

“Gimana? Benerkan kamu ga bisa lunch di pantry?

“Iya, aku sama Enzo ada meeting dadakan di Four Season. Setelah itu, baru kita lunch.”

“Enzo? Did you just call him Enzo?” Aku mengangguk ragu-ragu.

“Kamu pake kata ganti apa kalau bicara dengan Enzo?”

“A-aku, Kamu?….” Jawabku terbata-bata.

Oh my Gosh!” Cathy sepertinya kaget dengan jawabanku.

“Aku kasih kamu bocoran ya. Enzo itu selalu ingin dipangil Bapa, dia juga menggunakan kata ganti saya dan selalu berbicara dengan kata-kata baku kepada siapapun selama di lingkungan kantor termasuk sama asistennya.”

Really?” Aku setengah tidak percaya dengan fakta yang baru saja disampaikan Cathy. Aku memandang ke ruangan Enzo dan aku melihat dia sedang menatapku, kemudian mengangkat gagang telepon. Yap! Dia meneleponku.

“Jules, come here!” Aku segera mengakhiri pembicaraanku degan Cathy. Aku tidak mau sampai kena semprot di hari pertamaku bekerja karena kepergok sedang menggosip. Cathy kembali ke ruangannya, sementara aku menuju ruangan Enzo. Bapa-bapa itu sedang membaca koran di sofa, sementara anak kecil itu berdiri di samping Enzo.

“Hai Tante!” Sapaan lembut dari anak kecil berparas cantik.

“Hai!” Aku melambaikan tanganku.

“Ini ada berkas tambahan yang harus kamu siapkan untuk meeting besok pagi. I’m afraid that you should bring this files to your home.” Ucap Enzo.

“Oke!” Aku mengambil berkas itu dan bermaksud segera keluar dari ruangan Enzo.

“Tante Jules kan? Aku Adeline.” Enzo melihatku, kemudian melihat Adeline.

“Iya, nice to meet you Adeline.” Jawabku berusaha ramah dengannya.

Nice to meet you too. I like you.” Enzo tersenyum menanggapi ucapan Adeline. Aku membalikan badanku hendak keluar. Tapi langkahku kembali terhenti ketika bapa-bapa itu menyapaku juga.

“Saya Darwin, Papanya Enzo.” Aku menghampirinya dan menjabat tangan Pa Darwin. Dia bangkit dari tempat duduk dan membalas jabatan tanganku.

“Senang bisa bertemu dengan anda, Pa. Saya Jules, saya mohon undur diri karena harus melanjutkan pekerjaan saya.”

Suasana di dalam sudah pasti berubah menjadi rame setelah kehadiran makhluk kecil barusan. Aku sesekali memperhatikan Enzo dari luar. Dia membantu anaknya menggambar dan mewarnai. He’s definitely hot dad!

Lamunanku tiba-tiba terpotong saat Rose the receptionist menghampiri mejaku dengan didampingi OB. Bruk!! Dia meletakkan beberapa amplop surat dan satu buah paket di mejaku. Dia melambaikan tangannya dan berlalu dengan senyuman mengembang di bibirnya. Lamunanku kembali berlanjut setelah aku memperhatikan bahwa tidak ada satupun foto istri Enzo di dalam ruangannya. Kira-kira seperti apa ya wanita beruntung itu?

Enzo dengan segala kesempurnaan yang dimilikinya. Perempuan seperti apa yang kira-kira dia pilih untuk menjadi pendamping hidupnya? Perempuan seperti apa yang dia percaya untuk menambatkan hatinya? Pikiranku jauh melayang membayangkan kira-kira wajah artis siapa yang paling cocok untuk bersanding di sebelah bos-ku ini? Sepertinya artis sekelas Dian Sastro ataupun Raisa juga pantas bersanding dengannya.

“Hai Jules! Gimana Bos ganteng kamu? Ada tanda-tanda dia kelepek-kelepek sama kamu gak?” Ucap Vivi asal.

Yeah, right!” Jawabku gak kalah asalnya. Aku mengeluarkan bungkusan di tasku dan memberikannya kepada Lilian yang serta merta memburu kedatanganku. Jelly dan ice cream kesukaannya.

“Gimana hari pertama kamu bekerja?” Aku menghampiri Mama yang sedang menyiapkan makan malam di dapur. Aku mencomot satu perkedel kornet yang sudah disajikan di atas meja.

“Lancar, Ma!” Gumamku sambil mengunyah. Papa tersenyum dan kami mulai menempati kursi masing-masing untuk jamuan makan malam ala Ibu Nadine.

Seperti biasa, di meja makan, kami menceritakan tentang semua kejadian hari ini. Dari mulai customer Mama yang mendadak ingin memesan 1.000 croisant isi ayam, padahal selama ini Mama belum pernah membuat croisant isi ayam, untuk itu Mama sedang berusaha mengkreasikan resep baru pesanan customernya. Ada juga Vivi yang mendapat kabar bahwa kedatangan suaminya akan diundur seminggu dari waktu yang sebelumnya sudah ditetapkan. Papa yang hari ini membawa mobil tua kesayangannya ke bengkel sampai Lilian yang sudah bisa mengucapkan kata-kata yang sedikit rumit. Seperti itulah suasana rumah yang selalu membuatku meridukan pulang disaat aku sedang berada di luar

Heeeemmmm….what a good day! Sebelum memejamkan mata, kali ini aku memeriksa dulu semua kesiapanku untuk meeting besok. Setelah semuanya oke, saatnya menjelajah dunia mimpi. Hoooaaaammmm…I Hope tomorrow is better than today. Thanks God for everything.

Kembali ke rutinitas. Pagi ini, baru saja sampai di mejaku, Enzo sudah keluar dari ruangannya menuju mejaku. Rupanya dia datang lebih awal. Dia terlihat sangat serius untuk meeting pagi ini.

Let’s go to the meeting room!” Aku mengikutinya.

Begitu terkejutnya aku ketika melihat Papanya Enzo juga hadir di ruangan meeting. Mereka masih bersiap-siap dengan bahan untuk meeting sekarang. Aku memanfaatkan situasi ini untuk meminta Enzo menyebutkan siapa saja orang yang ada di ruangan ini.

“Kamu bisa sebutin siapa saja yang ada di ruangan ini?” Bisikku kepada Enzo.

“Penasehat, Konsultan Hukum, Redaktur, Sekretaris Redaksi, Editor, Reporter, Artistik, Fotografer, General Manager and also Founder.”

Mulutku seolah susah untuk menutup kembali ketika Enzo menyebutkan orang terakhir seraya menunjuk orang di sebelahnya. Yap! Papanya sendiri. Dia adalah pemilik Majalah besar ini. Bodohnya aku tidak sempat mencari tahu tentang semua ini. Mereka semua datang bersama asistennya.

Meeting kali ini cukup alot, kita membahas tentang kelangsungan majalah ini di tengah makin banyaknya kompetitor. Perbedaan pendapat dari beberapa orang cukup untuk membuat pagi ini terasa cukup berat. Bahan yang aku ajukan bersama Enzo pun sempat ditentang oleh beberapa orang sampai akhirnya disetujui setelah melalui beberapa pertimbangan.

Setelah 3,5 jam berlangsung, akhirnya rampung juga. Semua orang kembali ke ruangannya masing-masing. Aku, Enzo dan Pa Darwin keluar paling terakhir sampai redaktur yang Enzo sebutkan menghampiri kami. Seorang wanita cantik berambut panjang mempunyai kulit kuning langsat, dengan tubuh yang proporsional serta gayanya yang elegan.

“Hai, bagaimana kabar Adeline?” Enzo sepertinya tidak ingin menanggapi perempuan itu, dia lebih memilih meninggalkannya. Alhasil, Pa Darwin yang meladeninya. Aku masih sibuk membereskan berkas-berkasku.

“Baik, terima kasih sudah bertanya.” Aku tidak ingin dianggap menguping pembicaraan mereka, aku segera menyusul Enzo. Aku bertemu Cathy yang hendak ke pantry. Dia mendekatiku and still…dia masih ingin membahas obrolan kami yang terakhir.

“Gimana bos kamu?”

Fine!… iseng banget sih, Mba!” Cathy menunjuk Enzo yang saat itu sedang duduk di meja kerjaku.

See? Dia udah nungguin kamu.” Aku tersenyum dan berlalu meniggalkan Cathy.

“Hai!” Sapa Enzo singkat. Dia memeriksa berkas-berkas di mejaku.

“Hai! Boleh nanya?” Enzo menatapku. Dia mengangguk.

“Kamu kenapa pergi duluan?”

“Kamu mau aku tungguin?” Enzo mencoba menggodaku dengan pertanyaannya itu. Dan itu semua berhasil membuatku gelagapan. Dia tertawa melihatku salah tingkah.

Relax, Jules!…Meeting-nya sudah selesai, jadi aku keluar.” Sebenarnya dia tahu kalau arah pertanyaanku bukan ke sana. Tapi aku lebih memilih mengikuti dia, aku tidak mau dia menganggapku terlalu ingin tahu.

“Ada yang mau ditanyain lagi?” Aku menggeleng. Sebenarnya banyak sekali yang ingin aku ketahui tentang Enzo, tapi aku rasa nanti saja, lain waktu aku akan bertanya lagi.

“Kamu bisa tolong ambilkan aku makan siang? Kalau bisa kamu temenin aku makan siang di ruanganku.”

“Oke, kamu mau diambilkan apa?”

“Sandwich tuna sama kopi.”

“Oke, I’ll be right back!

Kali ini di pantry aku bertemu dengan redaktur tadi. Dia membawakanku secangkir kopi disaat aku akan membuatkannya untuk Enzo.

“Satu kopi, satu gula dan satu krimer.” Dia menyodorkan secangkir kopi di tangannya padaku. Aku menaruh baki yang berisi 2 sandwich di meja terdekat.

“Untuk Enzo?” Tanyaku penasaran.

“Aku June. I used to make this coffee for him.” Aku membalas jabatan tangannya.

“Oh…I see. Thank you for helping me.” Ucapku.

“Mungkin lain kali kita bisa bercakap-cakap lagi.” Ucapnya. Aku mengangguk dan berlalu meninggalkan dia.

Seperti permintaan Enzo sebelumnya, aku menemani dia makan siang di ruangannya sambil menonton fashion TV. Sangat cocok dengan bidang yang kita tekuni.

“Boleh nanya lagi?” Enzo mengangguk.

“Tadi aku ketemu June di pantry. Dia bikinin kopi buat kamu sebelum aku sempet bikin. Dia bilang kalau dulu dia suka membuatkan kamu kopi juga.” Enzo tampaknya sangat membenci June.

“Kamu gak boleh seenaknya nerima apa yang orang bikinin buat aku. Gimana kalau orang itu naruh racun di sana? Kamu mau tanggung jawab?” Enzo mulai terlihat kesal dan mendorong kopi itu ke arahku.

“Eh…sorry, aku gak enak nolaknya. Lain kali aku bakalan lebih hati-hati. Nanti aku ganti kopinya. Yang ini gak usah kamu minum.” Enzo kembali menikmati makan siangnya sambil menyaksikan Fashion TV. Sementara aku mulai tidak enak karena kecerobohanku sendiri. Enzo sepertinya menyadari ekspresi wajahku yang sedikit berubah.

“Dia itu ibunya Adeline.” Aku menatap Enzo. Apa mungkin mereka sudah bercerai ya? Aku tidak menanggapi jawaban Enzo. Aku berusaha menikmati kembali sandwich tunaku. Sampai akhirnya kita selesai dengan makan siang yang hening dan membosankan. Aku beranjak dari sofa hendak menuju meja kerjaku.

“Mulai besok, kamu satu ruangan sama aku. Di luar banyak gangguan, banyak gosip, banyak orang yang sok tahu dan pengen banyak tahu juga.”

“Oke…mmhhhh…kamu keberatan ya kalau aku ngobrol sama Mba Cathy? Dia kelihatannya baik dan ramah.”

“Enggak masalah, tapi lama kelamaan bukan hanya Mba Cathy yang bakalan nyamperin kamu untuk sekedar ngobrol. Informan-informan gak jelaspun bakalan bermunculan.” Senyuman Enzo tidak tampak setelah bahasan June sampai kalimat terakhir yang terlontar dari mulutnya. Aku berlalu meninggalkan Enzo.

“Aku pulang!” Seperti biasa, aku menyimpan tas di sofa dan duduk membuka stilletto-ku.

“Jules…Jules…” Seorang makhluk kecil yang sudah tidak asing lagi berlari ke arahku. Sebenarnya dia hendak memanggilku Mama Jules, karena adikku memberikan sebutan seperti itu kepada anaknya. Tapi, karena dia masih belum lancar berbicara, alhasil makhluk kecil ini memanggil potongan kata terakhir, Jules.

“Hai!…I miss you so much!” Aku mencium dan menggendong ponakanku ini. Sudah menjadi habbit anak ini, begitu aku pulang pasti dia membuka tasku dan mencari oleh-oleh untuknya. Aku selalu menyempatkan ke mini market untuk sekadar membeli coklat, Jelly atau ice cream.

“Hai! Gimana hari kedua?” Tanya adikku. Dia duduk disampingku dan membantu anaknya membuka coklat yang aku bawa.

It’s… a good day, I guess!” Jawabku. Dia tersenyum jahil.

“Kamu pasti mulai jatuh cinta sama bos kamu ya?”

What the??? He’s married!

“Wah! Cantik gak istrinya?” Aku mengangguk.

“Pantesan kamu lemes!” Aku menimpuknya dengan bantal kursi di pangkuanku.

“ Dasar! Aku bingung aja. Kenapa dia ga akur sama istrinya ya?” Aku menceritakan semua kejadian tadi di kantor. Kebetulan saat itu ada mama dan papaku juga. Keluarga kami terbiasa dengan kebersamaan dan keterbukaan.

“Nih! Croisant ayam ibu Nadine akhirnya rampung.” Ucap Mama bangga sambil menyodorkan seloyang croisant hangat yang wanginya menggugah selera. Kami berebut mengambil hidangan yang sangat susah ditolak itu. Memang Mama tidak pernah mengenal menyerah jika ada permintaan baru dari customernya. Dia selalu berusaha menciptakan the best recipe.

Pagi ini, ketika aku tiba di depan ruangan Enzo, aku melihat mejaku dan semua yang biasanya di depan ruangan Enzo, sudah lenyap dan berpindah ke dalam. Dari luar aku melihat Enzo sedang memberi instruksi kepada beberapa orang pegawai. Dia mencoba mengatur letak mejaku. Dia memberi isyarat dengan tangannya menyuruhku masuk.

“Hai, gimana pendapat kamu?”

Nice!” Enzo tersenyum. Dia menyuruh orang-orang itu keluar. Aku mengeluarkan bungkusan tupperware dari tasku.

“Nih! Dari Mamaku. Kamu harus coba croisant ayam resep terbarunya.”

“Kamu tahu aja kalau aku belum sarapan.” Dia membuka bekal yang aku bawakan dan langsung menyantapnya. Aku segera menempati meja baruku.

Aku baru sadar kalau Enzo sepertinya bermalam di sini. Bajunya yang kemarin aku lihat menumpuk di bawah meja kerjanya.

“Kamu tidur di sini?” Dia mengangguk tanpa menoleh kepadaku. Aku menghampirinya dan duduk di samping Enzo. Aku sudah merasa kalau dia itu temanku, jadi aku tidak merasa canggung lagi berdampingan dengan dia.

“Kenapa? Kalau kamu banyak kerjaan, kenapa gak kamu delegasikan sama aku?”

“Nop! Aku lagi males pulang aja.” weird!

“Aku gak pernah ngerasa males pulang. Rumah buat aku sesuatu yang aku tunggu-tunggu. Tempat aku melepas lelah, penat setelah seharian bekerja.” Enzo bergeming.

“Itu karena kamu punya semua yang kamu mau di rumah. Kalau aku, aku lebih merasa ruangan ini adalah rumahku.”

“Berarti kamu sering tidur di sini?” Enzo mengangkat bahunya.

Weirdo!” Aku berlalu meninggalkannya dan menuju ke mejaku.

Pa Darwin mengetuk pintu ruangan dan masuk ke ruanganku. Dia melihat Enzo sedang menyantap sarapannya. Dia tersenyum kepadaku. Aku sebenarnya ingin keluar untuk memberi ruang kepada mereka berdua, siapa tahu dia ingin berbicara 4 mata dengan anaknya. Tapi niatku ini disanggah olehnya. Pa Darwin mempersilahkanku untuk melanjutkan pekerjaanku.

“Kamu tidur di sini?” Pa Darwin menyalakan TV dan duduk di sofa berbincang dengan Enzo. Enzo mengangguk sambil terus mengunyah.

“Kamu kan bisa pulang ke apartemen kamu kalau gak pulang ke rumah?”

“Males Pa, aku lagi pengen tenang!” Enzo menyelesaikan sarapannya dan menyeruput kopi yang sudah ada di mejanya semenjak aku datang.

“Gimana Adeline, Pa?”

“Baik. Kamu berhenti memikirkan dia untuk beberapa saat, pikirkan juga diri kamu sendiri.” Aku mulai tidak enak dengan pembicaraan intern ini, akhirnya aku pamit berdalih ke toilet.

Kenapa Pa Darwin malah menyuruh anaknya untuk melupakan cucu dia sendiri ya? Keluarga yang aneh!

Aku biasanya jarang sekali ngopi, tapi daripada bengong di pantry gak karuan, aku sengaja membuat kopi untukku sendiri. Disaat seperti ini, Cathy tidak juga muncul, padahalkan banyak sekali yang ingin aku tanyakan.

Aku menikmati secangkir kopi sambil menonton Fashion TV seperti biasa. Kalau saja tadi aku membawa smartphone-ku, mungkin saat ini aku akan menelepon Vivi menceritakan semuanya, atau hanya sekadar mendengarkan ocehan Lilian yang masih belajar ngomong.

Bruk!…lamunanku dikagetkan dengan duduknya Enzo di hadapanku. Aku gelagapan karena ini bukan waktunya break, tapi aku sudah berleha-leha di pantry.

Sorry, aku baru mau ke ruangan sekarang.” Enzo menatapku. Sepertinya dia kelelahan, atau mungkin dia kurang tidur? Dia menghela nafas berat.

Just stay!” Jawabnya lagi. Seperti biasa, aku mangut terhadap perintah bos ku ini.

“Kamu kenapa gak pernah ngebantah perintah aku?” Tanya Enzo. Aku bingung dengan pertanyaan dia yang suka tiba-tiba gak jelas.

“Karena aku di sini kerja dan kamu atasan aku. Perintah kamu harus aku jalankan selama tidak keluar dari job description.” Jelasku. Dia mengangguk.

“Kamu kenapa?” Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa menanggapi sikap Enzo ini.

“Aku butuh udara segar! Let’s go!” Aku mengikuti Enzo. Saat ini, disaat Pa Ade membukakan pintu mobil, Enzo malah menyuruhnya beristirahat di kantor. Dia memilih membawa mobil sendiri.

Aku duduk di sampingnya dan merasa sangat amat canggung. Enzo membuka dasi dan blazer-nya. Dia juga membuka 3 kancing kemejanya. Mobilpun meluncur dengan halus. Enzo menyalakan tape dan mulai terdengar alunan suara dari Neyo menyanyikan Let me love you. Saat ini aku baru mengetahui sisi lain dari Enzo, ternyata dia sama saja dengan laki-laki normal seusia dia.

Aku masih mengamati gerak-gerik Enzo yang sangat berbeda dari biasanya. Dia tidak berusaha membuka percakapan lebih dulu. Kali ini aku juga memutuskan untuk menikmati hari bebas dari pekerjaan. Setelah beberapa saat berkendara, aku baru sadar kalau ini adalah jalan menuju tempatku tinggal. Aku tidak tahu kalau Enzo mempunyai kenalan atau saudara di komplek ini juga. Tapi ternyata, dia memang berhenti tepat di depan rumahku.

“Aku mau tahu, kenapa kamu sangat betah di rumah? Kamu gak keberatan kan kalau hari ini aku berkunjung ke rumah kamu?” Aku masih shock karena tiba-tiba saja berada di depan rumah dengan Enzo.

“Hey, Jules! Aku tahu alamat rumah kamu dari CV. Kalau kamu keberatan kita balik lagi ke kantor.”

“Hah? Mmhhhh…sorry…sorry…kamu kan gak bilang mau ke rumahku, jadi aku masih kaget.” Dia tersenyum dan keluar dari mobil. Tampak dari dalam gerbang rumah, Lilian berlari menyambutku dan berusaha membuka gerbang yang dikunci.

“Jules…Jules…” teriaknya. Enzo tertawa melihat tingkah Lilian yang memang menggemaskan. Aku baru melihat Enzo tertawa seperti itu.

Papaku terlihat menyusul Lilian dan membukakan gerbang. Dia sama kagetnya denganku melihat Enzo di depan rumah. Sebelumnya aku sempat memperlihatkan foto Enzo dari internet kepada orang-orang di rumah.

“Selamat pagi menjelang siang, Pa….Saya Enzo.” Papa menjabat tangan Enzo dan mempersilahkannya masuk. Kebiasaan di keluarga kami menyambut tamu yang dianggap baik haruslah di dapur, karenanya Papa langsung menggiring Enzo ke dapur. Hari ini mama sedang berada di rumah tidak pergi ke toko.

“Nak Enzo ya? Kebetulan Mama lagi bikin camilan nih!” Enzo sepertinya memang sudah lama tidak menemukan suasana rumah seperti ini.

Lilian terihat malu-malu mendekati Enzo, sementara Enzo berusaha menjadi teman yang baik untuknya. Dia memberikan coklat yang memang ada di saku kemejanya. Lilian hilir mudik dari dapur ke ruang tamu dan terus bolak balik mencari perhatian.

“Pantesan Jules seneng sekali kalau waktunya pulang, suasana rumahnya hangat seperti ini. Siapapun pasti mau pulang ke rumah seperti ini.” Mama sepertinya terenyuh mendengar ucapan Enzo. Dia segera menyuguhkan kopi yang pas dengan takaran Enzo.

“Satu kopi, satu gula, satu krimer-kan?” Canda Mama. Enzo tersenyum melihatku dan masih tidak percaya kalau aku menceritakan hal-hal seperti ini kepada keluargaku.

Semuanya ini berlangsung sampai jam makan siang. Yap! Enzo yang aku ingatkan untuk kembali ke kantor malah menolak dan ingin menghabiskan waktu makan siang di rumahku. Setelah selesai, baru kami kembali ke kantor.

“Besok kan Jumat, hari terakhir kerja. Biasanya aku akan menjamu klien-klien di luar. Kamu juga seperti biasa ikut aku menjamu mereka. Sehabis pulang kerja kita merapat ke tempat yang sudah mereka tentukan.” Aku mengangguk.

Hari ini di kantor rutinitas kembali lagi seperti biasa. Semuanya berjalan lancar. Hanya saja aku tidak melihat Mba Cathy. Pa Darwin beberapa kali terlihat mengontrol Enzo dari luar ruangan.

A moment on your lips, forever on your hips….” Gumamku berulang-ulang. Enzo menatapku bingung, dia menggeser kursinya dan menghampiriku.

What are you doing? Staring at your lunch box and mumbling.” Tanyanya. Aku menghela nafas panjang. Hari ini aku membawa bekal dessert seperti biasa. Enzo sudah menyantap bagiannya, sementara aku hanya menatap bagianku.

“Berat badan aku sepertinya naik bulan ini.” Enzo membelalakan matanya, hening sesaaat….kemudian tawanya mulai pecah.

Are you kidding me? Kamu itu bener-bener ringan, Jules. Bahkan, aku yakin kalau anginpun bisa menerbangkanmu saking ringannya.” Aku mendengus kesal.

Let’s go!” Sepulang kerja seperti instruksi Enzo kemarin, aku harus menemaninya menjamu klien. Enzo juga menolak diantar Pa Ade. Style-ku hari ini Casual Friday. Aku memakai stelan denim biru dan melilitkan syal bercorak abstrak di leherku, sementara rambut sebahuku aku ikat ponytail. Enzo sendiri memakai stelan hitam-hitam, celana jeans hitam dan sweater hitam dengan blazer hitam juga.

Enzo memarkir mobilnya di pelataran parkir salah satu tempat dugem terbesar di Jakarta. Aku tidak pernah menyangka kalau kita akan ke tempat seperti ini. Enzo sendiri sepertinya baru menyadari kalau aku belum pernah mengunjungi tempat seperti ini.

Can I skip this part?” Tanyaku ragu-ragu.

Come on, you are save with me.” Jawab Enzo berusaha menenangkanku.

Memang tepat dugaanku, keadaan di dalam sana gelap, musik yang bising, serta lampu yang kelap-kelip membuatku pusing. Enzo memang selalu di dekatku, tapi tetap saja aku merasa tidak nyaman berada di tempat seperti ini.

Semakin malam, klien yang datang semakin banyak. Aku dikagetkan dengan datangnya segerombolan perempuan yang dengan santainya mencium bibir Enzo satu persatu. Mereka adalah model-model yang akan dipakai oleh klien kami untuk photoshoot nanti. Tidak heran kenapa dia dan istrinya tidak akur. Istri mana yang rela suaminya dicium sembarang perempuan.

Jamuan pun dimulai, berbagai macam minuman beralkohol disuguhkan di meja. Mereka semua minum apapun yang tersaji di sana. Enzo sendiri sepertinya tidak menikmati semuanya ini, tapi kenapa dia tidak keluar saja dari tempat ini dan meninggalkan mereka semua? Akhirnya Enzo pun ikut minum, awalnya dia membatasi apa yang dia minum, tapi selanjutnya dia mulai kehilangan kendali dan minum seperti mereka.

Aku memperhatikan dia, selalu tersimpan sorot mata sendu dibalik apa yang selalu dia tampilkan di depan public. Dari awal bertemu, sampai seminggu ini aku mengenal dia, aku yakin kalau dia sebenarnya laki-laki yang baik.

Jam 2 dini hari aku mengajak dia pulang dan tentu saja aku yang membawa mobil kali ini. Aku tidak tahu rumah ataupun apartemen dia dimana. Aku duduk di belakang kemudi, sementara dia duduk di sampingku. Aku bermaksud mengambil dompetnya dan melihat ID card dia, sehingga aku tahu harus mengantar dia kemana.

Aku memiringkan badannya dan merogoh sakunya. Dia yang sempat memejamkan matanya, terbelalak dan menatapku dekat sekali. Aku kembali menatapnya, entah kenapa saat itu aku merasa sangat ingin tahu kehidupan dia. Aku mencoba menggali lebih dalam melalui sorot matanya, dia juga masih menatapku.

What?” Ucapnya. Aku bergeming. Aku membuka dompetnya dan melihat alamat yang tertera di SIM A -nya. Tapi kemudian dia merebut SIM A di tanganku.

“Boleh aku menginap di rumah kamu malam ini? Di sofa juga gak masalah?” Aku merasa aneh karena dia masih bisa bicara dengan jelas dan masih bisa meminta dengan sopan kepadaku.

“Nop! Aku gak mau orang-orang di rumahku melihat kamu mabuk. Kamu masih hafal jalan ke rumah kamu? Aku antar kamu sekarang.” Enzo hanya menatapku dan masih tidak mau memberikan alamat rumahnya. Akhirnya aku memutuskan untuk mengantar dia ke rumah keduanya, Yap! Kantor. Diapun tidak protes dengan langkah yang aku ambil ini. Aku membaringkannya di sofa dengan bantuan satpam kantor.

“Aku pulang ya! Aku diantar Pa Ade, kamu istirahat.” Aku melihat Enzo yang terbaring setengah sadar dan masih lekat menatapku, seperti seekor anjing yang enggan ditinggalkan majikannya. Aku duduk di sofa tempatnya berbaring, untuk sesaat aku merasakan iba seperti seorang teman. Aku mengusap wajahnya dan membelai lembut rambutnya. Dia tersenyum dan menggenggam tanganku.

Please stay?” Pintanya. Aku menggeleng.

“Aku harus segera pulang karena Papa sudah mulai khawatir.” Aku memutuskan untuk menemaninya hingga dia tertidur. Aku menelepon Papa dan menjelaskan situasinya. Setelah yakin dia tertidur, aku meninggalkan Enzo tidur sendirian di ruangan ini.

Pa Ade mengantarku tepat di depan gerbang rumah. Papa sudah duduk menunggu di teras. Jam 3 dini hari ketika aku melihat jam tanganku. Papa membawakanku selimut dan melingkarkannya di bahuku.

“Gimana keadaan Enzo?”

Miserable.” Jawabku yakin.

Intro lagu Problem dari Ariana grande membangunkanku pagi ini…ooopppsss! Siang ini maksudku, ternyata sudah jam 11 siang. Dengan suara yang parau aku jawab panggilan itu.

“Iya…siapa?”

“Hai! Kamu baru bangun ya?”

“Hah? Ini siapa?” Aku sama sekali tidak mengetahui nomor yang masuk ini.

“Enzo…”

“Oh, hai! Kamu udah baikan?”

“Aku di bawah tangga kamar kamu sekarang. Mama kamu lagi masakin makan siang.”

“Kamu apa???….” Aku menutup telepon dan bergegas mandi karena aku tidak mau kalau Enzo sampai melihatku berantakan. Semalam aku tidak sempat mandi, eyeliner-ku sudah mulai berantakan.

Aku turun setelah selesai mandi dengan style sehari-hari. Celana pendek navy blue, kaos putih polos dan flip flops. Memang benar Enzo sedang ngobrol di belakang dengan Papaku, dia melemparkan senyumannya kepadaku.

Sementara itu aku mendengar Lilian seperti sedang bermain di depan rumah. Aku pergi keluar dan setengah tidak percaya melihat pemandangan di depanku. Adeline sedang bermain dengan Lilian. Enzo bawa Adeline ke rumahku?

“Hai Tante!” Anak ini selalu ramah menyapaku, seperti pertama bertemu dulu.

“Hai! Kamu dari tadi?” Dia menghampiriku dan memelukku seakan-akan sangat merindukan sosok seorang ibu. Dia mengangguk dan terus memelukku. Aku membiarkannya untuk beberapa saat. Aku menoleh ke belakang dan Enzo sudah berada di belakangku.

“Bisa kita bicara sebentar?” Pintaku kepada Enzo. Adeline kembali bermain dengan Lilian. Mereka berlari-lari mengejar kelinci. Aku duduk di teras dengan Enzo.

“Sebenarnya aku gak mau kamu menganggap aku terlalu ikut campur dengan keluarga kamu. Tapi karena sekarang kamu sendiri yang meminta aku terlibat, aku mau tanya sebenarnya apa yang terjadi antara kamu, Adeline dan June?” Enzo menatapku seolah menyesal karena aku menanyakan semuanya itu. Aku sendiri lebih menginginkan penjelasan supaya tidak digunjingkan orang dikemudian hari.

“June lebih memilih karier dibandingkan anaknya sendiri. Itu alasannya aku tidak bisa akur dengan dia.” Lagi-lagi Enzo hanya menjawab sepotong dari panjangnya jawaban yang seharusnya dia ceritakan kepadaku.

That’s it?…” Aku masih menginginkan kelanjutan untuk jawabannya.

“Yah, that’s it! At least for today!” Sambungnya singkat.

Adeline berlari membawa kelinci putih itu ke pangkuan Enzo. Mereka bermain di halaman rumahku seperti di rumah mereka sendiri. Aku sendiri memperhatikan mereka dari teras. Papa duduk di sampingku ikut memperhatikan mereka.

“Papa rasa Enzo itu laki-laki yang baik, Jules.”

“Laki-laki yang baik, tapi punya orang, Pa.” Sanggahku sambil berlalu ke dapur.

Disaat makan siang, Adeline dan Lilian memilih makan di tenda buatan mereka di halaman. Vivi bertugas menyuapi mereka berdua. Di dapur tinggal Papa, Mama, aku dan Enzo. Enzo selalu saja bisa mencari topik yang pas untuk menjadi bahan obrolan dengan orang tuaku. Selesai makan siang, Mama dan Papa bergabung bersama Vivi di depan.

“Hey…sorry semalam kamu harus pulang sama Pa Ade.”

It’s oke. Kamu jemput Adeline jam berapa?”

“Dia yang jemput aku ke kantor.” Enzo menatapku lekat dan aku tidak bisa melakukan hal yang sama seperti waktu dia tidak sadarkan diri.

“Eh, emang kalau weekend kalian suka kemana?” Aku berusaha menghentikan suasana aneh ini.

“Ganti-ganti sih! Seperti sekarang, dia minta ketemu kamu. Besok dia minta dianter ke salon.” Aku tertawa mendengar Enzo mau mendampingi putri tercintanya kemanapun, termasuk ke salon.

You are a wonderful dad, I mean it.” Dia menyunggingkan sedikit senyuman di bibirnya.

Hot Dad you mean? Thank you.” Aku tertawa mendengar Enzo memuji dirinya sendiri.

Pukul 5 sore, akhirnya Enzo mau juga meninggalkan rumahku. Sebenarnya Adeline ingin menginap di rumahku, tapi aku masih merasa asing dengan mereka. Baru seminggu aku mengenal mereka, aku belum merasa siap jika harus terjun terlalu dalam.

Aku dan keluargaku mengantar mereka sampai mobil. Setelah mobil Enzo menghilang dari pandangan kami, Vivi mulai menggodaku dengan tatapan nakal.

Wow! Definitely Twelve!…” Ucapnya.

Yess!…Sunday morning…I love it! Setelah jogging seperti hari-hari biasanya, hari minggu aku tambah dengan kelas yoga, yang kebetulan studionya tidak jauh dari rumahku. Biasanya aku bersepeda ke sana.

Wow! What a wonderful view!…..Instruktur yoga baru ternyata memang gorgeous. Disaat posisi yang memperlihatkan bokong dan pinggul, hampir semua anggota melihat ke arah bokongnya. Ckkk…ckkk…where does he come from? Disaat meditasi, seharusnya semua orang memejamkan mata, aku dengan berjuta rasa penasaranku ingin melihat dia dalam keadaan mata terpejam. Aku membuka sebelah mataku,….and surprise!!! He just looking at me too!…and he smile. Aku buru-buru menutup mataku.

Smartphone-ku berbunyi disaat aku baru saja keluar dari ruang ganti. Nomor baru yang sekarang mulai sering menghubungiku, yap! That’s Enzo. Aku duduk di teras studio bermaksud menerima panggilan Enzo. Tanpa diduga, instruktur ganteng itu baru saja keluar dari studio dan duduk di sampingku. Aku mengurungkan niatku dan menyimpan smartphone-ku ke dalam tas.

“Hai!….Kenapa teleponnya gak dijawab?” Aku tersenyum.

“Engga, bos aku.” Dia mengangkat alisnya.

“Kalau dipecat gimana?” Aku terkekeh mendengar pertanyaannya.

“Ini kan hari libur, jadi ga masalah.” Dia tersenyum. Dia mengulurkan tangannya.

“Aku Ronald.” Ronald terlihat sangat ramah dan tenang.

“Aku Jules, aku tinggal deket sini.” Smartphone-ku kembali berbunyi, dan lagi-lagi Enzo yang menghubungiku. Kali ini aku mematikan smartphone-ku karena masih ingin melanjutkan perbincanganku dengan Ronald.

“Ehemmm…gotcha!” Suara Enzo mengagetkanku. Dia seperti seseorang yang memiliki kekuatan super dan bisa sampai dimanapun disaat dia mau.

“Eh..kamu kok di sini?” Dia tersenyum jahil dan melihat Ronald. Ronald melihat ke arahku dan aku benar-benar kesal dengan kelakuan Enzo.

“Mmmhhh…Ronald, ini bos aku Enzo.” Ronald beranjak dari tempat duduk dan menjabat tangan Enzo. Tidak lama, dia berlalu. Sekarang giliran Enzo duduk di sampingku.

“Jadi yang seperti itu ya tipe kamu?” Ledek Enzo. Aku berdiri dan meninggalkan Enzo dengan kesal. Dia mengejarku dan menarik-narik kuncirku. Aku tidak menghiraukannya. Aku menuju tempat parkir sepeda dan menggoes sepedaku. Enzo mengikutiku dengan mobilnya.

“Kamu tahu gak? Sepertinya Ronald itu gay?” Enzo masih belum puas juga meledekku. Aku tidak bergeming walaupun dia tetap mengeluarkan keisengannya sepanjang jalan. Akhirnya aku sampai di rumahku, aku membuka gerbang dan menyimpan sepedaku di halaman. Enzo tidak keluar dari mobilnya, dia malah membunyikan klakson berusaha menarik perhatianku. Aku tidak mempunyai pilihan selain menghampirinya.

“Apa???” Aku masih kesal dengan kelakuannya yang sudah mengganggu minggu pagiku.

“Wuihhh!!…Galak amat sih!…Ikut yuk!”

“Enggak ah, aku mau istirahat!” Aku masih menjawabnya dengan ketus.

“Kamu kan belum nanya aku mau ajakin kamu kemana? Masa udah jawab enggak.”

“Terserah, yang jelas hari minggu aku istirahat di rumah!”

“Ke salon, nemenin Adeline. Come on, Jules! Aku gak mau nungguin anak cewek di salon sendirian.” Aku terkekeh dan berniat membalas kejahilan Enzo.

“Coba kalau kamu tadi gak ngisengin aku, aku masih mau mempertimbangkan ajakan kamu tadi. Tapi…karena kamu nyebelin, kamu nikmatin aja hari ini berdua sama Adeline di salon!” Aku melipat kedua tanganku dan menyuruhnya segera pergi. Enzo tampak kesal tapi akhirnya dia hilang dari pandanganku.

“Jules!…Enzo kenapa gak masuk?” Teriak Papa yang ternyata sedang memperhatikan dari dalam rumah.

“Enggak Pa, males. Urusan pribadi kok, nganterin dia sama anaknya ke salon.”

“Jules…Papa rasa dia sudah cerai dengan istrinya. Kalau enggak mana mungkin dia ajakin anaknya ke sini?” Aku menghela nafas panjang dan menjatuhkan diriku di atas sofa. Sepertinya mata ini sudah berat.

“Bodo ah, Pa!” Aku mencoba beristirahat memejamkan kedua mataku. Papa duduk di sofa lainnya sambil membaca koran hari ini.

It’s Monday morning! Back to work! Aku bangun agak kesiangan, sehingga sampai kantor tepat jam 9 pagi. Baru saja aku akan membuka pintu ruangan, Enzo seperti biasa sudah berada di sampingku, kali ini dia seperti berusaha menghindariku.

“Pagi!” Enzo berlalu mempercepat langkahnya ketika aku menatapnya. Aku berusaha menahan tawaku saat berhadapan dengannya.

Don’t laugh at me!” Ucapnya.

I’m trying reaaaally hard not to!” Aku tidak tahan melihat rambut Enzo yang tiba-tiba berubah menjadi blonde.

“Kamu kenapa? Rambut kamu kenapa?” Setelah pintu ditutup, tawaku akhirnya pecah. Enzo terlihat sangat kesal karena aku menertawakannya.

“Ini gara-gara kamu gak ikut kemaren, coba kalau kamu ikut, pasti kamu yang sekarang jadi pirang!” Tawaku makin menjadi-jadi. Aku dia jadikan tameng? Aneh!

“Adeline paksa kamu buat cat rambut?” Aku berusaha menghentikan tawaku.

“Dia merengek-rengek minta rambutku pirang supaya mirip Papa-papa di film Barbie. Kalau aku gak turutin dia bakalan nangis sekeras-kerasnya.” Aku menghampiri Enzo dan merapikan rambutnya yang mungkin sengaja tidak dia sisir karena kesal. Aku tersenyum setelah melihat rambutnya terlihat lebih rapih. Aku kembali ke mejaku dan bermaksud meninjau pekerjaanku hari ini.

How can you do that?” Tanya Enzo.

Do what?” Jawabku. Seperti biasa, ini merupakan salah satu pertanyaan dia yang gak jelas. Aku tidak menghiraukannya dan kembali meneruskan pekerjaanku.

Small things, do matter…” Ucap Enzo singkat.

What?…”

Never mind!” Enzo mulai bertingkah normal lagi dan meneruskan pekerjaannya seperti biasa.

Tidak terasa sudah masuk waktu makan siang. Aku masih duduk di mejaku karena belum merasa lapar. Aku tidak sadar kalau ternyata Enzo sedang memperhatikanku.

What??” Tanyaku.

“Kamu gak makan?” Aku menggeleng.

Tidak lama kemudian bagian pantry datang ke ruanganku membawa baki berisi 2 piring sandwich tuna, kopi dan air mineral. Enzo menyuruhku berhenti bekerja dan menemaninya makan siang di sofa.

“Aku belum laper, kamu duluan aja.”

I am not asking, that’s an order!” Mau tidak mau aku menuruti instruksinya seperti biasa.

“Lusa kita ke Bandung 2 hari. Ada gathering sama exhibition di sana.” Aku mengangguk.

Belum setengahnya aku menghabiskan lunch, Pa Darwin dan June memasuki ruangan kami dan tentu saja Enzo langsung terlihat kesal dengan kedatangan June. Aku sendiri berinisiatif hendak pindah ke pantry, tapi Enzo sudah melihat gelagatku dan menyuruhku tinggal.

“Hai, Jules!” Sapa June yang memang selalu ramah kepadaku.

“Hai!” Jawabku. Pa Darwin tersenyum kepadaku dan memberikan isyarat supaya aku meneruskan makan siangku. Tapi sudah pasti aku berhenti dan mencoba bersifat senormal mungkin dalam posisi seperti ini.

“Enzo, Papa mau bahas tentang kakak kamu.” Enzo berhenti mengunyah, dia minum air mineral dari botol yang sama yang baru saja aku minum. June sepertinya merasa ada kejanggalan dengan keakraban Enzo denganku. Enzo menghela nafas panjang.

“Bisa tunggu sampai aku selesai makan? Mulai besok aku taruh satpam di depan ruangan aku biar orang yang mau masuk ke sini pake izin, gak bisa seenaknya!” Jelas Enzo geram. Aku sampai penasaran, kenapa dia bisa semarah itu kepada istrinya?

Enzo bangkit dari sofa dan tanpa disangka-sangka dia menarik tanganku dan menyeretku untuk mengikutinya. Aku gelapan dengan semua yang secara tiba-tiba ini. Pa Darwin berusaha menyuruh Enzo tinggal tapi dia tidak menggubris perintah ayahnya. Sementara itu, June hanya bisa bengong memperhatikan tanganku yang ditarik Enzo. Enzo tidak melepaskan tanganku sampai di dalam lift. Cathy yang berpapasan denganku di sepanjang koridor pun ikut bertanya-tanya melihat Enzo menyeretku.

“Kamu kenapa? Aku malu di depan Papa kamu sama June, kamu tarik-tarik tangan aku.” Enzo sama sekali tidak bereaksi dengan ucapanku ini.

Sesampainya di lobby, Pa Ade sudah siap mengantar kami entah kemana. Enzo membuka dasinya dan membuka kancing kemejanya hingga sedikit longgar. Aku memberikannya waktu untuk berfikir sampai dia sedikit tenang.

“Kita ke rumah kamu sekarang, kamu siapkan semua keperluan kamu, kita ke Bandung lebih awal.”

“Hah? Empat hari maksud kamu?” Enzo melihatku seperti seorang singa yang akan menyantap mangsanya.

“Iya, kamu keberatan? Kamu itu bayangan aku. Kemana aku pergi kamu ikut! You work for me!” Ucap Enzo yang kemudian menjatuhkan punggungnya di jok. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aku sendiri bisa memaklumi semua perkataan Enzo padaku saat itu sehingga aku tidak merasa tersinggung.

Enzo tidak mau turun dari mobil, dia membiarkanku mempersiapkan semua perlengkapanku. Papa mengantarku ke mobil membawakan koper. Enzo terperanjat dan keluar dari mobil untuk sekadar basa-basi kepadanya.

“Siang Pa! Maaf dadakan.”

“Siang Enzo, gak apa-apa. Hati-hati ya! Semoga urusannya lancar.” Enzo mengangguk dan kami melanjutkan perjalanan kami. Aku tidak tahu kalau ternyata Enzo mampir ke apartemennya untuk mempersiapkan semua keperluan dia. Aku diajaknya masuk karena dia ingin aku yang menyiapkan semua keperluannya.

Apartemen-nya typical apartemen laki-laki single. Tidak banyak foto, hanya foto dia dan Adeline di atas meja sudut di kamarnya. Enzo duduk di atas tempat tidur di sampingku sementara aku membereskan bajunya ke dalam koper. Dia yang biasanya tidak terlalu suka berlama-lama dengan gadget, kali ini benar-benar betah dengan gadget-nya.

“Aku hanya dapet jadwal selama 2 hari, 2 hari dari sekarang jadwalnya apa? Aku gak tahu harus bawain baju apa buat kamu?”

“Banyakin casual-nya aja.” Jawabnya singkat. Dalam situasi yang dingin seperti ini, datanglah panggilan telepon dari unknown number kepadaku. Aku tidak pernah mengangkat panggilan dari nomor yang tidak dikenal, kecuali saat linglung baru bangun tidur. Aku meminta Enzo untuk menjawab panggilan itu dan dia bersedia.

“Hallo!”

“Mmmhhhh…Jules ada?”

“Ini siapa?”

“Ronald.”

“Oh, dia lagi kerja.”

“Oh, sorry. Nanti saya hubungi dia lain kali.” Teleponnya pun ditutup. Aku bertanya kepada Enzo siapa yang barusan meneleponku, tapi dia enggan menjawabnya, dia bilang kalau itu telepon gak penting.

“Kamu gak bisa gitu. Itu kan telepon buat aku. Kenapa kamu gak mau bilang?”

“Kenapa kamu gak mau angkat?” Aku menghela nafas panjang sambil menutup resleting koper. Enzo membawa kopernya dan kamipun meninggalkan apartemennya menuju ke Bandung.

Dua jam kemudian kami sampai di Hotel Hilton Bandung. Kamar aku dan Enzo berdampingan. Aku membongkar semua barang bawaanku dan membereskannya ke dalam lemari. Tok…tok…tok…Kamarku sudah diketuk, Enzo pastinya. Aku membuka pintu setengah, dia melongok ke arah belakangku. Aku sendiri sampai melihat ke belakang.

What??

“Kamu udah bongkar koper kamu kan?”

“Iya.”

Good, sekarang bongkarin punya aku, tolong beresin, aku gak mau pakaian aku kusut. Let’s go!” Benar-benar menyebalkan. Aku ingin sekali beristirahat sebentar saja, tapi sekarang masih jam 4, jam kerjaku belum habis. Apa mungkin jika di luar kota aku lembur setiap hari sampai dia tidur? Oh my dear God!

Aku mulai membereskan semua baju dan barang-barang Enzo lainnya, aku menggantung semua kemeja dan blazer. Setelah benar-benar beres dan rapi, aku bertanya-tanya apa tugas aku selanjutnya? Tapi, ternyata Enzo sudah tidak sadarkan diri di atas tempat tidur. Entah kenapa, aku selalu senang melihat orang-orang tertidur atau memejamkan mata. Untuk sesaat aku memandanginya dan aku tidak bisa menahan tanganku untuk tidak membelai rambutnya. Aku membelainya dan mengusap rambutnya. Aku merasa tenang melihat dia damai seperti ini. Kenapa June bisa meninggalkan laki-laki seperti Enzo?

“Jules…” Enzo menyadarkanku dari lamunanku.

“Yah…”

Keep doing that, I feel relief.” Dia masih memejamkan matanya. Aku tersenyum dan tetap membelai rambutnya sampai dia benar-benar tertidur. Aku meninggalkan kamarnya dan kali ini aku menuju pool side area untuk sekedar melepas penat.

Aku penasaran dengan panggilan misterius yang Enzo jawab. Akhirnya aku berinisiatif untuk menelepon balik nomor itu.

“Jules…”

“Iya, ini siapa?”

“Ronald. Sorry, aku dapet nomor kamu dari data keanggotaan.”

“Oh, that’s oke!

“Siapa yang angkat telepon sebelumnya?”

“Oh, bos aku.”

Really? I think he crush on you, Jules. I saw that in his eyes when we met before.”

“Hahaha…No he’s not. He’s married. Dia emang seperti itu, kita seperti teman. Trust me!

Really?…Can I ask you on a date?

What?…I mean yes, of course.”

How about this Saturday night? I pick you at 7.

Oke!…”

Aku baru ingat kalau aku belum menghubungi Papa. Aku kembali memijit nomor telepon rumah dan memberi kabar bahwa aku sudah sampai di Bandung. Di rumah sepertinya sedang banyak orang karena terdengar sangat ramai.

“Pa, ada siapa di rumah? Rame banget.”

“Ini, Tora baru pulang jemput Vivi sama Lilian.”

“Oh, pantesan rame. Aku udah sampai di Bandung kira-kira sejam yang lalu.”

“Syukurlah, Enzo mana?”

“Enzo…Dia tidur.” Tiba-tiba saja, Enzo sudah duduk di sebelahku dan merebut handphone-ku.

“Sore, Pa. Saya di sini, enggak tidur kok.” Kenapa selalu saja seperti itu, selalu datang disaat yang tidak diharapkan.

“Sore, Enzo. Semoga pekerjaan kalian lancar.”

“Terima kasih, Pa.” Enzo menutup teleponnya dan tersenyum lebar tepat di depan mukaku. Annoying!

“Kamu kenapa gak bilang kalau yang nelepon aku Ronald?”

“Ronald? Ronald siapa?” Aarrrrggghhhh…benar-benar kekanak-kanakan.

“Ayo kita makan, biar kamu gak kurus! Jadi kalau kamu berisi, kamu punya tenaga buat nemenin aku kemana-mana.” Sekarang dia punya hobi baru, Yap! Hobi menarik tanganku untuk mengikutinya. Saat ini kita berada di resto hotel. Aku seperti biasa duduk di samping Enzo.

“Jadi, Si Ronald bilang apa?”

“Rahasia lah, masa aku harus ngumbar kehidupan pribadi aku sama kamu?”

“Kamu mau maen rahasia-rahasiaan sama aku?” Aku menampakkan ekspresi wajah aneh atas pertanyaan gak jelas dia yang lainnya.

“Kamu betah gak kerja sama aku?” Aku menatapnya sesaat dan mengangguk.

“Kalau aku cerita semua kehidupan pribadi aku sama kamu, kamu keberatan?” Tanya Enzo lagi.

“Emang harus cerita ya?”

“Aku gak pernah cerita apapun sama orang lain.”

“Terus, kenapa sekarang kamu mau cerita sama aku?”

“Karena kamu bukan orang lain buat aku.” Aku mengerutkan dahiku, aku masih tidak percaya bahwa dalam waktu satu minggu dia bisa mempercayaiku dan akupun bisa menganggapnya seperti seorang teman lama.

“Eh, kamu mau tahu gak, Ronald bilang apa? He ask me on a date, this Saturday night.”

Really? Wow!…that’s great! Ungkap Enzo. Aku tersenyum dan kembali melanjutkan makan malamku.

“Kamu mau cerita apa? I’m listening…”

“Enggak sekaranglah, mungkin lain waktu.” Jawab Enzo. Benar-benar makhluk aneh!

“Eh, besok agenda kita apa?”

“Mmmhhh…yang jelas kamu ikut aku kemana aja aku pergi.”

“Hhhmmm…kalau itu sih pasti.” Jawabku. Enzo tersenyum dan meneruskan makan malamnya.

Pukul 9 malam, kita kembali ke kamar masing-masing. Akhirnya, Me time! Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur besar ini. Aku menyalakan televisi dan menonton film horor Asia yang baru saja tayang. Aku menarik selimutku dan memeluk guling seerat mungkin. Ilustrasi musik dan special effect-nya berhasil membuatku larut dalam suasana ini. Kalau musiknya udah gini, biasanya hantunya sebentar lagi muncul. 1…2…3….

“Aaaaaaaaaa……” Aku berteriak sekencang mungkin disaat hantunya muncul dan pintu kamarku terbuka. Enzo tertawa keras melihat ekspresiku. Sementara aku melemparkan bantal ke arahnya karena sudah seenaknya masuk kamar orang.

“Kamu tuh! Makanya kunci kamar, jangan dibiarin seenaknya! Lagian, kalau penakut ngapain nonton film horor sendirian?” Enzo mendorong tubuhku hingga sedikit menjauh darinya, dia berbaring di sebelahku menemaniku nonton film horor ini.

“Aku udah pernah nonton film ini, hantunya gak asyik!”

“Berisik!” Aku benar-benar penasaran dengan endingnya, sepertinya seru.

Saking seriusnya menyaksikan film horor ini, aku sampai tidak peduli kalau dari tadi Enzo asyik menatapku. Setelah film-nya selesai, Enzo sudah berada di alam mimpi. Film-nya berlanjut ke film horor kedua. Aku tidak tahu bagaimana kelanjutan film kedua ini, yang jelas aku menyusul Enzo ke alam mimpi.

“Jules…”

“Hhhhmmm…”

“Jules….”

“Hhhhhhhmmmmmmm…..” Jawabku geram. Aku bisa mendengar Enzo menahan tawanya. Aku paling benci dibangunkan saat aku masih enak tidur.

“Jules…pesenin sarapan dong!”

“Pesen aja sendiri!”

“Oke! Berarti kamu yang gaji aku ya?” Pagi buta Enzo sudah asyik membuatku kesal. Aku berusaha bangkit dari alam bawah sadarku karena aku harus mulai bekerja. Belum juga aku bangkit dari tempat tidurku, Enzo sudah menyodorkan gagang telepon di telingaku.

“Hallo!” Shit!

“Eh…ehhhmmm hallo! Iya saya minta sarapan ke kamar…ehhhhmmm…kamar…”

“203…” Bisik Enzo.

“203…” Jawabku.

“Minta menu apa Bu?”

“Ehhhmmm…apa ya?…ehhhmmmm…eh, adanya apa mas?” Sial, Enzo! Aku masih setengah sadar, kamu minta aku bicara normal!

“Pancake sama waffle.” Bisik Enzo lagi.

“Pancake sama waffle.” Enzo menaruh kembali gagang telepon ke tempatnya. Dia menyeringai puas sudah berhasil menjahiliku di pagi hari.

Will you please go back to your room?” Pintaku. Enzo malah ikut berbaring lagi dan menyalakan televisi.

“Nop!…Aku bosen sendirian.”

“Terus kenapa kamu gak pesen satu kamar aja yang double bed?

“Aku gak mau kamu ketakutan, itu kan formalitas aja.”

Yeah right!” Sindirku.

“Mantan-mantan asisten kamu sering kamu bikin sekamar juga?” Aku tidak berusaha menjaga omonganku saat ini, karena aku merasa masih belum waktunya bekerja, jadi aku masih bisa menganggap Enzo sebagai temanku.

“Enggak! Mereka gak ada yang asyik!” Aku menutup kepalaku dengan bantal dan melanjutkan lagi tidurku.

“Jules…Jules…”

You’ve got to be kidding me!” Aku membalikkan tubuhku ke arah Enzo.

“Kamu kan bisa buka pintu sendiri…”Sebelum aku meneruskan kata-kataku, potongan strawberry segar dari pancake atau waffle, maybe…sudah mendarat di mulutku. Enzo ternyata sudah membukakan pintu dan sedang menyantap sarapannya.

Breakfast time! Waky….waky!” Seingatku, aku baru saja memejamkan mata setelah membuat panggilan ke bagian pantry.

“Tidur kamu ngorok!” Ungkap Enzo sambil terus melahap sarapannya dan fokus dengan ESPN.

“Enggak! Enak aja!” Aku mengambil segelas orange juice yang sudah tinggal setengahnya lagi, sementara gelas yang satunya sudah kosong.

“Minum kamu tuh kayak onta, ngabisin orang!” Ucapku yang mau tidak mau harus minum satu gelas lagi bersama Enzo.

“Kalau tiba-tiba June dateng kesini, terus dia lihat kita sekamar gimana?” Tanyaku penasaran.

“June?…Hah! Ngapain dia ngurusin aku? Aku gak ada hubungan apa-apa lagi sama dia.” Berarti memang mereka sudah bercerai.

“Aku boleh nanya?” Enzo menatapku, seakan aku ini menjengkelkan baginya.

“Kamu kan memang dari tadi nanya terus!” Jawabnya.

“Waktu di tempat dugem itu, emang biasa ya gerombolan cewek-cewek itu ciumin kamu kayak gitu?” Aku bertanya sambil menyeringai jijik membayangkan semuanya. Enzo mulai tersenyum jahil. Aku tahu kalau itu pertanda sebentar lagi aku akan menjadi objek penderitanya.

“Enggak selalu, aku jarang banget ketemu mereka. Kamu cemburu ya?” Aku yang masih mengunyah sampai tersedak mendengar ucapan Enzo. Enzo tertawa melihatku gelagapan.

Hari ini, Enzo memintaku menemaninya belanja dan wisata kuliner di Bandung. Ternyata Bandung memang Paris Van Java, bikin orang betah di sini. Suasananya juga adem. Jadwal kita hari ini memang berkeliling Bandung.

Siang ini kami berkeliling factory outlet yang terletak di sepanjang Jl. Riau. Kami sempatkan lunch di salah satu kedai terkenal di Bandung, kedai Mamah Eha. Aku dan Enzo memesan nasi timbel, pulut durian, cilok dan minuman khas kedai ini. Bandung memang terkenal juga dengan wisata kulinernya….Mmmmhhh…siap-siap saja 3 hari ini memanjakan lidah dengan hidangan khas kota kembang ini.

Sore menjelang malam Enzo mengajakku ke Lembang, ini seperti kawasan puncak. Jagung bakar, susu murni, ketan bakar…makanan-makanan yang biasa terdapat di daerah dingin seperti ini.

Kita sampai ke hotel jam 9 malam. Di lobby hotel, aku melihat Pa Darwin dan tim lainnya yang selalu hadir di ruang meeting sudah tiba. Enzo memintaku untuk mengikuti dia kemanapun dia pergi. Pa Darwin menghentikan langkah Enzo yang tadinya hendak langsung menuju kamar.

“Kamu mau lari sampai kapan?” Enzo tidak menghiraukan ucapan Papanya. Seperti biasa, dia malah menarik tanganku. Kali ini Pa Darwin ikut menarik tanganku yang satunya. Enzo menatap Papanya, mungkin dia tidak menyangka Papanya akan melakukan hal yang sama dengan dia.

“Oke…Papa mau ngomong? Let her go!” Pa Darwin tersenyum kepadaku dan akhirnya melepaskan genggaman tangannya dariku. Aku buru-buru menuju lift, aku melihat mereka berdua dan juga June mengisi kursi di cafe hotel. Sementara yang lainnya sudah berbaur.

Tok…tok…tok…pasti Enzo. Kali ini dia harus tidur di kamarnya, bisa gawat kalau yang lain tahu.

“Hai!…” June? Aku tidak mengharapkan itu adalah June.

“Hai! Mmmhhh…Ada apa ya?”

May I come in?

“Mmmmhh…of course.” Ucapku ragu. Aku membuka pintu kamarku dengan lebar. Tapi, lagi-lagi Enzo muncul entah dari mana. Dia masuk mendahului June dan memblokade jalan ke kamarku.

This is a forbidden area for you or anyone else but me!” Terang Enzo. Itu semua membuatku tidak enak di depan June. June sendiri kebingungan dengan tindakan Enzo.

“Kalian sekamar?”

“Engga! Iya!” Jawabku dan Enzo berbarengan. June shock dengan jawaban Enzo.

“Kenapa? Kamu jangan mikir yang enggak-enggak ya!” Sanggah Enzo. Dia menarikku ke dalam dan menutup pintunya. Aku berusaha keluar untuk menjelaskannya kepada June, tapi Enzo melarangku.

Stay!” Bentak Enzo. Baru kali ini dia membentakku. Aku duduk di tempat tidur dan menyalakan TV serta mengeraskan volume-nya sampai suara Enzo tidak bisa aku dengar. Enzo membiarkanku protes seperti ini. Enzo duduk di sampingku dan menatapku lekat. Dia mengambil remote TV dan mengecilkan volume-nya.

I’m sorry. I just trying to protect you from an evil.”

I quit!” Enzo bergeming.

No, you can’t! You are my shadow.”

“Kamu pikir dong! Gimana kalau dia laporin semunya ini sama Papa kamu atau dia sebarin sama orang-orang sekantor? Aku gak bisa lagi kerja dengan nyaman.”

“Kita kan seharian di ruangan. Kita juga hampir tiap hari makan di ruangan, biarin aja mereka ngomong apa.”

“Aku gak mau! Kamu jelasin dulu semuanya sama dia, terus kamu tidur di kamar kamu sendiri!”

“Aku jelasin semuanya sama dia, tapi aku tetep tidur di sini.”

Really? Itu intinya, Enzo. Kita gak boleh sekamar!” Kali ini Enzo menutup kepalanya dengan bantal. Aku hendak keluar dan tidur di kamar Enzo, tapi dia menyimpan kunci kamarku di saku celananya. Aku menghela nafas panjang dan akhirnya berbaring seperti posisi semalam, di samping Enzo…sampai keesokan paginya.

Aku membangunkan Enzo untuk bersiap-siap di kamarnya. Gathering dimulai pukul 8 pagi hingga pukul 4 sore. Kali ini dia mengikuti instruksiku. Aku sendiri bergegas mandi dan prepare. Aku sengaja meminta sarapan di kamarku untuk menghindari June.

Tok…tok…tok…What the? Aku membuka pintu dan Enzo menerobos masuk membawa baki berisi sarapan.

“Aku benci makan sendiri!” Dia meletakkan bakinya di tempat tidur dan mulai menyantap sarapannya.

Sebelum aku sempat menutup pintunya, Pa Darwin sudah berada di depanku dan menanyakan keberadaan Enzo.

“Boleh saya masuk?” Sepertinya dia melihat anaknya masuk ke kamarku. Aku gelagapan mencoba menjelaskan keadaan ini kepadanya. Tapi terlambat, sepertinya anak dan ayah ini sudah terbiasa menyerobot masuk ke kamar orang. Enzo tampak kesal dengan kunjungan ayahnya ini.

“Enzo, kamu sudah menyiapkan part kamu untuk gathering kali ini kan?” Aku masih berdiri di dekat pintu karena tidak mau sampai menjadi third wheel lagi.

“Iya, Pa. Aku sama Jules sudah menyiapkan semuanya. Sekarang, kalau Papa tidak keberatan, beri kami waktu untuk sarapan dengan tenang. Papanya tersenyum lega dan meninggalkan kamarku.

“Kamu harus habisin sarapan kamu, supaya punya tenaga buat ngikutin aku!” Ucap Enzo. Padahal jujur saja aku sangat merindukan suasana rumahku yang tenang dan tidak pernah ada drama.

I miss my home!” Ratapku. Enzo menatapku.

“Yah!…I miss your home too.” Jawabnya enteng. Aku menggeleng tidak percaya dengan semua kengeyelan Enzo. Aku kembali meneruskan sarapanku.

Aku dan Enzo menuju ballroom hotel. Kami berjalan beriringan. Ballroom hotel ini sudah didekor sedemikian rupa sehingga tidak membosankan. Wajar saja, karena gathering ini akan berlangsung selama kurang lebih 8 jam. Kalau suasananya tidak menarik, sudah pasti para peserta akan merasa bosan atau malah ngantuk dan tidak memperhatikan lagi isi acara ini.

Enzo mengenakan stelan jas hitam dengan kemeja pastel serta dasi yang senada. Aku sendiri mengenakan rok pensil hitam dan blus putih. Aku melihat June dari keajuhan sudah mengisi mejanya, sementara Pa Darwin semeja denganku. Enzo tampak sangat relax. Sesekali dia melempar senyumannya kepadaku. Aku berusaha bersikap profesional di hadapan semua orang. Aku adalah asisten Enzo, walaupun hubungan kami sebenarnya seperti seorang teman, tapi aku harus bersikap seolah Enzo dan aku memiliki jarak layaknya seorang atasan dan bawahan.

Acara gathering ini berlangsung lancar. Enzo bisa mempresentasikan materinya dengan baik. Dia terlihat sangat yakin sehingga bisa meyakinkan orang-orang yang hadir di sini. Aku sendiri selalu terkesima disaat Enzo sedang melakukan perannya sebagai seorang editor in chief di hadapan public. Dia selalu nampak berwibawa di depan sana, sungguh berbeda dengan Enzo yang selalu menggangguku dan manja. Kekagumanku perlahan-lahan mulai surut lagi setelah mengingat semua itu. Annoying!

Pa Darwin yang asalnya menempati kursi di sebelah Enzo, bergeser menduduki tempat Enzo, tepat di sebelahku.

“Saya senang Enzo banyak berubah ke arah positif selama kamu mendampingi dia.” Terang Pa Darwin. Aku menatapnya, mencoba mencari kunci dari ucapannya itu. Aku membalasnya dengan senyuman.

“Tolong, bantu saya supaya dia bisa lebih care terhadap dirinya sendiri.” Sambung Pa Darwin. Aku tidak bergeming, masih merasa tersesat di percakapan ini. Enzo sepertinya mulai menyadari bahwa Papanya sedang berbincang denganku. Konsentrasinya tampak sedikit buyar, tapi kemudian dia bisa kembali melanjutkan presentasinya.

“Saya senang anak saya sekarang mempunyai kecocokan dengan kamu. Saya harap kamu bisa menjadi pendamping yang baik bagi Enzo.” Aku menangkap Pa Darwin memintaku untuk menjadi asisten Enzo yang loyal. Aku membalasnya dengan senyuman lagi.

Setelah dipotong lunch dan dua kali coffee break, akhirnya gathering ini selesai juga. Aku baru tahu bahwa yang lainnya langsung kembali ke Jakarta, hanya aku dan Enzo yang menghadiri Exhibition besok.

“Papaku ngomong apa sama kamu?” Kali ini aku menonton siaran ulang film horor yang kemarin tidak sempat aku tonton. Enzo menemaniku nonton.

“Aaaaaaaaa….” Aku berteriak karena hantunya muncul jelas di layar televisi. Enzo menggeleng melihatku begitu menikmati film hantu ini.

“Hey! I’m talking to you!

“Basa-basi aja. Dia minta aku jadi asisten yang loyal buat kamu.” Sepertinya Enzo tidak percaya dengan ucapanku.

Really, what exactly he said?” Tanyanya lagi.

“Kamu bisa gak sih biarin aku nonton dengan tenang sendiri? Aaaaaaaa…..” Lagi-lagi hantunya muncul jelas.

“Tenang? Really?” Dia mencibir melihatku histeris menonton film horor ini.

“Dia bilang “Saya senang Enzo banyak berubah ke arah positif selama kamu mendampingi dia. Saya senang anak saya sekarang mempunyai kecocokan dengan kamu. Saya harap kamu bisa menjadi pendamping yang baik bagi Enzo.” Aku melanjutkan kembali menonton film, sementara Enzo masih menganga.

“Wow! Kamu hafal setiap kata yang dia bilang sama kamu?”

“Aku ini penghafal yang baik!”

“Coba-coba, ulang lagi!” Aku menatapnya kesal. Tapi, kalau tidak aku ikuti, pasti dia terus mengusikku.

“Saya senang Enzo banyak berubah ke arah positif selama kamu mendampingi dia. Saya senang anak saya sekarang mempunyai kecocokan dengan kamu. Saya harap kamu bisa menjadi pendamping yang baik bagi Enzo.” Aku melanjutkan kembali menonton film, sementara Enzo masih menganga.

That’s unbelievable! Well…kamu penghafal yang baik, tapi kamu buruk dalam mengintepretasikan.” Aku tidak menggubris kata-kata Enzo itu.

Kali ini Enzo masih terjaga, tidak seperti biasanya. Dia menarik sebelah tanganku dan meletakkannya di rambut ikalnya. Dia memintaku untuk membelai rambutnya supaya dia bisa tertidur. Aku membelai rambutnya sementara mataku masih tertuju kepada televisi. Enzo mengambil remote dan mematikan televisi. Aku merebut remote dan menyalakannya lagi. Dia kembali merebut remote dan akhirnya aku berhasil merebut remote itu kembali. Aku nyalakan TV dan surprise!

“Aaaaaaa…..” Hantunya berulang kali muncul di layar secara bergantian. Enzo tertawa melihatku, kemudian dia mematikan TV nya.

That’s an order!” Ucapnya sambil menarik kembali tanganku untuk membelai rambutnya. Seperti biasa, jika kata perintah sudah keluar dari bibirnya, aku harus patuh. Anehnya, setiap aku membelai rambutnya atau mengusap wajahnya, dia seperti langsung berada di dunianya sendiri. Mata dia langsung terpejam dan aku sendiri senang melihatnya tertidur.

“Hey! Enzo, kamu tahu gak? Aku paling suka lihat laki-laki kalau lagi merem.” Dia tersenyum tapi masih memejamkan matanya.

Really? So, enjoy it!” Aku tersenyum dan memang benar aku sangat menikmati melihat Enzo memejamkan matanya.

“Aku jadi inget Ronald. Waktu dia lagi meditasi, aku curi-curi pandang pengen lihat dia lagi merem. Eh..taunya dia juga lagi lihatin aku.”

“Enak aja aku disamain sama gay itu!” Enzo tampak kesal, tapi tetap memejamkan matanya. Aku membaringkan tubuhku sehingga sejajar dengan Enzo, wajahku sekarang berhadapan dengan dia. Aku bisa merasakan nafasnya di wajahku, aku rasa sebaliknya. Akupun tertidur entah jam berapa.”

Kali ini, Enzo terbangun dari tidurnya. Sebenarnya dia tidak benar-benar tertidur. Dia menunggu sampai wanita di sampingnya ini tertidur. Enzo memperhatikan sosok perempuan di sampingnya itu. Dia mengusap wajahnya dan membelai rambutnya. Dia mencium kening, pipi dan mengecup bibir perempuan itu. Dia sendiri tidak tahu, kenapa dia bisa jatuh hati kepada perempuan asing yang baru saja dia kenal 10 hari.

Mengenal Jules membuatnya lebih hidup. Membuatnya enggan untuk mangkir kerja ataupun ugal-ugalan. Dia ingin sekali mengungkapkan perasaannya kepada Jules, tapi rasa takut kehilangan lebih dia rasakan. Dalam waktu yang relatif singkat ini masih rentan untuk mengucapkan kata-kata cinta kepada seorang perempuan. Dia harus berhasil untuk meyakinkan Jules bahwa dia adalah laki-laki yang tepat untuknya. Dia harus bisa mendapat kepercayaan Jules sehingga Jules bisa memberikan hatinya untuk dia.

Enzo meraih tangan Jules dan menciumnya. Dia menggenggam erat tangan Jules seolah-olah enggan untuk melepaskannya. Dia sangat ingin menceritakan semua sisi dalam hidupnya sehingga dia bisa menjadi bagian dari hidup Jules.

Enzo tersenyum melihat Jules yang sedang terlelap. Dia selalu mengingat tawanya Jules, kejudesannya Jules disaat dia mengganggunya, bahkan dia selalu mengingat saat Jules merindukan rumahnya. Anehnya, dia merasa mereka berdua seperti bukan orang asing. Dia merasa bahwa mereka pernah mengenal satu sama lain di kehidupan sebelumnya. Dalam hatinya Enzo berharap bahwa memang mereka ditakdirkan untuk bersama.

Alarm di handphone-ku berbunyi, sudah jam 5.30. Aku merasakan seseorang sedang menggenggam tanganku. Ternyata Enzo sedang menggenggam tanganku, dia masih tertidur seperti seorang bayi.

“Enzo, wake up!….Enzo…”

Good morning sunshine!…Masih pagi, kamu bisa tidur lagi. Pamerannya jam 11 siang.” Gumam Enzo dengan suara serak karena baru terbangun.

“Aku tahu, aku mau pipis. Bisa lepasin tangan aku dulu?”

“Oh, sorry!” Enzo melepaskan tanganku dan kembali tidur.

Aku merasa pagi ini lebih relax, karena orang-orang kantor tidak ikut menghadiri pameran ini. Enzo di sini sebagai tamu utama. Aku memutuskan untuk berendam dan memikirkan ide-ide baru yang akan aku usung di meeting-meeting berikutnya.

Aku menggosok lembut kedua tanganku dengan busa-busa sabun dalam bath tub. Aku merasakan tangan Enzo yang masih menempel menggenggam tanganku. Aku tersenyum dalam hati membayangkan wajah Enzo yang seperti anjing meminta makan, ketika dia ingin ditemani. Selama ini aku tidak pernah mempunyai sahabat, aku selalu dekat dengan keluargaku. Tapi mungkin, inilah jalinan persahabatan yang selalu dieluk-elukan orang. Aku merasa bahwa Enzo bisa menjadi sahabat yang baik bagiku. Walaupun terkadang dia menyebalkan, tapi di lain sisi dia adalah pribadi yang baik.

Kurang lebih 20 menit aku menghabiskan waktu di kamar mandi. Apa Enzo sudah bangun, atau dia masih mendengkur di atas tempat tidur? Tiba-tiba saja terfikir olehku untuk mengerjai Enzo. Apa yang akan aku lakukan untuk membangunkan dia dari tidurnya? Yang jelas, sekarang adalah giliranku untuk mengganggunya.

Setelah keluar kamar mandi, aku melihat sarapan sudah tersedia di meja. Sepertinya Enzo kembali melanjutkan perjalanan ke alam bawah sadarnya. Aku masih mengenakan pajamas. Aku mengambil baki sarapan ke atas tempat tidur dan menyalakan televisi. Enzo tidak bergeming, dia masih asyik dengan dunianya. Aku menatapnya, kali ini aku akan membalas menjahilinya.

Aku mengambil potongan buah kiwi dengan garpu, aku menempelkannya di bibir Enzo sampai dia terbangun. Aku tertawa puas karena berhasil membalasnya. Dia menujukkan ekspresi masam karena rasa buah kiwinya.

Morning!…Waky!…waky!” Sapaku. Dia bangun dan minum jus kiwi punyaku. Dia kemudian menarik tanganku dan melahap potongan waffle di garpuku. Akhirnya aku menyuapi Enzo, sementara dia asyik menonton berita pagi.

“Nanti kita pulang ke Jakarta jam berapa?” Enzo menatapku, dia mengangkat alisnya.

“Kemaren kamu bilang betah di Bandung?”

“Iya, tapi kan rumah aku di Jakarta.”

“Oh iya, aku lupa. Kamu kan kangen rumah sempurna kamu.” Sindir Enzo. Aku tersenyum.

“Ehhhmmm…Adeline gak ketemu kamu setiap hari ya?” Enzo menggeleng.

“Kalau sama ibunya?” Enzo menggeleng.

“Kamu cinta banget ya sama Ibunya? Sampai-sampai sekarang kamu benci sama dia.”

“Kamu ngomong apa sih? Sok tahu!” Ucap Enzo geram.

Finally, The Wedding Exhibition. Hufftttt!…tinggal selangkah lagi untuk pulang. Di sini datang tamu-tamu penting dari kalangan pejabat, artis maupun umum. Wedding Exhibition ini merupakan wedding exhibition terbesar yang pernah diadakan di Jawa Barat.

Aku memperhatikan Enzo yang sedang memberikan sambutan di pembukaan event ini. Dia terkenal sebagai sosok atasan yang tegas dan berwibawa. Bagiku, dia sosok seorang atasan yang bisa dijadikan teman. Bekerja dengannya sangat menyenangkan. Bahkan…dia mengingatkanku kepada kenangan terburukku.

“Hey! Kamu terpesona ya melihatku di depan?” Aku menyipitkan mataku.

“Hemmmm????….Biasa aja!” Timpalku. Enzo terkekeh mendengar jawaban singkatku.

Kami berdua meninjau dan berbaur di wedding exhibition itu. Enzo kerap menjadi sasaran wartawan, aku berusaha membaur di pameran ini disaat dia sedang wawancara. Beberapa kali Enzo kehilangan jejakku sampai-sampai kita saling kirim pesan utuk menunggu di stand yang aku sebut.

“Kamu kenapa gak ngedampingin aku? You supposed to be my shadow.” Terang Enzo. Lampu-lampu sorot di tengah hari ini membuatku sedikit gerah.

“Iya, sorry.” Aku sedang malas berdebat dengan Enzo. Aku baru sadar kalau sepanjang pameran ini berjalan, Enzo selalu menggandeng tanganku. Jangan-jangan mereka menyangka aku ini partner-nya Enzo.

“Hey, kita langsung check out ke hotel-kan?” Tanyaku tidak sabar.

“Kamu beneran home sick ya?” Aku mengangkat bahuku. Enzo menarik tanganku dan mengajakku untuk Photo booth di salah satu stand.

Aku dan Enzo sudah mencoba berbagai macam pose. Dari mulai gaya normal dan elegan sampai muka-muka konyol. Disaat aku ingin foto seorang diri, dia selalu saja muncul dan mengganggu setiap frame yang akan aku ambil, alhasil di setiap frame-ku selalu saja muncul wajah jahil dia. Dia mengambil semua hasil jepretannya, sementara aku hanya diberi 2 lembar saja.

Aku dan Enzo menghampiri salah satu stand baju pengantin. Sekarang sedang in warna hiju mint. Kebayanya sangat beragam dan indah.

Aku dan Enzo saling menatap melihat kebaya-kebaya mewah itu. Aku penasaran, kenapa dia tidak melontarkan pujian atas baju-baju pengantin ini? Dia juga sepertinya menunggu comment-ku.

“Kenapa kamu gak comment?” Tanya Enzo.

“Bagus sih, tapi aku gak pernah ngebayangin pake kebaya seperti ini.” Jelasku.

“Kenapa? Suatu saat kalau kamu menikah pasti memakai salah satu seperti yang dipajang di sini.”

“Sok tahu! Aku kalau nikah gak mau ribet. Walaupun kebaya, aku bikin bentuk dress selutut tanpa banyak detail seperti ini dengan warna broken white. Pokoknya simpel dan enak dipake.” Enzo tersenyum.

Nice!” Jawabnya.

Setelah 2 jam menghadiri acara ini, akhirnya Enzo mengajakku kembali ke hotel. Sepertinya dia juga kelaparan dan ingin segera mengisi perutnya.

Aku hendak mengurus administrasi dan segera check out, tapi lagi-lagi Enzo menarik tanganku menuju lift. Aku menatapnya heran, kenapa dia masih belum memperbolehkanku mengurus kepulangan kami?

“Kita pulang besok pagi, langsung ke kantor.”

What? No! Tugas kita udah selesai di sini.”

“Iya, tapi aku cape. Jadi kita pulang besok pagi aja.”

“Aku mau pulang sekarang! Kamu istirahat aja lagi di sini. Aku pulang duluan pake travel.” Enzo tidak bergeming dan menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurku.

Aku menelepon Pa Ade untuk menjemput kami. Aku mulai membereskan barang-barangku. Enzo sudah terlelap. Aku pergi ke kamarnya dan membereskan barang-barangnya. Aku membawa kopernya ke kamarku. Setelah semuanya beres, aku membangunkan Enzo.

“Hey! Wake up! Pa Ade udah di bawah jemput kita.” Enzo menutup kepalanya dengan bantal.

“Suruh balik, kita pulang besok pagi!” Aku membelai rambutnya dan membujuk Enzo supaya mau pulang. Enzo bergeming.

“Ini nih, makanya aku gak mau pulang! Kalau aku pulang, aku tidur sendiri lagi, aku makan sendiri lagi dan kamu gak bakalan bisa kayak gini lagi!” Sambil menggenggam tanganku yang sedang membelai rambutnya. Aku tertawa mendengar ucapan Enzo. Aku beranjak dari tempat tidur dan mengangkat koperku. Enzo menghadangku dari depan.

“Kenapa kamu ketawa?” Aku berusaha menghentikan tawaku.

That’s mean you are lonely. Cari istri makanya!” Aku menubruk Enzo sambil menahan tawaku. Akhirnya Enzo mengangkat kopernya dan mengikutiku.

“Aku sedang dalam proses pencarian pendamping hidup.”

Really? Aku gak ngeliat semuanya itu? Setiap saat aku ini bareng kamu, gak ada tanda-tanda kamu sedang mencari pendamping hidup.” Enzo hanya menatapku sambil menggeleng.

Sepanjang perjalanan, Enzo lebih banyak diam. Mungkin dia memang kelelahan selama 4 hari ini. Aku lebih memilih diam menikmati alunan lagu yang terdengar dari tape mobil.

“Jules….”

“Heemmmm….”

“Kamu mau satu apartemen sama aku?” Aku menatap Enzo setengah tidak percaya dengan apa yang aku dengar, akhirnya aku terkekeh mendengar dia memintaku tinggal bersamanya. Sepertinya Enzo benar-benar kesepian.

Move in with you?” Dia bergeming menunjukkan ekspresi kesal.

“Iya! Kamu kan udah gede, masa masih tinggal sama orang tua kamu!” Jawabnya kesal.

I’m sorry, I can’t. Keluargaku masih old school. Prinsip mereka, anak-anaknya hanya boleh keluar dari rumah jika sudah menikah.” Enzo kembali lemas mendengar jawabanku.

Setelah 2 jam perjalanan, aku tiba di depan rumahku. Pa Ade membawakan koperku, Enzo tidak turun dari mobil dia ingin segera sampai di apartemennya.

“Aku pulang!” Seperti biasa aku duduk di sofa dan membuka stilletto-ku. Kali ini Lilian tidak lagi menyambutku karena sudah dijemput Ayahnya.

“Hai! Kesayangan Papa sudah pulang! Gimana Enzo?” Papa setia menyambutku dengan senyuman hangatnya. Aku meraih tangannya dan menciumnya.

“Enzo?…Dia makin aneh!” Papa mengacak-acak rambutku. Dia selalu saja menanyakan kabar Enzo setiap hari. Begitu juga Mama dan Adikku, mereka menanyakan Enzo setiap hari. Jangan-jangan virus aneh Enzo berhasil membius semua keluargaku. Aku merinding sendiri membayangkan semua itu.

The Weirdo’s Twin

Jumat pagi aku sampai di kantor 15 menit lebih awal. Aku menyiapkan kopi untuk Enzo sebelum dia datang. Aku menata mejaku juga merapikan meja Enzo. Aku melihat berkas lamaranku masih ada di atas meja. Aku memperhatikan foto Enzo dan Adeline di atas meja. Aku mengangkat frame silver itu dan memandangi wajah Enzo yang terlihat ceria. Aku ingat saat dia menyusulku ke tempat yoga. Aku tersenyum sendiri membayangkannya. Ridiculous!

“Eheemmm….Aku gantengkan?” Tanya Enzo yang seperti biasa selalu datang secara tiba-tiba.

“Mmmhhhh….biasa aja!” Jawabku sambil berlalu ke mejaku.

“Gimana? Udah terobati kangen rumahnya?” Aku tersenyum.

“Hari ini aku pulang awal, aku harus jemput Adeline. Lagi gak ada orang di rumah, jadi jadwal aku jaga dia maju satu hari. Kalau sempet aku balik lagi ke kantor. Kamu pulang seperti biasa aja ya!” Aku mengangguk.

“Kamu lagi siapin buat meeting hari senin kan?” Aku mengangguk. Tiba-tiba Enzo menghentikan aktivitasnya sambil memandangku kesal. Dia berhasil menarik perhatianku, aku kembali memberikan tatapan bingung kepadanya.

Really? Aku gak biasa bahasa isyarat!” Ungkap Enzo sedikit kesal karena aku tidak bersuara.

Yes, Boss!” Jawabku sambil terkekeh.

Enzo benar-benar ngebut mengerjakan tugasnya karena akan pulang lebih awal. Sampai ketika bagian pantry mengantarkan makan siang pun dia masih tidak bergeming.

“Kamu gak makan?” Tanyaku.

“Enggak.” Jawabnya singkat.

Tidak lama kemudian, Pa Darwin datang mengunjungi anaknya. Dia melihat baki makan siang yang masih utuh dan bertanya kepada Enzo.

“Kamu gak makan siang?” Enzo menggeleng. Dia melihat ke arahku.

“Jules, kenapa kamu gak paksa anak saya makan? Tugas kamu kan ngurusin segala keperluannya.”

“Saya sengaja belum makan juga, biar Enzo berhenti kerja dan makan bareng saya seperti biasa.” Enzo dan Pa Darwin sama-sama menatapku dengan heran.

“Kamu seharusnya makan. Habis itu suapin aku. Kalau kamu ikut-ikutan gak makan, gimana kalau sakit? Kan aku juga yang repot kalau kamu gak masuk.” Bantah Enzo.

“Iya, kamu harusnya suapin Enzo.” Bela Pa Darwin kepada anaknya.

“Kayak kamu gak pernah aja suapin aku! Kamu malu sama Papa kalau suapin aku?” Terang Enzo lagi. Aku seperti tersudut di sini. Di lain sisi aku takut orang-orang salah persepsi jika aku suapin Enzo, tapi jika ternyata memang ini termasuk tugasku, aku harus menjalankannya.

Aku mengambil baki makan siang dan duduk di sebelah Enzo, karena Enzo sedang mengerjakan tugasnya di sofa. Aku mengambil croisant tuna favorite-nya dan mendekatkannya ke mulut Enzo. Pa Darwin tersenyum, tapi kemudian dia pura-pura mengalihkan perhatiannya dengan melihat berkas-berkas Enzo.

“Kamu nanti makan juga ya!” Ucap Enzo. Aku mengangguk.

Selesai makan siang, Enzo pergi menjemput Adeline entah kemana. Aku tidak ingin mengetahui seluk beluk keluarga mereka lebih jauh lagi. Sekarang saja, baru sedikit aku tahu permasalahan keluarganya, aku seperti sudah jatuh tersungkur untuk ikut terlibat di dalamnya.

Cathy dari luar jendela melambaikan tangannya, seolah meminta izin padaku untuk masuk. Aku mempersilakannya masuk.

“Hai asisten teladan!” Cathy berusaha menggodaku yang sedang asyik berkutat dengan LED besar di depanku. Aku terkekeh. Dia duduk di depanku dan seolah menungguku mengeluarkan kata-kata.

What?” Tanyaku bingung.

“Empat hari di Bandung sama Bos ganteng…pasti banyak cerita?” Tanya Cathy sambil mencolek daguku.

“Mmmhhhh…Biasa aja Mba.” Jawabku santai.

Come on, Jules! Tell me what happened?” Cathy mulai merajuk.

“Oke…” Aku menyisihkan tugas-tugas di hadapanku berniat untuk menemani Cathy sebentar.

“June kaget mendapati Enzo masuk kamar hotelku.” Cathy menutup mulutnya, dia kaget mendengar ceritaku.

“Kenapa bisa begitu? Kamu sekamar sama Enzo?” Kenapa aku ceritakan masalah ini sama Cathy ya? Huuuhhhhh…Tapi sudahlah, sepertinya dia bisa dipercaya.

“Kamar dia tepat di sebelah kamarku. Alih-alih di kamarnya sendiri, dia malah melakukan semua aktivitasnya di kamarku.”

“Termasuk tidur dan mandi?” Tanyanya penasaran.

“Tidur iya, kalau mandi dia di kamarnya sendiri.” Cathy mengangguk-angguk seolah dia paham.

“Kenapa dia gak pesen satu kamar aja yang double bed?

“Aku juga tanya gitu. Tapi dia bilang, dia gak mau aku ketakutan. Jadi formalitas aja dia pesen dua kamar.” Tapi kemudian, Cathy tertegun dan matanya seperti mempertanyakan tentang sesuatu yang lebih dalam lagi. Tentang apa yang aku lakukan dengan Enzo di kamar yang sama. Seketika aku langsung membuyarkan prasangkanya yang memang beralasan itu.

No…no…no…aku sama Enzo masih sadar. Kita gak ngapa-ngapain. Kita bener-bener hanya tidur seranjang tanpa ada embel-embel aneh lainnya.

Oke…relax, I trust you!” Jelas Cathy.

Did he kissed you?” Sambung dia lagi.

No! He didn’t!” Jawabku geram.

“Masa sih bisa? Lawan jenis seranjang tapi gak ngapa-ngapain. Even just a kiss?

“Gimana sih, Mba…katanya percaya sama aku?” Cathy mulai menghentikan interogasinya. Dia mengendurkan otot-otot sarafnya sambil bersender di kursiku.

He has a thing for you. Trust me!” Ucap Cathy.

“Nah!…Impossible!…Kita baru kenal mmmhhhh…12 hari mungkin….” Jawabku ragu.

“Jules! Do you believe in love at the first sight?” Tanya Cathy. Aku menggeleng.

“Buat aku gak ada love at the first sight. Berarti orang itu hanya mencintai secara artivisual atau dari cover depannya aja. Aku gak pernah merasakan love at the first sight. Karena Mba, aku harus tau bagaimana cara dia makan dan berbicara atau lengkapnya sikap dan sifat dia. Jangan-jangan, cover-nya bagus tapi makannya bunyi….eeewwww….” Terangku panjang lebar. Akhirnya Cathy menyerah. Dia berdiri dari kursi dan menepuk pundakku.

“Terserah kamulah! Yang jelas, aku sudah pernah mengingatkan kamu tentang ini semua ya.” Dia meninggalkan ruanganku, tapi kemudian dia berhenti di depan pintu.

He’s a good man, you should trust him!” Ucap Cathy sambil mengedipkan matanya.

Aku merapikan meja Enzo kemudian merapikan mejaku. Aku mulai menyusun agenda rapat selanjutnya. Aku mendengar seseorang masuk dan menutup pintunya kembali.

Apalagi sekarang? Sudah menjelang sorepun Enzo masih saja menggodaku dengan menjalankan akting murahannya, kali ini sepertinya dia sedang terinspirasi artis-artis sinetron.

“Hah! Lelucon kamu yang lain, gak asyik!” Ucapku kesal.

“Hai! Kamu pasti Jules!” Perhatianku mulai tertarik, setelah aku lihat lebih dekat, ternyata laki-laki di kursi roda yang berparas seperti Enzo ini, bukanlah Enzo. Dia lebih kurus dan mempunyai rambut-rambut di area pipi dan dagunya. Aku gelagapan dan sampai kehilangan kata-kata.

“Ii..iya…Saya Jules!” Jawabku terbata-bata.

“Aku Kenzu, kakaknya Enzo. Lebih tepatnya, kembarannya Enzo.” Aku tersenyum aneh dan menunduk karena malu telah salah tegur.

“Gak usah merasa gak enak, sering kok orang salah sebut seperti itu. Bukan salah mereka, tapi salah kami karena punya bentuk yang sama hahahaha…” Aku tambah bingung mendengarnya tertawa.

“Kamu pasti cari Enzo kan? Dia bilang mau jemput Adeline.”

“Adeline itu anak saya Jules…” Aku kaget mendengar satu rahasia Enzo mulai terkuak.

“Oh…” Aku tidak tahu harus berkata apa

“Kamu pasti menyangka kalau Enzo itu papanya Adeline?” Aku mengangguk. Tapi selama ini Enzo memang tidak pernah menyebut Adeline adalah anaknya. Itu semua hanya persepsiku karena Adeline memanggilnya Papa.

“Hai Tante Jules! Hai Ayah!” Adeline tiba-tiba saja muncul dari pintu dan berlari memeluk ayahnya, kemudian dia memelukku. Enzo sepertinya kaget dengan kedatangan Kenzu kesini.

“Aku baru pulang dari Australia nengokin Oma, aku bawain Tante boneka koala yang isinya coklat.” Sambil membuka ransel Hello kitty-nya dan memberikan boneka itu untukku.

Thank you.” Ucapku. Enzo terus menatapku mencoba mengetahui pembicaraan yang sudah terjadi antara aku dan Kenzu. Sepertinya, saat ini waktu yang tepat untukku keluar sebelum aku terjebak lagi dalam masalah keluarga ini, atau sebelum Enzo menyeretku di hadapan Adeline.

“Hey, princess! Kamu laper gak? Soalnya Tante laper, mau gak temenin Tante ke pantry?” Adeline mengangguk dan kali ini dia yang menyeretku. Huffftttt!!!

Enzo melihat Jules berlalu dari hadapannya. Dia mencoba mencari tahu percakapan apa saja yang terjadi antara Jules dan Kenzu. Enzo menatap lekat Kenzu, dia mencoba menggali lebih dalam isi kepala Kenzu, tapi yang dia dapat hanya sedikit senyuman kemenangan dari wajah Kenzu. Enzo duduk kembali di singgasananya berpura-pura untuk mengerjakan semua pekerjaannya.

“Kamu selalu jeli dalam memilih asisten. Mereka seperti benar-benar terlahir untuk kita…Sorry, maksudku untuk kamu.” Enzo tidak bergeming.

“Kapan kamu akan beritahu dia tentang isi hatimu?, atau kamu akan menunggu waktu yang berbicara, seperti dulu? Kamu harus ingat…dan aku tahu kamu pasti ingat karena kamu dulu bersahabat dengan waktu. Waktu itu kadang menjawabnya jauh dari ekspektasi kita.” Enzo sama sekali tidak mengindahkan kata-kata Kenzu.

“Ada perlu apa ke ruanganku? Aku akan jaga Adeline sampai hari Minggu.”

“Aku hanya rindu suasana kantor. Empat tahun mengurung diri itu benar-benar membuatku sedikit linglung. Aku gak mau menunggu sampai aku gila.”

Well, itu semua kemauan kamu sendirikan? Gak ada yang paksa kamu untuk mengurung diri selama empat tahun.” Jawab Enzo ketus.

“Kamu ngomong apa sama Jules?” Sambung Enzo lagi.

“Hah…Jules! cari tahu aja sendiri. Aku gak perlu ngobrol apa-apa sama asisten kamu. I’m afraid that she’s falling for me.” Ledek Kenzu. Dick! Menyebalkan! Gerutu Enzo dalam hatinya.

“Papa, Tante Jules gambarin aku, lihat! Miripkan?” Adeline berlari menuju Enzo dan kemudian dia memperlihatkan hasil gambaranku kepada Kenzu.

“Kamu bisa gambar ya?” Tanya Enzo. Aku mengangkat bahuku.

“Kamu jadi pulang cepet?” Tanyaku.

“Iya, sekarang. Sama kamu juga!” Jelas Enzo.

“Aku?” Kenapa aku jadi pulang cepat? But, whatever! I love it!

“Hah!…Kamu takut aku meracuni pikiran Jules?” Ledek Kenzu. Enzo membawa blazernya dan menggendong Adeline serta menarik tanganku tentunya, dia meninggalkan Kenzu sendirian. Aku sendiri tidak sempat pamit kepada Kenzu, aku hanya tersenyum dan mengangguk kepadanya.

Di dalam mobil, setelah Adeline tertidur, Enzo baru membuka obrolan.

“Kenzu kakakku, Ayahnya Adeline.” Aku mengangguk. Dia sepertinya tidak puas dengan reaksiku.

“Dia ngomong apa sama kamu?”

“Adeline itu anak saya Jules… Kamu pasti menyangka kalau Enzo itu papanya Adeline?” Aku sengaja mengutip semua ucapan Kenzu. Enzo menatapku lekat seakan menyesali sesuatu.

Sorry, I never mention that.” Ucap Enzo. Aku tersenyum.

Say something!, or ask me, anything!” Sambung Enzo.

“Oke…Kenapa kamu seperti menjaga jarak dengan kakak kamu?”

“Aku gak jaga jarak. Aku bosen ketemu dia di rumah, sekarang kalau aku harus ngobrol lagi di kantor sama dia…gak ada kerjaan!” Jawab Enzo gak jelas.

So, the related with June is?” Tanyaku lagi.

“Yahhhh…Mereka berdua menikah dan mempunyai anak, lalu Kenzu kecelakaan dan mereka bercerai. That’s the end of the story.”

“Aku gak lihat ada keterkaitan antara kebencian kamu sama June dengan semua cerita kamu tadi.” Enzo menarik nafas berat.

She’s an evil. Dia meninggalkan Kenzu setelah tahu bahwa dia lumpuh, bukan hanya itu…Dia juga minta kedudukan di perusahaan atau dia akan bawa Adeline.” Aku tercengang mendengar cerita Enzo.

Wow! That’s horrible!” Aku melihat Adeline dan membelai rambutnya.

Pa Ade menghentikan mobil di depan pintu gerbang rumahku. Enzo tidak melepaskan pandangannya dariku saat aku turun dari mobil.

“Makasih ya, udah bawa aku pulang cepat hari ini.” Enzo tersenyum dan mengangguk.

Sepulang dari Bandung sampai hari ini, aku belum beristirahat dengan benar. Mungkin sekarang waktu yang tepat utuk beristirahat. Aku harap besok kencan pertamaku dengan Ronald bisa berjalan dengan lancar.

Aku terbangun pukul 3 dini hari karena suara handphone-ku. Jangan sampai telepon nyasar atau telepon iseng. Enzo? Kenapa dia menghubungiku jam segini?

“Jules…Aku di depan rumah kamu.”

“Apa?….” Aku bergegas keluar dan membuka gerbang. Enzo turun dari mobilnya dan tersenyum. Yap! He’s drunk! Perfect!

Sorry, aku habis menjamu klien. Aku gak ajak kamu karena sepertinya kamu masih cape dari luar kota kemarin.” Aku memapahnya ke ruang tamu dan membaringkannya di sofa.

“Gak usah berisik! Nanti Papa sama mama bangun. Kamu istirahat di sini ya!”

Why? I wanna sleep with you!” Aku menatapnya, Enzo terlihat seperti kucing yang ingin dibelai majikannya. Aku duduk di sampingnya. Aku membelai rambutnya dan mengusap wajahnya seperti yang selalu dia inginkan.

Thank you.” Ucap Enzo. Dia menggenggam tanganku dan…dia menciumnya. Aku rasa dia benar-benar mabuk.

Sepertinya di luar sudah sangat terang, tapi kenapa gordennya masih belum dibuka? Aku membuka mataku dan ternyata aku tidur di samping Enzo di sofa. Dia memelukku. Memang dulu aku tidur seranjang dengan dia, tapi tidak sedekat ini karena tempat tidurnya besar. Aku berusaha bangun dan menyingkirkan tangan Enzo, tapi dia bergeming dan memelukku semakin erat.

Please stay!” Ucapnya.

I can’t! nanti Papa atau mama lihat, kan gawat!”

They already did. Emang kamu pikir yang nyelimutin kita siapa?” Terang Enzo. Aku panik mendengar penjelasan Enzo. Aku refleks duduk….dan memang kami sudah berselimut. Aku berusaha bangkit tapi lagi-lagi dia memelukku semakin erat.

Stop it! It’s not funny!” Akhirnya Enzo melepaskanku. Aku duduk dan berfikir untuk mengucapkan kata-kata yang tepat kepada Mama dan Papa. Aku mengendap-endap ke belakang mencari tahu keberadaan mereka, tapi Enzo malah mengagetkanku dari belakang dan akhirnya Mama dan Papa yang berada di dapur menyadari kehadiran kami.

“Kalian sudah bangun?” Tanya Papa. Mama kemudian menyiapkan piring untuk kami berdua. Aku heran, kenapa mereka berdua selalu welcome kepada Enzo dari pertama bertemu.

“Ini, sarapan dulu. Mama bikin mac and cheese, kesukaannya Jules.”

“Oh, gitu ya? Kirain Jules gak pernah makan. Soalnya badan dia ringan sekali.” Canda Enzo. Papa tertawa mendengar lelucon Enzo yang menurutku garing. Aku sendiri tidak berselera makan karena bingung harus memberikan penjelasan apa kepada Papa dan Mama.

“Pa, bukan salah aku, aku jadi tidur sama Enzo di sofa. Semalem dia gak mau ditinggalin. Daripada bikin ribut, jadi aku tungguin dia sampai tidur, taunya aku malah ketiduran. Dia dateng jam 3 pagi.” Enzo berhenti mengunyah dan menunggu reaksi kedua orang tuaku. Aku tahu bahwa saat ini sebenarnya dia juga ingin tertawa melihat sikapku ini.

“Papa tahu. Papa juga tahu kamu, jadi Papa percaya sama kalian berdua.” Enzo tersenyum jahil melirikku. Dia meneruskan kembali mengisi perutnya dengan bermacam hidangan yang disajikan Mama.

“Gara-gara kamu aku jadi gak jogging pagi ini!” Aku menggerutu karena aku selalu menyukai rutinitasku setiap pagi. Entah kenapa setelah berolahraga aku selalu merasa lebih bahagia.

Selesai sarapan, aku naik ke atas untuk Me time! Enzo benar-benar atasan yang aneh. Dia seperti hidup merantau tanpa keluarga, padahal rumahnya aku jamin pasti lebih nyaman dari rumahku ini. Dia asyik menonton siaran tinju dengan Papa. Oh iya, aku baru ingat kalau hari ini aku akan dating dengan Ronald. Aku sudah tidak sabar bertemu dengannya.

Selesai dengan Me time, aku turun dengan mengenakan celana pendek khaki dan sweater longgar pink pastel, aku mengangkat rambutku dan menjepitnya. Aku duduk di sebelah Papa, Enzo tersenyum dan masih menatapku seperti sudah lama tidak bertemu denganku.

“Kalian berdua hari ini mau kemana?” Tanya Papa. Aku menggeleng karena aku memang tidak mempunyai rencana apa-apa dengan dia.

“Kita ajakin Adeline maen ya?” Tanya Enzo kepadaku.

“Kamu aja, aku lagi gak mau kemana-mana.”

“Kamu kalau hari libur harusnya maen, Jules. Nanti bisa-bisa kamu dianggap kudet karena gak pernah maen.” Timpal Papa. Enzo lagi-lagi menyeringai puas.

“Aku juga ada acara nanti malem, Pa.” Enzo tersenyum sinis.

“Sama gay itu?” Canda Enzo. Aku balas dia dengan senyuman sinis.

“Kamu gak pulang? Kamu kan belum ganti baju dari kemaren.” Papa melirikku karena dia pikir aku tidak sopan kepada tamu. Enzo tidak bergeming. Papa sepertinya merasa menjadi third wheel, dia pergi ke halaman membantu Mama dengan tanamannya.

“Jules…Cerita dong, tentang mantan terakhir kamu?” Ucap Enzo. Aku mengambil remote TV dan memindahkannya ke channel Fashion TV, sekarang aku sudah terbiasa menonton channel ini.

“Ngapain? Enggak ada gunanya nyeritain masa lalu.” Lagi-lagi Enzo tersenyum jahil.

“Berarti kamu masih cinta sama mantan kamu itu kalau kamu belum mau cerita.” Aku menghela nafas panjang, aku membiarkan Enzo dengan semua keisengannya. Dia mulai mendekat dan membenahi untaian rambutku yang berjatuhan. Aku tidak pernah risih dengan semua itu karena aku menganggap Enzo memang memerlukan teman untuk berbagi dan mengisi kekosongan hari-harinya.

“Jules…”

“Hemmmmm….” Mataku masih tertuju kepada televisi di depanku. Enzo menggenggam tanganku dan menciumnya.

“Aku merasa tidak asing lagi sama kamu, padahal aku baru dua minggu kenal kamu.”

“Jelaslah, kita udah berbagi tempat tidur, aku ngelonin kamu tidur, aku suapin kamu, minum aja kita udah mulai berbagi. Mana ada orang asing seperti itu.” Terangku load and clear. Enzo menyeringai.

“Berarti kamu percaya sama aku?” Aku mengangguk.

“Kalau aku minta kamu cancel pertemuan kamu sama Ronald malem ini, kamu mau?”

“Enggak!… Because this is my day off, jadi perintah kamu tidak berlaku sekarang.” Balasku enteng. Enzo menatap dalam mataku mencoba mengorek isi kepalaku. Dia menggaruk kepalanya dan memperhatikanku lagi.

“Kamu pulang dulu sana. Kamu bau, kamu mandi dong!” Enzo beranjak dari sofa dan menghampiri kedua orang tuaku untuk pamit. Mama dan Papa yang sedang asyik berkebun membuka sarung tangan mereka dan menjabat tangan Enzo. Aku duduk di teras melihatnya pergi. Dia mengedipkan matanya sebelum menginjak pedal gas. So Enzo! Papa menghampiriku dan duduk di sampingku.

“Kenapa Enzo pulang, Jules?”

“Karena dia punya rumah, Pa.” Jawabku. Papa menggeleng.

“Jules…Jangan samakan Enzo dengan Ryan.” Aku terhenyak mendengar Papa menyebut nama itu. Sudah setahun ini aku tidak mendengar nama itu. Aku benci dengan nama itu, aku ingin merobeknya dari ingatanku jika memungkinkan.

Aku tidak ingin berlama-lama membahas masalah ini. Aku mencium pipi Papa dan berlalu meninggalkannya sendiri.

This is my weekend plan : Do nothing!….Me time for two days, that’s awesome!

“Cerah banget, mau kemana? Ada acara sama Enzo?” Tanya Mama.

“Hah???…Aku seneng aja bisa istirahat 2 hari ini.”

“Kamu udah lama gak nengokin Nana. Kemarin Papa kesana, Nana nanyain kamu.” God, aku sampai lupa sama Nana-ku sendiri.

“Oke, hari ini aku nengokin Nana.”

Aku bergegas naik ke kamarku dan bersiap-siap untuk mengunjungi Nana. Hari ini aku akan mampir sebentar ke toko bunga membelikan bunga favorite Nana. Papa meminjamkan mobilnya karena aku malas mengeluarkan mobilku sendiri.

Florist langgananku terkenal murah dan pelayanannya ramah. Dari luar aku bisa melihat Yoris anak pemilik florist ini, melambaikan tangannya padaku. Toko bunga ini memang cukup besar dan terkenal di Jakarta. Biasanya dua minggu sekali aku rutin berkunjung kesini untuk membelikan Nana bunga favorite-nya.

“Hai, Jules!…Kamu tambah seger aja, kayaknya kamu lagi jatuh cinta ya?” Goda Yoris. Pria bertubuh tegap ini seumuran denganku. Dia terkenal playboy dan sering sekali mengencani perempuan-perempuan muda yang mengunjungi tokonya, terkecuali aku. Aku tidak pernah mengaggap pujian ataupun rayuannya itu serius. Oleh karena itu, dia tidak pernah merasa canggung denganku.

Really? Thank you. Jatuh cinta? Mmmmhhhh….” Aku pura-pura acting kebingungan. Yoris seperti biasa menyodorkan bunga mawar merah sambil berlutut di hadapanku. Kelakuannya ini sengaja untuk menarik mata perempuan-perempuan cantik di tokonya.

“Jules…will you marry me?” Aku terkekeh melihat aksi murahan Yoris yang mengundang perhatian para pengunjung. Aku berencana untuk menjawab pertanyaan Yoris sengawur-ngawurnya. I do….dan kemudian mengambil bunga mawar di tangan Yoris serta memeluknya. Tapi rencana tinggal rencana…

“Jules….” Sepertinya aku kenal suara itu.

“Enzo?….” Aku gelagapan karena Enzo terlihat sangat heran melihat pertunjukan opera sabun di depannya.

Will you?…” Yoris masih saja melanjutkan acting-nya. Aku melihat pengunjung juga menanti jawabanku, kecuali Enzo. Aku melihat ekspresi yang tidak asing lagi di wajahnya. Yap!….Ekspresi itu hanya muncul ketika dia akan menyeretku. Bisa-bisa terjadi keributan di sini.

“Yoris, stop it! Ini Enzo…” Yoris seketika bangkit dan merapikan kemejanya. Dia memperhatikan Enzo dari atas ke bawah. Kemudian dia tersenyum melihatku, senyuman playboy ala Yoris.

Should I kick him?” Tanya Enzo geram. Aku membelalakan mataku kepada Enzo supaya dia behave.

“Ehheemmm…Sorry, aku Yoris.” Yoris mengajak Enzo berjabat tangan, tapi Enzo tidak meladeninya. Aku menyenggol Enzo supaya dia bersikap lebih sopan lagi. Akhirnya dia menjabat tangan Yoris.

“Kamu ngapain tadi?” Tanya Enzo kepada Yoris. Yoris yang memang selengean itu terlihat menikmati sikap posesif Enzo.

“Aku…Mmmmhhhh…aku melakukan apa yang biasanya dilakukan seorang laki-laki sejati kepada perempuan yang dipujanya.” Jawab Yoris asal.

“Oh, God!…Dia Yoris, anak pemilik toko bunga ini. We’re friend. Right?” Tanyaku kepada Yoris. Akhirnya Yoris menurunkan bahunya pertanda kecewa karena aksinya kali ini gagal mendapatkan piala Oscar.

Aku menarik Enzo dari hadapan Yoris dan berkeliling memilih bunga untuk Nana. Enzo masih memperhatikan Yoris dari jauh. Aku sendiri tidak terlalu memperhatikan mereka.

“Kamu lagi apa di sini?” Tanyaku lagi.

“Aku?….what do you think?

“Beli bunga pasti….Tapi, tumben kamu beli bunga? Pacar aja gak punya, atau…kamu beli bunga buat gebetan kamu ya?” Tanyaku antusias.

“Aku lihat mobil Papa kamu parkir di depan, jadi aku bermaksud menyapa Papa kamu. Tapi ternyata yang aku temuin malah kamu lagi dilamar sama homo itu.” Aku terkekeh mendengar Enzo yang masih kesal kepada Yoris. Aku terkekeh.

“Ronald, gay…Yoris, homo…” Ledekku. Enzo tidak bergeming.

“Kamu beli bunga buat siapa?” Tanya Enzo. Entah kenapa, jika sudah melihat Enzo bereaksi seperti tadi, aku semakin ingin menjahili dia.

Guess who?” Tanyaku. Dia menghentikan langkahnya dan menatap mataku mencoba mencari apa dibalik pikiranku. Dia meneruskan langkahnya dan tidak menggubris kejahilanku ini.

“Ini Yoris, discount ya!” Ucapku kepada Yoris yang sedang membantu di meja kasir. Yoris mengedipkan matanya. Enzo yang masih berada di sampingku masih menunjukkan antipati kepada Yoris.

“Kalau kamu nerima lamaranku, bukan hanya discount. Aku kasih seisi toko bunga ini buat kamu.” Ucap Yoris asal. Enzo sepertinya sudah tidak sabar ingin melayangkan tinjunya kepada Yoris.

Akhirnya di tempat parkir aku menuju mobil Papa, dan Enzo sepertinya bingung karena aku tidak mengikutinya.

“Kamu mau kemana?” Tanya Enzo sambil menarik tanganku. Aku menunjuk mobil Papa. Dia menggeleng dan membawaku ke mobilnya.

“Enzo…Mobil Papa gimana?” Tanyaku geram.

“Nanti aku suruh Pa Ade anterin ke rumah kamu. Dia merebut kunci mobil ditanganku.”

“Aku masuk sebentar, aku titipin kunci mobil Papa kamu sama homo tadi.” Celetuknya. Aku merebut kembali kuncinya dan masuk ke dalam toko menitipkannya kepada Yoris. Bisa-bisa malah ribut kalau Enzo main titip seenaknya dengan tampang seperti itu.

So, kita mau kemana?” Tanya Enzo.

“Kalibata….” Jawabku singkat. Enzo tidak bertanya lagi, dia melaju ke arah kalibata.

“Kenapa sih Jakarta semakin hari semakin sempit?…” Enzo tidak menghiraukanku, dia fokus menatap lurus, berharap bisa menerobos kemacetan Jakarta.

“Maksud aku, dimana-mana aku pasti ketemu kamu. Padahal nih, baru pagi tadi kamu pulang dari rumah aku…kok bisa ya?” Enzo bergeming.

“Itu yang namanya jodoh, gak usah dikejar gak akan lari kemana.” Celetuk Enzo.

Jarak ke Kalibata dari tempatku sekitar 30 menit. Karena macet, akhirnya kita baru sampai di rumah Nana 40 menit kemudian. Enzo masih merasa asing dengan rumah model zaman dulu ini. Aku mengajaknya turun dan membuka pintu gerbang. Rumah Nana selalu telihat rapi, asri sekaligus sepi. Enzo berdiri di sampingku, aku memijit bel rumah sambil merapikan blouse putihku. Enzo tersenyum dan menggenggam tanganku.

Langkah kaki dan suara orang membuka kunci terdengar. Pintupun terbuka dan Nana menyambutku dengan senyuman hangatnya. Enzo tersenyum lega melihat perempuan tua berumur 75 tahunan di depanku ini. Nana masih terlihat sehat dan jalannya pun masih tegap. Pendengarannya juga masih sangat jelas, hanya saja kaca mata tebal tidak bisa lepas darinya.

Aku memeluk Nana dan menciumnya. Aku memberikan buket bunga favorite Nana. Dia mencium bunga-bunga itu dan terlihat sangat senang. Nana juga memberikkan pelukan hangatnya kepada Enzo. Enzo senang mendapat sambutan hangat dari Nana.

Aku dan Enzo segera menuju dapur seperti biasa. Di sana Nana sudah menyiapkan teh dan puding roti kesukaanku. Enzo sepertinya menikmati semua hal yang berhubungan dengan kekeluargaan. Dia juga berkali-kali mengambil puding roti dan menyantapnya.

“Jadi, kapan kalian menikah?” Aku dan Enzo langsung terdiam dan saling menatap. Aku terkekeh mendengar pertanyaan Nana. Sementara Enzo menyenggolku karena dia merasa tidak sopan untuk menertawakan orang tua, apalagi Nana.

“Ehhhmmm, Nana…” Belum selesai aku berbicara, Enzo memotong jawabanku.

“Mungkin nanti setelah Jules menerima lamaran aku, Nana.” Jelas Enzo. Aku terperangah. Lagi-lagi Enzo menjawab sekenanya.

“Maksudnya? Jules?…Kenapa kamu tidak menerima lamaran Enzo?” Tanya Nana setengah gregetan karena cucunya masih setia melajang.

“Nana kira Enzo lebih baik dari…”

“Iya Nana, aku tahu…” Aku memotong ucapan Nana. Enzo sekarang terlihat mencari potongan puzzle yang hampir saja dia selesaikan.

Biasanya jika berkunjung ke rumah Nana, aku bisa sampai malam di sini. Berhubung Enzo selalu merecoki Nana dan jangan sampai Nana terpengaruh juga, jam 4 sore aku bergegas pulang.

I like your Nana.” Ucap Enzo. Aku menatap keluar jendela dan menghela nafas panjang.

“Yah…” Jawabku.

“Enzo…kamu tahu film yang paling melegenda apa?” Enzo menatapku dan seolah sedang berfikir untuk menjawab pertanyaanku.

“Titanic….” Jawab Enzo ragu.

“Yap, betul sekali!…kamu tahu, film yang katanya hampir semua orang nonton itu…Aku sama sekali belum pernah menontonnya.” Enzo tersenyum seperti menyembunyikan sesuatu.

What?…” Tanyaku curiga.

Well…so do I…Aku juga belum pernah nonton film itu.” Aku terkekeh, karena ternyata ada juga orang kudet selain aku.

“Mungkin kapan-kapan kita harus nonton film itu.” Ajakku.

Are you asking me on a date?” Ledek enzo. Aku tersenyum dan mengedipkan mataku seperti yang biasa Enzo lakukan saat menggodaku.

Malam ini, pukul 7 tepat aku sudah siap untuk kencan pertama dengan Ronald. Aku sudah tidak sabar menunggunya. Saat bel berbunyi, Aku mengintip di jendela dan ternyata Ronald sudah berada di depan gerbang dengan Lancer hitamnya.

Hai! You look lovely!” Puji Ronald. Padahal malam ini aku berdandan se-simple mungkin. Aku mengenakan little black dress dan Stilletto hitam serta rambut yang digerai dan disisir dengan tangan.

Thank you. You too.” Jawabku.

Sepanjang perjalanan Ronald bercerita tentang pekerjaannya sebagai pialang saham juga sampingannya sebagai instruktur yoga. Aku juga menceritakan pekerjaanku dan keluargaku.

Ronald mengajakku dinner di resto yang terletak di salah satu hotel bintang 4 di Jakarta. Aku menikmati obrolan dan sajian makan malam ini. Ronald sepertinya memang tipe laki-laki yang bersahabat. Dia juga easy going.

Ronald seperti orang-orang di dekatku lainnya. Dia juga sempat mempertanyakan hubunganku dengan Enzo. Dia juga mengira bahwa Enzo menyukaiku. Tentu saja aku membantahnya seperti biasa. Why they keep asking me that? Huhhhhh…Enzo! Andai saja kamu bisa lebih menjaga sikapmu sedikit. Kalau gini, bisa-bisa aku perawan tua. Semua lelaki yang mendekatiku pasti ngeper sama Enzo. Obrolan kami sempat terputus ketika aku menerima panggilan dari Enzo.

“Kamu dimana?” what the??

“Ehhhmmm, aku masih dinner di luar.”

“Aku sebentar lagi menuju rumah kamu, aku titip Adeline, ada urusan yang harus aku selesaikan secepatnya.” You’ve got to be kidding me.

Oke…” Why I can’t say No? This is my day off. Why he did that to me? Dick!

Aku mencoba untuk menutupi kekesalanku kepada Enzo di depan Ronald. Semuanya berjalan normal, sampai 15 menit kemudian aku merasa harus mengakhiri dinner ini.

Can we go home now?” Tanyaku ragu.

Is that the phone call? Your boss, right?” Aku menghela nafas dan mengangguk. Ronald tersenyum dan mengantarku pulang. Di perjalanan aku merasa bersalah kepada Ronald, karena sepertinya aku sudah berusaha menutup telepon disaat dia masih asyik meneleponku.

“Kamu gak pernah keberatan kalau bos kamu itu gangguin libur kamu?”

“Aku baru kerja 2 minggu sama dia, aku berusaha menunjukkan loyalitas aku.”

Even on your day off?” Aku mengangguk.

“Senang sekali mempunyai asisten seperti kamu.” Ucap Ronald.

Benar saja, ketika mobil Ronald berhenti di depan rumahku, mobil Enzo juga berhenti di belakang kami. Ronald yang tadinya hendak mampir ke dalam, mengurungkan niatnya. Adeline keluar dari mobil dan memelukku. Enzo memperhatikanku dari atas ke bawah. Dia berdiri di sampingku dan menggenggam tanganku. Weird!

“Tante Jules! Aku tidur di sini boleh?” Tanya Adeline sambil memberiku sekotak coklat berbentuk hati. Ronald tersenyum dan mencubit pipi Adeline.

“Mmhhhh…Kamu gak ngorok kayak Papa kamu kan?” Shit! Oh my Dear God!

“Tahu dari mana Tante kalau Papa ngorok tidurnya?” Aku gelagapan, Enzo tersenyum jahil dan Ronald sepertinya menanti jawabanku juga. Sebelum aku menjawab, Enzo menyabotase jawabanku.

“Karena Tante Jules suka ngelonin Papa tidur, right?

What? Karena Papa kamu suka tidur di kantor waktu kerja.” Enzo menggeleng.

“Eh, kamu mampir dulu ya?” Tanyaku kepada Ronald. Aku bermaksud menghentikan keanehan ini.

“Ga usah Jules, kamu sudah kedatangan peri cantik ke rumah. Besok kita ketemu di studio ya?” Aku mengangguk. Ronald dalam sekejap sudah menghilang dari pandanganku.

You look great! Puji Enzo. Adeline menarikku ke dalam. Dia menelusuri rumahku mencari Mama dan Papa.

How is the date?” Enzo mengajakku duduk di teras.

Great!” Jawabku singkat.

Is he a gay?” Tanya Enzo. Dia mulai mengumbar keisengannya.

No he’s not! He’s a good guy, I guess…”

Am I a bad guy?

“Yah!…” Jawabku asal.

“Aku titip Adeline ya, besok pagi aku jemput. Ada urusan mendesak yang harus segera diselesaikan.”

Oke…” Jawabku. Enzo menatapku dengan tajam. Dia beranjak dari kursinya dan berdiri di depanku. Tanpa disangka-sangka dia mencium keningku…and I let him. Dia pergi meninggalkan rumahku dan anehnya, aku mulai merasa aneh dengan semua perlakuan Enzo kepadaku.

Aku berdiri dan mencari Adeline ke dalam rumah. Aku ingin mencari tahu kehidupan mereka lewat Adeline. Sepertinya anak seumur dia belum bisa berbohong.

“Hai Princess!…Ehhmmm…Kamu suka ketemu mama kamu?” Adeline sepertinya kebingungan. Mungkin dia menyebut June dengan sebutan lain.

“Mmmhhh… Ayah Kenzu, Papa Enzo, Mama???….”

“Oh…Bunda June, Mama Jules….Papa bilang sebentar lagi aku gak boleh bilang tante.” Sick! Enzo benar-benar aneh! Papa tertawa melihatku bengong. Aku menggaruk kepalaku karena kesal dengan Enzo.

Malam ini aku tidur bersama Adeline, aku menatap wajah makhluk kecil ini. Dia mempunyai mata Enzo…..maksudku Kenzu, sedangkan bibirnya benar-benar mirip sang bunda. Kasihan sekali anak sekecil ini sudah menjadi korban keegoisan orang tuanya.

Teleponku berbunyi, dan ternyata Enzo menghubungiku.

“Kenapa, Kamu ada di depan rumah aku?” Tanyaku kesal. Enzo terkekeh.

I wish I could, kamu pasti lagi mandangin Adeline ya?” Enzo seolah-olah bisa membaca jalan pikiranku.

“Iya….Aku rasa gak adil buat anak sekecil ini harus mengalami rumitnya kehidupan.”

“Heeemmmm….that’s life. Are you thinking of me?

What? No! Udah ah, aku mau tidur!” Enzo tertawa di seberang sana. Aku menutup teleponnya.

Enzo….What are you?” Lirihku di keheningan.

Adeline masih tertidur, aku menitipkannya kepada Papa dan Mama. Seperti biasa, minggu pagi setelah jogging, aku bersepeda ke studio yoga. Aku melihat Ronald keluar dari studio dan membantuku memarkir sepeda.

“Hai! I’m thinking of you all night long.

What a wonderfull greet.” Balasku. Ronald tersenyum.

How is your boss? I bet that he jelous of me, right?

Nop! He’s good. Like I said before, we’re just partner in work.”

How can you be so blind, Jules?…He’s so in to you...”

Really? Nah!…he didn’t

So, there will be another date?

If you ask me…”

Next Saturday? I pick you at 7?” Aku mengangguk.

Akhirnya sesi terakhir, aku sudah tidak sabar ingin ngobrol dengan Ronald. Aku membuka mataku disaat meditasi dan ternyata Ronald sedang tersenyum memandangku. Hatiku mendadak seperti meloncat-loncat kegirangan melihatnya tersenyum.

Setelah berganti pakaian, aku menuju keluar dan hendak menemui Ronald, tapi sepertinya aku melihat Ronald dan…Enzo sedang berbincang di depan. Aku benar-benar geram melihat Enzo sudah mulai menjadi bayanganku, bahkan disaat hari libur. Tingkah gemasku terlihat oleh Joana, Receptionist di studio yoga ini.

“Kenapa, Mba? Ditungguin 2 cowok ganteng kok sewot?” Aku tertunduk malu sambil pura-pura memijit handpone-ku. Aku beranjak keluar dan menghampiri mereka berdua.

Really, Enzo?” Dia menyeringai jahil seperti biasa. Aku tidak mau berlama-lama mengumbar keanehan ini. Aku pamit kepada Ronald dan menuju sepedaku. Tapi, Enzo menarik tangaku dan menunjuk ke arah mobilnya. Apparently my bike is on top of his car. Aku menghela nafas berat dan panjang. Aku melihat Ronald, dia tersenyum dan mengangkat alisnya, pertanda bahwa apa yang dia katakan sebelumnya tentang Enzo memang benar.

“Aku titipin Adeline sama orang tuaku.” Ucapku kesal.

“Aku mau jemput Adeline, kebetulan aku lihat sepeda kamu, jadi sekalian aku jemput kamu.” Aku membuang wajahku ke arah jendela.

“Ronald bilang, Sabtu depan kalian mau dinner lagi ya?”

“Iya!…” Bentak aku. Enzo terkekeh melihatku kesal.

“Tahu gak? Sebenernya sekarang aku pengen banget nyekek kamu sampai kejer!” Ucapku kesal. Tawa Enzo menjadi-jadi dan dia menarik kuncirku.

“Awwww!…Kamu bisa stop ngerecokin aku sama Ronald gak?” Dia menatapku sambil berfikir.

“Mmmmhhh…Nop!”….So Enzo!

“Sekarang kamu ikut aku nganterin Adeline ke ice cream shop ya, please?” Aku menghela nafas panjang dan menatap Enzo.

“Kamu mau bikin rambut kamu blonde lagi?” Enzo tertawa lepas.

“Cukup sehari aja, aku kapok. Kayak bule nyasar.” Aku tersenyum.

Akhirnya, hari Minggu yang biasanya Me time, sekarang jadi family days out. Aku pergi menyusuri mall bersama dengan Enzo dan Adeline.

Kami tiba di salah satu Ice Cream shop langganan mereka berdua. Aku dan Adeline menunggu di meja sambil mewarnai coloring book yang baru saja dia beli. Adeline membenahi rambutku yang mulai berjatuhan menutupi wajahku.

“Kalau aku gak rapihin rambut Tante, nanti Tante mewarnainya keluar garis.” Jelasnya. Aku tersenyum dan mengelus pipi anak cantik ini. Enzo memesankan Ice cream untuk kami. Dia memperhatikan kami dari kejauhan. Sepertinya dia senang hari ini aku menemaninya jalan dengan Adeline.

Hatiku tiba-tiba merasa gak karuan. Sudah lama aku tidak merasakan seperti ini. Biasanya aku merasa tidak enak kalau ada sesuatu yang tidak sreg denganku. Benar saja, aku melihat sosok seorang laki-laki yang sudah tidak asing lagi bagiku, dia menghampiriku dan menyapaku.

“Jules…” Adeline melihatku, mungkin laki-laki ini masih asing baginya. Dia menyembunyikan wajahnya di belakang punggungku.

“Ryan..Hai!” Aku benar-benar tidak pernah berharap bisa bertemu lagi dengannya. Dia adalah orang terakhir yang ingin aku temui bahkan disaat aku diambang kematian.

“Ehhhmm…Can I join you here?What? No!…Big No!!!…

“Mmmhhh…” Aku pura-pura bingung, tapi sebenarnya aku sangat enggan bisa satu cubicle dengan dia. Yah itu! Kenapa dulu aku tidak menjawab itu ya?

“Jules…” Oh god thank you, baru sekarang aku bersyukur kalau Enzo datang.

“Hai!…Mmmhh, Ini Ryan my former boss.” Terangku kepada Enzo.

“Enzo…” Jawab Enzo seraya menjabat tangan Ryan.

“Kalian???…” Ryan menunjuk aku dan Enzo, seolah menanyakan hubungan kami.

“Kenapa, ada yang aneh?” Tanya Enzo lugas. Ryan menggeleng. Dia mulai kikuk dan sepertinya tidak enak tiba-tiba muncul di tengah-tengah keluarga kecil ini. Hahahaa…at least dia berpikiran seperti itu. Akhirnya dia pergi juga dari hadapanku.

Enzo mulai membubuhkan tanda tanya besar di wajahnya. Aku tahu bahwa kali ini dia pasti akan merecokiku perihal Ryan. Tapi kalau boleh, aku ingin dia melewati yang satu ini. Please don’t do that! Ini bukan lelucon asyik buatku dan aku sama sekali tidak ingin me-rewind semuanya.

“Dia bukan hanya mantan bos kamu kan?” Tanya Enzo mencoba menggali lebih dalam hubungan aku dan Ryan. Aku membiarkannya, aku tetap membantu Adeline mewarnai. Adeline menghabiskan setengah dari ice cream-ku, sementara Enzo sengaja menyuapiku ice cream disaat aku sedang membantu Adeline mewarnai.

“Ehemmm….Hai Jules!” Pa Darwin sudah berdiri di depan meja kami. Enzo tampak tidak terganggu dengan kehadiran Pa Darwin he keep feeding me. Aku berusaha menghindar tapi Enzo selalu berhasil mengelabuiku.

“Opa dateng jemput aku ya?” Adeline membereskan barang-barangnya tanpa meminta bantuanku. Setelah selesai dia langsung menghampiri Kakeknya dan menariknya minta dibawa ke toko mainan lain.

“Papa duluan ya.” Pa Darwin pamit dan mereka berdua meninggalkan aku dan Enzo.

So, Ryan itu siapa?”

Oh my Gosh! Please shut him up!” Enzo yang tadinya duduk di depanku, pindah menjadi di sampingku.

Come on Jules! Kamu gak pernah cerita apa-apa sama aku.” Aku mencoba berfikir sejenak. Apa aku siap membuka lembaran kelam aku sekarang? Apa aku harus menceritakannya kepada Enzo?

“Jules…” Enzo mendekatkan wajahnya kepadaku. Aku bergeser memberi jarak antara kami, tapi kemudian dia bergeser lagi mendekatiku.

Why are you so annoying?” Tanyaku kesal. Enzo membelalakan matanya memaksaku bercerita. Aku menarik nafas panjang. Aku menatap Enzo…sepertinya aku memang mempercayai dia.

“Aku dulu hampir menikah dengan Ryan. He was my fiance.” Mimik wajah Enzo berubah menjadi serius.

What happened?” Tanyanya ragu.

“Kita sudah menentukan tanggal pernikahan dan memesan undangan. Tapi…Aku mergokin dia ML sama sekretaris barunya, di ruangannya dia. Ironisnya, sekretaris baru itu menggantikan posisiku. Sebelumnya Ryan memintaku resign dan ingin aku menjadi ibu rumah tangga seutuhnya.”

Wow! That’s Awful!…Why don’t you tell me about this?

For what? It’s just past!

So you just drop your Mr. Not-quite-right?” Aku mengangguk.

“Itu juga sebabnya kamu trauma punya hubungan sama bos kamu?”

“Maksud kamu?”

Come on Jules?” Jawab Enzo. Sebelum aku sempat berdebat, aku mendapat telepon dari Mama.

“Jules…Ini Mama. Kamu bisa ke rumah sakit sekarang? Papa kena serangan jantung.”

“Kok bisa, Ma? Iya..iya..aku kesana sekarang.” Aku beranjak dari kursi dan berjalan secepat mungkin. Enzo berusaha mengimbangiku, dia mempercepat jalannya juga.

“Kenapa?” Aku benar-benar tidak bisa menutupi kekhawatiranku, tapi aku berusaha tidak menangis di depan Enzo. Ya….Aku harus tegar di depannya.

“Papa aku kena serangan jantung, sekarang di rumah sakit.” Jawabku. Enzo bergeming, dia menggenggam tanganku dan mempercepat lagi langkahnya menuju parkiran.

Aku pergi ke rumah sakit bersama Enzo. Sepanjang perjalanan Enzo menggenggam erat tanganku. Mungkin dia ingin memberikan support-nya kepadaku. Perjalanan ke rumah sakit yang biasanya memakan waktu 20 menit, karena hujan lebat dan macet sudah 30 menit pun kami masih di tengah-tengah kemacetan.

“Kamu yang tenang ya, Papa kamu pasti gak apa-apa, pasti sudah baikan.” Ucap Enzo berusaha menghiburku. Aku tidak mempedulikannya, badanku terasa lemas. Aku bersandar di jok dan memalingkan wajahku keluar jendela.

“Aku selalu dekat dengan Papa, sementara Mama dengan Vivi. Aku dan Papa tidak pernah menyembunyikan apapun. Termasuk masalah laki-laki. Aku selalu bercerita kepada Papa tentang orang terdekatku. Aku takut kalau sampai Papa….” Aku tidak bisa lagi meneruskan ucapanku. Aku berusaha keras menahan air mataku di hadapan Enzo. Sampai akhirnya, aku tidak bisa menahan beberapa butir air yang keluar dari mataku. Aku cepat-cepat menghapusnya dengan punggung tanganku.

Enzo sepertinya asing dengan sikapku sekarang. Dari tadi dia lebih banyak terdiam dan menjadi pendengar setiaku. Aku tahu bahwa mungkin dia menyesal harus berada di sampingku disaat aku rapuh seperti ini. Mungkin dia akan lebih memilih pergi menjamu klien-nya daripada menenemani asistennya di saat seperti ini.

“Papa!….” Aku memeluk papa yang sedang terbaring di brankar. Papa sudah siuman tapi masih terlihat lemas. Mama yang saat itu berada di samping brangkar menenangkanku.

“Jules…Papa gak apa-apa. Hanya penyakit orang tua.” Hibur Papa berusaha membuatku tenang. Papa masih bisa bercanda disaat kritis seperti ini. Aku yang jarang sekali menangis, saat ini tidak bisa membendung air mataku. Aku menangis karena aku tidak siap jika membayangkan harus ditinggalkan Papa. Enzo mendekat dan membelai rambutku. Dia juga sama seperti Mama dan Papa, dia berusaha menenangkanku.

 

Jules…andai saja kamu tahu, aku tidak bisa melihatmu menangis seperti ini, aku tidak bisa untuk jauh-jauh darimu, aku….tidak bisa berhenti memikirkan kamu.

Papa-nya Jules sepertinya menyadari apa yang aku rasakan terhadap anak kesayangannya ini. Iya…dia selalu menyadari perasaanku kepada Jules. Tapi kenapa sangat sulit untuk Jules merasakan semua perasaanku kepadanya. Padahal itu semua terlihat jelas. Aku bahkan sudah tidak menyembuyikannya lagi.

Entah ada apa dengan Jules? Apa memang Ryan sudah membuatnya trauma untuk membuka hatinya kepadaku? Ataukah dia memang tidak pernah mempunyai perasaan apa-apa kepadaku? Ooohhh…I wish I knew what is inside your heart.

Kenapa disaat jatuh cinta aku tidak bisa berpikiran rasional? Kenapa aku terus saja memaksanya membuka hati untukku? Jelas-jelas saat ini dia sedang melakukan penjajakan dengan laki-laki lain. Tapi…aku tidak mau sampai laki-laki itu merebut Jules dariku. Aku tidak mau sampai dia memberikan perhatian kepada laki-laki itu. Aku tidak mau sampai Jules membuka hatinya untuk laki-laki lain selain aku. God damn Jules! I think that I am deeply in love with you. I don’t wanna be a stranger for you. I wanna be someone that you love the most.

Pagi ini, dari luar aku memperhatikan Jules yang sedang merapikan ruanganku. Ternyata dia datang lebih awal dariku. Aku perhatikan semua bahasa tubuhnya. Aku belum pernah merasa dekat dengan seorang perempuan dalam waktu yang singkat. Dua minggu, aku baru mengenalnya selama dua minggu. Tapi aku sama sekali tidak pernah bisa melupakan parfume-nya, wangi rambutnya dan juga tawanya.

Lagi-lagi, dia selalu mengangkat frame foto itu dan memandangnya cukup lama.

Gotcha!” Dia terperanjat karena aku sengaja membuatnya kaget.

“Kamu tiap hari ya, liatin foto itu?”

“Iya, aku makin penasaran. Ini kamu atau Kenzu?” Aku terdiam mendengar alasan dia memandang foto itu.

That’s me of course, you fool!” Semprotku. Jules duduk di kursinya dan meregangkan tubuhnya serta merileks-kan otot-otot lehernya. Dia bersiap-siap memulai pekerjaannya.

“Papa kamu sehat?” Tanyaku. Jules tersenyum dan mengangguk. That’s a good sign, aku gak akan pernah mau lagi lihat dia nangis seperti kemarin. Itu membuatku tidak mau beranjak dari sisinya. Membuatku khawatir meninggalkannya. Kemarin saja, sampai-sampai Jules meneriakiku menyuruhku pulang dari rumah sakit. Sepertinya ada lem yang menempel diantara aku dan dia.

“Jules…Apa cita-cita terbesar kamu?”

“Kenapa tiba-tiba kamu nanya gitu?” Jules balik bertanya. Aku mengangkat bahuku.

“Hhhmmmm…cita-cita terbesarku?…Aku ingin sekolah designer di Paris.”

Really?…Kamu mau berhenti kerja terus ninggalin aku jauh-jauh?” Tanyaku geram.

I’d love too.” Jawabnya ringan.

“Enzo…” Dia berhenti melanjutkan ucapannya, dan itu semua membuatku penasaran.

What? Kamu suka sama aku?” Tanyaku asal. Padahal, aku benar-benar ingin dia menanggapi pertanyaanku ini dengan serius.

Thank you…Kamu udah nemenin aku kemarin.” Good, anggap aja tadi aku gak nanya apa-apa. Kenapa dia bisa seperti itu? Apa dia berpikir kalau itu bukanlah pertanyaan yang harus dijawab? Akhirnya aku hanya bisa mengangguk.

“Nanti sore Papa aku pulang, aku boleh pulang jam 5 teng kan?” Jules mulai merajuk sepertinya.

“Aku bukan hanya mengizinkan kamu pulang jam 5 teng, aku juga yang akan nganterin kamu jemput Papa kamu di rumah sakit.” Jawabku lengkap. Jules mengangkat kedua tangannya ke atas dan bersorak kegirangan. Aku suka melihatnya gembira seperti itu.

You are the best Boss ever!” Ucapnya lagi.

But…I sleepover in your house tonight!” Dia kembali lemas dan menjatuhkan tubuhnya di atas kursi. Aku bisa tersenyum senang sekarang.

Sejak Papa pulang dari rumah sakit, semua makanan akan disaring terlebih dahulu sebelum sampai di piring Papa. Tidak ada mentega berlebih, santan, kuning telor, daging merah, semuanya tidak boleh terlalu sering dikonsumsi Papa.

“Eits….No! Omelete punya Papa sudah dipisah.” Tegasku. Papa sepertinya sudah tidak bernafsu lagi untuk makan.

“Mana enak omelete hanya dari putih telur? Sesekali kan gak apa-apa.” Papa membela dirinya sendiri. Mama akhirnya memberi sepotong kecil omelete kami untuk Papa.

“Mama udah pisahin omelete buat Enzo di tupperware biru.” Mereka hampir setiap hari menyuruhku membawakan makanan untuk Enzo. Hanya saja, tidak semuanya aku berikan kepada Enzo. Kadang aku memberikannya kepada Cathy, Rose atau siapapun tergantung mood-ku.

“Jules, dari pertemuan kamu dengan Ryan kemarin, dia sudah menghubungi kamu lagi?” Tanya Mama. Aku tidak pernah menduga kalau Mama akan menanyakan pertanyaan seperti itu. Setahun terakhir ini, mereka seolah menjaga perasaanku sehingga tabu menyebut nama itu. Tapi, sepertinya sekarang mereka sudah mulai menganggap semuanya normal kembali

“Nomorku kan ganti, Ma. Mana dia tahu…” Jawabku asal.

There you are, special omelete Ibu Nadine.” Ucapku sambil menyimpannya di meja Enzo. Enzo menggosok-gosok tangannya kegirangan. Padahal, orang seperti Enzo sebenarnya bisa makan apapun yang dia mau setiap saat. Tapi, dia selalu menantiku membawakan makanan buatan Mama.

“Kemarin, kanapa Mama kamu gak bawain aku bekal?” Ooopppsss…aku memberikannya kepada satpam kantor.

“Gak ada sisa, kalau ada sisa baru aku bawain.” Jawabku asal.

“Tapi jatah aku gak kamu kasih sama gay itu kan?” Aku mengacungkan jari tengahku.

“Hey…ada kabar dari X kamu? Sepertinya dia bingung sewaktu bertemu kita di kedai ice cream?What the? Aku hanya menggeleng tidak mau meneruskan membahas masalah ini.

Pagi ini aku belum sarapan sehingga menyempatkan diri masuk Circle K dekat kantor untuk cari sarapan. Aku membeli roti isi dan segelas Milo. Jika sarapan di pantry seperti sudah memasuki hawa kerja.

“Jules!…Hai!” Ryan? Ngapain dia di deket kantor aku?

“Hai!” Jawabku. Aku berusaha menyembunyikan semua amarah dan kebencianku kepada orang tak tahu malu ini. Aku berusaha bersikap seolah-olah dia teman lamaku.

“Kamu belum sarapan ya?” Aku mengangguk. Dia duduk mengisi kursi kosong di depanku. You make me sick!

“Jules…you look great!” Aku tersenyum. Aku ingin menunjukkan kepadanya kalau aku kuat dan sudah melupakan semua pengkhianatannya.

Thank you.” Jawabku.

“Enzo…mmhhhhhh…pacar kamu?” What the? Aku beranjak dari tempat dudukku dan meninggalkannya. Aku tidak mau dia mencampuri atau sampai masuk kehidupanku lagi. Ryan mengejarku. Dia berjalan di sampingku. Aku mempercepat langkahku, dia pun mempercepat langkahnya

“Jules…it’s been a years, come on…lupakan yang dulu, aku khilaf…aku sudah minta maaf berkali-kali sama kamu. Semuanya sudah terjadi, aku gak bisa lagi balikin semuanya seperti semula, Jules! I love you, so much!” Aku makin jijik dengan kenorakan dia mengumbar masalah seperti ini di public. Benar-benar roman picisan!

Memaafkan?…Melupakan?…sick! Aku masih bisa mengingat semuanya dengan jelas. Aku ingat seperti apa wajahnya saat bersama perempuan itu. Dick! Kemarahan dan kebencianku kepada Ryan semakin muncul di permukaan. Ryan menarik tanganku memintaku untuk berhenti dan tidak memasuki gedung kantorku. Aku berusaha melepaskannya, tapi sepertinya Ryan sudah kesetanan saat ini. Dia malah berusaha menyeretku untuk mengikutinya.

“Hei!…” Enzo muncul seperti biasa, tanpa terlihat kapan dia datang. Dia melayangkan tinjunya di muka Ryan. Aku menarik Enzo supaya dia tidak melakukannya lagi. Ryan membalas Enzo, sampai akhirnya satpam kantor keluar dan mengamankan Ryan.

“Hati-hati kamu memperlakukan perempuan, jangan seenak jidat kamu!” Sembur Enzo. Dia merangkulku dan membawaku masuk. Aku masih shock, marah dan kesal. Kalau saja bisa, sebenarnya aku ingin pulang saja dan menangis. Semua kenangan burukku, traumaku di masa lalu mulai tampak jelas kembali. Di dalam lift, Enzo terus menatapku sedangkan aku memeriksa rahangnya yang kena sasaran tinju Ryan.

Semua karyawan yang kebetulan berpapasan memandang aneh karena Enzo merangkulku. Aku sendiri tidak peduli dengan semua tanggapan mereka. Aku ingin hari ini cepat berlalu, membereskan semua pekerjaanku dan pulang memeluk Papa dan Mamaku.

Sampai di ruanganku, Enzo menutup semua gorden sehingga orang-orang tidak bisa melihat kami dengan jelas. Aku duduk di mejaku berusaha bersikap normal. Aku meyalakan computer dan mulai melihat berkas-berkas di mejaku. Enzo duduk di sofa dan menatapku seolah menunggu tangisanku meledak. Aku tidak ingin sampai bertemu pandang dengan dia.

“Jules…” Enzo ingin memastikan bahwa aku tidak apa-apa. Aku ingin sekali membalasnya, aku ingin menjelaskan kalau aku tidak apa-apa. Tapi tenggorokanku terasa berat menahan air mata yang sudah tidak bisa terbendung lagi. Alhasil, aku menutup wajahku dengan kedua tanganku bertumpu di meja. Aku mulai menangis, tapi anehnya Enzo tidak menghampiriku untuk memberikan bahunya, dia malah memperhatikanku dari kejauhan.

Setelah beberapa saat, akhirnya air mataku ini bisa berhenti dengan sendirinya. Aku mengeringkan mataku dengan tissue dan berusaha untuk tidak menangis lagi. Enzo pun menghampiriku, di duduk di atas meja persis di sampingku. Dia merapikan rambutku yang berantakan dan merapikan sedikit make up-ku yang berantakan dengan tangannya.

Enzo menatapku dan mendekatkan wajahnya, dia mencium keningku lamaaaaa sekali. Tanpa terasa, air hangat mulai membasahi pipiku lagi. Melihat Enzo begitu memperhatikanku membuat semua amarah dan kebencianku melunak. Dia memelukku dan memberikan bahunya yang lebar untuk menghangatkanku.

You know…Sometimes all you need is a hug from the right person and all your stress will melt away.” Ucap Enzo. Aku tertawa kecil mendengar ucapan Enzo.

“Ini kan romantis, ngapain kamu ketawa?”

“Aku tahu kamu copas quote itu dari BBM. Itu udah familiar!…Gak kreatif kamu!” Ucapku. Enzo gelagapan.

“Tapi intinya, bener kan apa yang aku bilang tadi?” Dia melindungi dirinya sendiri dari rasa malu, So Enzo! Aku tersenyum dan memeluknya pertanda aku sudah baikan.

“Awww….that’s hurt.” Ucap Enzo manja. Aku kembali memeriksa rahangnya dan yang nampak adalah seringai jahil Enzo saja.

Melihat Jules disakiti laki-laki brengsek itu, membuatku lebih tidak ingin jauh darinya. Melihatnya ketakutan seperti tadi, membuatku semakin ingin melindunginya. Aku selalu ingin berada di sampingnya, menemaninya bahkan di saat-saat tersulit di dalam hidupnya.

Merangkulnya disaat dia ketakutan, memberikan bahuku disaat dia butuh bersandar serta mengusap air matanya dengan tanganku. Aku ingin selalu bisa melakukan semuanya itu, tanpa terhalang ruang dan waktu.

Kenapa aku tidak memberikan bahuku disaat dia pertama kali menangis tadi? Aku ingin tahu apakah dia masih mencintai mantan tunangannya itu atau tidak. Aku menunggu sampai dia selesai menangis dan berbagi cerita tentang perasaannya terhadap Ryan. Tapi…ketakutanku itu ternyata tidak beralasan, aku tahu kalau sekarang dia memang sudah tidak mencintai laki-laki itu lagi.

Disaat dia membalas pelukanku…yang aku inginkan adalah dia tidak pernah melepaskannya dalam waktu yang lama. Aku ingin dia membalas setiap kali aku memeluknya. Aku ingin dia setiap saat tertawa manja di pelukanku. Jika saja dia menyadari semuanya….

Siang ini, seperti hari-hari kerja biasanya, aku dan Enzo masih kutat-kutet dengan pekerjaan kami. Setelah terbit edisi bulan ini, kami akan menerbitkan edisi khusus ulang tahun majalah ini. Semuanya tampak lebih sibuk dengan semua perayaan nanti. Semua kru inti dalam majalah ini akan memberikan opininya dan juga artikel mereka secara personal, termasuk Enzo dan keluarganya.

“Jules…aku harus pergi sebentar, kamu tolong selesaikan semua pertanyaan untukku di edisi mendatang.” Enzo beranjak dari kursinya dan memakai blazer yang dia simpan di sandaran kursinya.

Personal question yang harusnya kamu jawab sendirikan? Kalau aku yang jawab mungkin gak akan sejalan sama pemikiran kamu.” Enzo menghela nafas panjang, dia menghampiri mejaku.

“Kamu harus belajar tentang jalan pikiranku. I trust you! Apapun yang kamu tulis, aku setuju.” Jawabnya sambil mengacak-acak rambutku. Enzo dalam sekejap sudah hilang dari pandanganku.

Aku duduk di meja Enzo dan melihat questioner yang harus dijawabnya. Dia mengosongkan 3 kolom saja dan semuanya tentang personal opinion. Aku membacanya dan mencoba mengisinya seolah aku mendalami pemikiran Enzo.

“Apa arti kecantikan bagi kamu?” Mmmmhhhh…kira kira Enzo akan jawab apa ya?

“Kecantikan tidak melulu artivisual. It’s depend on your attitude. Jika kamu arogan, tidak bisa menghargai orang lain, maka kencantikan yang kamu punya akan ikut tenggelam di dalamnya. Sebaliknya, jika kamu humble, bisa menghargai orang lain, dengan sendirinya kecantikan itu akan muncul di dalam diri kamu.” Kira-kira Enzo sependapat gak ya?

“Apa salah satu kriteria anda dalam mencari model yang kompeten?” Pertanyaannya susah-susah gampang, tapi jawabannya harus yang berbobot untuk menunjukkan bahwa Enzo adalah seorang editor in chief yang handal. Mmmhhh…let me think…

We are not looking for any duplication, we are looking for originality.” Kira-kira itu bisa mewakili jawaban Enzo gak ya?

“Apa yang anda cari dari seorang perempuan?” Damn it, Enzo! Ini kan harusnya benar-benar dijawab sama kamu. Tipe Enzo seperti apa ya kira-kira?….tok…tok…tok…

“Jules…” Kenzu memasuki ruanganku. Dia sepertinya tahu kalau aku sedang kebingungan.

“Enzo mana? Kamu lagi ngerjain apa? Maybe I can help you.” Aku melirik Kenzu, baru sekarang dia menawarkan bantuan kepadaku.

“Aku disuruh ngisi personal opinion Enzo untuk birthday issue. Ada beberapa lagi yang belum diisi.” Kenzu mengerutkan dahinya seperti kebingungan, kemudian dia tersenyum.

“Enzo?…hahaha…dulu dia tidak akan menerima saran siapapun jika mengenai personal opinion, apalagi membiarkan orang lain mengisi untuknya. Oke, what’s the questions?” Aku sendiri tidak mengerti, kenapa sepertinya sekarang dia sangat tergantung denganku.

“Apa yang anda cari dari seorang perempuan?”

That’s easy, Jules! Tulis saja semua yang ada di diri kamu. That’s the answer!” Jawab Kenzu lantang. Me? Why me? Kakak beradik ini sama ngaconya!

“Oke, aku bantu kamu. Bisa membuat kamu nyaman dan melupakan semuanya. Bisa memotivasi diri kamu menjadi orang yang lebih baik.” Jawab Kenzu lagi.

“Ooohhh…I see, thank you.” Jawabku. Tapi sepertinya Kenzu punya urusan lain datang ke ruanganku.

“Jules, sebenernya aku cari Enzo, handphone dia mati. Aku mau minta tolong.”

“Oh, dia bilang ada perlu sebentar. Mungkin benar-benar penting, jadi dia harus matiin hp-nya.” Kenzu terlihat ragu-ragu.

“Pekerjaan kamu sudah selesai?” Aku mengangguk setelah selesai mengisi pertanyaan terakhir.

“Karena Enzo gak di sini, aku minta bantuan kamu buat anterin Adeline ketemu ibunya. Sebulan sekali jatah dia ketemu ibunya.” Again!…Why me?

“Ehhhmmmm…sorry, emang gak ada nanny-nya atau siapapun?”

“Biasanya Papa atau Enzo jika terpaksa, yang mengantar Adeline bertemu Ibunya. Aku gak tega kalau harus supir yang antar, dan jangan kamu minta aku sendiri yang mengantar bertemu perempuan itu.” Aku menghela nafas panjang.

“Kalau Enzo balik kesini terus aku gak ada gimana?”

I’ll talk to him…” Jawab Kenzu. Akhirnya aku menyetujuinya dan pergi mengantar Adeline bersama Kenzu.

Di dalam mobil, aku merasa sedikit kaku karena baru pertama kali sedekat ini dengan Kenzu. Tapi Kenzu sepertinya sudah bisa membaca ketidaknyamananku ini. Aku berusaha terbiasa seperti saat aku bersama Enzo.

“Mmmhhhh…Mama kamu gak pernah ke kantor ya?” Tanyaku.

“Mama lebih suka di Australia mengurus sekolah modelnya di sana. Makanya sering sekali Papa dan Adeline bolak balik Australia. Enzo gak pernah cerita?” Aku menggeleng.

“Enzo itu…Dia dulu selalu bercerita apapun sama aku, Papa, Mama. Tapi…sekarang dia jauh lebih tertutup.” Aku mengangguk. Aku tidak ingin tahu apa alasan dia menjadi seperti itu. Sudah cukup jauh aku masuk ke dalam keluarga ini.

“Kemarin muka Enzo memar, kamu tahu dia berkelahi dengan siapa di depan gedung kantor?” Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Kenzu itu. Aku memalingkan wajahku keluar jendela.

Ooo…I see…the other man, right?” Ucapnya. Aku memilih diam tidak menghiraukan ucapan Kenzu.

“Menurutku kalian berdua cocok…you look good with him.” What the? Aku hanya tersenyum.

Sesampainya di apartement building, aku dan Adeline turun menuju poolside area, karena June menunggu di sana. Sementara Kenzu tetap di dalam mobil bersama supirnya.

“Hallo cantik!” June menyambut Adeline dengan antusias. Begitu juga sebaliknya. Adeline memeluk Ibunya seperti dia memelukku. Aku melepaskan genggaman tangan Adeline dan segera pamit.

Thank you, Jules.” Aku tersenyum.

I mean it. Thank you, karena kamu sudah bersedia meluangkan waktu untuk mengantar anakku jalan, bahkan sleepover di rumah kamu.” Aku terhenyak karena June mengetahui semuanya.

“Ehhhmmm…Iya, sorry aku gak bilang. Enzo…dia gak pernah bilang kalau mau melakukan sesuatu.” Sanggahku berusaha menjelaskan tentang kegiatan anaknya bersamaku.

“Enzo…hahaha…Aku bisa lihat kemana arah semuanya ini.” Aku tidak terlalu menghiraukan perkataan June. Terlalu dalam terjun ke dalam masalah keluarga ini, makin aku tahu kalau mereka semua aneh.

“Huffttt!…Aku menghempaskan tubuhku di jok belakang di samping Kenzu.”

Thank you, Jules.” Ucap Kenzu.

You’re welcome!” Jawabku lagi. Aku baru teringat Enzo, apa dia sudah sampai di kantor?

“Aku sudah text Enzo lagi, tapi dia belum baca. Sebagai ucapan terima kasih, aku mau ajak kamu makan sekarang.”

It’ll be nice, but I have to go back to work!” Jawabku.

Come on, Jules…kita makan di arah yang terlewati kantor saja. Paling lama 30 menit, setelah itu kita terusin perjalanan ke kantor. Enzo juga gak bakalan marah.” Aku ragu-ragu, tapi aku merasa kalau Kenzu adalah laki-laki yang baik dan apa salahnya sekali-kali menemani dia ngobrol.

Akhirnya pilihan jatuh ke Starbuck yang berjarak 15 menit dari kantor kami. Kenzu yang menurutku sebelumnya adalah pemurung, ternyata berbeda sekali. Dia menyenangkan, humoris dan benar-benar pendengar yang baik.

“Ngapain Enzo kasih pertanyaan interview seperti itu ya?” Aku bercerita tentang pertanyaan aneh yang diajukan Enzo sewaktu interiew. Kita ngobrol ngaler ngidul dan tertawa melepas penat.

“Jules!..” Aku mendengar Enzo memanggilku. Dan memang dia berada di sana, seperti biasa, entah darimana datangnya dia suda muncul di hadapanku. Kali ini dia terlihat muram, maybe he has a bad day.

“Hai! Kamu di sini?” Tanyaku. Dia sama sekali tidak duduk, dia berdiri di depanku dan Kenzu.

“Harusnya aku yang nanya, kamu ngapain di sini? Ini masih jam kerja.”

Sorry, Bro! Tadi aku minta dia anter Adeline ke apartemen Ibunya. Handphone kamu kenapa? Kita dari tadi kirim kamu text.” Jawab Kenzu.

What are you trying to do? Tanya Enzo kepada Kenzu. Sepertinya Enzo tidak suka aku pergi disaat jam kerja.

“Enzo, kerjaan aku sudah beres. Aku bantu kakak kamu sebentar, terus aku mau balik lagi ke kantor.” Timpalku.

And here you are…” Sanggah Enzo.

“Ini bukan salah Jules, dia mau langsung balik ke kantor. Aku paksa dia nemenin aku makan sebagai ucapan terima kasih.” Enzo bergeming.

“Kamu enggak puas sama apa yang sudah kamu lakukan dulu? You never learn your lesson!” Jawab Enzo. Dia menarik tanganku dan mengajakku pergi meninggalkan Kenzu.

“Hey! Kamu tidak berhak memperlakukan Jules seperti itu, Enzo! Kamu gak lihat, dia kesakitan karena kamu tarik tangannya dalam keadaan marah seperti itu.” Enzo berhenti dan menghampiri Kenzu. Aku tidak mau sampai sesuatu yang buruk terjadi di sini. Aku mencoba membawa Enzo pergi dari sini, tapi dia tidak peduli.

Or what? Go ahead, make a move! We’ll see how it ends!” Enzo menantang Kenzu, dan Kenzu sendiri terlihat emosi dan mencoba berdiri dari kursi rodanya.

Watch your mouth!” Ucap Kenzu. Aku dengan paksa menarik Enzo dan menjauhkannya dari Kenzu. Aku berjalan setengah lari menghampiri Pa Ade di lobby. Aku bergegas masuk ke dalam mobil dan memalingkan mukaku ke luar jendela.

“Harusnya aku yang marah sama kamu!” Ucap Enzo.

Go ahead! Kamu bener-bener atasan yang posesif! Bahkan sama Kakak kamu sendiri!”

Karena sudah mulai macet, sementara jam sudah menunjukkan pukul 5 sore dan kami masih belum sampai kantor, akhirnya aku minta untuk langsung diantar pulang. Tidak ada yang berani membuka lagi pembicaraan diantara kami berdua.

Akhirnya Pa Ade berhenti di depan gerbang rumahku. Enzo mulai berani menatapku lagi. Dia membukakan pintu mobil untukku, aku rasa dia sudah mulai menyadari kesalahannya. Aku memutuskan untuk mengutarakan ganjalan yang ada di dalam kepalaku atas kejadian tadi.

“Kamu gak berhak membuat harga diri Kakak kamu jatuh di depan umum. Apa yang kamu lakukan sama Kakak kamu tadi, benar-benar tidak pantas. You better than that, you’re not a looser!” Ucapku sambil berlalu. Aku menutup gerbang dan melihat Enzo yang masih belum pergi menungguku masuk ke dalam rumah.

Enzo benar-benar sudah membuat Kakaknya sendiri malu di depan public. Terkadang aku sendiri bingung dengan sifat posesifnya. Kenapa keluarga mereka tidak bisa bersikap normal seperti keluarga lainnya. Too much drama!

Malam ini aku di rumah sendirian, karena Papa dan Mama menginap di rumah Vivi. Mereka merindukan cucu semata wayangnya. Aku mencoba memejamkan mataku lebih awal dari biasanya supaya bisa bangun lebih pagi tanpa dibangunkan Papa. Walaupun alarm handphone-ku selalu diset pukul 5 subuh, tetap saja aku matikan menunggu panggilan alam sesungguhnya, apalagi jika bukan panggilan Papa. Jika belum mempan, baru Mama turun tangan.

Drrtttt….drrrttt….drrrttttt…Handphone-ku bergetar pas di sebelah kepalaku. Oh, Gosh…jangan-jangan aku kesiangan. Aku meraba-raba menyentuh tombol answer. Dengan suara parau aku menjawab panggilan masuk.

“Iya…..”

“Jules….I’m sorry…”

What the?…You’ve got to be kidding me…Enzo! Stop bugging me! I’m just trying to sleep!” Aku melihat jam di dinding kamarku, ternyata masih jam 3 dini hari.

“Jangan bilang kalau kamu mabuk, terus kamu ada di depan gerbang aku?”

“Aku memang ada di depan rumah kamu, tapi aku 100% sadar, I swear!

“Kalau kamu sadar, kamu gak mungkin ngetuk rumah orang jam 3 subuh!”

“Jules…come on, let me in! Aku baca questioner yang kamu isi. I’m impressed.

Thank you, kita bisa bahas itu nanti di kantor.”

“Jules, kamu mau nyuruh aku tidur di kantor lagi?” Ratap Enzo. Nada bicaranya mulai terlihat hopeless.

“Kenapa harus di kantor? Kamu punya apartemen juga rumah.”

I’ll stay, untill you let me in.”

Leave!…” Aku mematikan handphone-ku dan juga lampu kamarku. Aku ingin memberi Enzo pelajaran atas kelakuannya sore tadi. Aku menghela nafas panjang dan menarik selimutku. Aku kembali menutup mataku berharap bisa tidur lagi.

Setelah selesai sholat subuh, aku bersiap-siap untuk jogging seperti biasanya. Aku membuka seluruh gorden di rumahku dan mematikan lampu. Aku membuka jendela sehingga udara segar bisa masuk ke seluruh penjuru di rumahku. Di teras rumah, bisa terlihat jelas melalui gerbang kalau mobil Enzo parkir di depan gerbang rumah seperti biasa.

Ooohhhh…Enzo, kenapa selalu kamu yang bikin huru-hara dari mulai aku membuka mata sampai aku menutup mataku. Aku membuka gembok dan menarik gerbang rumah. Aku memandanginya yang sedang terlelap di belakang kemudi. Aku bisa saja tidak menghiraukannya dan melanjutkan jadwalku seperti biasa, tapi…tok…tok…tok..aku mengetuk jendela mobilnya. Dia terperanjat, dia menggosok-gosok matanya untuk mengumpulkan kesadarannya. Kemudian muncullah senyuman hangat Enzo seperti biasa.

Good morning Sunshine!” Dia keluar dari mobilnya dan merangkulku masuk ke dalam rumah. So Enzo!…

“Kamu udah jogging?” Aku menggeleng.

“Kenapa gak jogging dulu baru bangunin aku? Kamu takut diomelin Papa kamu karena gak sopan sama tamu ya?” Aku tersenyum sinis. Aku menuju dapur dan membuatkan kopi untuknya serta menyiapkan roti dan selainya untuk sarapan. Wangi kopi mulai merebak di sekitarku.

“Mama sama Papa mana?” Aku menatapnya dengan kesal.

“Mereka lagi nginep di rumah Ade aku.” Jawabku ketus.

“Kamu dari malem sendiri?” Aku mengangkat bahuku.

So why don’t you let me in?” Tanya Enzo kesal.

“Sampai sekarang aku masih marah sama kejadian kemarin, jadi kamu gak usah baik-baik dulu sama aku.” Jawabku gak kalah kesalnya. Enzo mulai menyeruput kopinya.

Did you have a good dream?” tanya Enzo berusaha melunakkanku.

I did…Did you?” Tanyaku basa-basi.

Of course, I dreamt about you.” Aku menggeleng, tidak percaya dengan usahanya untuk membuatku memaafkannya. Aku mengoleskan roti dengan mentega dan menaburi keju juga susu kental manis. Aku taruh di piringnya. Aku meninggalkannya menuju halaman rumah. Aku memberi makan kelinci-kelinci Lilian. Enzo membawa sarapannya ke teras dan memperhatikanku seperti biasa.

“Jules…apa yang kamu pikirkan saat mengisi questioner itu?” Aku menoleh ke arahnya, aku kembali memberi makan kelinci-kelinci itu.

“Aku coba menelusuri jalan pikiran kamu.”

“Termasuk pandangan aku tentang perempuan?”

“Oooohh…kalau itu Kenzu yang bantu aku ngisi.”

“Kenzu?…Aku kan suruh kamu yang isi!” Enzo berjalan menghampiriku, dia ikut memberi makan kelinci-kelinci putih yang sudah mulai merajuk ingin keluar dari kandangnya. Enzo membuka kandangnya dan membiarkan mereka berlari-lari di halaman rumah.

“Aku bingung…Kenzu bilang, tulis saja semua yang ada di diri kamu. That’s the answer! Aku masih bingung…Jadi dia mendeskripsikannya buat aku.”

“Ke depannya aku gak mau kamu pergi sama Kenzu lagi ataupun terlalu banyak ngobrol sama dia.” Aku berusaha menahan tawaku. Enzo melihat reksiku.

“Aku serius! Aku punya sejarah buruk sama dia!” Aku mengangguk mencoba mengakhiri pembahasan tentang Kenzu.

Enzo yang semula berdiri di sampingku, sekarang berbaring di atas rumput halaman yang basah karena embun pagi. Aku menatapnya, kenapa Enzo selalu betah berada di sini? Sementara di rumahnya sendiri dia tidak betah. Aku duduk di sebelahnya dan membelai lembut salah satu kelinci yang menghampiriku.

“Kenzu kemaren nanya kamu berantem sama siapa?”

And?…”

I ignore him…”

“Jules…Promise me you won’t hang out with him anymore!” Aku menghela nafas. Aku berbaring di sebelah Enzo sambil memangku kelinci putih tadi. Aku mengangkat kelinci putih seolah aku sedang berbicara dengannya.

“Susah banget punya bos yang posesif kayak gini. Menurut kamu aku harus terusin apa tinggalin kerjaanku ini ya?” Tanyaku kepada kelinci. Enzo bergeming dan mengangkat tubuhnya sehingga berada di atasku.

What are you talking about?” Aku kaget dengan reaksinya dan melepaskan kelinci di pelukanku.

“Kejadian kayak kemaren itu bisa terulang lagi kalau kamu gak bisa merubah sikap posesif kamu!” Aku berusaha bangkit, tapi tubuhnya malah mendorongku membuatku terhimpit.

“Memangnya kamu berencana keluar lagi sama Kenzu. Atau jangan-jangan kamu mau berubah haluan jadi asisten dia?” Akhirnya aku bisa mendorong tubuh Enzo dan duduk di atas rumput. Aku membelalakan mataku sebagai protes.

“Jules! Answer me!

“Gimana bisa aku yang tadinya asisten kamu tiba-tiba jadi asisten Kakak kamu? Kalaupun aku resign jadi asisten kamu, aku bakalan cari kerjaan lain di luar kantor kamu.” Jawabku. Enzo meraih tubuhku dan memelukku dengan posisi duduk.

I keep your promise!Weird! Kenapa dia jadi emosional gini? Setelah beberapa lama akhirnya Enzo melepaskan pelukannya.

He said that we look good together…” Ucapku. Sekarang Enzo menatapku lekat.

“Jules…Hari ini kamu temenin aku beli baju kerja ya?” Nanti malam kan aku mau dinner bareng Ronald. Mudah-mudahan Enzo lupa, jadi dia tidak akan melakukan sesuatu yang bisa membatalkan dating-ku nanti. Ada baiknya aku menemani dia sekarang, sehingga sore aku bisa beristirahat di rumah dan dia pulang.

“Kemana? Tanyaku lagi. Enzo tersenyum, sepertinya dia tidak menyangka kalau aku mau menerima ajakannya.

Sejam kemudian, aku sudah sampai di apartemen Enzo. Dia bilang ingin membersihkan dulu badannya baru kita jalan. Aku menunggu di ruang tamu sambil menyalakan TV. Apartemen Enzo mempunyai 2 kamar tidur. Aku melihat-lihat album foto di bawah mejanya. Ternyata dia sangat dekat dengan Mamanya. Ada foto Adeline saat masih bayi. Dia digendong oleh June dan Kenzu…aku rasa. Tampak keakraban diantara keluarga ini di dalam foto. Tapi aku tidak melihat Enzo dalam foto-foto liburan ini. Hanya ada Kenzu.

Enzo keluar kamarnya hanya dengan mengenakan handuk yang menutupi area pinggang ke bawah. Dia memasuki kamar satunya lagi. Aku buru-buru memalingkan wajahku ke arah album foto itu lagi. Shit! That’s awesome! Teriakku dalam hati. Aku tidak pernah sekalipun melihat dia setengah telanjang seperti itu. Jangan sampai mukaku memerah melihat kejutan tadi.

Enzo keluar dari kamar itu dan masuk lagi ke kamar utama, masih dengan handuk seperti tadi. Aku memalingkan lagi wajahku ke arah album foto. Saat ini dia menghentikan langkahnya di depan kamarnya.

What? Kamu kenapa jadi kikuk gitu?” Tanyanya asal. Aku tidak percaya kalau dia akan membahas ini.

“GR kamu!” Jawabku gak kalah asalnya.

Aku sengaja mengulur-ulur waktu untuk membuat Jules terperangkap denganku sampai malam nanti. Masih jelas di ingatanku ketika Ronald memberitahuku bahwa sabtu malam ini dia akan mengajak Jules dating lagi. Aku sengaja memamerkan six pack-ku di depan Jules karena aku ingin tahu apa reaksi dia. Sepertinya aku berhasil, wajah dia memerah setelah dua kali hilir mudik di depannya dengan setengah telanjang. Awalnya dia seperti terkesima, kemudian dia jadi kikuk…hahahaa…At least, I know I have something that can make her choose me.

Sejam menahan dia di apartemen-ku sepertinya sudah cukup. Jules sudah mulai kesal karena aku terlalu lama bersiap-siap.

Let’s go!” Ajakku sambil meraih tangannya untuk bangkit dari sofa. Matanya menatapku tajam menunjukkan kekesalannya. Saat aku sudah menopang badannya, aku sengaja melemaskan tanganku sehingga dia ambruk kembali di sofa dan aku ikut ambruk di atas tubuhnya.

Really, Enzo? Udah sejam aku nungguin kamu dandan kayak banci yang mau mangkal, sekarang kamu masih mau main-main? Kamu mau aku batalin jalan atau kamu emang sengaja lagi mau lihat aku marah?” Aku berusaha menahan tawaku. Aku tahu kalau sekarang dia sangat kesal kepadaku. Aku bangkit dari atas sofa dan memberikan tanganku kembali, tapi kali ini Jules menangkisnya.

Dia jalan mendahuluiku. Di depan lift dia sudah menungguku dengan bibir yang sudah menyerupai bekicot. Aku tersenyum senang, karena jujur saja, melihat dia meluapkan bermacam-macam emosi membuatku seakan mengenal dia dan dekat dengannya.

Ting….Pintu lift terbuka dan…..June? What the? Jules sama kagetnya denganku. Dia berhenti di depanku dan melirik Jules seolah ingin tahu apa yang sedang dia lakukan di apartemenku pada waktu libur.

“Hai Jules!” Sapa June. Aku meraih tangan Jules dan menggenggamnya.

“Ha…Hai June!” Jules gelagapan menjawab sapaan June. Aku tahu Jules pasti akan tambah kesal denganku.

“Kamu…mmmhhh…Kalian?…” Tanya June. Sebelum Jules menggumam gak karuan, aku menyabotase dan menjawab pertanyaan June.

What? Kamu baru liat laki-laki sama perempuan pegangan tangan keluar dari apartemennya?” Seketika muka June memerah, dia buru-buru menyanggahnya.

Of course not, I mean…oohh…forget it, I’m sorry it’s not appropiate.” Jawabnya sambil mengibaskan tangan dan berlalu meninggalkan kami.

Kami segera masuk ke dalam lift dan sudah bisa ditebak seperti apa reaksi Jules di dalam. Dia tidak menyukai aksiku tadi.

What was that? Kamu membuat June berpikiran kalau aku ini wanita gampangan. Kamu harus telepon June dan bilang kalau kita gak ada apa-apa.” Deg…pernyataan Jules tadi membuatku terhenyak. Dia sama sekali menganggap semua pendekatan yang aku lakukan kepadanya bukan apa-apa.

Aku menatapnya lekat, aku merasa kalau Jules benar-benar tidak mempunyai perasaan apa-apa kepadaku. Tapi, kenapa dia tidak menarik tangannya dari genggamanku. Dia tidak pernah keberatan sama sekali jika aku menggenggam tangannya, mencium keningnya, memeluknya…what’s going on?

Di dalam mobil, Jules masih setia membentuk bibirnya seperti keong. Dia tidak menegurku dan akupun demikian. Hanya suara Coldplay yang sedang menyanyikan Magic menjadi rhythm kami saat itu.

Aku berpikir keras untuk membuat Jules mengakhiri kemarahannya. Akhirnya aku menemui jalan keluarnya. Aku memutar arah dan melaju ke arah rumah Vivi. Aku tahu kalau saat ini Lilian bisa meluluhkan kemarahan Jules. Aku tahu rumah Vivi karena Vivi pernah bercerita sewaktu di rumah sakit saat menjenguk Papanya.

Great!…Sekarang kamu mau bawa aku kemana?” Tanya Jules kesal.

Just watch and see!…” Jawabku.

Setelah kurang lebih 20 menit, akhirnya aku menghentikan mobilku di sebuah rumah tanpa pagar di komplek perumahan. Terlihat bahwa Vivi sama dengan orang tuanya hobi berkebun. Rumput-rumput terhampar rapi seperti karpet di halaman rumahnya. Sepeda dan mobil-mobilan mini berserakan. Sepertinya itu adalah gandengannya Lilian. Pintu rumahnya terbuka dan terdengar suara ramai di dalamnya. Seperti ciri khas rumahnya Jules, hangat dengan tawa.

Jules menatapku dengan sebuah tanda tanya. Dia pasti tidak menyangka kalau aku akan membawanya kesini. Aku tersenyum mempersilakannya keluar terlebih dahulu. Dia masih belum juga menampakkan senyumannya.

Bruk! sebuah truk mainan yang sedang dikendarai Lilian menabrak pintu mobilku. Anak itu mengenakan kaca mata hitam dengan bando besar yang dipasang asal. Sepertinya dia baru saja dress up dan make over sendiri.

“Enzoooo….” Teriaknya menyapaku. Aku tertawa mendengar suara Lilian yang sudah bisa dengan jelas memanggil namaku sekarang. Jules membungkuk dan memangku Lilian. Dia menghujani Lilian dengan kecupan di seluruh wajahnya. Akhirnya aku bisa melihat Jules tersenyum kembali.

Hai girl!” Sapaku akupun mengecup pipi Lilian. Vivi melambaikan tangannya di pintu dan menyuruh kami masuk.

“Hai, Enzo!” Sapa Tora. Seperti biasa, tempat menjamu keluarga ini adalah dapur. Di sana Mamanya Jules sudah menyiapkan berbagai macam hidangan untuk makan siang. Yap! Komplit, sampai tidak ada tempat kosong di atas meja makan. Enaknya punya mertua pengusaha bakery hehehe…

“Kenapa Adeline gak diajak?” Tanya Vivi. Jules menghempaskan tubuhnya di satu-satunya sofa yang ada di dapur. Aku melihatnya seperti ketakutan akan kehilangan momen dating dengan Ronald. Dia berkali-kali melihat arlojinya.

“Kamu tahu kan Enzo? Aku sendiri gak tahu mau kesini.” Jawab Jules sinis. Aku duduk di meja makan sambil mulai menikmati sajian makan siang ala Ibu Nadine, begitu kira-kira kalau Jules bilang.

“Nanti sore kita mau ke Ciater-Subang berenang, mungkin dini hari kita baru pulang. Kalian ikut saja.” Ajak Tora. Wuiihhhh….ini dia yang aku tunggu-tunggu, aku gak usah pusing-pusing cari cara buat menggagalkan acara dating nanti malam.

“Boleh-boleh, memang aku sama Jules lagi gak ada acara hari ini. Iya kan, Jules?” Jules melirik sinis kepadaku.

“Bagus itu, the more the better.” Jawab Vivi.

“Aku gak bisa, aku ada acara.” Shit! Dia masih ingat rupanya.

“Acara apa yang lebih penting dari acara keluarga dan kantor kamu, Jules?” Tanya Papanya Jules.

“Nge-date, Pa.” Huuufffttt…Skak Mat! Seketika pandangan keluarga Jules terarah kepadaku. Papanya melotot ke arah Jules. Aku rasa mereka semua tahu bahwa perkataan Jules tadi sebuah pukulan telak untukku.

He’s a gay!” Teriakku mencoba mencairkan kekakuan ini. Semuanya tertawa kecuali Jules. Dia mengangkat jari tengahnya kepadaku.

“Aku rasa Enzo ada benarnya, Jules. Instruktur yoga punya kecenderungan penyuka sesama jenis.” Timpal Tora. Sepertinya keluarga Jules memang berpihak kepadaku.

He’s a hundred percent straight!” Tegas Jules.

“Panna Cotta-nya enak…bener-bener enak.” Mamanya Jules bisa bikin aku gemuk kalau tiap hari aku disuguhi makanan seperti ini.

“Mama kan pernah titip sama Jules Panna Cotta seperti ini buat kamu.” Aku sepertinya tersesat, aku mengangkat alisku. Mama Jules bertolak pinggang dan membelalakan matanya ke arah Jules.

“Ohhh….ehhhmmm…itu, eehhhmmmm…kalau Enzo lagi gak ada di kantor, aku suka kasihin jatah dia sama temen kantor lainnya.” Jawab Jules. Diapun kabur dan tidak menampakkan dirinya lagi di dapur.

Di ruangan keluarga, saat suasana terasa begitu akrab, aku melihat Jules sedang mencoba memainkan gitar. Aku rasa dia tidak bisa bermain gitar, karenanya dia asal memetik sembarang senar. Aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya.

Aku merebut gitar dari tangan Jules. Aku mulai memainkan beberapa nada untuk sekedar check sound. Jules memperhatikanku, sepertinya dia penasaran dengan kelihaianku dalam bermain alat musik.

“Memarnya sudah mulai samar.” Ucap Jules sambil membolak-balik wajahku. Aku mulai memainkan intro sambil terus menatap lekat Jules.

Girl your heart, girl your face is so different from the others

I say, you’re the only one that I’ll adore

‘cause everytime your by my side

My blood rushes through my veins

And my geeky face, blushed so silly yeah, oh yeah

And I want to make you mine

Oh baby, I’ll take you to the sky

Forever you and I, you and I, you and I

And we’ll be together ‘till we die

Our love will last forever and forever you’ll be mine, you’ll be mine

Lagu Mine milik Petra Sihombing aku bawakan seapik mungkin. Semua orang di rumah ini menganga begitu aku perhatikan. Jules sama sekali tidak berkedip. Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk mencuri ciuman dari Jules. Aku mendekat dan mencium pipinya. Dia terperanjat dan menyatakan kekagumannya dengan bakatku yang satu ini. Akhirnya semua orang bertepuk tangan sekaligus berdecak kagum. Well…show off sekali-kali untuk merebut the love of your life kan gak apa-apa.

Now you’re not only twelve but thirteen!” Teriak Vivi. Aku menyipitkan mataku karena tidak mengerti dengan kata-kata Vivi tadi. Jules membelalakan matanya ke arah Vivi dan membuat Vivi sedikit mengerem omongannya. Itu justru membuatku semakin penasaran.

What thirteen?” Tanyaku dengan lantang kepada Vivi. Dia menggeleng dan seolah-olah memplester mulutnya sekarang. Jules berlalu ke belakang.

“Pertama bertemu kamu, Jules bilang kalau from 1 to 10, you’re definitely twelve!” Ucap Vivi pelan sambil tergesa-gesa karena tidak mau sampai ketahuan Kakaknya. Aku yakin kalau sekarang senyuman kemenangan kembali terlihat di wajahku.

Aku mencari-cari Jules yang ternyata sekarang tengah asyik di depan televisi menemani Lilian yang mulai terlihat ngantuk. Saat ini dia berbaring di karpet tebal yang berbentuk beruang kutub. Lilian di sebelahnya sedang minum susu di botol. Aku menghampiri Jules dan ikut berbaring di sebelah Lilian yang sekarang berada di tengah-tengah kami.

So I’m twelve, right?” Ledekku. Jules pura-pura tidak menanggapi ucapanku ini. Akhirnya setelah aku ganggu sebentar dia bergeming.

“Iya…kalau kamu lagi tidur dan diam, you’re definitely twelve!” Aku terkekeh melihat dia mencoba menutupi gengsinya karena sudah ketahuan memujiku.

Mungkin acara dating itu memang harus terjadi. Tapi aku juga tidak mau begitu saja mengantarkan Jules untuk bertemu dengan Ronald. Aku berhasil menahan Jules sampai 30 menit sebelum waktu kencan dia. Alhasil dia tidak sempat berganti pakaian dengan pakaian sexy elegan seperti yang dia kenakan di kencan pertama dia dengan Ronald. Dia hanya mengenakan dress motif flora dengan jacket jeans. Simply casual, yang menurutku hanya cocok dipakai di waktu pagi hingga sorelah hahaha….

“Hai! Sorry aku telat….mmmmhhhh…15 menit?” Ucapku ragu. Ronald beranjak dari kursinya dan mempersilakanku duduk. Kali ini kita dinner di hardrock cafe. Dia tahu bahwa aku menyukai Trio Lesari dan memang sengaja dia reservasi tempat seminggu sebelumnya karena hari ini Trio lestari Perform di sini.

It’s oke! Kamu mau langsung pesan?” Aku tidak mau berlama-lama lagi memesan dinner, karena aku rasa Ronald juga sudah kelaparan.

Menikmati hidangan dengan suguhan suara apik Sandhy Sondoro, Tompi dan Glen Fredly benar-benar membuatku terbuai. Ronald yang mempunyai selera musik yang sama denganku juga ikut menikmati malam ini.

Aku sempat beberapa kali memergoki Ronald sedang memandangku, tapi ketika aku membalas tatapannya dia seperti kehilangan kata-kata dan menunduk malu. Jika dengan Enzo…Kami terbiasa bertatapan lama, tidak merasa canggung ataupun aneh…just enjoy the moment….Wait…why do I think about him?…..

Membayangkan Enzo sedang bernyanyi tadi benar-benar membuatku meleleh. Dia bisa dengan mudah mendapatkan perempuan dengan bakat dan tampangnya itu. Tapi, selama ini dia sama sekali tidak pernah menunjukkan tanda-tanda sedang mendekati perempuan. Apa ternyata dia gay? Hhiiiiiii……

Drrrttttt…ddrrtttttt….Handphone-ku bergetar….. That’s Enzo! Tadinya aku akan matikan handphone-ku, tapi aku aku takut dia nekat datang dan mengganggu acaraku.

Hallo Sunshine! How’s your date?” Aku melihat Ronald yang sedang tersenyum menatapku. Aku berusaha mengendalikan emosiku saat ini. Aku tidak ingin Enzo sampai merusak kembali kencanku.

Wonderful...”

“Ouuucchhhh….”

What?

He’s a gay and you should remember that!

Oke, bye!” Aku menutup telepon dari Enzo walaupun dia sama sekali belum memperlihatkan tanda-tanda mengakhiri pembicaraanya denganku.

Jam 10 malam aku sudah sampai di depan gerbang rumahku. Karena sudah larut, aku tidak meminta Ronald untuk mampir ke dalam rumah. Sebelum turun dari mobil aku sempatkan untuk basa-basi sebentar.

Thank you for tonight.” Ucapku.

Thanks to you, I have a wonderful night….Mmmhhhh…” Ronald tidak meneruskan kata-katanya. Sepertinya dia ragu-ragu. Akhirnya aku mendekatinya dan mencium pipinya. Aku rasa terlalu cepat untuk mencium bibirnya. Dia tersenyum hangat sambil menatapku.

Akhirnya malam ini berjalan sesuai dengan harapanku. Enzo tidak berhasil menggangguku. Dia benar-benar teman yang mengerikan jika menyangkut pacar. Andai saja dia bisa diajak berbagi tentang malam ini, aku akan menceritakan semua kepadanya. Mmmhhhh…kenapa dia belum meneleponku juga ya?

Semenjak pertengkaran Enzo dan Kakaknya, aku belum pernah bertemu Kenzu lagi. Aku sempat mendengar kabar kalau dia sedang melakukan bermacam test untuk kesembuhannya. Hari ini, aku makan siang di pantry karena janji dengan Cathy akan membantu beberapa tugas yang membuatnya kesulitan. Sementara Enzo makan siang di resto sebelah kantor dengan kawan-kawan lamanya.

“Gimana kabarnya kamu sama Enzo?” Tanya Cathy mencoba menggodaku.

“Mmmhhhh…good. Dia bener-bener atasan yang posesif. Kemaren dia nyaris bentrok sama Kenzu gara-gara aku pergi bareng Kenzu.” Terangku.

“Atasan yang posesif? Are you sure about that?” Tanya Cathy lagi. Aku mengangguk. Cathy mencubit pipiku dengan gemas.

What? Tanyaku. Sebelum Cathy menjawab, Kenzu menghampiri mejaku.

“Hello!” Sapa Kenzu.

“Hi! Jawabku. Cathy sepertinya memperingatkanku dengan kejadian kemarin. Aku sendiri tidak tenang karena takut tiba-tiba Enzo datang.

“Enzo dimana?” Tanya Kenzu.

“Dia lunch sama temen-temennya di resto sebelah.”

“Tumben dia gak seret kamu buat nemenin dia?” Aku mengangkat bahuku. Dia mengeluarkan kertas gambar dari sebuah map.

“Aku puya titipan buat Tante Jules dari Adeline.” Ucap Kenzu. Dia menyerahkan kertas itu kepadaku. Cathy ikut melihat kertas itu. Aku tersenyum melihat Adeline menggambar seorang perempuan dewasa dan anak perempuan yang sedang berjalan di taman bergandengan tangan.

“Dia bilang, aku kangen Tante Jules. Tolong Ayah berikan gambar ini sama dia.” Ucap Kenzu menirukan suara Adeline. Aku dan Cathy tertawa. Kenzu akhirnya bergabung makan siang di meja kami. Kita membahas tentang birthday issue.

What’d I miss?Again?…Enzo sudah berada di hadapanku. Aku berusaha bersikap tenang karena kali ini Cathy berada diantara aku dan Kenzu sehingga Enzo bisa lebih rasional lagi dalam menilai kebersamaan kami.

Aku memperlihatkan gambaran Adeline tadi. Enzo melihatnya dan mencibir. Dia memandang Kenzu yang sepertinya memang tengah menertawakan dia.

Are you done? Tanya Enzo kepadaku. Dia melihat piringku yang memang sudah hampir kosong.

Yah, we’re done!” Jawabku. Dia mengajakku untuk kembali ke ruangan. Aku meninggalkan Cathy dan Kenzu di pantry.

“Kamu jangan mau dikadalin sama Kenzu! He use his daughter to get you!” Ucap Enzo kesal. Aku sama sekali tidak pernah berpikir sejauh itu. Aku mempercepat langkahku menyusul Enzo.

Watch your mouth!” Kenzu itu cuma nyari temen ngobrol, gak lebih! Semua orang di kantor ini banyak yang segan ngobrol ringan sama dia. Mungkin karena aku terbiasa ngobrol sama kamu kayak gini, dia jadi gak sungkan ngobrol sama aku.”

Yah, right!” Ledek Enzo. Aku tidak mempedulikan lagi kekesalan Enzo.

“Kamu harus pegang janji kamu sama aku!” Ucap Enzo sambil menutup pintu ruangan.

“Janji apa?” Tanyaku bingung.

You won’t hang out with him anymore!” Jelasnya. Aku menghela nafas panjang.

So, do we have a deal?” Tanya Enzo setengah memaksa.

No!” Jawabku asal.

“Jules!…” Teriak Enzo sambil bertolak pinggang.

What am I supposed to do when he approach me?” Tanyaku kesal.

Leave! And that’s an order!” Aku menatapnya.

Oke!” Jawabku malas.

Aku menghempaskan bokongku di atas kursiku. Aku mulai membuka computer dan mengerjakan semua tugas-tugasku. Enzo sepertinya sudah tahu bahwa aku kesal dengan sikap posesifnya.

How’s the date?” Aku melirik ke arahnya, terfikir olehku untuk membalas semua perlakuan dia tadi.

It was great! I kissed him…” Mata Enzo mendadak seperti meloncat keluar. Dia Melangkahkan kakinya ke arah mejaku dan berhenti tepat di sampingku. Dia membungkukkan badannya sehingga wajahnya berhadapan denganku.

Seriously?…” Aku mengangguk. Dia semakin geram, dia mencari kata-kata yang tepat untuk dilontarkan kepadaku.

“Dia gak cium kamu jadi kamu yang cium dia untuk memastikan dia bukan gay?” Aku bergeming dan bangkit dari kursiku sehingga berdiri berhadapan dengan Enzo.

“Sebelum turun, aku sempet basa basi bilang terima kasih atas malam ini.” Dia mencibir meledekku.

What exactly you said?” Kenapa jadi aku yang jadi objek penderita di sini? Padahalkan aku ingin membalas perlakuannya tadi.

Thank you for tonight. He saidThanks to you, I have a wonderfull night….Mmmhhhh…” Dia gak nerusin lagi kata-katanya. Aku rasa kalau ciuman di bibir terlalu dini, makanya aku cium pipi dia.” Jelasku. Huuu…uuuhhhh…

Oooohhh… pipi…hahaha…bukan masalah besar. But, shit! Aku rasa si Ronald bukan gay. Waktu dia gak nerusin kata-katanya, aku yakin kalau sebenarnya dia ingin mencium Jules tapi dia takut Jules marah. Aku harus bikin perhitungan sama instruktur yoga bertampang gay itu. Jangan sampai Jules mencium dia, atau dia mencium Jules.

Pintu ruanganku terbuka dan…surprise! Model-model yang selalu datang clubing mendatangi kantorku karena hari ini ada meeting tentang konsep dan segala macam tektek bengeknya. Mereka sudah bersiap untuk mendaratkan ciumannya di bibirku. Dulu aku tidak pernah menolaknya karena perasaanku kepada Jules tidak sedahsyat ini. Aku melirik Jules yang tidak menampakkan cemburu atau kesal sama sekali. Dia malah berusaha menahan tawanya ketika aku menghindari mereka dan menjadikan Jules tamengku. Ya, aku bersembunyi di belakang Jules.

Hai girls! Mulai sekarang, kalian harus siap-siap menghentikan aksi kalian menciumku setiap kali bertemu denganku.” Ucapku ragu. Para model itu sepertinya bingung dan melihat ke arah Jules. Mereka ingin memastikan bahwa alasannya adalah Jules. Aku mengangguk dan menunjuk ke arahnya. Jules gelagapan heran.

“Ohhhh….I seeCongratulation! Jawab Jena salah satu model indo Jerman mewakili 7 model lainnya. Mereka akhirnya meninggalkan kami menuju ruangan meeting bertemu dengan tim yang bersangkutan.

“Kenapa kamu menolak ciuman mereka sekarang?” Tanya Jules sambil bertolak pinggang. Aku tahu kalau dia tidak terima dijadikan tameng olehku.

Well….mmmhhhh…karena aku juga gak terima kamu dapet ciuman dari laki-laki lain.” Jawabku enteng. Jules….heeemmmm…seperti biasa hanya mengela nafas panjang dan tidak mempertanyakan alasan dari jawabanku itu.

“Jules…sudah telat, kamu masih belum turun?” Teriak Papa. Semalaman badanku meriang. Mungkin efek pergantian iklim. Sebenarnya badanku termasuk kuat, aku jarang sekali sakit. Tapi entah kenapa hari ini aku ngedrop. Aku paksakan untuk tetap bekerja, karena aku harus mendampingi Enzo meeting di kantor. Aku bergegas turun dan pergi diantar Papa seperti biasa.

Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam sambil mencoba beristirahat sebentar memejamkan mataku. Mataku terasa perih dan hidungku sepertinya panas. Tinggal setengah perjalanan ke kantor, sepertinya aku merasakan sesuatu di hidungku.

“Jules…hidung kamu berdarah, Nak.” Ucap Papa kaget. Papa memberikanku tissue dan menghentikan mobil sebentar di bahu jalan. Papa meletakkan tangannya di dahiku.

“Kamu demam? Kenapa gak bilang sama Papa? Harusnya kamu istirahat di rumah.” Omel Papa. Sekarang Papa mulai cerewet seperti Mama.

“Tadinya aku mau kerja setengah hari aja, Pa. Setelah meeting selesai aku mau izin pulang. Kasihan Enzo ada meeting penting hari ini.” Jawabku keukeuh.

“Apa kamu bisa bekerja dengan kondisi seperti ini? Yang ada kamu malah mengganggu konsentrasi orang. Biar Papa yang telepon Enzo.” Jelas Papa sambil meminta handphone-ku.

Sudah jam 9.10 menit tapi Jules belum datang juga. Aneh, dia gak pernah telat sekalipun selama bekerja di sini. Meeting dimulai jam 9.30, sedangkan dia tidak kunjung datang. Handphone-ku berbunyi, panggilan dari nomor Jules.

“Jules…kamu masih di mana? Meeting 20 menit lagi dimulai.”

“Enzo, ini Papa. Maaf sebelumnya, ini Papa sedang mengantar Jules ke klinik terdekat. Di perjalanan ke kantor tadi, Jules mimisan. Tahunya dia memang demam dari semalam, tapi dia gak bilang karena ada meeting penting hari ini. Sepertinya Jules tidak bisa kerja hari ini. Papa mau bawa dia pulang saja.” Deg…sepertinya dadaku terbentur keras mendengar Jules sakit.

“Enzo?…” Tanya Papa Jules.

“Eh,…mmhhh…Iya Pa, gak apa-apa. Bisa saya bicara sama Jules?”

“Dia masih diperiksa di dalam. Nanti Papa suruh dia hubungi kamu.”

“Gak usah, Pa. Nanti saja saya yang hubungi dia. Tolong sampaikan pesan saya supaya dia beristirahat.”

Meeting dimulai sesuai yang dijadwalkan. Aku memperhatikan Kenzu yang sedang mempresentasikan idenya di depan. Mataku terarah ke depan, tapi pikiranku sedang menjelajah di rumah Jules. Aku sedang memikirkan keadaannya sekarang. Sedang apa dia di sana? Sakit apa dia? Apa dia sudah minum obatnya? Apa dia bisa beristirahat? Apa dia memikirkanku?

“Enzo!….” Papa menegurku pelan. Aku menoleh ke sebelahku tempat Papa duduk. Papa menunjuk ke arah Kenzu. Rupanya aku sama sekali tidak mengikuti meeting kali ini dengan baik.

“Jules kemana?” Tanya Papa.

“Sakit Pa…Tadi di perjalanan ke kantor dia mimisan, demam dari semalam tapi dia nekat kerja. Papanya yang nelepon lagi bawa dia periksa di klinik terdekat.” Terangku.

“Pantes saja pikiran kamu jalan-jalan dari tadi.” Ucap Papa.

“Selesaikan dulu meeting ini, baru kamu tengok ke rumahnya.” Aku terperangah mendengar ucapan Papa. Sepertinya Papa sudah tahu mengenai perasaanku kepada Jules. Memang selama ini Papa menyuruhku untuk memperhatikan diriku sendiri, diantaranya mencari pendamping hidup.

Aku memusatkan kembali pikiranku di meeting ini. Bos besar sudah memberiku izin untuk keluar kantor. Jadi gak ada ruginya kalau berkonsentrasi penuh sampai meeting ini selesai. Siapa tahu dia mengizinkanku keluar sampai jam kantor selesai, sehingga aku bisa lama tinggal di rumah Jules, atau bahkan tidur di sana hahahaa…aku tersenyum sendiri membayangkan wajah kesal Jules jika Papanya mengizinkanku menginap di sana.

“Enzo!…Tahan dulu kegembiraan kamu sampai rapat ini selesai!” Tegas Papa. Aku buru-buru menyaksikan kembali cuap-cuap Kenzu yang sekarang mulai menampakkan wajah kesal melihatku senang.

Selesai rapat, aku memutuskan mampir ke pantry dan membuat kopiku sendiri. Aku melihat Cathy sedang break dan menonton TV. Aku menghampiri dia. Dia kan temannya Jules, siapa tahu Jules pernah bercerita tentangku.

“Hai,Mba!” Aku menaruh kopiku di atas meja yang sedang ditempati Cathy. Aku duduk di depannya.

“Hai!…Jules kemana?”

“Dia sakit…”

“Sakit?…” Cathy buru-buru mengeluarkan handphone-nya dan mengirimkan text kepada Jules.

“Mmmmhhhh…Jules pernah bercerita tentang saya?” Cathy menatapku, sepertinya dia menyembunyikan sesuatu.

“Kamu atasan yang baik, itu saja.” Jawabnya singkat.

“Hanya itu?” Cathy mengangguk. Aku tahu kalau girls talk biasanya private. Bagi mereka mungkin malah tabu untuk dibicarakan dengan laki-laki.

Are you in to her?…” Bisik Cathy ragu-ragu. Aku menatapnya, berusaha tidak kikuk atau apapun itu yang membuatnya curiga.

“Oh iya, apa dia pernah membawakan makanan dari bakery mamanya untuk Mba?” Aku mengalihkan pembicaraan ini.

“Iya…Mmmhhh…tiramisu sama panada.” Aku mengangguk dan pamit ke ruanganku membawa kopiku. Cathy sepertinya kebingungan dengan sikapku ini.

Aku melihat Rose sedang sibuk di meja resepsionis. Aku menghampiri dia untuk sekedar basa-basi.

“Hai Rose!” Dia sepertinya kaget melihatku mendatangi mejanya.

“Hai! Jules kemana, Pa?” Jules benar-benar sukses menjadi bayanganku. Kemana-mana jika melihatku, mereka pasti menanyakan Jules.

“Dia sakit…Rose, kamu pernah dikirim makanan dari bakery Mamanya Jules?”

“Iya…Mmhhhh…Eclair dan caramel custard….Bahkan saya sekarang menjadi langganan bakery Ibu Nadine.” Terang Rose. Aku mengangguk dan melengos begitu saja ke ruanganku, sementara Rose masih nanar.

“Selamat siang, Pa!” Sapaku saat Papanya Jules membukakan pintu. Aku membawa bouquet bunga untuk Jules. Orang tua Jules seperti biasa dengan ramah menyambut kedatanganku.

“Dokternya bilang apa, Pa?” Tanyaku penasaran. Mamanya Jules membawakan kopi dan kue bikinannya, kemudian dia duduk di samping suaminya.

“Dokter bilang gejala thypus, jadi harus istirahat minimal 3 hari. Makan bubur dulu selama 3 hari dan banyak minum air putih.” Ternyata Jules mendapatkan bakat menghafalnya dari Papa dia.

“Bisa saya lihat Jules.” Tanyaku tanpa basa basi lagi. Dari awal kedatanganku kesini hanya ingin bertemu dia, I miss her so much.

“Langsung saja ke atas, dia sedang beristirahat di kamarnya.” Tanpa mengulur-ulur waktu lagi, aku bergegas ke atas.

Ada 2 kamar di sini. Satu pintu bertuliskan Lilian dengan abjad warna warni. Itu pasti kamarnya Vivi. Di sebelahnya, polos tanpa ada tulisan apapun. Ruang atas ini sama dengan seluruh rumah ini, bercat cream.

Pintu kamar Jules terbuka sedikit, dia tidak menguncinya. Aku membuka pintunya sedikit lebar. Nuansa pastel sangat kental di kamar Jules. Di atas tempat tidur, Jules terlihat sedang terlelap, begitu damai. Aku melihat obat-obatan yang harus dia minum di meja sebelah tempat tidurnya.

Aku melangkahkan kakiku bergerak mendekati tempat tidurnya. Aku duduk di sebelah tubuh yang sedang terbaring lemah itu. Aku menyimpan bouquet bunga di sebelahnya. Aku menempelkan punggung tanganku di keningnya…panas, dia benar-benar demam. Mukanya pucat, bibirnya pun sama pucatnya.

Aku membelai rambutnya, sama seperti yang biasa dia lakukan padaku. Aku membelai wajahnya dan memperhatikannya. Sepertinya lem yang biasa menempel di antara kami mulai aku rasakan lagi. Aku enggan meninggalkannya sendiri, aku ingin merawatnya disaat dia sedang sakit seperti ini.

“Enzo…” Suara parau Jules memotong lamunanku. Dia heran dengan keberadaanku di kamarnya. Aku suka saat dia memanggil namaku.

Hi there!…Udah mendingan?” Tanyaku sambil memberinya bunga.

For me?…Thank you.” Ucapnya sambil tersenyum. Dia berusaha bangkit dari tempat tidurnya tapi aku melarang. Akhirnya dia duduk bersandar di tempat tidurnya.

“Kamu beli bunganya di tempat Yoris?” Tanyanya dengan tampang jahil.

“Huuhh!…Bisa telat nengokin kamu kalau aku beli di sana. Yang ada aku malah adu jotos sama homo itu.” Jules terkekeh.

Sorry aku gak bisa ngedampingin kamu meeting. Aku udah berusaha pergi ke kantor, tapi tiba-tiba di jalan aku mimisan, terus Papa bawa aku periksa dan melarang aku kerja.” Baru sebentar dia tidak hadir di kantor, tapi aku sangat merindukan dia berbicara. Harusnya disaat dia menerangkan semua itu aku memotongnya dan melontarkan beberapa kata untuk menghiburnya. But, Gosh…I really love to hear her voice.

“Enzo….” Lamunanku terhenti.

“Aku juga gak bakalan izinin kamu kerja kalau kondisi kamu seperti ini.” Jules membetulkan dasiku yang sudah tidak beraturan. Aku memandanginya, dia tidak pernah merasa risih jika aku memandangnya seperti ini. Apa dia tahu tentang perasaanku kepadanya?

“Ceritain meeting-nya?” Pinta Jules. Aku menggaruk-garuk kepalaku, karena jujur saja aku tidak mengikuti meeting ini dengan baik walaupun aku sudah berusaha konsentrasi. Aku menggeleng. Jules memberikan tatapan bingung.

“Jangan bilang kalau kamu tidak mengikuti rapat dengan baik?” Tanyanya lagi. Aku mengangkat kedua bahuku. Jules menarik nafas panjang dan menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur.

“ Kamu jangan khawatir, aku bawa semua ringkasan rapat hari ini. Aku pinjam dari asistennya Papa. Jadi kamu bisa bantu aku malam ini.” Aku sudah menyiapkan alibi untuk bisa bermalam di sini. Jules menatapku seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan.

“Kamu masih minta aku kerja disaat aku sedang sakit?” Aku buru-buru menyanggahnya.

Of course not, Dear…Aku hanya minta kamu temenin aku disaat aku kerja. I can’t work without you.” Aku mengecup keningnya. God, I miss her so much.

Malam hari aku terbangun, aku melihat Enzo tertidur di meja kerjaku. Aku memandanginya seakan tak percaya membiarkan seorang lelaki masuk bahkan menginap di kamarku. Ryan saja belum pernah memasuki kamarku. Kenapa kedua orangtuaku juga mempercayai Enzo?

Aku berusaha bangkit dari tempat tidurku dan berjalan menghampirinya, tapi…Brukkk!…aku menyenggol tupperware-ku dan membangunkan Enzo. Dia kaget melihatku berdiri dan menopang kepada tembok. Aku rasa aku pusing. Enzo bergegas menghampiriku dan membawaku kembali ke tempat tidur.

“Kamu mau ke toilet?” Tanyanya. Aku menggeleng, dia membawa tempat minumku yang terjatuh. Dia menyangka aku haus dan mencoba membawa minum sendiri. Aku menggeleng juga.

“Terus kamu ngapain berdiri?..aaahhhh….aku tahu! Kamu pasti mau ngelus-ngelus rambut aku kan? Atau mau liatin aku tidur?” Muka dia sekarang kembali berubah menjadi menyebalkan seperti biasa. Annoying!

“Kenapa kamu harus ngomong? Kamu itu lebih bagus tidur, tau gak?” Enzo sepertinya tahu kalau aku sudah pasti mengizinkan dia tidur di sebelahku karena tidak tega melihatnya tidur di meja kerjaku. Dia buru-buru berbaring di sebelahku dan aku sendiri meraih guling dan membelakangi Enzo.

Beberapa saat kemudian, akhirnya Enzo tertidur setelah tidak hentinya menggangguku. Aku baru membalikkan badanku saat aku merasa dia benar-benar tertidur. Aku tersenyum membayangkan bagaimana kegirangannya dia saat aku mengizinkannya tidur di sampingku.

Aku membelai rambut Enzo seperti biasa. Aku memandangnya lekat, aku belum pernah memandang seorang laki-laki seperti sekarang. Saat aku pertama berciuman dengan Ryan, aku memandang wajahnya. Tapi tidak selama ini, hanya beberapa saat sampai akhirnya kami kembali berciuman.

Aku seolah menemukan sisi lain Enzo saat dia tertidur. Lembut, hangat, and absolutelyTwelve! Aku mendekatkan bibirku ke wajahnya dan aku mencium kening Enzo seperti dia mencium keningku. Aku merasa ada suatu ikatan yang sulit digambarkan antara aku dan dia. Aku memejamkan mataku berusaha membawa pemandangan di depanku ini sampai alam bawah sadarku.

Did she just kiss me? Should I wake up and ask her about the kiss?…But here I am…watching you sleep, touching your lips….and giving you kiss….I’ll do anything to be with you…Just you, Jules….

“Ehhheeeemmm…Enzo…Enzoooo…” Aku membangunkan Enzo dengan sengaja berbisik tepat di telinganya. Kebo bener Enzo kalau lagi tidur!

“En….” Tiba-tiba Enzo mengangkat tubuhku dengan sigap sehingga berada di atas tubuhnya. Hidungku sekarang bersentuhan dengan hidung Enzo..Mmmhhh…Oke, that’s awkward, but…I kinda love it. Aku seakan freeze dan berusaha tetap di zona aman sehingga tidak terpeleset terlalu jauh.

What?…” Tanya Enzo. Aku menggeleng dan hidung kami masih besentuhan. Susah sekali me-manage hormon dan perasaanku disaat sakit dengan situasi seperti ini. Kami saling menatap untuk beberapa saat. Tatapan yang dalam seperti biasanya, tanpa tahu apa arti dari tatapan itu sendiri.

I’m dizzy…” Ucapku sambil menelan ludah. Karena jujur saja dengan posisi seperti barusan, sangat susah untuk menyadari bahwa laki-laki itu adalah bos-ku. Enzo menghela nafas panjang dan akhirnya menurunkan tubuhku di sampingnya.

Tell me about your first kiss?” Tanya Enzo.

What?….”

Oh come on…” Ledek Enzo.

You first….” Tantangku kepada Enzo.

Oke. It was you. You kissed me last night, right?”Wajahku sudah pasti memerah sekarang.

“Kiddin’…It was Monday morning when I was in high school. Saat semua orang belajar, aku nganterin temen sekelas aku. Mmmhhh…namanya Carol. Dia pusing, karena aku ketua kelas, aku yang anterin dia ke UKS and we kissed.” Aku tertawa mendengar cerita Enzo yang terkesan sudah lulus sensor.

Really? Just like that? Emang kalian kelas berapa?”

“Kelas 2…” Aku terkekeh. Dia menyenggolku pertanda giliranku bercerita.

“Kamu gak akan mau denger?” Aku berusaha mengelak.

“Aku kan nanya, berarti aku mau denger.”

“Ryan…his my first kiss.” Enzo menatapku seolah menyesali pertanyaannya.

“Oke, that’s enough!” Potong Enzo. Aku tersenyum.

“Aku udah gak apa-apa. Aku mau cerita sama kamu, kamu dengerin ya!” Paksaku.

Nop! Aku gak mau denger!” Aku kembali terkekeh.

“Carol itu seperti apa? Bisa deskripsikan sama aku?” Enzo menyunggingkan sedikit senyuman di bibirnya. Kami berdua sedang berbaring terlentang ketika bercerita. Dia menggenggam tanganku seperti biasa.

“Kenapa kamu mau tahu?”

“Karena aku penasaran, kira-kira tipe kamu seperti apa.” Jawabku.

“Carol itu badannya proporsional, kulitnya pucat, rambutnya panjang. But…dia sama sekali bukan tipe aku.” Aku memiringkan tubuhku dan dan mengernyitkan dahiku.

“Apa yang Kenzu bilang waktu mengisi questioner itu…he’s right…tipe aku seperti itu.” Aku mengangguk. Sekarang giliran Enzo yang memiringkan tubuhnya dan mengernyitkan dahi.

Any question?” Tanyaku. Harusnya sekarang saatnya Jules bingung karena aku secara gamblang menyebutkan tipe aku adalah dia. Kenapa dia jadi telat mikir seperti ini?

“Iya…Kamu mau pergi kerja jam berapa?” Haaahhh??????????…..Ohhhhhh My Goodness!!….Aku mengganti posisi tubuhku menjadi tengkurap dan menggeram kesal.

“Kamu kenapa sih?” Tanyanya. Sok innocent! Aku tidak menggubrisnya, aku pura-pura tertidur. Ternyata Ryan adalah cinta pertama Jules. Setelah itu, aku anggap tida ada lagi laki-laki lain. Dia sangat awam dalam urusan hati seperti ini, itu sebabnya dia kurang peka dengan urusan cinta.

“Enzo…..Aku denger langkah kaki Papa atau Mama mungkin…kamu pindah dulu ke sofa ya?” Bisik Jules. Aku bergegas pindah ke sofa di dekat meja kerjanya.

Tok…tok..tok… Papa datang membawakan sarapan untukku dan Enzo. Papa sepertinya prihatin melihat Enzo yang sedang tidur di sofa. Tidak lama kemudian Mama menyusul Papa. Mereka berdua sempat hening melihat Enzo.

“Jules…kenapa Enzo tidur di sofa? Kamar Vivi kan kosong?” Tanya Mama. Aku menggeleng.

“Kan aku udah pernah bilang sama Mama, sama Papa. Enzo itu seperti balita dan aku baby sitter-nya.”

“Kamu tahu kenapa Enzo sampai bela-belain nginep di sini?” Tanya Papa.

“Karena dia pengen aku nemenin dia kerja. Dia bawa kerjaan kesini, Pa.” Papa menghela nafas panjang.

“Bukan itu, dia peduli sama kamu, dia sayang sama kamu…Enzo, atasan kamu…dia cinta sama kamu.” Aku terkekeh mendengar Penjelasan Papa tadi.

“Gak mungkin, Pa….Enzo? Cinta sama aku? Hahaha….”

“Sebutkan satu hal saja tindakan Enzo yang tidak mencerminkan dia jatuh cinta sama kamu?” Tantang Papa.

“Mmmmhhhh….” Kenapa aku jadi tidak bisa berfikir ya? Papa mengangkat bahunya. Mereka akhirnya pergi meninggalkan kamarku. Tinggal aku memandang Enzo yang sedang pura-pura tidur di sofa. Dia bangkit, seolah-olah tidak mendengar apa yang barusan orang tuaku katakan. Dia kembali berbaring di sampingku dan memejamkan matanya.

“Kamu denger yang barusan dikatakan orang tua aku?” Tanyaku was-was.

“Iya!” Jawab Enzo langsung. Apa dia marah karena prasangka orang tuaku ya?

“Enzo…maafin mereka ya, mereka mungkin memang sulit untuk mengerti kedekatan kita.” Enzo memiringkan tubuhnya dan dengan gemasnya meremas pipiku dengan tangannya. Dia kembali menggeram seperti tadi.

“Aaarrrrgggghhhhhh….”

Weirdo!” Ucapku sambil berusaha menutup mulutnya untuk menghentikan dia berbuat kebisingan.

“Kamu yang weirdo! Tembok!” Sanggah Enzo.

What? Tembok?” Timpalku.

Setelah empat hari beristirahat, akhirnya aku kembali bekerja hari ini. Enzo sudah duduk di kursinya ketika aku membuka pintu ruangan. Dia terlihat segar sekaligus modis dengan kemeja pink pastelnya

Good morning Sunshine!” Sapa Enzo cerah. Dia tidak tahu kalau di belakangku ada Pa Darwin dan Kenzu juga.

Good morning Sweety!” Ledek Kenzu. Aku terkekeh melihat mereka sudah mulai berseteru di pagi hari. Wajah Enzo berbalik menjadi muram. Pa Darwin ikut tersenyum melihat kedua putranya.

So romantic, Enzo! Kamu pasti sangat merindukan Jules setelah 4 hari dia bolos. You should’ve buy her flowers. ” Tambah Kenzu semakin menjadi-jadi. Aku hanya bisa tersenyum melihat sikap mereka berdua yang begitu kekanak-kanakan, berbeda sekali saat mereka di ruang meeting.

“Hahh! Aku jengukin dia tiap hari, aku juga bawain dia bunga tiap hari.” Jawab Enzo setengah pamer.

“Bukan nengok namanya kalau 3 hari kamu nginep di sana!” Jawaban Kenzu membuatku sedikit kikuk karena aku kira mereka tidak mengetahui tentang itu.

“Oke, sebelum semuanya ngelantur. Papa langsung ke pokok bahasan.” Aku membereskan semua berkas di mejaku dan mulai mengerjakan tugas-tugasku yang selama tiga hari ini sudah terbengkalai. Aku membiarkan mereka berdiskusi.

“Lusa, Kamu dan Kakakmu serta June pergi ke pusat untuk beberapa kontrak baru.” Enzo dan Kenzu bergeming, mereka berdua adu protes kepada Papanya. Aku sendiri tidak heran dengan reaksi mereka itu. Pusat berarti ke Amerika. Enzo, Kenzu dan June…hahahaa…bisa aku bayangkan akan seperti apa suasananya.

Enzo melihatku yang sempat menahan tawa mendengar ucapan Papanya tadi. Dia sepertinya tidak suka melihatku menari di atas penderitaannya.

“Jules maksud Papa? Aku, Kenzu dan Jules?” Tanya Enzo berusaha meyakinkan pendengarannya. Papanya menggeleng, dia sudah tahu modus anaknya ini.

“June, kamu dan Kenzu. June!….” Jelas Pa Darwin.

“Kenapa enggak Papa, Kenzu dan Perempuan itu? Aku di sini ngurusin kantor. “ Bantah Enzo. Kenzu tidak terima, dia buru-buru menyanggahnya.

“Atau…kamu, Papa dan perempuan itu yang pergi.” Timpal Kenzu. Pa Darwin sepertinya sudah bisa membaca reaksi anak-anaknya ini.

“Atau…Papa, June dan Jules yang pergi? Kalian berdua, urusin kantor.” Ucap Pa Darwin. Enzo tertawa.

“Apa hubungannya Papa harus bawa-bawa Jules ke sana?” Pa Darwin dengan sigap menjawabnya.

“Dia bayangan kamu, otomatis dia bisa mewakili kamu.” Enzo mulai ketakutan dengan penjelasan Papanya.

“Atau aku dan Jules saja yang pergi tanpa ada orang lain lagi yang ikut.” Ucap Enzo. Gantian Kenzu sekarang yang tertawa.

“Itu sih mau kamu, Jerk!” Timpal Kenzu kesal.

“Kalau gitu, kamu dan Kakak kamu saja berdua yang pergi. Kalian 4 hari di sana.” Hening… Semuanya hening ketika Pa Darwin memukulkan palu pertanda tidak bisa lagi tawar menawar. Sudah lama sekali sepertinya Enzo dan Kenzu tidak akur. Mungkin ini salah satu strategi Pa Darwin untuk kembali mengakurkan anak-anaknya lagi.

Empat hari di Amerika, berjauhan dengan Jules selama itu….Apa aku bisa? Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja selama 4 hari. Bisa-bisa ketika aku kembali, dia sudah resmi menjadi pacar gay itu….hhhhiiiiii….aku bergidig.

“Aku gak bisa pergi kalau Jules ga ikut!” Tegasku.

Of course you can! Kamu bukan bayi yang harus selalu dijagain babysiter-nya.” Jawab Kenzu. Shit! Ngapain dia nimbrung.

She is my shadow, I can’t work without her. Come on, Pop!” Aku merajuk kepada Papa. Aku berusaha menampakkan tampang paling memelas di hadapan Papa. Dia menghela nafas panjang.

“Oke, kamu dan Jules urusin kantor. Biar Papa, Kenzu dan June yang pergi.” Aku yakin bahwa senyum kemenangan sekarang menghiasi wajahku, sementara Kenzu mengangkat jari tengahnya kepadaku.

Well, hidup ini memang sepeti Angry Bird. Disaat kita gagal selalu saja ada babi yang menertawakan kita.” Kenzu sepertinya sudah geram. Aku tahu kalau kata-katanya itu sangat familiar di BBM. Gak kreatif!

Empat hari tanpa pengawasan Papa dan Kenzu…hahahaha…aku tidak sabar menantikan lusa cepat datang.

“Aku pulang…” Seperti biasa melakukan semua ritual di sofa sampai Papa datang menghampiriku. Papa membawa amplop dan menyerahkannya kepadaku. Aku membolak balik amplopnya…Oh my Gosh!….

Sebelum aku melamar menjadi asisten Enzo, aku sempat mendaftarkan diri ke salah satu sekolah designer ternama di Amerika. Dan ternyata, sekarang datang surat pemberitahuan bahwa aku diterima di sana.

Aku meloncat-loncat kegirangan. Aku memeluk dan mencium Papaku. Mama yang terpancing dengan keributan yang aku ciptakan itu akhirnya muncul juga di depanku. Mama dan Papa mempertanyakan kegiranganku yang berlebihan ini.

“Aku diterima di sekolah design di Amerika yang pernah aku ceritain dulu, Pa, Ma.” Mereka ikut senang dengan kabar gembira ini. Tapi kemudian mereka diam dan aku baru menyadari bahwa mereka pasti sedih karena akan berpisah denganku.

“Sekarang kan teknologi sudah canggih. Kita bisa skype setiap saat Pa, Ma.” Jelasku lembut. Mereka saling memandang dan tersenyum.

“Enzo? Kamu mikirin dia juga kan?” Tanya Papa. Shit! Aku lupa….

”Nanti aku pikirin waktu yang tepat buat ngomong sama dia, Pa.”

Malam ini aku tidak bisa tidur. Entah karena terlalu bersemangat dengan sekolah designer-ku atau….sepertinya aku lebih fokus memikirkan cara untuk mengutarakan berita ini kepada Enzo.

Kami sudah sangat dekat sekarang, seperti layaknya teman dekat, sahabat…atau apapun itu. Apalagi empat hari kemarin, saat Papa dan Kakaknya ke Amerika. Dia semakin menjadi-jadi. Jules kita lunch di luar, Jules kamu lembur sampai dinner, Jules temenin aku belanja, Jules anter aku potong rambut. Job description-ku sekarang benar-benar ngawur.

Walaupun dia terkadang menyebalkan dan lebih manja dari Adeline, tapi dia sudah mengisi hari-hariku dengan tawa. Cara dia menggangguku, bahkan disaat dia sedang serius…sekarang aku selalu berharap dia akan menggangguku secepatnya..hahahaha…aneh memang…lho! Kenapa aku sekarang merasa nyaman dengan Enzo thing ya? No…no…no…aku harus stop memikirkan dia.

Good morning sunshine!” Sapa Enzo seperti biasanya. Yang tidak biasa adalah sosok seorang wanita sekitar usia Pa Darwin. Aku sudah pernah melihatnya di album foto keluarga mereka. I think that’s Enzo’s Mom. Dia tersenyum kepadaku dan menghampiriku.

You must be Jules, saya sudah sangat sering mendengar cerita tentang kamu.” Aku tersenyum dan mengulurkan tanganku hendak berjabat tangan dengannya. Tapi, ternyata reaksi yang aku harapkan tidak terjadi. Dia menarik tubuhku dan memeluknya seperti anak dia sendiri.

“Akhirnya saya bisa bertemu juga dengan perempuan yang selama ini dibicarakan suami dan anak-anak saya.” Aku masih dalam pelukan wanita berambut pendek yang masih sangat menjaga berat badannya ini. Aku melihat ke arah Enzo, dia hanya tersenyum memberikan tatapan hangatnya seperti biasa.

Tok..tok…kami bertiga serentak menoleh ke arah pintu. June?…Dia tersenyum dan melangkahkan kakinya ke arah wanita yang baru saja melepaskan pelukannya dariku.

June membuka tangannya lebar hendak memberikan pelukannya kepada mantan ibu mertuanya itu, tapi ternyata wanita di hadapanku ini hanya mengulurkan tangannya dan menjabat tangan June seperti seorang klien. Wajah June memerah dan sedikit kikuk melihat ke arahku dan Enzo. Enzo hanya tersenyum sinis.

Here we are…Drama di keluarga ini sudah dimulai. Aku bergegas duduk di kursiku dan pura-pura mengerjakan semua tugasku. Enzo malah menghampiri mejaku seolah akan memberiku tugas baru. Dia membiarkan June dan Mamanya bercakap-cakap.

“Aku dengar dari Rose kalau Mama ada di sini, jadi aku mampir karena sudah lama juga tidak bertemu Mama.”

“Ohhh…I’m flattered, ternyata kamu masih merindukan saya dan masih menganggap saya Mama mertuamu…walaupun bukan.” Kasihan sekali June. Tapi sepertinya mereka memang sudah terbiasa berdiskusi seperti itu.

“Saya sempatkan mampir sebelum besok pagi saya kembali lagi ke Australia.”

“Sepertinya ada urusan penting, mungkin saya bisa bantu.” Ucap June ramah. Dia sama sekali tidak mempedulikan sikap sinis Enzo dan Mamanya.

I’m sorry Dear, I guess you can’t.” June semakin penasaran ingin mengetahui urusan penting apa yang tidak bisa dia bantu itu.

“Saya hanya ingin makan siang dengan Jules dan anak bungsu saya. Saya ingin merasakan larut dalam roman mereka berdua, seperti yang dibicarakan Papa dan Kakaknya. Saya sendiri penasaran seperti apa jika berada dekat mereka berdua.”

Mulutku menganga tidak percaya untuk kesekian kalinya terseret ke dalam urusan keluarga mereka hanya karena June. Begitu besarkah kesalahan June sehingga mereka selalu berusaha menyingkirkan dia disaat dia sedang mendekat dan mungkin berusaha memperbaiki kesalahannya. Enzo mengibaskan tangannya di depanku. Kesadaranku akhirnya kembali dan menatap Enzo yang sedang menyeringai puas dengan perkataan Mamanya.

June segera undur diri dan sepertinya dia berusaha sebisa mungkin untuk mengendalikan emosinya di depan kami. Begitu June lenyap dari pandangan kami, Mamanya Enzo melihat ke arahku dan tersenyum hangat, berbeda sekali dengan sikapnya kepada June. Aku tidak berkata apa-apa, aku menunduk dan pura-pura sibuk di depan computerku.

Kenapa mouse-nya tidak berfungsi? Aku tidak bisa pura-pura sibuk jika mouse-nya berhenti bergerak. Enzo mengangkat tangannya dan memperlihatkan baterei mouse wireless-ku yang sudah ada di tangannya. Kali ini dia memintaku berhenti bekerja.

“Jules…maaf, saya tidak sempat bertanya sama kamu tentang ajakan makan siang ini. Nenek sihir itu keburu datang dan membuat mood saya turun drastis.” Ujar wanita ini menggebu-gebu.

“Mama aku ngajakin kamu makan siang, mau kan?” Jelas Enzo yang masih duduk di mejaku. Aku gelagapan, bingung harus menjawab apa.

“Mmmhhh…sama kamu kan?” Bisikku. Aku baru bertemu wanita ini dan tidak mau sampai kikuk karena belum terbiasa. Enzo tersenyum dan mengacak-acak rambutku.

Of course, you fool!” Jawabnya. Aku mengangguk pertanda setuju dengan ajakannya.

“So, Jules….tell me….sedekat apa hubungan kalian berdua sekarang?” Pertanyaan Mama yang seharusnya dijawab Jules dengan gelagapan ataupun salah tingkah, hanya dia tanggapi dengan tatapan kosong yang menyiratkan kebingungan.

Aku menyenggol Jules yang memang duduk di sampingku. Dia menolehku seakan memintaku untuk membantunya menjawab pertanyaan Mama. Aku membiarkan dia mendeskripsikan hubungan kami dengan kata-katanya sendiri. Aku sendiri sengaja meminta Mama menanyakannya sehingga aku tahu apa yang sebenarnya Jules rasakan.

“Mmmmhhhh…Enzo…Mmmhhhhh…” Aku gemas menunggu dia mengutarakan isi hatinya. Akhirnya aku menyodorkan sepotong buah peach di dalam piringku ke dalam mulutnya, biasanya jika sudah aku ganggu dia akan terpancing ngomel-ngomel dan menjadi dirinya sendiri. Benar saja perkiraanku, mukanya memerah, dia malu dengan mamaku dan dia menginjak kakiku. Aku rasa sekarang dia sudah mulai pemanasan.

“Mungkin orang-orang akan salah menilai hubungan kami berdua. Karena kami berdua sekarang sudah seperti teman dekat. Memang benar kata Papanya Enzo, terkadang saya seperti seorang baby sitter yang menjaga anak balita yang banyak maunya.” Mama terkekeh mendengar penjelasan Jules.

“Enzo banyak maunya, kolokan, sangat berbeda dengan sikap dia saat sedang berbicara di depan public ataupun pegawainya yang lain.” Aku sendiri tetap memperhatikan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya.

“Tapi, sebisa mungkin kami bersikap profesional di depan orang-orang layaknya seperti seorang bos dan asistennya.” Terang Jules.

“Maksud profesional seperti…merangkul kamu di dalam lift dan di depan karyawan lainnya? Atau…satu kamar walaupun pegawai lainnya juga menginap di hotel yang sama?” Tanya Mamaku berusaha mengorek lebih dalam tentang pribadi Jules.

“Itu…..Enzo…” Jules mulai tidak bisa meneruskan kata-katanya. Akhirnya Mama kembali terkekeh melihat Jules kebingungan.

Aku tidak tega lagi melihat dia sepertinya mulai tertekan dengan pertanyaan-pertanyaan Mama yang sebenarnya berusaha untuk lebih dekat dengannya. Aku meraih tangannya dan menggenggamnya di atas meja. Jules menatap tanganku yang sekarang sedang menggenggam erat tangannya. Mama memperhatikan Jules dan tersenyum. Sepertinya Mama menyukai Jules seperti Papa menyukainya juga.

Huuuffftttt….Akhirnya aku bisa berbaring di tempat tidurku. Hari ini benar-benar membuatku kelelahan. Pertanyaan-pertanyaan aneh yang terlontar dari Mamanya Enzo benar-benar membuatku tertekan.

Pada dasarnya Mamanya Enzo atau Bu Ferline memang wanita yang baik, tapi tetap saja keluarga Enzo memang aneh semua. Disaat aku tidak bisa menjawab pertanyaannya yang mulai menyudutkanku…Genggaman tangan Enzo mampu menenangkanku dan membuatku merasa tidak sendirian.

Aku hanya bisa tersenyum dalam kegelapan kamarku ini. Entah kenapa sekarang kedekatanku dan Enzo bisa membuatku nyaman dan menanti saat-saat bertemu lagi dengan Enzo. Ya tuhan…bagaimana aku memberitahukan Enzo tentang sekolah designer-ku? Tapi, kalaupun aku pergi….Apa aku bisa mendapatkan teman seperti Enzo di sana? Tapi sudahlah, sepertinya akupun tidak punya keberanian untuk mengutarakan rencanaku ini kepada Enzo.

Aku melihat kembali amplop yang kusimpan di meja sebelah tempat tidurku. Impian terbesarku…sekarang sudah di depan mata, tapi…apa aku mampu meraihnya? Sekuat apa usahaku untuk bisa mencapai cita-citaku ini? Aku menghela nafas panjang dan berusaha memejamkan mataku.

Sejak petemuan Jules dan Mama kemarin, aku semakin yakin kalau Jules masih samar menangkap sinyal dariku. Aku rasa aku harus memperjelas lagi semuanya. Secepatnya aku harus mencari waktu yang tepat untuk mengutarakan isi hatiku kepadanya.

Hari ini, aku, Kenzu dan Papa sedang mempersiapkan materi final meeting untuk birthday issue. Hubunganku dan Kenzu sudah mulai membaik. Apalagi jika bukan karena Jules yang selalu mengomeliku untuk lebih bersabar menerima segala macam kekurangan ataupun kesalahan Kakakku. Yeah right…because she doesn’t know the whole story about us.

What’s with her?” Bisik Kenzu.

“Kamu kenapa? Kayak lagi mikirin sesuatu?” Aku curiga dengan sikapnya yang cenderung lebih pendiam dari biasanya.

“Kenapa, Jules? Enzo bikin ulah lagi?” Tanya Papa.

Did I do somehing to piss you off?” Tanyaku lagi penasaran.

No, Enzo…You didn’t…..” Dia menghela nafas panjang.

“Aku diterima sekolah designer di Amerika…dan kalau aku minat, aku harus pergi minggu depan.” Saat itu, waktu seolah-olah terhenti, dan jika bisa, aku ingin menarik kembali pertanyaanku. Aku lebih baik tidak mengetahuinya, aku lebih suka jika dia kabur dan tidak memberitahuku tentang kepergiannya.

“Enzo!….” Papa menyadarkanku dari mimpi buruk ini. Please God, just tell me that it’s just a bad dream….but it’s not…

“Aku tanya kesiapan kamu tentang meeting besok siang.” Teriak Kenzu. Sepertinya aku mematung cukup lama. Papa sepertinya menyadari kekecewaan yang sedang aku rasakan. Jules tidak bereaksi seperti biasanya.

Go!...Jules…” Jules menatapku bingung, dia pasti tidak tahu arti ucapanku ini. Dia pasti tidak menyadari betapa aku ingin dia selalu berada di sisiku. Papa dan Kenzu yang sudah tahu maksud dari kata-kataku seperti mempertanyakan keputusanku itu.

That’s your dream. Go, chase it! I know you can!” Ucapku seraya berputus asa. Jika di sinipun dia masih tidak menyadari perasaanku terhadapnya, lebih baik aku melepaskannya untuk mengejar keinginan terbesarnya. Sekarang dia mulai memahami ucapanku. Matanya berkaca-kaca, dan air mukanya terlihat senang.

Really? Are you oke?…I mean, if I leave, are you oke with that?Of course I’m not, you fool!

“Yaaaahhhh…mungkin aku bakalan buka lowongan asisten lagi.” Candaku dengan tawa hambar. Aku berusaha untuk tampak baik-baik saja di depannya. Aku ingin dia bisa mencapai salah satu tujuan hidupnya.

“Sekarang sudah jam 5 sore. Kamu pulang duluan sama Pa Ade, besok kamu harus mulai urus-urus pasport sama surat-surat lainnya.” Jules meraih tanganku dan memberikan senyuman paling indah selama aku mengenalnya.

Thank you.” Ucapnya. Dia mencium pipiku untuk pertama kalinya. Dia bergegas pergi membereskan barang-barangnya dan pamit kepada Papa dan Kenzhu. Aku tidak melepaskan pandanganku sampai dia menghilang.

You idiot! Moron! Stupid! You let her go? What are you trying to do Enzo?” Teriak Kenzu.

I gave up!” Ucapku. Papa berdiri menghampiriku.

You gave up?” Papa menghela nafas panjang dan menggeleng.

She doesn,t even realize or feel what I feel. She ignore me! Paling tidak, aku memberikan jalan buatnya untuk mengejar impiannya.”

Well, you did the best you could.” Tambah Papa.

Really? Dan kamu mau membujang terus, menunggu dia sampai dia pulang? Kamu pikir Jules tidak akan mendapatkan jodohnya di sana? Dia itu perempuan yang menarik, dia bisa dengan mudah mencari laki-laki lain di sana.”

Maybe…we’re not meant to be.” Sanggahku. She’s gone…and I already miss her.

“Aku pulang!…Pa…Ma…Mama dan papa datang menyambutku. Mereka tampak heran melihatku sangat bersemangat.

“Enzo mengizinkan aku untuk bersekolah di Amerika.” Mama dan papa tertegun. Mereka sepertinya tidak merasakan kebahagianku ini. Aku mengangkat bahuku.

“Jules…Kamu sama sekali tidak memikirkan perasaan Enzo? Tanya Papa.

“Aku hanya bilang kalau aku diterima sekolah di Amerika. Dia bilang Go! Chase your dream!

“Jules….Dari pertama Enzo menginjakkan kakinya di rumah ini, Papa sudah tahu kalau dia suka sama kamu…Dan kamu tahu sendiri kalau feeling papa tidak pernah salah jika menyangkut laki-laki yang menyukai anak papa.” Aku menghela nafas panjang.

“Buktinya, dia ngijinin aku, Pa.” Aku bergegas ke kamarku untuk mempersiapkan semua dokumen yang diperlukan.

Hari Sabtu dan Minggu ini aku benar-benar disibukkan mengurus dokumen-dokumen pribadiku. Ini adalah weekend terakhirku di sini. Sabtu depan, aku sudah harus pergi meninggalkan negara ini. Ini seperti sebuah mimpi yang menjadi kenyataan. Thanks to Enzo, dia membantu semua proses pembuatan paspor dan visa-ku sehingga dipermudah.

Kelas yoga tadi merupakan kelas yoga terakhirku. Aku bisa melihat raut muka Ronald yang berusaha menyembunyikan kekecewaannya, setelah aku memberitahunya bahwa aku akan pergi. Hari Rabu nanti sepulang kerja, Ronald mengajakku dinner untuk yang terakhir kalinya.

Tumben Enzo belum berkunjung ke sini? Biasanya setiap weekend dia pasti menyempatkan ke sini atau malah menginap di sini.”

“Mungkin sekarang dia sedang bersiap-siap merekrut karyawan baru sebagai penggantiku, Pa.”

“Kamu yakin kalau dia rela melepaskan kamu?”

“Aku ini hanya asisten dia yang dia anggap temannya, Pa. Begitu juga sebaliknya.”

Seminggu ini, aku berniat untuk memanjakan Enzo sebelum kepergianku. Aku akan melayaninya dengan sepenuh hati. Aku akan membawakan kopinya setiap 2 jam sekali tanpa OB, aku juga akan membawakannya makan siang sendiri, bahkan jika perlu aku akan menyuapinya jika dia sedang sibuk.

Aku melihat laci meja Enzo sedikit terbuka. Aku bisa melihat foto-foto kami hasil foto booth sewaktu di Bandung. Aku membuka lacinya dan melihat semua foto-foto itu. Aku tersenyum sendiri melihat ekspresi wajah Enzo yang jauh dari kesan berwibawa di sana.

Aku melihat arlojiku, tumben Enzo terlambat 10 menit? Dering telepon membangunkanku dari lamunan tadi, aku mengangkatnya, dan ternyata Enzo yang menghubungiku.

Hi there! Aku ke Surabaya 4 hari, hari jumat aku baru masuk.”

“Kamu kenapa ga ajak aku? Kamu marah sama aku?”

“GR kamu! Kamu kan lagi sibuk ngurus-ngurus kepergian kamu. Jadi kali ini aku handle semuanya sendiri, gak terlalu repot juga.”

“Aku susul kamu ke sana ya?”

“Eh, gak usah. Aku sudah siapin kerjaan kamu di meja. Nanti pas aku pulang, sudah harus beres semuanya.” Aku tertegun sejenak memikirkan ucapan Enzo. Apa dia bisa di sana 4 hari tanpa aku dampingi ya? Atau jangan-jangan?

“Jules…Are you there?

“Kamu udah dapet asisten baru ya?”

What? No! Gotta go, bye!

“Enzo….” Aku ingin sekali mengutarakan apa yang ada di pikiranku sekarang, I miss him...”
“Jules….”

“Ohhh…Mmmhhh…take care.” Akhirnya hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku.

Aku memulai semua pekerjaanku seperti biasanya, tapi aneh rasanya gak ada yang ngerecokin. Enzo yang selalu berulah sekarang jauh. Enzo yang selalu berhasil menaikkan mood-ku. Enzo yang…wait…wait…kenapa aku jadi mikirin Enzo ya? Stop it!

Tiga hari berlalu tanpa Enzo menemaniku di ruangan ini. Tiga hari juga aku skip makan siang karena tidak ada lagi yang memaksaku untuk makan siang. Lima menit lagi Ronald akan menjemputku untuk yang terakhir kalinya.

So, kamu beneran mau pergi?” Ini tempat pertama aku dan Ronald kencan, di sini juga akhir kencan kita.

“Iya, aku mau mengejar cita-cita aku. Aku suka menggambar, aku suka design. Bekerja di majalah ini membuat passion-ku di bidang ini semakin dalam.”

So this is it? Ini akhir cerita kita?” Tanya Ronald. Aku melihat sekelilingku beragam orang dinner di tempat ini. Di sebelahku ada sekumpulan keluarga, Kakak laki-lakinya menarik kuncir adik perempuannya. Di depanku two love birds. Perempuan itu membelai rambut pasangannya. Agak jauh dariku sepasang sahabat sepertinya, mereka sedang berbagi cerita. Pikiranku mulai menerawang jauh, semua ini seakan-akan dejavu.

Enzo?…Selama ini?…Oh my goodness! Selama ini dia berusaha menjadi laki-laki yang baik untukku. Dia berusaha menjadi temanku, kakakku bahkan…dia mencoba untuk menjadi pasanganku…

“Jules…Jules…Are you oke?” Aku mendadak merasakan sesuatu tentang Enzo di dalam sini. Aku tidak bisa menyangkal bahwa saat ini sepertinya aku merasakan apa yang Enzo rasakan. But how? Kita baru saja mengenal selama satu bulan lebih. Aku tidak sadar kalau butiran air hangat mulai berjatuhan di pipiku.

“Enzo…” Ucapku lirih. Ronald menggenggam tanganku. Dia tersenyum dan mengangkat alisnya.

You feel it now, right?” Aku mengangguk.

Pagi ini aku menemui Mba Cathy di ruangannya. Dia salah satu orang di kantor ini yang bisa dibilang sering berbicara denganku. Aku berpamitan kepadanya. Dia menyesalkan kepergianku yang begitu cepat ini.

“Mba Cathy bener…Enzo….” Aku mulai sensitive sejak mengetahui perasaan Enzo kepadaku dan saat aku mulai merasakan sesuatu kepadanya.

“Heeemmmm….Aku rasa kalian pasangan yang serasi. Kenapa kamu tidak coba tanyakan langsung sama Enzo?” Aku menggeleng.

Entah kenapa, saat ini aku sangat enggan masuk ke ruanganku sendiri. Aku takut kalau aku tidak pernah bisa meninggalkan ruangan ini. Di sini terekam semua kenangan antara aku dan Enzo. Mungkin dia takut dalam waktu yang relatif singkat ini menyatakan isi hatinya kepadaku.

Tok…tok…tok…Pa Darwin sudah berdiri di depan pintu kaca meminta izinku untuk masuk. Aku mempersilahkannya masuk. Aku berusaha untuk bersikap senormal mungkin di hadapannya. Aku tidak mau sampai dia menyadari bahwa aku…

“Jules…Kamu sudah positive untuk pergi ke Amerika?” Aku memandang foto Enzo dan Adeline di mejanya.

“Iya, Pa.” Aku menunduk dan mengerjakan kembali semua pekerjaanku. Pa Darwin duduk menghampiri meja Enzo dan mengangkat frame itu. Dia tersenyum melihatnya.

“Kamu tahu kalau foto ini Kenzu dan Adeline?” Aku tercengang sampai akhirnya terkekeh karena selama ini Enzo memang membohongiku.

“Adeline selalu menganggap ini adalah foto dia dan Enzo sehingga dia memaksa Enzo untuk menyimpannya di sini. Mungkin karena waktu foto ini diambil, wajah Kenzu masih sangat mirip dengan Enzo. Setelah kecelakaan itu, berat badan Kenzu turun drastis dan dia tidak lagi mempedulikan penampilan fisiknya.” Aku menyimak penuturan Pa Darwin dengan seksama. Aku mulai belajar mencerna dengan baik. Selama ini aku tidak pernah bisa menafsirkan perkataan mereka dengan baik.

“Jules…Kalau bisa, kamu…mmhhh…kamu masih ingatkan kata-kata saya waktu di Bandung tempo hari?” Aku mengangguk. Dia menebar senyuman yang ramah. Tidak lama kemudian, asisten Pa Darwin menyusulnya ke ruanganku, dia beranjak pergi.

Apa yang akan aku lakukan jika saja dari dulu aku menerima sinyal yang hendak disampaikan Enzo kepadaku? Apa aku akan menjauhinya ataukah aku akan menanti kelanjutannya seperti apa? atau aku akan menerima semuanya dan membalas sinyal itu?

Sudah 4 hari ini Enzo belum menghubungiku. Apa dia sengaja menjauhiku atau memang dia sudah mulai melupakanku? Apa aku harus meneleponnya? Apa aku harus memberitahunya bahwa aku sudah mengetahui semuanya? Damn it, Enzo! Why didn’t you call me?

Esok paginya, Enzo sudah menugguku di ruang meeting. Aku sangat senang sekali akhirnya bisa melihat Enzo lagi. Enzo menatapku seperti biasa dan tersenyum hangat. Dia terlihat lebih tenang dari biasanya, tapi dia juga tidak berkata apapun. Mungkin dia benar-benar kelelahan setelah tugas solo-nya di Surabaya.

Good morning sunshine!…” Kenzu mencoba memancing Enzo dengan menyapaku seperti yang biasa Enzo lakukan. Aku terkekeh melihat Kenzu. Enzo sendiri seperti menarik dirinya dari suasana ini. Dia terlihat muram sekarang, kenapa dia tidak membalas kejahilan kakaknya ini ya?

Kali ini aku baru bisa merasakan meeting dengan Kenzu. Kenzu di sini langsung menjadi wakil Pa Darwin. Baik Kenzu maupun Enzo seperti tidak pernah mengenal perempuan di samping ayahnya. Ya, June. Sikap mereka seolah-olah seperti orang asing. Weird!

Klien kami sekarang, seorang designer ternama di Asia yang sedikit nyentrik dandanan dan tingkah lakunya juga. Mungkin jika orang awam melihatnya, mereka tidak akan menyangka dia seorang designer. Wanita berumur 50 tahunan ini lebih terlihat mirip orang stress. Dengan make up tebal dan acessories yang segala dipasang serta baju yang tabrak warna menjadi ciri khasnya.

Dia membuat suasana meeting kali ini seperti pertunjukan sirkus. Enzo dan aku sesekali terkekeh mendengar gaya bicara dia yang ceplas-ceplos.

She’s definitely crazy…” Bisik Enzo kepadaku.

I guess…” Timpalku.

How are you?” Tanyaku lagi masih berbisik. Dari tadi aku memperhatikannya, aku baru sadar kalau aku merindukan kebersamaan kami.

Fine, thank you.” Apa aku harus bilang kalau aku merindukan dia?….

“Enzo….”

What?….” Aku tersenyum dan hanya membalasnya dengan gelengan kepala.

“Mr. Enzo….” Aku terperangah ketika Miss. Joyce sang designer menegur Enzo. Mungkin karena dari tadi dia dan aku asyik sendiri.

“Ya…” Jawab Enzo.

So, we have two love birds here?” What the? Enzo menoleh ke arahku dan tersenyum.

“Kamu tidak memperhatikan saya dari tadi….”

What? I mean…of course not. Saya perhatikan setiap detail yang anda bicarakan.” Jawab Enzo. Aku menatap Enzo was-was, karena jujur saja memang aku sama sekali tidak mengikuti meeting ini dengan baik.

“Kalau begitu anda tidak keberatankan dengan permintaan saya barusan?” Permintaan? Permintaan apa? Aku dan Enzo saling menatap bingung. Kami alihkan pandangan kami kepada Pa Darwin dan Kenzu yang sama-sama terlihat bingung.

“Saya suka bernyanyi, saya selalu membawa alat musik kemanapun saya pergi. Kebetulan saat ini saya membawa gitar. Saya yakin laki-laki seperti anda mahir memainkan berbagai macam alat musik dan bernyanyikan?” Aku menahan tawaku karena klien kami satu ini benar-benar absurd.

“Laki-laki seperti saya? Mmmhhhh….” Enzo bingung. Pa Darwin dan Kenzu memandang kami berdua.

“Ini salah satu cara saya menghukum beberapa anak nakal di kantor saya.” Timpal wanita nyentrik itu. Asistennya menyodorkan gitar kepada Enzo. Mau tidak mau akhirnya Enzo berdiri dan sempat berfikir beberapa saat untuk memilih lagu yang tepat. Aku sendiri tidak sabar menanti lagu apa yang akan dibawakan Enzo, karena terakhir kali dia bermain gitar untukku, aku dibikin kelepek-kelepek karenanya.

Sing brother! This is the most romantic goodbye ever.” Ledek Kenzu. Pa Darwin sendiri menggeleng melihat anaknya kena hukuman oleh klien nyentrik ini.

“Eheeeemmm….Oke, I sing….This is for you Ma’am.” Ucap Enzo seraya mengedipkan matanya kepada wanita itu. Intro lagu terdengar dari petikan gitar yang dimainkan Enzo.

I wanna make you smile whenever you’re sad

Carry you around when your arthritis is bad

All I wanna do is grow old with you

I’ll get you medicine when your tummy aches

Build you a fire if the furnaces breaks

Oh it could be so nice, growing old ith you

I’ll miss you, kiss you

Give you my coat when you are cold

Need you, feed you

Even let ya hold the remote control

So let me do the dishes in our kitchen sink

Put you to bed if you’ve had too much to drink

I could be the man who grows old with you

I wanna grow old with you

Aku berani bertaruh kalau semua perempuan di sini dibikin Enzo meleleh.

“This is definitely for you.” Bisik Kenzu kepadaku disertai anggukan setuju Pa Darwin.

Really? Should I stay? Lirihku dalam hati. Kali ini aku mulai dililit kebimbangan. Aku benar-benar memperhatikan Enzo bernyanyi, kalau sebelumnya aku hanya menikmati nyanyiannya, kali ini aku ingin tahu apa yang Enzo rasakan saat menyanyikannya.

Tepukan tangan terdengar di penjuru ruangan ini. Bahkan Miss. Joyce sempat membunyikan siulan pertanda dia memaafkan Enzo. Enzo membungkuk hormat kepada para audiance. Pipi June terlihat bersemu merah, mungkin dia juga merasa lagu ini dinyanyikan untuk semua perempuan di ruangan ini termasuk dia.

Is that really for me? I mean…you sing for me? Not for her?” Tanya Miss Joyce sambil menunjukku. Enzo membungkukkan badannya sehingga wajahnya persis berhadapan dengan wajahku. Sepertinya semua orang menantikan kejadian selanjutnya.

“Nahhhh!….Dia terlalu sering saya nyanyikan.” Aku menghela nafas lega. Jangan sampai aku dibuat malu dihadapan orang-orang ini. Akhirnya meeting kembali berlanjut.

Aku sengaja hadir di ruang meeting lebih awal, supaya aku bisa mendahului Jules. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan hari ini. Ini adalah perpisahanku dengan Jules. Menjauhkan diri selama 4 hari di Surabaya membuat rinduku menjadi-jadi. Aku sangat ingin memberikan kabar ataupun bertanya tentang kabarnya walaupun lewat telepon atau text. Tapi ternyata…rasa takut kehilangan lagi-lagi lebih menguasaiku ketimbang rasa kangen ini. Andai saja kamu tahu, Jules…berjauhan darimu adalah mimpi buruk bagiku.

Melihatmu datang pagi ini, ingin aku menyapamu seperti biasa…Good morning sunshine!…You will always be my sunshine. Berada di sampingmu tapi tidak bertegur sapa membuatku ingin menarikmu ke dalam pelukanku.

Mungkin sudah terlambat bagiku untuk mencegah kepergianmu, Jules. Tapi, aku juga tidak ingin hanya menjadi penonton yang melihatmu berlalu di hadapanku dan tidak akan pernah muncul lagi. Aku lebih baik menjauhimu sejauh mungkin dari sekarang. Mungkin semua itu akan jauh lebih mudah. Tidak usah ada kata-kata perpisahan, pelukan perpisahan ataupun kiss goodbye. Just enough to let you go…

Meeting berlangsung lancar walaupun selalu ada bentrokan di beberapa titik, tapi pada akhirnya mencapai kesepakatan. Seperti biasa, aku, Enzo dan keluarganya masih di ruang meeting saat semuanya termasuk June sudah meninggalkan ruangan.

“Aku saja yang lunch bareng klien, Pa.” Ucap Enzo.

“Ini hari terakhir Jules kerja, Enzo.” Terang Pa Darwin.

“Besok aku pergi jam 10 pagi. Kamu ikut anterin aku kan?” Pa Darwin dan Kenzu menatap Enzo, sementara aku menunggu jawabannya.

“Ehhhhmmm…Aku kira besok aku gak bisa anter kamu, sorry…”

“Ohh…Really? Kamu becandakan?” Enzo menggeleng.

I’m afraid I’m not.” Jawab Enzo.

“Nanti sore kamu balik lagi ke kantor?” Dia menggeleng. Aku penasaran karena Enzo benar-benar terlihat jelas sedang menghindariku.

So, this is good bye? Are you avoiding me?

I’m not avoiding you. I’m busy!” Ucap Enzo setengah berteriak.

“Oh, oke….” Jawabku sambil menahan rasak sakit yang mulai menghimpit dadaku.

Thank you for being a good boss, friend and brother to me…and oh..sometimes my enemy too. Thank you.” Jelasku kepada Enzo. Enzo menunduk dan meninggalkan ruangan rapat untuk bertemu klien.

Sekarang tiba saatnya aku mengucapkan salam perpisahan kepada Pa Darwin dan Kenzu. Mereka sepertinya tahu bahwa saat ini aku tidak sanggup lagi berkata-kata karena berusaha menahan tangisku. Jadi mereka membiarkanku beberapa saat.

It’s oke, take your time…” Ucap Kenzu. Pa Darwin memberikan tissue kepadaku. Dan memang saat itu suaraku menjadi bergetar, padahal aku sudah berusaha untuk berbicara normal.

“Dia maunya apa sih? Weird!” Aku mulai terisak karena Enzo benar-benar tidak menanggapi ucapan perpisahanku.

“Kamu masih mau pergi?” Tanya Kenzu.

“Aku makin termotivasi untuk pergi.” Jawabku.

Sorry, Jules…Kalau saja aku bisa bangkit dari kursi sialan ini, aku sudah pasti seret Enzo dan tonjokin dia karena mengabaikan kamu begitu saja….You know…sometimes, loves make you weird…” Jelas Kenzu berusaha mengungkapkan apa yang kira-kira sedang dirasakan adiknya.

“Saya ijinkan kamu untuk pulang lebih awal Jules, sehingga kamu bisa beristirahat.” Ucap Pa Darwin.

“Bisa saya pulang sekarang?” Pintaku. Aku benar-benar ingin pulang dan menghabiskan hari terakhirku dengan keluarga.

“Terima kasih Jules, karena sudah menjadi bagian dari perusahaan ini. Saya harap kamu bisa meraih apa yang kamu cita-citakan. Jujur saja, sebenarnya saya tidak pernah mengharapkan kamu pergi secepat ini.” Ucap Pa Darwin. Dan uluran tanganku tanpa disangka-sangka ditampik olehnya, dia malah memberiku pelukan seperti yang dilakukan istrinya.

That’s true. I just expected that you can be my sister inlaw.” Canda Kenzu. Aku hanya bisa tersenyum hambar. Akhirnya, aku meninggalkan kantor ini untuk selama-lamanya. Aku melarang Pa Ade untuk mengantarku. Aku memutuskan untuk mampir ke rumah Nana dengan taxi. Perpisahanku dengan Enzo tidak berjalan dengan baik.

“Jules?…” Nana membuka tangannya dan memelukku. Oh, Gosh I miss her so much.

“Mana Enzo?” Tanya Nana. Aku mengangkat bahuku, Nana menggeleng. Kami melanjutkan perbincangan di dapur sambil menikmati sajian khas rumah Nana.

“Bunga dari siapa itu, Nana?” Tanyaku sambil menunju bunga di dekat sink.

“Enzo. Kemarin sore, Enzo mengunjungi Nana. Kebetulan Nana sedang merapikan tanaman-tanaman Nana di halaman, jadi Enzo ikut turun bantuin Nana.” Aku berfikir sejenak, berarti kemarin sepulang dari Surabaya dia langsung ke sini?

“Kamu kenapa malah pergi ke Amerika bukannya menerima lamaran Enzo dulu? Setinggi apapun perempuan bersekolah, ujung-ujungnya mereka pasti ngurusin suami.” Nana mulai memberikan petuah khas Oma-Oma kepadaku. Aku sebenarnya berusaha menahan tawaku ketika Nana berfikiran Enzo sudah melamarku.

“Enzo melarang Nana atau siapapun untuk mendesak kamu supaya menerima lamarannya. Biarkan Jules sendiri yang menentukan apakah aku pantas untuk menjadi pendamping dia atau tidak. Kira-kira seperti itu apa yang diucapkan Enzo.” Aku yang tadinya menganggap semua ini lucu, tiba-tiba saja merasakan sesuatu mulai menghimpit dadaku lagi. Bagaimana aku bisa sebuta ini, padahal Enzo sudah benar-benar transparan memperlihatkan bahwa dia jatuh hati kepadaku.

Sore harinya aku pamit kepada Nana seraya mengucapkan salam perpisahan. Nana juga mendoakanku supaya aku tidak betah di sana dan kembali untuk menikah dengan Enzo. Haahaha…Enzo sudah sukses merebut hati seluruh keluargaku.

Adeline?…Aku lupa belum berpamitan kepadanya. Aku mengirim text kepada Enzo supaya bisa berbicara dengan Adeline. Akhirnya Adeline menghubungiku dengan handphone Enzo.

“Tante…Tante mau pergi?” Aku yang tadinya ingin mengucapkan selamat tinggal, terisak mendengar suaranya. Sepertinya dia tahu kalau aku menangis.

“Tante…” Aku berusaha menghentikan tangisanku dan berbicara kepadanya walaupun terbata-bata. Aku tahu kalau Enzo pasti mengeraskan speaker-nya.

“Iya, Sayang. Kamu baik-baik ya, ingetin Papa kamu supaya makan dengan teratur. Jangan pulang malem. Sering-sering bawa kamu jalan. Tapi,…jangan minta dia cat rambutnya lagi ya…hahahaha…Papa kamu lebih cakep dengan warna rambutnya sekarang, ash brown, sama kayak warna rambut Tante. Hafalin warnanya ya. Tante harus pergi sekarang, I’m gonna miss you…..both of you, bye!

Aku tiba di bandara pukul 8 pagi untuk mempermudah pengecekan barang dan lainnya. Aku, mama dan papa duduk menunggu. Vivi dan Lilian di rumah, karena Lilian demam jadi tidak bisa ikut mengantarku ke bandara.

Aku mendekati salah satu booth majalah dan membaca beberapa majalah. Ada seseorang yang meraih tanganku. Enzo??? Mungkinkah?

“Jules…”

“June?” Ucapku kaget. Dia tampak heran melihatku.

“Kemarin siang aku pergi ke Batam, hari ini aku baru tiba. Kamu mengantar siapa?” Aku tidak menjawabnya, hanya tersenyum. Melihat bibir June mengingatkanku kepada Adeline.

“Bisa bicara sebentar?” Pinta June. Haruskah? Tapi ini terakhir kalinya aku berada di sini.

“Kamu pasti tahu rumor tentangku di keluarga Enzo?” Aku mengangguk.

“Apa kamu tahu bahwa sebelum aku menikah dengan Kenzu, aku adalah asisten sekaligus pacarnya Enzo?” Aku kembali tercengang mendengar fakta tersembunyi tentang Enzo. June menghela nafas panjang.

If only I could turn back time. Dulu, setelah aku menjadi asisten Enzo selama 3 bulan, aku jatuh hati kepada Enzo. Aku selalu berusaha mengerjakan segala sesuatunya dengan sempurna di mata Enzo. Dia termasuk laki-laki yang respond daripada react. Setelah 6 bulan, dia akhirnya bisa membalas perasaanku. Aku menjalin hubungan dengan Enzo selama 6 bulan. Dia tadinya akan melamarku, tapi dia belum sempat mengabarkan semuanya ini kepada keluarganya. Sampai beberapa hari kemudian, Kenzu baru datang menyelesaikan sekolahnya di Jerman. Karena dia paling tua, dia menjadi General Manager. Aku melihat Kenzu lebih romantis dari Enzo, dan…..kedudukannya lebih tinggi. Dia tidak tahu kalau aku sebenarnya adalah pacar Enzo. Aku memanfaatkan ketidaktahuannya itu. Aku menjalin hubungan dengan Kenzu tanpa sepengetahuan Enzo sampai akhirnya Kenzu melamarku. Kamu tahu seperti apa kelanjutan ceritanya.” Terang June.

Yang terpikir olehku hanyalah menelepon Enzo, tapi panggilan penerbanganku sudah diumumkan. Aku berusaha membuat panggilan secepat mungkin kepada Enzo.

Dan di sinilah aku, di kantorku…meratapi kepergian Jules dan menangisi kebodohanku sendiri karena mengabaikan perpisahannya. Semalaman aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku memandangi meja kerjanya, seakan dia masih di sana berkutat dengan pekerjaannya.

Ujang membawakanku kopi dan sepertinya dia juga mengasihani diriku saat ini. Dia bergeming. Alih-alih meninggalkan ruanganku, dia malah mengajakku ngobrol.

“Mba Jules berhenti kerja ya, Pa?” What the? Aku mengangguk.

“Padahal Pa, Mba Jules itu baik sama siapapun. Bahkan sama staff OB juga. Selalu tersenyum dan tidak pernah lupa bilang terima kasih. Sama OB lho, Pa!” Aku menatap muka Si Ujang yang sepertinya tahu kalau aku merindukan Jules.

“Gitu ya?…” Jawabku singkat.

“Oh iya, Pa. Saya sama staff OB lainnya pernah beberapa kali dibawain makanan dari bakery Mamanya. Apa itu namanya, pa? Terracota???….” Akhirnya Ujang berhasil membuatku sedikit menyeringai.

“Panna Cotta, Ujang…Panna Cotta.” Rupanya jatahku dia alihkan ke OB.

Ujang sepertinya mulai sadar kalau aku sedang tidak mau diganggu. Dia pun pamit dan berlalu dari hadapanku.

Tok..tok…tok…Papa dan Kenzu sepertinya akan memberikan dukungan moril kepadaku. Terlihat dari cara mereka melihatku dengan tatapan simpati seperti itu. Aku terbaring di atas sofa membelakangi pintu ruanganku. Pandanganku tidak bisa lepas dari meja di hadapanku.

“Kamu mau kejar dia?” Tanya Papa. Aku menggeleng.

“Jadi kamu mau apa? Mau terus seperti ini? Rotting until the end of time?” Tanya Kenzu.

You talk to much!” Jawabku. Aku menyalakan handphone-ku yang memang sengaja aku matikan dari semalam. Ternyata ada 1 pesan suara dari Jules. Aku mendengarkannya.

“Enzo, aku ketemu June di bandara. Kamu kenapa gak pernah cerita tentang kamu sama June? Selama ini aku selalu menganggap aku satu-satuya orang yang menyedihkan karena ditinggalkan calon suaminya. Tapi kamu lebih menyedihkan karena pacar kamu lebih memilih kakak kamu sendiri. Kamu bener, she’s an evil…..penumpang pesawat nomor 319 harap segera memasuki….Enzo!…aku bingung…Hari rabu kemarin aku bertemu dengan Ronald untuk yang terakhir kalinya. Di sana aku selalu inget sama aku, aku gak bisa lupa sama kamu aku baru sadar kalau ternyata selama ini kamu sudah berusaha menjadi kakak, teman dan bahkan…kamu sudah mengisi hatiku. Sampai sekarang, aku masih bingung apa aku harus pergi atau aku harus kembali lagi untuk ketemu kamu dan…tut..tut…tut…”

“Hallo! Jules…Jules!…Of course you have to go back here, you fool!….”

“Idiot! Itu kan pesan suara!” Teriak Kenzu. Aku berusaha menghubungi Jules, tapi sepertinya dia sudah mematikan handphone-nya. Aku menjatuhkan tubuhku kembali di atas sofa, aku pasrah, aku menyerah dengan keadaan ini. Aku memandangi meja itu lagi.

When you meet her, what is the first thing you’re gonna tell to her?” Tanya Kenzu. Aku memejamkan mataku dan menghela nafas panjang.

I’m gonna tell her how much I love her…and I’m apologize for being such an idiot. I want to spend the rest of my life with her.” Kenapa kemarin aku tidak mengatakan semua ini kepadanya? Dick!

“Enzo…” Jules? Apa aku mulai berhalusinasi? Aku membalikkan badanku, dan Jules memang berada di depanku.

Well, brother…you’ve already told her.” Ucap Kakakku. Kenzu dan Papa meninggalkan kami berdua. Aku beranjak dari sofa dan menarik Jules ke pelukanku. Akhirnya aku bisa memeluknya seperti ini. Aku memeluknya erat sekali karena aku tidak mau kalau dia pergi lagi.

I’m glad you’re back, I miss you so!

“Enzo, aku hanya mau bawa barang aku yang tertinggal.”

“Hahaha…No, you’re not! Now, there is no way I’m letting you go.” Bantahku, menutupi ketakutanku ditinggalkan pergi lagi olehnya.

“Enzo…kenapa kamu bisa suka sama aku dalam waktu yang singkat?”

Because you’re the first woman who can make me react, not respond.” Jules menatap wajahku dan mencoba menggalinya lebih dalam.

I’m sorry for not feeling it back…” Ucapnya.

I accept your apology. But you feel it now, right?” Tanyaku ragu. Jules mengangguk dan menempelkan wajahnya di dalam pelukanku.

Why did you want to comeback here?” Tanyaku lagi.

What do you think?” Balasnya.

“Kamu kapan mau ngajakin aku nonton Titanic? You owe me a date.” Tanyaku. Jules terkekeh dan saat ini aku benar-benar merasakan dia sudah mulai mengaggapku seseorang yang berarti untuknya.

Name it!” Hah!…sekarang dia sudah berani menantangku.

Now! I’ll take you wherever you want…” Bisikku mesra.

Now is the time….saat yang sudah lama aku tunggu-tunggu. Aku mencium bibirnya lamaaaaa sekali…dan dia membalas ciumanku. She is a good kisser and that’s make me love her more.

“Awas kamu kalau masih mau dicium sembarang perempuan!” Ancamnya. Aku menyeringai jahil. Aku kembali memeluk dia seerat mungkin.

This is the biggest step I’ve ever made before. Meninggalkan begitu saja sesuatu yang benar-benar menjadi impian terbesarku. Dan aku tersenyum bahagia, tanpa ada penyesalan sedikitpun. Aku meninggalkan semua impian itu demi satu kenyataan indah di depan mataku. Dan aku tahu kalau aku tidak akan pernah menyesalinya.

You can be in a relationship for two years and feel nothing; you can be in a relationship for two months and feel everything. Time is not a measure of quality.” Ucap Enzo. Aku membelai rambutnya, kemudian wajahnya. Senyuman itu selalu membingkai wajahnya. Dan aku akan sangat bahagia jika aku bisa menjadi alasan di balik senyumannya itu.

What are you?” Tanyaku. Aku masih tidak percaya kalau aku bisa mendapatkan hati seorang laki-laki seperti Enzo.

Guess what? Your man!” Jawab Enzo.

Dan sekarang adalah saat dimana lagu gembira sudah mulai berkumandang. Saat dimana Aku dan Enzo sudah mulai menjalin hubungan yang serius. Terompet, drum, piano dan gitar sudah memainkan irama ceria. Saat layar menjadi gelap, tulisan the end muncul serta credit title berurutan keluar. But wait, slow down!……..We still have bonus for closing.

Sore ini, sebelum pulang Enzo mengajakku ke ruangan Papanya. Ruangannya sama seperti ruanganku, semuanya berdinding kaca, aku bisa melihat Pa Darwin, Bu Ferline dan Kenzu di dalam. Setelah mengetuk pintu, kamipun masuk. Aku berjalan beriringan dengan Enzo, mencoba bersikap wajar tanpa mengumbar kemesraan kami.

Hello Sunshine!” Sapa Kenzu. Aku terkekeh karena tahu bahwa sapaan Kenzu tadi hanya bertujuan untuk menggoda kembarannya. Sikap wajarpun terhenti karena Enzo keburu terpancing dengan gurauan Kenzu, alhasil diapun menggandeng tanganku di depan semuanya.

Hello, Dear!” Sapa Mamanya Enzo, tidak lupa sambil merangkulku dengan ramah.

“Hai!” Jawabku kikuk. Pa Darwin sepertinya bingung dengan kedatanganku serta Enzo ke ruangannya.

“Ehem…Pa, Ma…Kita mau nikah bulan depan.” Ucapan Enzo disambut dengan antusias oleh mereka bertiga. Kenzu langsung menatap perutku dan mencoba mendeskripsikannya dengan membuat lingkaran bulat menggunakan tangannya.

What? No…no…no…Aku gak hamil!” Bantahku. Enzo mengernyitkan dahinya karena dia sendiri tidak pernah berpikiran seperti itu.

“Sebenarnya Mama sudah tahu karena Enzo sudah bilang semalam. Karenanya, Mama mau ngasih kejutan buat kalian. Anggap saja ini adalah hadiah pernikahan dari Mama.” Aku menatap Enzo heran.

Tok…tok…tok…Pintu terbuka dan semua orang menatap ke arah pintu.

“Hello!” Cathy datang dengan membawa sebuah mini dress berwarna broken white.

“Apa wedding gown-nya sudah sesuai dengan keinginan kamu?” Tanya Enzo. Aku melihat dan menyentuh dress simple namun elegan sekaligus mewah itu.

“Hai Tante, Om!” Suara seorang perempuan dan laki-laki yang sepertinya sudah akrab di telinga kami. Aku dan Enzo pun akhirnya berbalik, dan…..

“Mereka berdua MC di hari pernikahan kalian nanti.” Ucap Mamanya Enzo. Mulutku menganga dan sepertinya aku tidak bisa mengedipkan mataku. Mereka berdua bergantian merangkulku.

Thank you for being my huge fans.” Ucap si perempuan.

Now, I am a biggest fans of you.” Tambah Si laki-laki dengan senyuman khas-nya yang ramah

“Masih mau satu cubicle sama mereka kan?” Tanya Enzo.

Closing music playing…………….THE END.

SINOPSIS

Jules seorang perempuan menarik dan berasal dari keluarga yang masih old school. Dia baru saja diterima bekerja sebagai asisten editor in chief salah satu majalah wanita terbesar di dunia, walaupun versi lokalnya. Bos-nya, Enzo merupakan bos idaman semua orang terkecuali Jules. Keluarga Enzo yang modern sangat bertolak belakang dengan keluarga Jules.

Enzo yang termasuk tipe laki-laki respond berubah menjadi react dengan Jule’s thing-nya. Entah panah apa yang diarahkan cupid sehingga dalam waktu singkat bisa membuat Enzo bertekuk lutut di hadapan Jules. Satu-satunya kesamaan antara mereka berdua adalah masa lalu yang pahit . Apakah Jules akan membalas sinyal cinta yang diberikan Enzo atau sebaliknya? Akankah kali ini waktu bisa bersahabat dengan Enzo?

For My Dearest Prince Charming

FOR MY DEAREST PRINCE CHARMING

When I saw you, I was afraid to meet you…

When I met you, I was afraid to know you…

            When I knew you, I was afraid to like you…

            When I liked you, I was afraid to love you…

            Now that I love you, I am afraid to loose you…

Sebuah puisi yang tertulis di undangan pernikahan teman sekantorku, kubaca berulang-ulang dan kuingat di memoriku. Sampai sekarang selalu menjadi penyemangatku untuk mendapatkan Mr. Right. Suatu saat, aku akan merasakan semuanya kepada seseorang yang akan menjadi pendamping hidupku.

Hmmmmm…Beginilah suasana komplek perumahan di hari Minggu siang, sepiiii…banget. Orang-orang umumnya pada rekresi dengan keluarganya. Sambil bikin adonan kue pie strawberry, diiringi lagunya Lorde-Royal plus angin sepoi-sepoi mmmmhhhhh…Aku banget! Aku memang hobi bikin kue, gak tau kenapa walaupun kadang-kadang hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Kalau pikiran aku lagi santai, suka terlintas seperti apa nantinya cowok yang bakalan jadi pendamping hidup aku? Apa bisa kesampaian kriteria yang selama ini aku mau? Tinggi, ganteng, pinter, romantis, kalau bisa sih namanya juga yang agak-agak komersil gitu. Paling enggak yang gak bikin orang ketawa geli pas ngedengernya. Ooooohhhh…kapan ya prince charming kayak gitu bisa singgah di kehidupanku?

Tapi sepertinya, hampir semua cewek punya kriteria cowok yang sama seperti aku. Aku juga ngaca sama modal yang aku punya. Tinggi yang pas-pasan, walaupun seimbang dengan berat badan, tetep aja gak punya leher jenjang dan kaki panjang yang bisa bikin selebriti seperti Vino Bastian ngejar-ngejar aku.

Gak tau kenapa, aku enggak pernah punya hubungan jangka panjang, I’m not good at it. Sampai-sampai Mama bilang, “Kamu tuh kalau bawa cowok ke rumah pasti ganti-ganti kepalanya.” Tapi siapa sih yang mau? I just haven’t met you yet! Untuk urusan kayak gitu, cuma satu orang yang ngertiin aku. Sahabat aku Rima, buat soal ginian pemikiran dia sama banget denganku. I can share anything with her.

So, let’s begin this story…shall we…

Hi, I’m Helen!

Nama aku Helen Wijayanti, 21 my age he…he…he….Aku anak sulung dari 3 bersaudara. Adikku Doni kelas XII, aku panggil dia Dodol kalo lagi nyebelin. Anaknya so cool, so gak peduli sama keluarga padahal dia itu care banget orangnya. Si Dodol satu-satunya di keluarga ini dengan hidung mancung dan paling tinggi, sementara yang lainnya standar aja.

Adik bungsu aku namanya Daisy, tapi dari kecil dia bisanya bilang Echi, dan jadilah nama kecil dia sampai sekarang. Rambut brekelenya kadang susah buat disisir.

Aktor Favorit aku Josh Hartnett, jadi sebisa mungkin hunting cowok yang mirip dia, walaupun selama ini gak pernah ada yang mendekati dia. Selama ini, aku gak pernah bisa menjalin hubungan dengan seorang laki-laki lebih dari 2 bulan. Disaat aku nemuin kekurangan mereka, pasti langsung aku putusin.

Dari 5x pacaran, semuanya aku yang putusin. Pacar pertama kakak kelas aku waktu SMP, orang menado dan baru ketemu lagi ketika aku di kelas 2 kejuruan, aku putusin dia setelah 2 bulan pacaran karena dia nekat maen ke rumah aku walaupun sudah aku larang. Waktu itu aku belum mau bawa pacar ke rumah, besides… setelah diperhatiin dia sering banget ngedip-ngedipin matanya, kayak ada yang salah aja sama sarafnya, jadi bikin illfeel.

Terlepas dari semua masalah aku dengan cowok, aku sama Rime punya kriteria yang sama tentang cowok. Sebutan kita berdua 8 Pasal cowok…

  1. Gak usah wangi parfum yang penting gak bau
  2. Tinggi minimal 175 cm
  3. Gak gendut
  4. Ganteng seganteng-gantengnya
  5. Pinter
  6. Pekerja keras
  7. Jelas harus sayang banget sama aku
  8. Bonus : Mapan, six pack, sexy, jago bahasa asing

Sejauh ini sih belum ada mantan-mantan aku yang lolos semua pasal di atas, tapi yang jelas pasal 1, 3, 4 itu wajib.

Gak tau kenapa, kadang aku suka percaya sama kata hati aku. Selama ini, setiap ada cowok yang aku incer, cukup ngucapin mantra ajaib di dalem hati “kamu pasti jadi pacar aku, dengan sendirinya dia bakalan deketin aku dan gak lebih dari 2 minggu cowok itu pasti nembak aku. Ga jelas juga kenapa mantra ajaib itu selalu ampuh buat aku ya? Padahal aku gak punya turunan cenayang or even voodoo….Ihhhh amit-amit deh!

Tapi anehnya juga, dari 5 cowok yang aku putusin itu, gak pernah satupun dari mereka yang mau nerima dengan legowo keputusan aku ini. Pasti dengan beribu cara, mereka selalu cari-cari alesan biar bisa balikan lagi.

Ada yang sok deketin adik-adik aku walaupun dicuekin, ada juga yang pake cara gerilya, bahkan yang sengaja kirim ambasador biar aku mau dengerin kemeranaan dia. Tapi mau gimanapun usaha mereka, pantang buat aku jadian lagi sama mantan. Taylor Swift bilang We are never ever getting back together!

Ngomongin soal mantan, aku jadi inget kalau lagi cerita sama orang rumah. Dulu aku pernah punya pacar dengan nama yang sama, Indra. Buat ngebedainnya mereka ngasih julukan buat masing-masing Indra. Indra yang pertama, orangnya suka melamun, saking asyiknya ngelamun kalau tiba-tiba konsentrasinya buyar dia jadi ga nyambung diajak ngobrol. Keluarga aku atau lebih tepatnya adik-adik aku, sebut dia Indra Bolot. Indra yang kedua, anaknya maniiiissssss banget bisa dibilang too sweet, perawakannya mungil, kulitnya putih pucat, orangnya religious juga. Mereka manggil Little Indra, kayak Little Khrisna gitu…

Kadang aku suka bertanya-tanya sama diri aku sendiri, kapan ya bisa punya cowok yang 8 pasal aku masuk semua, apa ada orang se-perfect itu? Aku selalu punya keinginan soal usia menikah, paling cepet 23 tahun, paling telat 25 tahun. So, just take a deep breath, you still have 2 or 4 years to searching this guy. Just hope and pray! Kalau boleh ngutip Agnes Monica, dream, believe, and make it happen.

Well…that’s me…enough about me, let’s move to the next page….

THE DAY I MET HIM

 

It’s Saturday night! Berarti pulang kerja pun lebih awal dari biasanya. It’s girls night out too! Aku biasa jalan bareng BFF-ku Rime. Perawakan Rima hampir sama dengan aku, hanya saja dia lebih sintal and tinggi dikit he…he…he…Suaranya pelan-pelan seksi gitu, bikin cowok seneng dengernya.

Hari ini aku sama Rime mau nonton film drama komedi romantis About Time, setelah baca synopsis film ini kayaknya lumayan rame deh, tentang orang yang bisa balik lagi ke masa lalu dan dia melakukannya untuk memperbaiki hidupnya. Wah…asyik ya kalau bisa gitu, jadi gak usah putus kalau kira-kira gak cocok, tinggal balik aja lagi ke masa lalu, gak usah ngeladenin cowok yang bakalan jadi pacar kita, rebes kan?

Seperti biasa, karena jarak tempat aku kerja lebih deket ke mall ini, jadi aku lebih dulu sampai di bioskop. Aku langsung berjejer mengikuti antrian tiket yang gak begitu panjang. Sekarang jam 15.45, kayaknya aku nonton yang jam 17.20 aja ya?, biar bisa keliling or makan dulu sama Rime.

            “Ping!”

            “Sorry agak telat dikit soalnya baru beresin kerjaan.

Text dari Rime yang bikin agak kesel juga, ya udah mending aku sholat ashar dulu di mushola biar gak kerasa nunggunya, Uuuuggghh…I hate waiting! Setelah selesai sholat ternyata udah ada text lagi dari Rime.

Ujan gede banget, aku nungguin ujannya berhenti ya? Soalnya Taxi pada penuh. Kalaupun mau naek angkot yang ke situ harus jalan dulu ke perempatan.

Perfect!…dia bikin aku nunggu lebih lama dari biasanya. Akhirnya aku putusin buat cari kursi kosong dan bermain dengan handphone-ku.

Baru tahu yang namanya nungguin orang 15 menit itu berasa seabad. That’s it! Aku gak tahan lagi, mending keliling mall dulu sekalian cari buku buat Echi. Ternyata lagi banyak buku bagus nih, aku suka banget baca-baca Novel, buku resep, Cosmopolitan, Vogue, Bazaar juga.

Setelah aku perhatikan sekelilingku, karena ini malam minggu semua orang berpasangan. Ada yang gandengan tangan, ada yang asyik duduk berdua sama pacarnya sambil baca buku, ada juga yang lagi marahan. Kapan aku bisa punya pacar lagi?

Ya ampun!…Saking keenakan baca, baru sadar kalau filmnya 20 menit lagi mulai. Aku bergegas menuju gedung bioskop lagi, tapi setelah sampe sana, ternyata Rime masih belum dateng juga…Aduuuuh lemesnya jalan setengah lari dari lantai 1. Karena kursinya penuh semua, akhirnya aku duduk di kursi depan toilet cowok dan mulai membuka Twitter, Path dan FB untuk mengusir bosan.

Pintu teater 1 telah dibuka….

Wah gawat! Kemana nih anak?Orang-orang udah pada masuk, mending aku telepon aja.

“Rim, kamu dimana sih? Ujannya tambah gede? Aduh gimana dong?Aku udah beliin 2 tiket lagi, kan sayang Rim mubazir, mana 15 menit lagi udah mau diputer lagi filmnya, lagian aku juga gak mau kalau nonton sendirian, selain gak asyik juga, gimana kalau nanti ada uka-uka pas lampunya udah dimatiin coba? Ya udah, nanti kalau aku lagi mood trus berani nonton sendiri, aku masuk deh. Kamu langsung pulang aja ya ntar pas ujannya berenti, jangan kemaleman Rim, bye!”

“Ehem…” ada suara batuk cowok di belakang aku.

“Temen kamu kehujanan ya gak bisa dateng?” OMG, suaranya Christian Sugiono banget.

“Sama,…Ipar aku juga kehujanan gak bisa dateng.”

Begitu aku noleh, leher aku aja sampe ngedongak ke atas. Yaappp! pasal 2…180an kali ya? Pasal 3 juga …terus bajunya model-model di Brand Giordano gitu.

Tiba-tiba di pikiran aku semuanya mendadak hening, hanya suara nafas sama detak jantung aku saja yang jadi rhythm saat itu. Mungkin kalau lagi gak bad mood gara-gara nunggu, aku bakalan acting sok manis buat dapetin perhatiannya, sekaligus baca mantra ajaib. Tapi karena cape, aku ngeladenin dia sewajarnya aja.

“Iya,… kamu nguping ya?”

“ Sengaja nguping sih enggak, cuma kedengeran jelas.” Senyuman hangat terpancar dari wajah cowok ini, dia duduk di sebelah aku sambil mengernyitkan dahinya pertanda ragu-ragu

“Gimana kalau aku temenin kamu nonton?…Aku juga tahu pasti anehlah pertama ketemu terus gak tau namanya…..Ooo iya, nama aku Ian.” Sambil perhatiin dia, terus sambil mikir juga, ternyata…pasal 1, wanginya pas, terus pasal 4 juga, mukanya perfect banget.

Eh tapi,…sebentar-sebentar kayaknya aku tau deh muka ini…O…M…G…Lian Firman! Eh tadi dia bilang Lian? Wah selebriti nih!

Sorry…nggg…siapa tadi? Lian ya?” Dia tersenyum geli melihatku.

“Ian tanpa L.”…Yes! Lega deh bukan Lian Firman, dia kan udah merit. Kapan lagi ada cowok muka Lian Firman body Josh Hartnett nyamperin aku. Tapi tetep aja aku gak berani nonton sama dia, siapa tau dia ini phsyco or stalker. Jadi aku berusaha kesampingin dulu semua kekaguman aku sama Ian.

“Aku tuh cowok baik-baik, lagian kayak kamu bilang, daripada tiketnya mubazir?… atau gini aja, kita video call temen kamu, jadi dia tau kamu nonton sama siapa, oke?” Ian seolah-olah membaca pikiranku yang belum percaya dengan dia.

            Pertunjukan film di teater 1 akan segera dimulai.

Aduhhh…gimana nih? Berdoa aja deh.                                                         

“Oke, aku nonton sama kamu Ian, ooo iya…Aku Helen.” Dia cuma senyum-senyum sambil menuju ke tempat popcorn. Dia beliin aku popcorn yang jumbo sama large Coke.

“Nih buat kamu!…Jangan ditolak ya, kan kamu udah bayarin tiketnya.” Ian menebak ekspresi wajahku yang merasa tidak enak karena dia sudah membelikanku snack.

Begitu filmya dimulai, aku baru sadar kalau ini drama romantis. Apa cowok macem dia suka ya diajakin nonton film ginian? Tapi kelihatannya dia enjoy-enjoy aja tuh….Makin deket kayaknya makin perfect nih cowok, jadi pengen cubitin gitu…gemeeessss

“Kamu termasuk cewek romantis ya?” Bisik Ian. Aku melihat ke arah dia berusaha mencari jawabannya. Karena selama ini aku juga belum tahu apa aku romantis atau tidak.

“Kayaknya sih enggak ya….Kamu sendiri, kamu romantis gak?” Ian menoleh ke arahku dan tersenyum hangat. Matanya memancarkan berbagai macam sinyal yang aku sendiri tidak tau apa itu, yang jelas dadaku berdegup keras ketika aku melihatnya. Aku menunduk dan mulai menyaksikan lagi film nya. Apa dia sering melakukan semua ini sama cewek yang baru dia kenal ya? Kalau ini memang belum pernah dia lakukan sebelumnya, berarti aku adalah cewek yang beruntung.

Seratus dua puluh menit sudah berlalu, tapi kayaknya males banget ninggalin nih kursi, kapan lagi ya aku bisa ketemu Ian? Aku mulai membereskan barang-barangku dan kitapun segera meningggalkan gedung theater.

“Ini udah jam 18. 45, aku mau sholat dulu ya. Kalau gak keberatan, kamu tungguin dulu di sini sebentar, ntar aku mau ajakin kamu makan sama anterin kamu pulang.” Dia ngomong kayak gitu santei banget, seakan-akan aku ini pacarnya.

“Eh…aku juga mau sholat kok, tapi kayaknya udah kemaleman jadi abis sholat aku langsung pulang aja gak usah dianterin. Mumpung masih jam segini, jadi masih berani pake taxi sendiri.” Dia gak comment apa-apa hanya pergi ngambil air wudhu.

Begitu selesai sholat, ternyata dia udah nungguin aku di depan mushola. Sambil pasang sepatunya, aku duduk di samping Ian.

“Aku tau kamu pasti ketakutan pertama ketemu langsung diajakin makan terus dianterin pulang juga. Ini KTP aku, kamu foto terus kamu kirim sama orang-orang di rumah kamu, jadi kalau ada apa-apa kan jelas.” Ini cowok udah cakep nekat lagi, biasanya aku gak suka sama cowok nekat.                  

“Kok bisa sih cowok kayak kamu bersikeras ngajakin jalan cewek kayak aku?”

“Emang aku kayak gimana? Terus kamu gimana?”

“Yaaahh…semua cewek cantik ‘n perfect juga pasti mau diajakin sama kamu.”

“Masa sih? Terus masalahnya apa?”

“ Masalahnya aku ini gak perfect, gak cantik-cantik amat, biasa aja.”

“Masa? Kamunya aja yang gak bersyukur.”

“kamu sering ya ngajakin cewek asing kayak gini?”

“Mmmmhhhh…bentar aku inget-inget dulu ya?… Baru sekarang kayaknya.” Aku tersenyum melihat Ian yang sedang berusaha membuat lelucon.

Sambil jalan menyusuri mall ini, obrolan-obrolan ringan pun terasa menyenangkan karena selalu dihiasi senyuman hangat dia, sampai dia menghentikan langkahnya di depan sebuah café di mall ini. Tempatnya cozy, enak banget buat hang out.

“Kamu mau makan apa?” Kayaknya dengerin suaranya doang, gak makan juga gak apa-apa, apalagi duduk sebelahan gini, OCD sebulan juga hayu-hayu aja! Secara buat orang yang doyan jajan ‘n makan kayak aku, OCD bener-bener mustahil!

“Helen…Woi! Kamu mau makan apa?” Jadi malu deh aku, mesem-mesem sendirian GJ banget, jangan-jangan aku kualat sama si Indra bolot.

“Oh…mmmhhh…kamu mau makan apa?” Kok jadi bego gini sih aku? ditanya malah balik nanya.

“Kalau menu favorite aku di sini Salmon steak with butter sama Mojitos, chef recomanded banget.”

“Boleh deh kalau gitu, aku juga mau.” Apalagi kalau makannya disuapin sama kamuckkk…ckkk…ckkk…Helen!…

Setelah 15 menit menunggu, akhirnya dateng juga pesenan kita. Mmmhhhh….emang beneran chef recomanded-nya gak maen-maen, rasanya bisa sebanding sama masakan mama. Kalau Pa Bondan bilang top markotop.

“Ian, emang Ipar kamu beneran kehujanan gak bisa dateng?” Ian tersenyum dan menggeleng. Aku heran dengan jawaban dia, aku masih menampakkan raut wajah kebingungan.

“Aku gak tega ngeliat cewek manis kayak kamu nonton sendirian.”

Really??? Nice try!…” Ian tertawa dengan jawabanku ini.

So…udah barengan sama aku kurang lebih 2 jam…Mmmhhh…Kamu mau ya jadi pacar aku?” Lagi enak-enak makan dikasih pertanyaan jackpot kayak gitu, kok jadi gak berasa ya? Jadi speechless gini. It’s just too good to be true. Kalau aku bilang enggak, aku masih penasaran sama dia. Kalau bilang iya…gampangan banget sih!…

“Kok kamu nanyanya gitu sih? Kan biasanya butuh waktu pendekatan seenggaknya hitungan minggulah buat nembak itu. Lagian kamu juga gak tau kalau aku seperti apa?” Aduuuuhhhh, aku deg-degan nungguin comment dia

“ Buat aku gak perlu lama untuk mengenal seseorang, kamu enak diajak jalan, kamu juga baik…Yah…kalau buat kenal lebih jauh, itu kan bisa nanti kalau kita udah resmi pacaran. So?? Mau ya? Kalau ternyata aku gak sesuai sama yang kamu harapkan, kamu boleh putusin aku kapan aja.”

Iya…iya…iya…Helen, ayooo… kapan lagi coba cowok kayak gini bisa nyangkut?

“Kalau aku bilang iya, aku keliatan gampangan gak?” Bego banget! kenapa harus diomongin gitu.

“Ha…haa…ha…jadi kita resmi ya? Kamu pacar aku sekarang.”

“Aku kan baru nanya sama kamu?”

“Iya aku tau…jawabannya enggak…Kamu bukan tipe cewek gampangan. Jadi kamu pacar aku ya! Aku anterin kamu pulang sekarang.” Wuuiihhh!…ajaib nih cowok, kayaknya cuma ada 1001 model ginian.

Kita terusin obrolan ini sambil jalan ke parkiran. Jalan di samping dia serasa aku ini dari bangsa kurcaci, mana pake flat shoes lagi. Besok-besok kalau jalan sama dia, mau gak mau harus pake wedges biar agak imbang dikit.

“Ian…kalau kamu gak keberatan, kamu gak usah anterin aku sampe ke rumah ya, sampe depan komplek aja…ya?” Bisa digantung Mama nih, bilang pergi sama Rima, pulangnya malah bawa artis Hollywood lagi.

“Kok gitu? Aku udah bawa kamu jalan, sampe kamu pulang lewat dari jam pulang kamu biasanya. Harusnya aku anterin kamu sambil minta maaf sama orang tua kamu karena aku gak minta izin dulu sebelumnya, biar ke depannya mereka ngizinin aku ngajak keluar kamu lagi.” Aduuuhhh nih cowok ganteng kalau udah ngajak debat panjang banget.

Surprise! Gandengan Ian Hummer item …pasal 8 bonus : Mapan…..aaiiihhh jadi gak sabar pengen cepet-cepet ngasih tau Rime soal Ian, pasti dia ngiri.

Bukannya gak mau ngajakin Ian ke rumah sekarang, tapi kalau orang tua aku liat Ian, alamat aku cepet-cepet dikawinin kali. Orang tua mana yang matanya gak ijo melihat cowok kayak Ian? Menantu idaman semua orang tua. Akhirnya aku pake cara lama buat ngeyakinin Ian.

“Gimana ya?…soalnya belum lama ini aku baru putus dari mantan aku, kalau sekarang udah bawa cowok baru, aku pasti diomelin.” Percaya gak ya nih orang aku kadalin?AC mobilnya dingin banget sih? Biasa pake angin alami. Ian masih menunjukkan ekspresi keukeuhnya.

“Kalau itu, nanti aku yang ngomong sama orang tua kamu, mereka pasti ngertiin kok.” Aduh Si Ian ini kepala batu juga. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum, senyuman yang bikin dinginnya AC terasa hangat.

Keadaan di jalan ternyata mendukung, biasanya macet sekarang lengang. Setelah kurang lebih 15 menit, Ian berhenti di salah satu fruit market.

“Kamu tunggu sebentar ya, 10 menit.” Mau ngapain nih orang?

Belum lama ditinggal Ian, seorang laki-laki bertubuh atletis dan berkulit putih mengetuk kaca jendela mobil. Lelaki itu tersenyum manis, sepertinya aku pernah mengenal dia? Aku membuka kaca mobil dan ternyata itu memang teman SMP ku.

“Sammy?…Ya Tuhan, aku gak nyangka bisa ketemu kamu lagi.” Sammy salah satu temen sekelas aku yang termasuk ganteng dan pinter, juga baik sama aku.

“Kamu gak banyak berubah Len, masih kayak anak sekolahan. Gimana kabarnya? Kerja di mana sekarang?” Suara berat Sammy masih sama seperti di SMP dulu.

“Aku baik, sekarang kerja di Jazmine Maria boutique di accounting division-nya. Kamu kerja di mana? Rambut kamu sekarang jadi rapi?”

“Aku lagi nerusin S2, aku sekarang kerja di Bank Indonesia. Iya tuntutan profesi, tapi gantengkan? Aku minta nomor kamu ya, siapa tahu ntar kamu gak ada acara dating, aku ajakin keluar, mau ya?” Gaya becanda Sammy masih belum berubah dari dulu, tapi kali ini dia lebih dewasa dan lebih gagah pastinya.

Ian yang baru keluar dari toko mendengar kalimat Sammy yang terakhir, dia hanya menyunggingkan sedikit senyum di bibirnya. Ian membawa 2 keranjang parcel buah-buahan mahal, yang hampir setengahnya belum pernah aku makan. Dia membuka bagasinya dan menyimpan parcel buah itu. Sammy bertanya kepadaku tentang Ian. Setelah beres dengan bagasinya, Ian menghampiri Sammy dan mencoba bersikap ramah. Aku masih bingung memperkenalkan Ian sebagai siapa kepada Sammy.

“Ian, ini temen SMP aku Sammy, Sammy ini Ian.” Akhirnya aku hanya mengenalkan Ian tanpa keterangan dia siapa. Mereka berjabat tangan, Sammy sekarang sedang mencatat nomor teleponku di smartphone-nya, akupun demikian. Sampai akhirnya dia pamit dan segera masuk ke toko buah itu. Ian mulai menjalankan mobilnya dengan tenang. Dia melihatku sedang tersenyum sendiri. Aku masih tidak menyangka bisa bertemu dengan Sammy di tempat yang tidak terduga.

“Kamu kenapa?, yang tadi itu mantan pacar kamu ya?”

“Bukan, dia itu dulu baik banget sama aku, salah satu cowok pinter di kelas. Sammy duduk di belakangku, dia selalu bantuin aku belajar matematika dan fisika.”

“Semua cowok kalau ada maunya pasti baik, Len.”

“Masa? Kamu gitu ya kalau ada maunya?” Ian tersenyum, aku memandang wajahnya yang selalu memancarkan kesejukan.

“Kamu mau jenguk orang sakit ya? Apa mau ke rumah bos kamu? Beli buahnya banyak banget.” Pura-pura bego, padahalkan pasti buat ke rumah aku. Yaahhh…GR lagi.

“Ha…ha…ha…lucu kamu, aku gak punya bos. Aku arsitek, aku punya kantor sendiri.” Cakep gak sih? Super mapan kayaknya, terus ternyata begitu dilihat lebih deket lagi, pasal 8… Bonus lagi : six pack ‘n sexy. I like it…I like it…I like it a lot. Jadi gemes pengen cubitin six pack-nya….

“Temen kamu tadi kerjanya di mana?”

“Katanya di BI, tapi dia juga masih kuliah S2.” Ian mengangguk.

”Eh…rumah kamu di mana Ian?” Jangan sampe bilang di luar kota, aku gak bisa long distance relation ship….

“Aku tinggal sama keluarga aku di Emerald Estate. Mama, Papa, Adik aku, Ipar, sama ponakan aku yang baru lahir.” Eits…itu kan komplek Real estate di Bandung. Kayaknya dia deket sama keluarganya, masa udah mapan gini ga tinggal di Apartemen or rumah sendiri sih? Aku menghela nafas lega, Ian menatapku dengan sebuah tanda tanya di wajahnya.

“Untung kamu gak di luar kota…aku gak bisa long distance relationship.”

“Emang kamu gak setia ya orangnya?” Ian mulai menatapku lebih dalam dan penasaran dengan ucapanku tadi.

“Yang deket aja gak pernah lama apalagi jauh, kayak gak pacaran kali ya?”

“Kalau didasari kepercayaan pasti bisa aja.” Aku teringat kembali tentang keluarga Ian.

“Emang adik kamu udah nikah ya? Umurnya berapa?”

“Iya udah, begitu lulus SMU dia nikah terus kuliah lagi, sekarang masih cuti kuliahnya soalnya baru melahirkan.” Muda banget sih nikahnya, kebelet kali ya?

“ Emang kamu gak apa-apa dilangkahin sama ade kamu?” Aku penasaran apa dia sama keluarganya termasuk idealis atau kuno?

“Ha..ha…ha…kamu ini kayak orang zaman dulu aja, gak masalah dong. Berarti emang jodoh adik aku lebih cepet datengnya. Kalau kamu berapa bersaudara, Len?” Tanya dia dengan antusias, pengen tau juga tentang keluarga aku.

“Aku 3 bersaudara. Aku anak pertama, ade aku Doni kelas XII, yang bungsu Echi kelas 4 SD.” Jawab aku, yang seneng banget kita bisa tuker informasi soal kayak gini.

“Ian, kamu gak ada minat sekolah di luar negeri apa?”

“Mau sih, nanti kalau udah nikah ya?…” Ian ngomong kayak gitu sambil menatapku serius, bikin aku gak karuan nih cowok.

Sampe juga akhirnya…Ian parkir di depan rumahku dan seperti biasa, setiap hari di rumah aku, selalu rame sama anak-anak nongkrong. Tidak lain dan tidak bukan, temen-temennya Doni. Tapi anak-anak ini sudah seperti keluargaku sendiri.

“Hai Sis! Tumben malem?” Dengan senyuman jahilnya, Doni godain aku karena bawa cowok baru. Doni memperhatikan Ian dari atas ke bawah.

“Hei kalian…nyanyinya yang bener ya! Jangan bikin kabur orang!” Secara, disaat mereka bosen nyanyi, gaya benyamin S. plus lirik dadakan hasil opini mereka tentang sekitar, spontan keluar. Termasuk opini tentang orang yang lewat juga.

Contoh lirik dadakan: Eh si eneng bawa makanan sekeresek, padahal tuh body udah kayak mobil ringsek…nyebelin banget kan? Terang aja yang lewat suka langsung buru-buru ngacir karena malu diledekin. Ian cuma senyum-senyum aja sambil ngeluarin sesajen dari mobilnya, yang tadi baru dia beli. Gak disangka-sangka Doni yang biasanya cuek nyamperin Ian…

“Sini aku bawain satu Mas…eh…Bang?” Dasar Dodol!

“ Oh…Adenya Helen ya? Saya Ian, ade saya manggil Kakak, jadi kamu panggil Kakak aja.” Cengengesan Si Dodol, baru dapet bahan buat ledekin aku nanti.

“Oh…iya sip Kak.” Gaswat! Mama sama Papa belum tidur lagi…Ada dua kemungkinan nih, kalau gak melototin aku karena pulang sama cowok, pasti lebay sama kharismanya Ian.

“Ma, Pa, ini temen aku Ian…Ian ini orang tua aku.”

“ Iya, seneng bisa ketemu orang tuanya Helen, saya Ian.” Sementara aku bikinin mereka minum, aku tinggalin mereka buat ngobrol.

“Maaf Pa, Bu saya gak bilang dulu sebelumnya udah ngajakin Helen keluar, saya juga minta maaf pulangnya lewat dari jam biasa Helen pulang.” Mama sama Papa salting gitu sih ngobrol sama Ian?

“Gak apa-apa Nak Ian, lagian sekarang kan udah di sini. Bapa sama Ibu juga udah tahu siapa yang bawa anak kita keluar. Kita juga percaya kalau Nak Ian baik orangnya.” Tuh benerkan, pasti ijo liat yang ganteng, pake mobil lagi.                                             

“Kantornya dimana Nak Ian?” KepoooooPlease Mom stop it!

“Kantor saya di R.E. Martadinata Bu.”

“Ooooo…berarti termasuknya di pusat kota juga ya?” Papa lagi ikut nimbrung, biasanya kalau ada pacar aku pasti dipelototin doang.

“Iyaaa…bisa…bisa…Pa.” Ian ternyata bisa memaklumi Papa sama Mama aku yang malem ini bertingkah urakan.

“Ooo iya, Pa, Bu, saya mau pamit gak bisa lama-lama, soalnya saya juga gak biasa kemaleman.” Serius tuh cowok macem gini gak pernah keluar malem? Lagi cari poin nih orang, which is not necessary ‘cos you have too much point.

”Hati-hati di jalan ya, gak usah sungkan kalau mau ke sini.” Dahsyatnya perlakuan mereka sama mantu idaman ckkk…ckkk…ckkk.

“Iya, terima kasih banyak Pa, Bu.” Aku anterin dia sampai mobil biar gak digangguin anak-anak iseng ini. Senyuman masih terpancar di wajah Ian, membuat makhluk ini semakin enak dilihat.

“Kamu orang mana sih? Kok maunya dipanggil kakak? Ga Mas atau Aa atau Abang?” Cuma senyum doang nih ganteng. Kok nyaman banget ya deket-deket sama dia?…Aromanya begitu menggoda mmmmhhhh…kayak iklan perfume aja.

“Gak apa-apa biar lebih akrab aja, orang-orang di rumah panggil aku Kakak…Ooo iya, aku sekeluarga orang Palembang asli.” Cakep banget sih kamu mau ngapain juga, mau diem, ngomong, mmmuuuuuaaaaachhhhh banget!

“Kamu serius gak pernah pulang malem? Clubbing juga enggak?” Tanyaku penasaran.

“Enggak…aku gak suka suasana yang terlalu rame. Emang kamu suka clubbing?”

“Enggak…clubbing sama siapa juga? Aku juga gak suka music yang keras-keras.”

Oke then…”

“Ok deh Kakak, becarefull ya! Thank you so much udah nemenin nonton, bayarin makan, dikirimin parcel buah, terus dianterin pulang juga.” Eh dia senyum-senyum, beneran Lian Firman banget!

“Sama-sama, De. Makasih juga udah ngebolehin aku nemenin kamu nonton, ngajakin kamu makan, dan juga ngebolehin aku ketemu sama keluarga kamu. Eh ngomong-ngomong ade bungsu kamu kok gak keliatan?” Ternyata dia pendengar yang baik juga, masih inget kalau aku punya 2 ade.

“Lagi nginep di tetangga depan rumah, anaknya temen sekelas Echi, jadi tiap weekend mereka gantian sleepover.”           

I see….See you next time and keep in touch.” Pasal 8 bonus lagi : Jago bahasa asing.

Bye….Ian!” Pengen banget deh tahan dia biar bisa sleepover di sini. Kok bisa ya makhluk kayak gitu nyampe ke rumah ini?

“Ehem…Kakak kemana, Sis? Ha…ha…ha…lumayan tuh, dibandingin yang dulu-dulu, Kakak rate-nya paling tinggi ha…ha…ha…” Doni puas banget ledekin aku sambil cubitin pipi aku.

“ Dasar Dodol! Don’t disturb!” Lagi larut sama suasana indah tadi, jadi buyar deh.

“Eh tapi tau gak Sis? Dia mirip banget sama kakaknya temen aku, namanya Faris, mahasiswa semester akhir jurusan Design graphis.” Timpal Doni yang emang dari tadi perhatiin muka Ian kayak dia kenal sebelumnya.

”Ooo yeahh…jadi gue harus koprol sambil bilang wow gitu?” Sambil buru-buru ngacir ngehindarin si pengganggu.

Pacar baru, kali ini borju tapi sayang cupu… sialan nih kurcaci-kurcaci, cowok aku dinyanyiin. Aku langsung masuk kamar, kunci pintu, setel music, kali ini Avril Lavige-Wish you were here. Dan pastinya.….nelepon Rime dong!

Hai sexy! Kamu gak akan percaya…pokonya besok kita ketemuan di tempat biasa, kali ini kamu yang bayarin ya karena gak dateng hang out malem ini. Just call it even ok! See ya!”

            Hhhhoooooaaaammm…sweet dream tonight…I guess….

THE DAY I MET HIS FAMILY

I love Sunday! Hari ini, aku ketemuan sama Rime di tempat makan favoritnya Rime, di mana lagi kalo bukan di Resto Pizza. Cewek aku yang satu ini punya bad habbit, doyan banget sama junk food. Udah sering diingetin kalau junk food itu gak baik kalau keseringan, tapi dia selalu bilang whatttttever!

“Jadi…siapa…siapa namanya?” Kenapa sih nih orang? Biasanya Rime itu super kalem, anggun kayak putri Solo. Dia buru-buru membuka tabletnya dan siap beraksi.

“Ian…neng…Ian…kok jadi lemot sih kamu?” Jawabku greget. Eh…Malah tolak pinggang sambil melototin aku lagi…..He…he…he…enggak deng, emang matanya Rime itu besar. Jadi kalau dia kesel, matanya tambah mekar lagi he…he…he…

“Aku tauuuuu…. maksudnya nama lengkap dia. Kamu kan dikasih liat KTP-nya.” Ngapain nih orang sewot banget, kayak yang lagi nyariin cowok yang udah ngehamilin anaknya, tanya-tanya KTP segala.

“Emang kenapa harus tau nama lengkapnya, Rim?” Kali ini dia cuma menghela nafas sambil geleng-geleng kepala.

“Kamu yang lemot dong, biar bisa cari info tentang dia di internet Neneng!” Sambil ngotak- ngatik tab-nya dia.

“Oooo…I see…ok…ok…take it easy girl!…Ehem…ehem..Ian Putra Perdana, cakep kan tuh? Seeeecakep orangnya…Aiiiihhhhh gemes aku kalau inget mukanya, senyumnya, six pack- nya…Hhhhmmm.” Si Rime serius banget browsing di tab-nya, dan bener lho, keluar semua info tentang Ian. Biodata, keluarga, hasil design dia…bagus-bagus banget, sampe curhatan cewek-cewek yang pada naksir sama dia.

“Ckkk…ckkk…ckkk…populer banget cowok kamu, Len. Aku jadi minat sama mantra ajaib kamu.” Sambil melototin terus tab-nya seakan-akan craby pettie.

“Boro-boro, karena keburu bad mood nungguin temen aku berjam-jam, aku gak sempet baca mantra ajaib sama Ian.” Dengan semangatnya Rima bacain semua info tentang Ian, kayak ibu lagi bacain dongeng sebelum tidur sama anaknya.

Look at this!…Arsitek muda ternama, berbakat dan berprestasi di Indonesia. Lahir di Palembang, 20 Oktober 1988. Selalu mengikuti kelas akselerasi. Lulusan ITB dan dinyatakan lulus cumpluade dari program S1, sedang merampungkan program Strata 2. Ian termasuk salah satu siswa genius di sekolah. Menguasai 3 bahasa asing. Inggris, Perancis, Jerman. Pemilik kantor Perdana Building. Ketegasan dan keuletan adalah kunci keberhasilannya. Lahir dari pasangan Dr. Andri Perdana, SE. Seorang bankir ternama di Indonesia dengan Dr. Yasmin Putri, seorang psikolog anak.”

Kenapa aku jadi gak PD gini? Padahal harusnya aku seneng pasal 5 sama 6 udah masuk juga. Kok aku jadi takut ya? Kalau aku terusin hubungan aku sama dia, apa aku sanggup kalau suatu saat harus kehilangan dia? Bisa saja suatu hari nanti dia ketemu cewek yang selevel sama dia, terus dia tinggalin aku. Aduuhhh ko jadi gak enak hati gini ya?

“Woi Neng! Ngelamun aja? Dari tadi aku ngomong sampe ngebusa gak didengerin apa?” Aku sampe ga sadar kalau ada Rime yang lagi ngomel.

“Sorry…sorry sexy…aku jadi parno nih. Apa aku gak usah terusin hubungan aku sama Ian ya? Anggap aja cuma mimpi indah. Lagian orangnya juga belum ngabarin lagi.” Kok aku jadi gelisah gini ya? Mana kangen lagi…baru juga semalem ketemu udah takut digaet orang aja.

“Duhhhhhh… yang belum ditelepon sehari udah senewen gitu, sabar dong Neng. Terus, kamu kok jadi parno gitu sih?”

Check this out!…ada curhatan cewek-cewek tentang dia…Ehem…ehem… Cowoknya gak asyik, jutek, dingin. Terlalu serius kerja, gak tau caranya seneng-seneng, gak romantic, Nerd, ngebosenin. Nih cewek-cewek kayak punya dendam kesumat sama cowok kamu, Len? Bertolak belakang sama sikap dia sama kamu ya?” Aku cuma bisa ngangguk-ngangguk aja sama Rime. Gak tau kenapa tangan aku tiba-tiba dingin, perut aku mules dengerin history-nya Ian.

Lagi asyik diskusi sama Rime, ada yang nepuk pundak aku dari belakang. Begitu aku noleh ke belakang….Hah! Alien BB?

Cowok ini seusia Ian mungkin, tampangnya juga lumayan. Tingginya kira-kira 175 cm-lah. Tapi yang bikin gak nahan, kalau cuaca lagi panas terus AC mati, pasal 1 langsung gak masuk, pasal 1 kan wajib! Plus kelakuan genitnya itu lho! Mimpi apa aku semalem ketemu dia di sini?

Namanya Rudi, aku sama Rime manggil dia Pa Rudi. Dia konsultan pajak di kantor aku. Orangnya angkuh dan narsis. Dia terang-terangan bilang suka sama aku, sampe-sampe orang sekantor tau semua he’s a big fan of me. Aduuuhhh…kenapa harus ketemu alien BB di sini?

“Hai cantik! Gak nyangka kita bakalan ketemu di sini. Aku ikut gabung ya, kebetulan aku sendirian dan kebetulan belum dibayar juga kan? Biar aku yang traktir ya, ayo pesen lagi gak usah malu-malu.” Kita berdua cuma bisa melongo liatin kelakuan alien BB, untung aja suasananya lagi adem, jadi gak terlalu merusak penciuman kita.

“Aduh Pa Rudi maaf, kita lagi ada acara double date nih. Kebetulan cowok-cowok kita masih di jalan, kan kasian nanti Pa Rudi jadi third Wheel.” Si Rime nyeletuk karena gak mau hari ini sampe jadi kacau gara-gara dia. Mana masih panjang pula pembahasan soal Ian.

“Setahu saya kamu kan baru putus, Len. Kalau cuma akal-akalan buat ngusir saya, forget it, I won’t give up!” Wah pasal 8 tuh, bonus : jago bahasa asing…ih amit-amit deh!

“Justru Helen baru jadian tadi malem sama pacar barunya Pa, makanya sekarang mau dikenalin sama saya.” Dengan ekspresi kita yang masam gitu, kayaknya orang-orang sekitar kita juga bisa ngebaca deh kalau kita keganggu sama kehadiran alien BB ini.

Bonjour Mademoiselle!” Mmmmmhhhh…kayaknya aku mulai akrab sama suara Christian Sugiono ini, begitu aku noleh ke belakang…Ooooohhhh…My Prince Charming save my day!…

Bonjour! Kamu kok di sini?” Sambil bisik-bisik biar gak kedengeran Alien BB. BTW kalau bonjour doang sih aku ngerti .

“Iya, aku lagi jalan sama keluarga aku.” Sambil bales bisik-bisik. Dia kasih isyarat mata seolah-olah pengen dikenalin sama temen-temen aku.

“Eh iya, aku mau kenalin, Ini Rima yang ninggalin aku nonton sendirian, ini Pa Rudi konsultan pajak di kantor aku.” Beneran nih Si Rima! Mukanya jadi oon gitu liatin Ian. Kayak Sponge Bob kalau ketemu sama spatulanya.

“ Saya Ian, pacarnya Helen.” Aaaiiihhh….seneng banget dengernya dapet pengakuan di depan orang lain.

“Kalian pacaran juga ya?” Sambil nunjuk Rime sama Si Alien BB. Wkkkk…wwkkkk….mampus deh Rime!

“Bukan…bukan…aku single kok.” Buru-buru disanggah sama Rime, sambil promosi juga kaliii, siapa tau ada lagi yang mirip Ian di keluarganya.

“Oooh jadi ini pacar barunya Helen? Tapi tenang aja, selama janur kuning belum melengkung, saya gak akan nyerah! Tapi sorry ya saya harus pamit sekarang, soalnya ada panggilan dadakan, permisi!” Dengan ketus alien BB itu beranjak dari tempat duduknya dan ninggalin kita yang kebingungan sama kelakuan dia. Again!   

“Gak salah tuh Len, fans kamu… katanya mau traktirin kita?” Rime…Rime…orang GJ gitu diladenin. Mana bilang-bilang fans lagi, haduuhh malu deh sama Ian.

What was that?” Tuh kan bener dibahas…..tengsin aku jelasinnya. Mana enggak banget lagi tuh alien. Aku mendengus kesal.

“Aku aja ya yang konfirmasi ya…ya?…He…he…he…” Huu…uuhh…ini dia informan dadakan, Ok Rime go ahead…Dengan gayanya Feni Rose di acara Silet, Rima memulai ceritanya…

”He’s a big fans of her, semua orang di kantor pada tau. Kalau Helen lagi banyak kerjaan atau ada kesulitan soal kerjaan, pasti dia ada di barisan paling depan yang siaga bantuin the queen of his heart.Waduuuhhh…Harus di-cut nih, bahaya kalau udah ngelantur gitu.

“Lebay kamu! Enggak gitu-gitu amat kali. Tadi dia mergokin kita lagi hang out, tanpa diminta langsung nimbrung ikutan gabung sama kita. Untung kamu keburu dateng, jadi dia kan pergi.” Buru-buru aku jelasin kejadian tadi tanpa embel-embel asal usul alien itu. Ian seperti biasa hanya menebar pesona dengan senyuman hangatnya.

“So I save your day, right?” Dengan nada tenang namun melelehkan hati semua cewek, Ian berkomentar”

            “Yes you are, thank you.” Aarrrggghhh…boleh gak sih kalau aku meluk kamu sekarang?

“Kalau gitu, aku mau nawarin kamu kerjaan. Kebetulan aku lagi butuh karyawan baru, di bagian pajak dan aku gak mau kamu nolak. Jangan takut, mentang-mentang pacar aku terus aku gaji kamu seenaknya, gak bakalan! Semua karyawan aku nerima gaji setiap tgl. 1, gak lebih!” Wahh…kok jadi gini sih? Masa aku harus jadi karyawan dia? Gak asyik banget, gimana nolaknya ya?

“Ian…” sayup-sayup suara merdu seperti suaranya Meidina Hutomo memanggil nama Ian. Seorang wanita paruh baya dengan gaya hijabnya yang modis menghampiri Ian. Senyumannya hangat dan tulus seperti Ian.

“Eh…Ma, aku mau kenalin pacar aku Helen, ini sahabatnya Rima.” OMG Mamanya? dan pastinya rombongan yang lagi jalan ke arah sini itu Papanya, Ade sama iparnya terus bayi itu ponakannya. Aduh mereka elegan bener gayanya.

“Helen ya? Ian cerita banyak tentang kamu sama Mama.” Sosok seperti Henidar Amroe ini memang pantes banget jadi psikolog anak. Perasaan aku baru kenal Ian sehari deh? nih mama bisaaaaa aja ya cari-cari poin plus buat anaknya. Aku cuma bisa senyum-senyum aneh aja setelah kebayang sama info yang aku baca di internet tentang Ian dan keluarganya.

“Ini Papa, ade aku Rissa, ipar aku Arman sama Baby Ryu ponakan aku. Semuanya…ini pacar aku Helen sama sahabatnya Rima.” Aduhhh…gak usah kayak gitu juga kaliiii…kan maluuuuu…

”Setiap Minggu, kita selalu ngadain acara kumpul-kumpul hari minggu di rumah. Sekalian ikut aja ya, biar tahu juga.” Ternyata Papanya juga ramah…Kalau artis yang mirip papanya Ian, kayaknya gak ada ya, tapi kalau pejabat ada, Wiranto. Kalau Wiranto kulitnya gelap, papanya Ian punya kulit yang lebih bersih.

“Kumpul-kumpul hari Minggu itu udah tradisi di keluarga kita Kak, jadi setiap Minggu pagi kita hunting makananan ke mall, siangnya kita sikat deh semuanya di rumah. Jadi peraturannya gak boleh dimakan di mall, harus di rumah.” Rissa juga humble banget anaknya, dia mirip siapa ya? Kombinasi orang tuanya kayaknya, tingginya standar kayak aku.

Sementara Arman suaminya, lebih milih senyum-senyum sambil gendongin Baby Ryu yang bule banget. Padahal Ian pernah cerita kalau iparnya itu kocak. Arman itu kayak suaminya Arumi Bachsin, siapa namanya? yang anak pejabat itu lho? Aduuhhhh aku lupa…Tapi emang bener nih sekeluarga bibit unggul semua, cuma aku doang yang hidungnya minimalis.

“Rima juga pasti mau ya, Rim?” Ian bujukin Rima, biar aku juga mau ikut ke rumahnya.

“Kayaknya aku pulang aja deh, tapi makasih ajakannya, cuma…mmhhhh…pulang aja deh.” GJ banget Si Rime, tadi aja ngoceh terus bilang aku parno, giliran udah ketemu mereka, malah dia yang mati gaya. Tanpa basa basi Mamanya Ian langsung gandeng tangan Rima, aku digandeng sama Rissa. Kita diseret ke lobi buat nungguin Arman sama Ian ambil mobil.

Rima, Aku sama Ian pake Hummer item kayak biasa, sementara yang lainnya pake Lancer-nya Arman. Selama di perjalanan, Ian ga banyak ngomong kecuali kalau ada yang nanya sama dia, baru bersuara. Sementara itu, Rime yang duduk di belakang asyik chat sama aku lewat HP. Tapi yang jelas aku bingung mau ngapain nanti di rumah Ian, apa aku bisa membaur sama mereka?

Yang… mulai besok kamu kerja di kantor aku ya? Ada jemputan khusus karyawan, jadi kan gak usah pake umum lagi.” Aaaiiihhh….sekarang dia mulai pake panggilan sayang sama aku, mudah-mudahan pasal 7 bisa masuk juga.

Cieee…cie…Yang tuh …sejak kapan?” text singkat dari Rime. Sempet-sempetnya, orang lagi ngomong serius.

“Gak tau, lagi kerasukan setan romantic kali.” bales aku. Ian noleh sama aku

“Yang, kok ga dijawab?”

“Aku betah kerja di tempat aku sekarang, orangnya asyik-asyik, gak pernah ada drama lagi.” Karena memang seperti itu keadaanya di kantor aku.

Really???... Termasuk yang tadi itu, fans beratnya kamu?” Yah…dia gak bisa lupain kharismanya Alien BB. Kalau yang itu sih engga banget sayaaaanggg…he…he…he…

“Ihhhh… amit-amit, cuma dia doang kok yang nyebelin, iya kan Rim?” Rime cuma ngangguk-ngangguk serius, keliatan banget antusias sama kelanjutan obrolan aku sama Ian. Sementara Ian sudah mulai berapi-api dengan pernyataannya.

“Pokoknya kamu kerja di tempat aku ya! Kan masih bisa ketemuan sama Rima kalau pulang kerja atau weekend. Orang nekat kayak fans kamu itu harus diwaspadai, kamu gak takut emang? Di depan aku aja berani kurang ajar.” Enak banget sih mas nyuruh orang pindah kerja.

“Iya kalau hubungan aku sama kamu panjang, kalau cuma seumur jagung kan, yang ada ntar aku kelabakan cari kerja lagi. So… No thank’s I’m good, lagian pasti ada aja orang nyebelin kayak dia.” Mukanya Ian langsung berubah lebih serius. Sweater item lengan panjang itu dia gulung sampai sikut. Takut banget sih, kayak yang lagi pasang kuda-kuda.

“Kamu kok ngomongnya gitu? Gak akan ada apa-apa, we’re fine, so keep positive oke!” Kenapa aku gak pernah bisa bantah dia ya kalau dia lagi keukeuh gitu? Biasanya aku paling gak mau diperintah sama pacar, apalagi sampe disuruh-suruh pindah kerja segala.

Sampai mobil memasuki gerbang putih besar, aku baru ngeh kalau kita ternyata udah nyampe di rumahnya Ian. OMG…halamannya luas, ada tamannya, ada kolam ikannya. Begitu mau parkir ternyata di belakang rumahnya ada mushola besar, kolam renang, mobilnya juga ada…1..2..3..4…hah ada 5! Kayak balonku aja. Sejauh ini, ini rumah yang paling mewah yang pernah aku datengin. Aku sama Rime cuma bisa melongo celingukan, kayak orang kampung yang baru dateng ke kota besar liat Skyscrapers. Tapi seperti biasa, kita itu orangnya cool, jadi begitu turun dari mobil langsung pasang muka manis biar gak keliatan udiknya.

Aku lagi asyik gendong Baby Ryu sambil ngobrol sama Rissa. Berada di sini sama sekali jauh dari canggung karena mereka memperlakukanku seperti keluarga sendiri. Di ruangan keluarga ini, dindingnya sudah seperti galeri foto. Banyak sekali foto keluarga, dari kecil sampai foto terakhir. Ian kecil terlihat lebih ceria dan mempunyai tampang playboy. Ian sekarang lebih misterius tapi tambah ganteng.

“Aku tuh segan sama Kakak, orangnya disiplin banget. Aku aja sampe hari ini masih suka diomelin kalau kamar aku berantakan, padahal kan aku udah punya suami. Tapi Kakak itu care sama keluarga terus sama orang-orang yang dia sayangin juga. Kakak satu-satunya di keluarga besar yang berani menentang tradisi keluarga kalau dia rasa enggak perlu.” Rissa juga bilang Ian itu gigih orangnya. Masa sih ada orang se-perfect ini? Ian benar-benar menjadi panutan adenya yang lembut ini.

Dari kejauhan, Ian, Arman dan Rime kayak lagi ngobrol serius. Ian dengan gaya cool-nya seakan-akan sedang berusaha membaur dengan sahabat aku. Sambil nyender di tembok, dengan kedua tangan yang masuk saku celana jeans nya, dia keliatan kayak model-model Guess. Lagi ngobrolin apa ya mereka?

“Rim, kamu tolongin aku bujukin Helen biar mau kerja di kantor aku ya? “  Jantung Ian selalu berdebar lebih kencang ketika melihat Helen. Padahal Ian termasuk orang yang sangat tidak mudah jatuh cinta. Belum pernah dia mengagumi seorang perempuan sebelumnya, apalagi sampai diperkenalkan dengan keluarganya.

“Aku usahain, tapi aku gak janji ya. Helen itu keras kepala, kalau dia bikin keputusan harus kemauan dia sendiri. Tapi nanti aku coba bujukin dia.” Rima melihat sorot mata Ian yang selalu memancarkan cinta setiap kali berbicara tentang Helen.

Ian kok bisa ya? Baru kenal Helen tapi ngebetnya setengah mati. Bukannya apa-apa, tapi emang bener kata Helen kalau cowok model Ian kan bisa dapetin cewek sekelas Supermodel. Tapi, siapa juga yang bisa nolak kharismanya Helen. Walaupun terlihat sederhana, tapi daya tarik dia sekuat magnet. Dia juga bukan tipe cewek-cewek alay dan lebay gitu. Aku doain yang terbaik deh buat kalian berdua.

            “Helen, kalau Mama boleh nanya. Kamu nyaman gak deket sama Ian?” Tiba-tiba aja suara merdunya Mama Ian ngagetin aku yang lagi asyik ngeliatin Ian ngobrol. Tapi, sebelum aku sempet ngejawab pertanyaannya, Rissa keburu jawab…

“Mama apaan sih Ma? Kalau ketauan Kakak pasti diomelin lho! Mama udah bikin malu Kakak.” Timpal Rissa dengan nada agak jutek sambil bawa Baby Ryu dari pangkuan aku. Ian tiba-tiba aja masuk nyamperin kita yang lagi asyik debat.

            “Lagi pada diskusi apa nih, kok kayaknya asyik banget?” Dengan mata yang antusias berusaha dapet bocoran tentang obrolan tadi. Sayaaanggg…kamu ganteng banget sih! Kok aku ga bisa berenti mupeng ya kalau deket-deket Ian?

“Yahhh…lagi ngobrol-ngobrol ringan aja, ya Sis?” Jawab Rissa sambil ngasih kode kalau Ian ga perlu tau tentang semua girls talk itu. Begitu aku ngelirik jam, ternyata udah jam 9 malem. Kok waktu gak kerasa banget ya di rumah gede kayak gini, apalagi banyak makanan he…he…he…plus Ian yang selalu bikin betah ngeliatnya.

            “Kayaknya kita pulang sekarang ya, Rim? Naik Taksi aja gak apa-apa, gak usah dianterin.” Basa basi banget sih Helenlagian aku GR banget, siapa juga yang mau nganterin?

“Mobil berjejer gitu masa sih gak dianterin, Len? Sambung Mamanya Ian diikutin suara tawa orang-orang yang lagi ngumpul di situ. Maluuuu deh aku…Oon banget sih!

            Setelah pamit sama keluarganya Ian, kita jalan ke halaman belakang rumah nyamperin Hummer-nya Ian. Ian Jalan di depan kita, sementara kita ngikutin dia dari belakang dengan langkah kecil. Ternyata, Ian dari belakang sama depan sama aja bagusnya ya? cckkk…cckkk…cckkk…

“Len, dia belum berani gandeng tangan kamu ya? Atau jaim aja diliat sama keluarganya dia?” Sambil cengengesan Si Rime ngasih pertanyaan yang sama sekali ga kepikiran sama aku.

“Ya iyalah Rim, orang baru kemaren kenal, masa iya mau langsung pegang-pegang?” Balas aku.

Posisi duduk seperti semula kita pergi, Rime tetep duduk di belakang. Kali ini Ian membuka obrolan lebih dulu.

“Gimana Yang, udah nemu jawabannya?” Tanya Ian dengan santeinya sambil memutar music Daft Punk feat Pharell-Get Lucky. Oke juga selera music-nya, sama lah gak timpang.

“Jawaban apa? Emang kamu barusan nanya apa?” Sambung aku kebingungan, setau aku begitu injak pedal gas, baru dia doang yang ngomong.

“Hmmmm…gak asyik nih kamu. Jawaban yang tadi pas kita di jalan itu. Kamu mau kan kerja di kantor aku?” Dengan nadanya yang sedikit menekan…Emang bener kata Rissa, kakaknya ini emang gigih atau lebih tepatnya sih, tukang maksa!

“Gak tau ah…Kamu yang ga asyik, pake maksa-maksa pindah gitu. Baru aja sehari jadian, apalagi ntar kalau udah lama.” Omel aku sama Ian saking gak maunya didesek terus sama dia. Dari sudut mataku keliatan kalau dia lagi mandangin aku sangat dalam, mungkin dia baru sadar kalau aku ini emang dasarnya keras kepala dan gak mau diatur-atur.

“Ehem… Ian… liatnya ke depan dong…Pleaseee!…” Dengan nada ketakutan Rime nyela obrolan kita yang mulai tegang. Akhirnya Cowokku yang ganteng ini mengalihkan pandangannya ke arah jalan, dengan pandangan mata yang dingin mengisyaratkan ketidakpuasannya atas jawaban aku.

“Eh Rim…Kamu masih single kan?”

“Mmmhhh…Iya, kenapa?”

“Mau gak sama temennya Helen?”

“Temen Helen? Siapa?” Aku dan Rime sama-sama bingung.

“Itu Yang, Sammy yang semalem ketemu di toko buah.”

“Kan baru ketemu lagi, mana tahu kalau dia single atau enggak.”

“Kalau udah minta nomor kamu terus ngajakin dating, pasti masih single!” Jawab Ian dengan tatapan dingin. Masa sih Ian cemburu sama Sammy?

            “Cowok kamu lagi jealous Len…” text singkat dari Rima yang bikin aku yakin kalau dia emang lagi cemburu. Aku memilih tidak menanggapi omongan Ian tadi.

Seperempat jam menuju rumah Rima serasa sejam dengan kebisuan ini. Eh…gak disangka-sangka pas lagunya balik lagi ke lagu pertama yang diputer, Ian refleks ikut menyanyikan chorus dari Daft Punk dan mencairkan ketegangan ini.

Kompak aku sama Rima cekikikan ngeliat Ian enjoy banget nyanyiinnya. Akhirnya kita pun sing a song bareng-bareng.

We’ve come too far for give up who we are                                                                           So let’s raise the bar and our cups to the bar                                                             She’s up all night ‘till the sun                                                                                                  I’m up all night to get some                                                                                                    She’s up all night for good fun                                                                                                I’m up all night to get lucky….

Bingung sama perasaan aku sendiri, masih gak percaya juga kalau aku sekarang punya pacar se-perfect Ian. Yang jelas, aku harus cari tau secepatnya. Apa aku hanya kagum sama semua yang dia punya secara fisik maupun materi, atau aku bisa sayang sama dia tanpa embel-embel semua itu?

Bye…Thank you Ian, have a good time Helen!” Salam perpisahan dari Rime yang udah turun di depan rumahnya. Akhirnya aku berdua lagi sama Ian, dia mulai mengecilkan suara musik yang tadi sempet mengiringi kita bernyanyi. Aku memutuskan untuk membuka obrolan pertama.

“Nanti ya aku pikir-pikir dulu, lagian kalaupun aku mau resign juga kan gak bisa seenaknya. Kerjaan aku harus diberesin dulu sampe kantor dapet orang baru buat gantiin aku. Tunggu satu bulan deh keputusannya.” Kok bisa aku lunak sama cowok ya? padahal aku paling anti sebelumnya. Begitu aku liat Ian, dia cuma ngangguk-ngangguk aja sambil melemparkan senyuman hangat dia yang bikin aku mupeng seperti biasanya.

“Ian…umur kamu kan baru 24, kok bisa ya kamu udah punya kantor sendiri dan lumayan lama juga udah 2 tahun lebih? Terus kamu lagi sekolah S2 lagi?” Ian tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

“Kamu baca di internet ya? Jangan percaya sama semua hal yang ada di situ ya. Ada yang benernya, tapi gak sedikit juga yang gak benernya. Waduh, keceplosan deh! Kan ketauan aku udah korek-korek informasi tentang dia. Aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela.

“Mmmhhh…kamu mau nanya apa aja pasti aku jawab, jadi jangan buka-buka lagi di internet ya.” Ian sepertinya sudah seperti artis yang kehilangan privasinya karena paparazzi.

“Kenapa omongan cewek-cewek itu semuanya negative tentang kamu? Itu mantan pacar kamu semua?” Ian hanya menyunggingkan sedikit senyuman di bibirnya.

I don’t even know them. Kata temen-temen aku sih sebagian dari mereka ada yang temen-temen sekolah SMA ku ada juga yang temen kuliahku. Yang jelas seingatku, aku belum pernah sekalipun ngobrol sama mereka. Aku juga gak tau mereka nulis itu semua atas dasar apa.” Ian menceritakan semua rumor di internet itu dengan serius, dia tidak mau sampai aku mempercayai semua itu. Begini kali ya rasanya hidup jadi selebriti itu? Banyak rumor beredar yang sama sekali tidak mereka ketahui asal-usulnya darimana.

“Kemaren kamu bilang kalau kamu baru putus dari pacar kamu ya? Kenapa bisa putus?” Sekarang giliran Ian yang nayain aku.

“Sebenernya sih udah 6 bulan yang lalu putusnya. Kenapa ya? Gak tau gak jelas, aku emang suka putusin mereka tiba-tiba kalau udah ngerasa gak cocok.”

“Kok gitu? Mereka? Emang kamu udah berapa kali ganti pacar?”

“Sebelum kamu?….5 kali pacaran….”

Seriously? Ckkk…ckkk…ckkk…”

“Kenapa? Kayak kamu gak pernah ganti-ganti pacar aja.”

Ian hanya tersenyum memberikan tanggapan atas pertanyaanku itu. Dia mulai membesarkan volume tape-nya sedikit.

Parahnya, kalau hari minggu lewat jalur rumahnya Rima, bisa sampe sejam deh nyampe ke sana. Soalnya kan pas jalur tol sama pusat kota juga. Udah pasti banyak turis lokalnya dari luar kota. Plat nomor pun hampir didominasi sama plat selain D.

Aku lihat arlojiku, ternyata sudah jam 21.50, pantesan aja aku ngantuk. Orang biasanya kalau mau kerja, aku tuh tidur jam 21.30. Hoooo…aaaahhh…sambil nutup mulut, aku mencari posisi yang pas untuk beristirahat.

“Kamu kalau ngantuk tidur aja Yang, ntar aku bangunin pas nyampe rumah.” Aku gak tau Ian ngomong apa lagi, yang jelas aku nyender ke jendela mobil sambil nutup mata aku yang udah hampir susah dibuka lagi.

Dingin banget sih udaranya, tapi suasananya tenang. Eh….ada kupu-kupu yang hinggap di tangan aku…lho kok? Ih ada lebah….mana sih koran? Mau aku timpuk nih lebah…Aku sibuk mukulin lebah itu….

“Yang…Yang…wake up…we’re home!” Suara itu? Begitu aku buka mata….ternyata Ian bangunin aku sama sekali tanpa menyentuh pundak atau tangan aku, cuma sama suaranya tapi deket kuping banget, makanya aku geli, jadi aku timpukin dia….

“Aduh, Yang…udah dong malu sama orang tua kamu, ntar disangkanya aku ngapain kamu lagi.” Dengan matanya yang setengah merem karena takut kena pukulan aku lagi, Ian mulai protes.

“Eh…sorry…sorry, barusan aku mimpi nimpukin lebah. Taunya kamu bisikin aku ya? Aku kan paling gak tahan dibisikin gitu. Geli tau!” Sialan tuh lebah, pake ngacau di mimpi lagi. Ian malah ketawa denger penjelasan aku. Mudah-mudahan aja aku tidurnya gak ngorok.

Karena sepertinya orang tua aku udah pada tidur, Doni pun sudah bersiap-siap bubar sama pasukannya. Ian akhirnya cuma nganterin aku sampe pintu rumah sekalian titip sesajen buat orang rumah.

Thank’s ya…kamu hati-hati! Ntar begitu sampe rumah, text aku ya.” Aku ga berusaha nahan-nahan dia lagi karena sudah malam dan takut ada apa-apa di jalan. Walaupun sebenernya aku gak rela ngebiarin dia hilang dari pandangan aku.

BETWEEN DREAM AND REALITY

Kicauan burung parkit warna-warni membangunkan aku di pagi hari. Sambil meregangkan badan dan melemaskan otot-otot leherku, aku mulai membereskan kamar tidur. Yap!…Hari ini tanggal merah, asyik gak sih libur dua hari Sabtu-Minggu?, kayak dapet lotre aja.

Hari ini juga tepat seminggu setelah aku kenal sama Ian atau bisa dibilang jadian sama Ian. Tapi, dari kunjungan aku sama Rime ke rumahnya, dia belum nongol lagi, nelepon or text aja gak pernah. Apa dia masih marah ya karena aku gak mau pindah kerja ke kantornya?

Coba deh aku cek statusnya…Yah!… nih orang, cuma busy doang. Gak pernah update status. Kayak kita dong, nongkrong di kamar mandi aja langsung update, makan mie ayam pun gak kalah show off-nya. Lagi apa sih kamu di sana, Yang? Kok aku gak bisa berhenti mikirin kamu ya?…Tiba-tiba aku langsung keingetan sama lagunya One Direction-One Thing…Aku setel deh music keras-keras sambil nyanyiin tuh lagu sekenceng-kencengnya, itung-itung telepati, siapa tau Ian denger…

I’ve tried playing it cool, but when I’m looking at you                                                           I can never be brave, ‘cos you make my heart race                                                               Shot me out of the sky, you’re my kryptonite                                                                          You keep making me weak, yeah frozen and can’t breath…                                                           Something’s gotta give now, ‘cause I’m dying just to make you see                                      That I need you here with me now, ‘cause you’ve got that one thing                                      So get out,get out, get out of my head, And fall into my arms instead                           I don’t, I don’t, don’t know what it is…                                                                                  But I need that one thing, and you’ve got that one thing….

            Knock…knock…Mama nih, gak bisa liat anaknya seneng apa? Pasti lupa kalau sekarang hari libur…Aku buka pintu kamar dan langsung mau protes sama Mama yang gangguin weekend aku.

“Mama tuh ke…..” Belum sempet aku nerusin omongan aku, tapi muka Mama yang biasanya langsung berhadapan sama aku, sama sekali gak keliatan. Ternyata aku berdiri di depan dada… cowok pastinya. Setelah aku mendongak ke atas,….Ooohhh my kryptonite udah ada di depan aku. Dengan setelan sporty-nya, celana basket item dan kaos putih tipis. Sementara aku masih pake stelan baju tidur aku, celana pendek baby blue dan kaos pink….Sebentar-sebentar…aku kan baru bangun tidur, OMG…aku gak pake bra dong? Dengan paniknya aku langsung bilang…

Stay here!…I’ll be right back.” Tanpa basa-basi lagi aku langsung tutup pintu kamar dan pake bra. Aduuuuhhh…dia ngeh gak ya sama ceplok telor tadi? Akhirnya aku bukain pintu kamar aku dan Ian masih berdiri persis seperti sebelum aku tutup pintu kamarnya.                   “Kamu ngapain masuk kamar lagi? Grogi ya ketemu sama aku, Yang?” Aaaarrrrrggghhhh…kenapa sih harus dibahas? Jangan sampe merah deh muka aku. Aku cuma senyum-senyum doang nanggepin pertanyaan dia.

“Yang, kita jogging yuk? Di komplek aku aja di sekitar tamannya, kita muter-muter di sana. Mumpung masih jam 7.00.” Yess! Akhirnya diajakin weekend bareng juga.

“Oke, aku cuci muka dulu trus ganti baju. Kamu nonton TV aja di sini biar gak sepi.” Aku baru inget, kalau setiap sabtu minggu jam 6 pagi Mama ikutan senam di lapangan komplek, Papa kerja bakti sama bapa-bapa. Sementara Doni pasti masih meeting sama bantal gulingnya. Kalau Echi seperti biasa sleepover di tetangga.

“Eh…kamu bawa baju ganti juga ya, siapa tau ntar pulangnya mampir ke mana gitu?” Sambung Ian sambil mijitin remote TV cari acara bagus.

Gak lama kemudian, aku keluar dari kamar dengan training sporty abu dan keatasan kaos body fit putih plus jaket item. Karena takut keburu siang, kita langsung ke komplek rumahnya Ian yang berjarak 20 menit kalau pake mobil dan gak macet. Tapi, beruntungnya keadaan pagi ini mendukung, jalanan masih sepi.

Diawali lari-lari kecil dan stretching, kita mulai jogging-nya. Gak lupa juga dengan obrolan-obrolan ringan yang pas buat pagi yang sejuk ini.

“Enak ya di sini, udaranya sejuk, padahal di tengah kota.”

“Iya, aku paling seneng kalau weekend jogging di sini. Biasanya aku jogging sendirian, sekarang udah ada temen.”

“Masa sih? Emang biasanya kamu dating ke mana sama mantan-mantan kamu?”

Dating? Mantan-mantan? Aku baru dating sama kamu aja, aku gak punya mantan.”

Seriously? For a guy like you?”

“Aku gak punya waktu buat hal-hal seperti itu.”

Dengan kaos putih tipis gini, six pack Ian keliatan jelas banget, apalagi ketika mulai keringetan, kan transparan tuh! Gimana caranya biar aku gak ngeliatin sick pack-nya itu ya? Enak banget sih diliatnya, sampe-sampe…

“Aaawwwww…aduuuhhhh!” Teriak aku kaget, ketika pergelangan kaki aku keseleo karena kurang hati-hati. Makanya neng, kontrol tuh mata jangan liar kayak gitu! Ian yang kaget sama teriakan aku langsung memapah aku ke kursi taman yang paling deket. Untung udah agak sepi, jadi gak terlalu malu.

“Kamu kenapa gak hati-hati, Yang? Dari tadi kamu tuh liat-liat ke bawah terus kayak lagi nyari-nyari atau perhatiin apa gitu?” Yah, cape deh!…Liatin perut Lo kaleeee! Makanya tuh perut harus diajarin sopan santun biar gak flirting sama orang!

Liat Ian pijitin kaki aku, jadi inget lagi waktu pertama kali ketemu sama Ian. Aku gak nyangka kalau kita sampe bisa pacaran gini.

“Ian….kalau aku boleh nanya sama kamu…apa sih yang bikin kamu ngajakin aku jadian waktu pertama kali kita ketemu?” Sambil ragu-ragu sama pertanyaan aku sendiri, aku liat ekspresi Ian yang tenang seperti biasanya mencoba mengeluarkan kata-kata dari bibirnya.

“Apa ya??? Banyak sih sebenernya…Salah satunya aja ya…Aku takut gak bisa ketemu kamu lagi.” Jawab dia dengan entengnya. Padahal kan itu sama banget sama yang dirasain aku waktu itu. Aku tatap mata Ian lebih dalem lagi, mencoba meyakinkan diri aku sendiri kalau Ian bersungguh-sungguh sama jawabannya tadi. Tapi seperti biasanya, dia jarang sekali bisa menunjukan emosi di matanya yang cool itu.

“Kalau kamu? Apa yang bikin kamu bilang iya waktu itu? Kenapa kamu mau jadi pacar aku? Padahal awalnya jelas sekali kalau kamu ragu-ragu.” Tanya Ian sambil geserin kaki aku yang tadinya dipangkuan dia ke posisi duduk normal lagi.

“Aku???……..Aku juga sama, aku takut gak bisa ketemu kamu lagi kalau aku gak bilang ya.” Mendengar jawaban aku, Ian tersenyum lega. Dia bangkit dari kursi duduknya dan memapah aku ke mobilnya.

“Kita ke rumah aku ya! Rissa udah nanyain kamu terus. Aku sengaja gak ngasih nomor kamu sama orang rumah, takutnya mereka norak lagi.” ucap Ian sambil menginjak pedal gas.

Lima menit kemudian, kita memasuki gerbang putih besar ini lagi. Keliatan dari teras rumah, Rissa lagi ngajakin Baby Ryu main sambil melambaikan tangannya sama aku. Tapi sepertinya dia mau siap-siap pergi dengan tas LV tosca melingkar di bahunya. Baru ketemu sekali aja, tapi aku udah merasa familiar sama mereka. Senyumannya, keramahannya dan semua hal yang mereka lakukan yang membuat aku nyaman.

“Rissa mau ke mana sih, udah pake tas gitu?” Tanya aku sama Ian. Ian baru aja parkir mobilnya di halaman belakang, kita pun menuju teras untuk nemuin keluarganya yang udah siap-siap pergi.

“Gak tau…ntar tanya aja sendiri.” Jawab Ian singkat. Ian kemudian merangkulku, aku masih kaget dengan gerakan Ian yang tiba-tiba itu. Aku mendongak ke atas, dia malah tersenyum melihat aku yang gugup.

Hi everyone! Mau pada ke mana?” Tanya aku sambil cipika-cipiki sama Mamanya Ian plus Rissa.

“Mau ke KUA urusin surat-surat nikah kalian.” Balas Arman, yang akhirnya mengeluarkan kekocakan dia. Lega deh bisa becanda sama dia, kirain dia gak suka sama aku.

“ Sarapan dulu ya, anggap aja rumah sendiri Len. Kita semua mau berkunjung ke rumah orang tuanya Arman. Pantes aja Ian gak mau ikut, taunya udah punya acara sendiri.” Tambah Mamanya Ian dengan senyuman ramah yang bikin pagi ini semakin seger. Sementara itu, Papanya Ian sudah duduk di belakang kemudi dan melambaikan tangannya kepadaku. Mereka pun segera pergi ninggalin kita di rumah yang besar ini.

“Mau sarapan apa, Yang? Sambil duduk di meja makan dan mulai menuangkan sereal ke sebuah mangkuk besar. Ian segera melahap sereal yang sudah dicampur dengan macam-macam buah-buahan segar dan susu.

“Roti aja deh.” Jawab aku, lagian makan berdua dengan suasana sepi gini bikin aku lumayan grogi. Aku mulai mengoles selembar roti tawar dengan nutella. Begitu aku mau buka mulut dan mulai makan, tangan aku yang lagi megang roti dia tarik ke mulutnya dan ga dilepasin sampai selembar roti di tanganku itu habis sama dia.

“Emang enak ya makan dari tangan orang?” gumam Ian setelah selesai mengunyah sambil mengarahkan sesendok sereal ke mulut aku. Walaupun masih agak canggung, aku mencoba masuk ke situasi ini.

Melihat Ian yang masih belum beranjak dari meja makan karena nungguin aku selesai, jadi terlintas di pikiran aku…Kayak apa ya nanti anak aku, kalau sampe aku nikah sama Ian? Stop it girl! Kamu udah ngehayal kejauhan. Inget! Ini baru seminggu kalian pacaran, masih jauh dari hal seperti itu.

“Aku kadang suka takut liat kamu senyum-senyum sendiri. Kamu seneng ya sekarang bisa bareng sama aku?” Tanya Ian tanpa basa basi atau menghiraukan perasaan aku yang malu setengah mati karena pertanyaannya itu.

“GR banget kamu…Bukan tau! Lagi inget Si Doni.” Jawab aku berusaha berkelit, daripada tengsin. Ian malah ketawa-ketawa sama jawaban aku, kayaknya dia tau kalau aku bohong.

“Yang, kamu mandi di kamar aku ya! Soalnya udah pasti kamar yang lainnya dikunci, terus kalau kamar tamu gak komplit perlengkapannya.” Sambil beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke kamar tidur dia di atas.

“Ini kamar aku.” Ucap Ian, sambil bawa handuk putih dari dalam lemarinya. Kamarnya gede banget, kayak di hotel-hotel bintang 5. Kenapa juga aku gak berani nolak dibawa ke kamarnya?, mana cuma kita berdua lagi. Pegawainya dia di bawah semua.

“Sikat gigi barunya di counter ya…” Dia beranjak ke sofa merah di kamarnya sambil ganti-ganti channel TV.

Aku gak hentinya mandangin kamar mandi bernuansa black and white ini. Apa mungkin suatu saat aku bakalan diem di rumah ini juga ya? Terlintas bayangan-bayangan masa depan aku sama Ian. Di bawah derasnya siraman shower, aku mulai membasahi rambut dan seluruh tubuhku. Aku ga bisa berhenti dari mimpi-mimpi ini. Apa ini tanda-tandanya aku bakalan gila ya? Paling engga, tergila-gila sama cowok aku sendiri.

Aku keluar dari kamar mandi dengan mengenakan blus putih tipis dan celana jeans. Handuk putih masih di kepalaku karena rambutku masih basah. Ian tiduran di sofa sambil nonton saluran olahraga.

“Kamu juga buruan mandi dong! Abis ini kita mau ngapain? Mau seharian di rumah kamu, jalan keluar, atau ke rumah aku?” Ian kok gak bereaksi ya sama omongan aku barusan? Begitu aku deketin, ternyata dia ketiduran. Di meja putih, samping sofa itu tergeletak smartphone Ian yang tiba-tiba lampunya menyala, karena ada text masuk dan aku yang berada di depan meja itu bisa melihat text itu sekilas.

Shara: “Thank u 4 the ride Sir…” Tiba-tiba saja Ian terbangun dan melihatku dengan samar-samar. Dia berusaha membuka matanya yang masih terasa berat.

Sorry, aku ketiduran ya? Kamu udah mandinya? Kalau gitu aku mandi dulu ya.” Terang Ian sambil menuju ke kamar mandi. Aku duduk di sofa tempat Ian tadi, sambil bertanya-tanya siapa Shara itu? Apa dia pernah juga diajakin ke kamarnya Ian berdua seperti ini? Kalau cewek lain mungkin gak bisa nahan dirinya di depan Ian, aku aja susahnya setengah mati buat nolak semua kharisma Ian.

Gak lama kemudian, Ian keluar dengan hanya pake handuk yang menutupi area bawahnya aja, sementara bagian atasnya dibiarin terbuka, seakan dia lagi nunjukin power-nya sama aku. Show off! Aku langsung memalingkan wajah aku ke depan TV lagi, padahal jantung aku yang biasanya nge-pop, mendadak jadi upbeat gini! Justin Timberlake gak henti-hentinya nyanyiin Sexy back di kepalaku…Haduuuhhh…Eh Ian malah duduk di sebelah aku, cek smartphone-nya.

“Yang…Semalem aku pulang bareng sama karyawan, soalnya kasian dia lembur, terus Pa Asep agak telat jemputnya. Karena arah pulang kita sama, soI give her a ride. Ga apa-apa kan?” Terang Ian loud and clear. Mungkin dia curiga aku baca text-nya, dan kata her ini mengindikasikan kalau dia bicarain Shara.

“Ooohh…gak apa-apa kok. Itu kan hak kamu, masa harus bilang-bilang sama aku.” Jawab aku lugas. Padahal sebenernya, aku juga percaya gak percaya sama omongannya Ian. Apa mungkin dia jujur ya? Tapi mandangin six pack-nya dia, berhasil menyingkirkan semua aura negative aku. Gawat nih! Aku harus keluar dari kamar ini kayaknya, kalau enggak…bisa-bisa terjadi hal-hal yang diinginkan.

Aku berusaha berdiri dan keluar dari kamar itu. Tapi setelah aku berdiri menghadap dia yang masih duduk, muka Ian berubah merah dan dia jalan ke arah lemari hitamnya. Ian keluarin sweater putih body fit. Aku kira dia mau pake sweater itu, taunya malah dia kasiin sama aku.

“Kamu pake sweater aku aja ya! Gimana sih kamu, pake baju kok transparan gitu? I can see your bra!” ucap Ian yang mulai nyiapin baju buat dia sendiri. Masa sih? Perasaan gak tipis-tipis amat, masih wajar kok. Emang bra aku keliatan, tapi kan ga sampe jelas motifnya kayak apa, cuma warnanya aja baby pink keliatan samar.

“Kamu tuh bisa aja ngomong gitu! Kamu sendiri setengah telanjang, deket-deket aku lagi. Lagian ini gak transparan kok?” Balas aku, sambil mau gak mau pake sweater dia juga. Aneh banget Ian ini. Tapi lucu juga liat ekspresinya Ian waktu mukanya merah tadi.

“Hari ini kita seharian di rumah aja ya?” Tanya Ian sambil nyamperin aku. Dia keliatan ganteng banget pake kaos polo item yang kancingnya dibiarin kebuka, sama celana khaki selutut. Pengennnnn banget rasanya nyamperin dia terus peluk dia sekenceng-kencengnya.

“Mmmmhhhh…terus ngapain aja? Nonton seharian?” Sambil liat DVD yang berserakan di atas meja. Ian mulai duduk di bawah sofa merah.

“Kamu mau nonton? Kalau mau nonton, ntar aku ambilin makanan ke bawah. Tapi terserah kamu aja enaknya mau ngapain.” Enaknya sih dipelukin sama kamu patung! Kenapa sih dia selalu bisa bersikap cool gitu? sementara aku yang di deket dia gak bisa tenang sama sekali.

“Iya deh nonton aja. The Avangers aja ya? Kebetulan dulu aku gak sempet nonton film ini” Jawab aku. Ian anggukin kepalanya dan bergegas ke bawah.

Ga lama kemudian, dia udah bawain macem-macem snack dibantuin sama Bi Sufi. Nachos, salad buah, fresh juice, etc. Dia duduk di bawah sofa sambil mainin laptop-nya. Dengan posisi aku di sofa, aku jadi bisa liat dia lagi ngapain. Ternyata dia lagi bikin design rumah.

“Kamu lagi banyak kerjaan ya?” Tanyaku, karena melihat Ian cuma nonton film sekilas-sekilas aja. Keliatannya ribet banget program yang dipake Ian buat kerja.

“Enggak juga, he…he…he…Jadi gimana,Yang? Udah bikin surat pengunduran diri kamu? Kalau belum sempet, aku bikinin sekarang ya?” Sambil buka program office word nya, Ian mulai nanya-nanya data aku buat ngelengkapin surat pengunduran diri. Daripada bikin kisruh liburan ini, mending aku ladenin aja deh. Mau dikasiin atau enggak kan gimana nanti.

Setelah selesai bikinin aku surat pengunduran diri, Ian beranjak menuju meja kerjanya dan print file tadi, terus dia masukin ke amplop putih panjang. Sekalian aja padahal ya pake perangko terus masukin kotak pos uuuuggghhhh….

“Nih selesai!…Jangan lupa nanti Senin kasih sama HRD kantor kamu ya!…” Pinta Ian sambil menyodorkan amplop putih itu. Belum juga jadi bos aku udah maen perintah gini, apalagi nanti? Ian kembali membuka laptopnya dan melihat-lihat gambar sebuah rumah.

“Rumah impian kamu kayak gimana, Yang? Kalau aku, pengen yang ada area buat jogging outdoor-nya.” Ucap Ian sambil terus ngotak-ngatik gambar rumah itu.

“Rumah impian aku?….Karena aku suka masak, jadi aku pengen yang dapurnya besar dan ada kebunnya juga. Itu lho, kayak yang di salah satu film favorit aku, It’s complicated. Semua bahan dapur termasuk tomat harus ada di kebun itu. Terussss…sama deh kayak kamu, ada area joggingnya juga.” Jawab aku. Padahal sebenernya…. rumah impian aku cukup sederhana, asal ada kamu di samping aku

Ian membuka browser-nya dan men-download film yang aku maksud. Sepertinya dia penasaran dengan ceritaku.

“Kamu suka film drama juga ya?” Aku penasaran karena Ian menikmati film yang pertama kali kita tonton di bioskop, bahkan sekarang dia download film yang aku ceritain.

“Enggak terlalu…waktu pertama kali nonton sama kamu, itu pertama kalinya aku nonton drama romantis sampai selesai.”

“Wahhh…berarti kepaksa dong?”

“Justru aku baru tau, ternyata kalau disimak dari awal sampai akhir seru juga. Sekarang aku mulai suka drama romantis. You’re a bad influence for me

Really?” Ian seperti biasanya hanya tersenyum hangat.

“Yang, bulan depan keluarga aku mau liburan ke Raja Ampat selama 5 hari, kamu ikut!” Here we go again…harusnya kan kata-kata terakhir itu pertanyaan, bukannya pernyataan…

“Tanggal berapa? Aku gak janji ya, soalnya kan kalau 5 hari berarti aku harus bolos kerja dong?” Jawab aku enteng, padahal kan pasti gak bisa lah…5 hari sama keluarga dia??? Tepok jidat deh!…

“Bulan depan kan kamu udah pindah ke kantor aku, jadi gak usah pake izin segala. Udah kamu pikir-pikir aja dulu, gak usah bilang gak bisa sekarang.” Weiss…Enak banget si Mas ngomongnya…Aku cuma ngangguk aja. Lagi males debat.

“Alesan kamu gak mau pindah, bukan karena takut ketahuan sama aku janjian sama Sammy kan?” Ian berusaha meyakinkan keraguannya sama aku. Aku menghela nafas panjang dan menggeleng.

Saat itu aku menonton TV dengan posisi tubuhku telungkup di atas sofa. Ian tiba-tiba mendekatkan bibirnya ke telingaku. Dia mulai berbisik lembut di telingaku.

“Kamu bener-bener geli ya kalau ada orang berbisik di telinga kamu?” Bisik Ian pelan, tiba-tiba bulu kudukku berdiri semua, jantungku berdebar keras dan wajahku termasuk telingaku berubah merah. Ian tidak tahan melihat reaksiku itu. Dia gemas sendiri melihatku berubah warna seperti sofa itu, Red! Akhirnya dia tidak bisa lagi menahan kegemasannya dan tidak disangka-sangka Ian malah menggigit telingaku dengan gemasnya. Aku semakin merinding dengan apa yang Ian perbuat, aku hanya bisa menutup telingaku dan teriak-teriak supaya Ian berhenti membuatku geli.

Setelah beberapa saat, Ian bisa menghentikan aksinya itu dan memandangku dengan sejuta kilauan di matanya. Dia membelai rambutku dan mencium keningku, kemudian pipiku. Saat dia akan mencium bibirku, aku lari ke toilet karena gak tahan ingin pipis.

Kayak bunglon! Bisa-bisanya dia kamuflase sama sofa.” Ian berbicara dengan dirinya sendiri setelah ditinggalkan Helen. Dia tersenyum, dia menyadari bahwa alasan dia tersenyum adalah Helen.

Baru sekarang seorang perempuan bisa membuat hati Ian tidak tenang, baru sekarang seorang perempuan bisa membuatnya lupa dengan hal-hal lain….dan baru sekarang juga Ian menyadari bahwa dia telah jatuh cinta untuk yang pertama kalinya.

FINALLY, I WORK AT HIS OFFICE

Akhirnya aku putusin resign dari tempat kerja aku dan pindah ke kantornya Ian. Setelah sebulan aku mengenal Ian, satu hal yang aku pelajari bahwa dia sangat professional dalam bekerja. Berbagai pertimbangan jadi alesan aku untuk mencoba melangkah ke kantor ini. Selain karena Si Alien BB yang makin menjadi-jadi kegilaannya, juga karena Rime yang terus memersuasi-ku.

Suasananya gak jauh beda dari kantor aku sebelumnya, sedikitnya 30 karyawan bekerja di sini. Tapi suasana di sini lebih hangat, tentu saja karena minus Si Alien BB. Di bangunan 3 lantai bercat krem ini, atmosfernya selalu segar. Lantai pertama ada ruangan tunggu, resepsionis, dan ruangan aku di deretan paling depan. Ruangan Ian di deretan belakang bersebelahan dengan ruangan asisten dia. Meeting Room dan ruangan akunting ada di lantai 2. Sementara di lantai 3, tempat makan dan mushola.

Ini hari pertama aku kerja, jadi aku dapet kunjungan dari bos aku. Knock…knock…

”Hai! Mudah-mudahan kamu betah di sini ya!” Sambutan yang hangat di pagi hari.

Thank you Boss.” Aku tertegun sebentar melihat Ian yang rapih sekali.

Baru kali ini aku melihat Ian berpakaian formal. Dia mengenakan celana kain warna hitam dan kemeja biru dongker tangan panjang serta sepatu hitam yang mengkilap. Sementara aku mengenakan celana kain hitam dengan kemeja putih body fit blazer hitam yang di simpan di senderan kursiku.

Ian duduk di depan mejaku, dia membuka berkas-berkas yang ada di sana. Sesaat kemudian dia mulai berinteraksi dengan gadgetnya. Sesekali dia menolehku dan melanjutkan kembali kesibukannya dengan gadget. Dalam hati aku bertanya-tanya. Apa mungkin setiap hari akan seperti ini, bekerja dengan pengawasan dia?

“Kamu gak balik ke ruangan kamu? Atau memang setiap karyawan baru pasti dipelototin dulu sama kamu?” Ian tersenyum dan kembali bermain dengan gadgetnya.

“Enggak…aku masih betah di sini. Masih gak nyangka kalau setiap saat bisa melototin pacar aku di kantor.” Mendengar penjelasan Ian bikin konsentrasi aku buyar, aku mulai gak nyaman dengan kehadiran dia di ruanganku. Dan benar saja, Ian memang menungguku sampai jam makan siang tiba.

“Makan siangnya di atas, yuk!” Ajak Ian yang mulai beranjak dari kursi. Harusnya sih aku seneng bisa barengan dia 3 jam ini, tapi karena di lain sisi dia juga bos aku, aku jadi gak enak diawasin terus pas kerja.

“Kalau aku masih mau ngerjain tugas-tugas aku gimana? Ntar aja deh makannya.”

“Ya udah aku telepon bagian pantry. Kita sama-sama makan siang di sini aja. Aku juga setiap hari emang makan siang di ruanganku kalau lagi gak keluar.” Aku mengangguk dan siang itupun kita lunch di ruanganku.

Beberapa menit kemudian, makanan sampai di mejaku. Aku perhatikan Ian yang makan persis di depanku. Dia menyisihkan semua bawang, tomat dan paprika yang ada di setiap menu di piringnya, selain dari itu semuanya ludes. Dia melihat aku masih menyisakan setengah porsi dari sapi lada hitamku. Dia menarik piringku dan menghabiskan makanan sisaku. Aku tidak bisa berkomentar selain tatapan aneh karena tingkah Ian.

“Kamu tuh, selera makan sama tampang gak matching banget!”

“Selera makan aku rakus, tampang aku kenapa, Yang?” Dia sengaja gak nerusin kata-kata terakhirnya karena ingin aku memuji dia. Aku menggeleng dan meneruskan kembali kerjaanku.

***

1, 2, 3, 4, 5, 6….Udah seminggu aku kerja di sini. Ternyata emang bener aku betah, karena kerjaannya terorganisir dengan baik. Suasana kerja yang menyenangkan juga. Aku minta Ian biar gak ekspos hubungan kita di kantor, makanya semua orang gak ada yang bertingkah aneh sama aku.

Kalau lagi diem gini, aku suka inget sama text yang di HP nya Ian, Shara…siapa ya dia? Ian bilang Shara itu karyawannya dia juga. Emang bener sih, saking nyamannya suasana di sini, plus pembagian kerjaan yang sudah pasti. Gak ada waktu yang terbuang percuma di sini, sampai-sampai buat ngobrol basa-basi dengan sesama rekan kerja aja gak sempat. Shara aja aku belum pernah nemuin orangnya.

Tapi kayaknya ada yang hilang? Dari kunjungan Ian di hari pertamanya, aku belum pernah lihat dia lagi, text juga enggak. Apa aku harus text dia duluan ya? Coba deh, mumpung kerjaan udah beres sambil nunggu waktu pulang 5 menit lagi.

“Hi!…how r u?”

Lama banget sih, udah 10 menit ga dibales. Beneran lagi sibuk kali ya? Dia kan sekolah juga. Mana dia gak pernah tulis status juga di BBM.                                                       Karena besok tanggal merah, pulang kerja aku gak ikut jemputan, soalnya mau beredar sama Rime. Kok udah ½ jam gak dibales terus ya?….Sebenernya aku coba positive thingking, tapi kok susah ya?                                                                                                                   “Tenang aja kali, ntar malem juga pas mau tidur dibales, percaya deh!” Mungkin ngeliatin muka aku yang kebingungan, Rime coba nyenengin aku. Akhirnya kita putusin nonton film yang jam 18.30 dan seperti biasa pastinya, ganti status dulu dong biar eksis.

Girls night out @the movie”….. Eh lima menit dari situ Ian text aku.

Kamu kok belum pulang?” Gak salah tuh?…Text aku barusan dianggap gak ada kali? Aku biarin aja dulu, lagian filmnya udah dimulai, HP aku silent dulu. Itung-itung pembalasan seminggu gak kasih kabar.

Film-nya rame juga, bikin aku sama Rime berlinang air mata hik…hik… Begitu keluar bioskop aku cek ponselku…. Text dari Ian banyaaakkkk banget…

            ”Kok gak dibales?”

            “Hati-hati kemaleman!”                               

            “Sorry seminggu ini aku gak ngabarin, beneran lagi sibuk banget.”          

            “Jangan telat makan ya!”

            “Rima suruh tidur di rumah kamu aja biar pulangnya ada temen.”

            “Mau aku teleponin orang tuanya Rima?”   

            “Ping!”

            “Yang???”

            “Pa Asep di depan, jemput kamu mau nganterin pulang. Kalau Rima gak mau nginep,      anterin dulu kamu pulang baru Pa Asep anterin Rima ya”

            “Ping!”

            “Ping!”

Rima sama aku cekikikan gak nahan baca text-nya Ian.

“Busyet deh punya bos!” Ucapku, gak habis pikir kalau Ian sampe segitunya.

Rima punya ide, mumpung ada jemputan, dia ngajakin dulu karaoke. Jadi pulang jam 11 malem pun it’s ok gak takut.

Tapi aku gak enak sama Pa Asep yang udah nungguin kita di depan mall. Dengan senyuman ramahnya dia menyapa.

“Selamat malam neng! Sekarang mau ke mana dulu?” Kalau udah gitu gak tega deh… Niat kerjain bosnya, tapi kasian. Aku menghela nafas dan saling bertatapan dengan Rime.

“Ke rumah Rima aja dulu Pa Asep” Tiba-tiba HP-nya Pa Asep bunyi.

“Iya..iya Pa…ada…sebentar.” Siapa tuh?

“Neng, ini Pa Ian mau ngomong.” Yah, sampe segitunya nih orang?

“Yang, HP kamu dipake ya! Udah kasiin lagi ke Pa Asep!” Ihhh…bener-bener udah mulai nyebelin nih orang, ngetest aku apa? Huuu….uuuhhh!

Besoknya udah aku niatin mau protes sama dia, aku gak terima sama kelakuannya dia. Tapi, sampe aku pulang kantor pun, tuh orang gak keliatan batang hidungnya sama sekali.

Selama di perjalanan, aku memasang earphone-ku dan mendengarkan Lady Gaga menyanyikan You and I. Kenapa Ian begitu misterius ya? Apa dia masih belum bisa menganggap aku ini orang yang special buat dia? Apa saat ini dia lagi nganterin Shara pulang? Lamunanku terpotong karena aku mendapatkan panggilan dari Sammy.

“Hai Sammy!…Kenapa baru nelepon?”

“Iya, aku ngasih kamu waktu. Siapa tau masih pacaran sama cowok yang dulu ketemu sama aku di toko buah itu. Kapan kamu punya waktu buat jalan sama aku?”

“Mmmmhhh…kapan ya? Aku pulang kerja jam 5 kalau weekday. Kalau Sabtu aku pulang jam 3. Kamu mau ngajakin jalannya kapan?”

“Sabtu sekarang aku jemput kamu, boleh?”

“Oke…aku tunggu ya, bye!” Itu bukan selingkuh kan? Lagian aku cuma pengen ketemu sama temen lama aja gak lebih.

Lamunanku yang tadi terpotong mulai berlanjut lagi. Aku selalu mengingat semua tentang Ian, sorot matanya, senyuman hangatnya, wanginya, wajah charming-nya, suaranya, six pack-nya, mmmhhh…Damn I miss him so much!

Oke…kali ini dia pasti dateng, begitu sampe kantor, aku udah gak nahan pengen meledak. Tapi…lagi-lagi yang ditunggu-tunggu gak kunjung dateng seminggu ini. Iaaaannn….mau kamu apa sih? Text aja enggak.

Kayaknya pas jam makan siang ini, aku udah harus mulai cari info soal Ian atau Shara, paling enggak kan ada sedikit titik terang dari semua masalah ini. Jangan sampe deh udah pacar ngilang, cewek yang aku curigain selingkuhannya juga gak tau sama sekali.

Aku beraniin nyamperin Ella the receptionist. Aku makan siang bareng Ella di atas. Ella bilang, dia sudah setahun kerja di sini, dia kenal semua karyawan di sini, tapi saking sibuk sama kerjaan sendiri-sendiri, sama sekali gak ada waktu buat temenan sama temen sekantor. Masa sih sampe segitunya?

Sewaktu di tempat makan, Ella sebutin semua orang yang ada waktu itu, tapi satupun gak ada yang namanya Shara. Apa dia makan siang di ruangannya ya? Masa sih Ian bohong ya? Padahal jelas-jelas dia tuh ga ada tipe bermulut besar, setau aku dia selalu bilang jujur. Tapi, aku juga ga tau kalau dia punya rahasia. Kali ini belum berhasil nih nemuin Shara…Oke, kita coba lain waktu, siapa tau berjodoh.

Kayaknya aku text Ian duluan aja deh. Eh…baru kepikiran gitu tiba –tiba HP aku nyala

“Ping!”

            “Hai! How r u?”

            “Sorry Yang, aku lagi super duper sibuk.”

            “Beneran!…..Swear!”

            “Baik-baik ya.”

            Again??? you’ve got to be kidding me?? Aku cuma read doang. Gak bakalan deh dibales. No way!

Sore ini aku pulang agak terlambat 30 menit dari jam biasanya, aku menerima text dari Sammy.

“Ayo buruan pulangnya…lapeerrrrrr!!” Sammy yang sekarang aku kenal, memang tidak pernah berubah menyenangkannya. Setelah aku keluar, ternyata Sammy sedang bersandar di BMW hitamnya. Pa Asep juga sudah siap membukakan pintu mobilnya, Aku menghampiri Pa Asep.

“Pa, saya pulang sama temen saya ya.” Pa Asep seperti ketakutan dengan ucapanku tadi.

“Kenapa Pa?”

“Kata Pa Ian, Neng Helen harus ikut jemputan.” Wuihhhh…mantap banget cowok aku ini, nongol juga enggak tapi masih juga titip omongan sama orang.

“Nanti saya yang telepon Ian, Pa.” Aku tidak menghiraukan lagi Pa Asep dan langsung menuju Sammy yang dengan gaya becandanya membuka tangan dia lebar-lebar siap memberiku pelukan seorang sahabat, akupun menyambut pelukannya.

“Haduuuhhh Sam, dari dulu aku pengen banget dipeluk sama bahu kamu yang lebar ini.” Aku berusaha menjadi teman Sammy yang tidak kalah menyenangkannya seperti dulu. Dia hanya tersenyum dan membukakan pintu mobil seraya membungkuk seperti seorang pengawal yang membukakan pintu untuk Sang Putri.

“Makan dulu ya, baru nanti aku ajakin puter-puter sampai kamu jetlag…”

“Boleh…makan di mana Sam?” Pikiran Sammy seperti sedang menerawang jauh walaupun hanya memikirkan tempat makan untuk dinner, benar-benar tetap Sammy yang aneh.

“Di Eastern atau Thai Palace?” Akhirnya Sammy memberikanku pilihan.

“Mmmhhh…Di Eastern aja ya, makan Dim Sum kayaknya enak.”

“Oke…meluncur!” Dengan gayanya seperti yang sedang meluncurkan sebuah roket, Sammy membuatku tidak henti-hentinya terkekeh bahkan sampai tertawa mendengar ocehan dia.

Dan memang tepat pilihan kita saat itu memesan Dim Sum, rasanya masih tetep enak seperti terakhir waktu Bos lamaku ulang tahun dan mentraktir-ku makan Dim Sum di sini. Jalan dengan Sammy tidak membuatku grogi karena dia anaknya asyik. Aku langsung menganti DP BBM-ku dengan hidangan kali ini.

“Jadi, kamu masih pacaran sama Ian?” Aku mengangguk.

“Kalian udah lama pacaran?” Aku menggeleng.

“Kamu tahu gak Sam? Waktu pertama kali kita ketemu di toko buah itu, aku baru jadian sama Ian.”

“Berarti aku ketinggalan selangkah di belakang dia ya?” Aku mengangguk dan mengedipkan mataku. Dia tersenyum dan kembali memesan makanan penutup.

“Kapan-kapan aku ajakin jalan lagi gak apa-apa kan?” Aku mengangguk kegirangan karena Sam tidak merasa Ian menghalangi kami untuk berteman.

***

Di rumah, Mama mulai nanya-nanya tentang ketidak hadiran Ian ini. Dari ulang tahun dia dua minggu kemarin pun masih gak ada kabarnya. Ucapan ulang tahun lewat text aja gak di read. Alhasil, kado yang aku beliin juga masih di atas meja di kamar aku.

“Ian ko gak pernah ke sini lagi Len? Kalian masih pacaran kan?” Kepo banget nih emak-emak.                                                                                                                  

“Apaan sih Ma? Yang lainnya gak pernah deh ditanyain kayak gini? Udah deh, mumpung libur mendingan kita bikin kue, oke mom? Aku mau bikin Bluberry Muffin, doakan aku ya ma biar hasilnya delicious.

Berusaha ngalihin pembicaraan mama, aku pindah ke dapur sambil siapin bahan-bahan kue. Dengan suara Deep Blue Something-Breakfast at tiffany’s menyemangatiku berkarya.

“Nih HP-nya bunyi Len….” Aduh tangan aku udah belepotan adonan lagi.

“Iya biarin aja, ntar juga nelepon lagi.” Ribet deh Mama.

“Iya…iya Nak Ian, baik…baik…ada ini di dapur lagi bikin kue. Sebentar ya lagi cuci tangan dulu.” Udah jelas ni tangan masih belepotan, ga ada niatan buat cuci tangan juga. Gimana sih Mama?

“Gimana kabar keluarga? Salam dari keluarga di sini ya, ini Helen ni…” Typical emak-emak banget.

H : “Iya halo..”

I : “Kamu kok gak pernah bales text aku, Yang?

H :”Kayak kamu suka bales aja?

I :”Jangan marah dong? Beneran kok aku lagi padet banget. Jangan marah ya?

H :”Kapaaan aku marah?”

I :”Iya…iya…kamu kan baik banget, jadi gak mungkin marah ya?

H :”Eh…kerjaan aku suka dievaluasi lagi gak sama kamu? kok gak pernah ada                           kompalin?

I :”Suka…emang gak ada yang perlu dikomplain. Yang, besok gajian pertama kamu    ya? Asyik dong ditraktir?

H :”Emang besok kamu ke kantor?

I :”Gak tau juga sih, liat besok ya,.Ntar aku kabarin.

H :”Ian…Mmmmmhhh…Happy b’day ya!

I : “Iya, makasih ya. Aku baru pulang dari Raja Ampat semalem.

H :”Oh…ya udah.

I :”Yang, Pa Asep bilang kamu tadi pulang sama cowok?”

H :”Iya, Sammy ngajakin aku jalan.”

I :”Oh…Mmmhhh…ya udah…Bye…”

H :”Bye…”

Dia kan pernah ngajakin aku ke Raja Ampat bareng keluarganya? kok ga dikonfirmasi lagi ya? padahalkan aku udah kerja di kantor dia. Apa mungkin aku ga ketemu Shara karena dia ikut Ian ke sana? Ada apa sih ini? Pertanyaan-pertanyaan itu mulai singgah di pikiranku.

Rutinitas aku kembali seperti biasanya, semua kerjaan kantor berjalan lancar. Karena ini hari pertama aku terima gaji, pulang kantor aku minta Pa Asep anterin aku ke ATM buat cek gaji, secara di dompet aku juga tinggal 2 lembar Soekarno-Hatta, lagian besok Echi pasti minta jalan-jalan ke toko buku. Udah kebiasaan adik bungsuku itu setiap aku dapet gaji, pasti nagih japrem. She’s a huge fan of books.

Begitu di depan mesin ATM, aku agak termenung sebentar. Tanda tanya besar mulai ada di kepala aku. Berapa ya gaji aku? Tapi selama ini Ian ga pernah nanya soal gaji. Aku memijit tombol Cek saldo dengan ragu-ragu.

OMG…..gak salah liat nih? Speechless, gak tau musti ngapain. Orang pertama yang aku telepon??….

”Rime……kamu gak akan percaya! Gaji aku 2x lipat dari gaji aku dulu, Itu untuk 3 bulan pertama lho! Kamu kebayang gak berapa gaji aku kalau dah lewat 3 bulan? Tapi…..aku gak enak sama Ian. Makan Siang udah ada buffet di kantor, kalau males bisa minta bagian dapur anterin ke ruangan. Ada jemputan pula. Gaji aku kan berarti utuh Rim?…Tapi kayaknya bersyukur aja kali ya Rim? Oke deh sexy, sekian intermezonya. Bye…mmmmuuuuaaaccchhh”.

            Aku nelpon Rima, tapi kayak sepihak gitu ya? Jahat banget sih aku gak kasih dia kesempatan ngomong? Tapi dia selalu ngertiin aku kok….kiss…kiss…buat Rime…

Besoknya aku ngajakin Echi ke Gramedia. Aku mulai menyusuri semua rak dibagian buku resep. Kali ini aku lagi mau bikin puding, kayaknya enak nih? Karena buku anak-anak di lantai paling atas, jadi seperti biasa aku suruh Echi browsing dulu di atas, kalau udah ada yang cocok, baru nelepon aku.

Lagi asyik-asyiknya baca buku resep, dari kejauhan aku lihat sosok seorang laki-laki yang sudah aku kenal,…Ian lagi baca juga di bagian buku program. Perasaan aku mendadak seneng kayak baru nemu duit sekoper. Tadinya aku mau kagetin dia, tapi begitu aku maju selangkah, ternyata dia dibarengin sama cewek seumuran dia dengan rambut ikal sebahu and she wearing high heels…damn it! Aku paling gak suka kalau sainganku pake high heels, itu salah satu hal yang gak bisa aku lakuin. Ceweknya manis juga sih, apa itu???…

Mereka berdua sepertinya sudah selesai browsing dan mulai beranjak. Dengan kagetnya, aku buru-buru ngacir ke lantai atas.

Are you ok, Sis?” Tanya Echi yang kaget sama kelakuan aku, kayak maling diuber-uber. Tiba-tiba suasana di sekitar mendadak hening, dan di kepala aku selalu muncul cuplikan adegan yang barusan aku liat. Aku takut banget kalau ternyata Ian emang ada affair sama Shara atau ternyata aku yang jadi affair-nya dia. Perasaan aku mendadak gak menentu, aku biarin Echi memilih buku lebih lama dari biasanya. Who knows he still here

Pengen rasanya punya sihir yang hanya dengan menjentikkan jari, aku udah bisa nyampe di kamar. Entah kenapa, kedua kaki aku mendadak lemes. Apa aku mampu pulang ke rumah seperti ini? Aku gak rela ada cewek lain yang jalan di sebelah Ian, aku gak rela kalau Ian sampe care sama cewek lain selain aku. Tanpa terasa, butiran air hangat mulai keluar dari mataku, buru-buru aku usap dengan tangan, karena gak mau bikin Echi malu atau khawatir.

Aku gak yakin dengan perasaan aku ini, aku bukan tipe cewek cemburuan. Apa mungkin kalau aku udah bener-bener fallin in love sama Ian? Dada aku mendadak seperti terhimpit di antara bebatuan besar. Jantung aku seperti sedang berlomba.

Apa ini tandanya aku harus benar-benar terbangun dari mimpi aku? Apa ini saatnya Ian menemukan cewek yang selevel sama dia? Harusnya aku sudah siap dengan semua kemungkinan yang sudah aku tahu dari pertama aku terima Ian jadi pacarku. Tapi entah kenapa aku masih berharap kalau kejadian tadi hanya lamunanku saja.

Dua hari kemudian ketika aku keluar ruangan, aku berpapasan dengan Shara, akhirnya. Kali ini dia sedang asyik telepon sambil jalan menuju pintu keluar. Tak…tok…tak…tok…suara high heels selalu bikin aku benci sama diri aku sendiri, ditambah kali ini yang pake adalah sainganku. Tinggi Shara yang hampir sama denganku terlihat lebih semampai ketika dia di hadapanku. Ngefek sih! Tapi aku gak pernah tahan dengan sakitnya.

Oke…oke…on the way Sir!…gak sabaran banget sih!…” Sir? Dulu juga dia text Ian pake kata Sir? Apa mungkin?….Aku berinisiatif untuk menelepon Ian, dan ternyata dia mengangkat teleponnya.

“Iya Yang, hold on a secondoke I’ll see you soon.” Ian juga sedang berbicara dengan orang lain saat itu dan saat Shara mulai menutup telepon, Ian mulai berbicara denganku.

“Kamu lagi sibuk ya?…”

“Enggak…Tumben kamu telepon? Kangen ya?”

“Enggak biasa aja, cuma ngecek aja, siapa tau kamu habis pulsa?”

“Ha…ha…ha…sorry sweety!…masih betah kan kerjanya?”

“Udah dulu ya, Pa Asep udah jemput.”

“Eh…jangan dulu ditutup dong, terusin aja ngobrolnya.”

“Enggak ah males!…”

Aku menutup teleponnya tapi Ian sama sekali gak nelepon balik aku. Uuuuggghhh….I just wanna kick him in the balls!” Nelepon Shara aja bisa, nelepon pacar sendiri susah banget…I hate you so much!

Sementara itu, di sebuah café Ian sedang asyik ngobrol dengan Shara. Mereka berdua seperti sepasang kekasih yang sedang bersenda gurau.

“Tadi waktu aku mau pulang, aku papasan sama Helen.”

“Serius? Dia sehat kan, gak keliatan lagi sakit? Ayo dong cerita.”

“Mmmhhh…tanyain sendiri!, kamu kan punya handphone. You can text or call her…”

“Cerita cepetan!”

“Kamu tuh aneh! Kayaknya dia lagi kesel sama orang sih kalau dilihat dari ekspresi mukanya. Cemberut terus kayak lagi mau nonjokin orang.”

“Masa sih? Kayaknya Helen gak pernah marah sama orang, kecuali sama fans dia yang nyebelin, tapi itu dulu.”

“Kamu tuh! Gak pernah kepikiran apa kalau dia marah sama kamu?”

“Aku gak bikin salah apa-apa kok…” Shara hanya menggeleng mendengar omongan Ian.

WHAT IS WRONG WITH U?

Sejak kejadian seminggu yang lalu di Gramedia, aku gak bisa positive thinking lagi soal hubungan aku sama Ian. Mendadak, makan aja gak nafsu, akibatnya kesehatan aku menurun. Hari senin ini aku gak masuk kerja karena badan aku demam. Tadinya sih mau cari perhatian dia, ganti status sick. Tapi aku belum mau ketemu sama Ian. Kalau inget kejadian itu, bikin air mata aku keluar dengan sendirinya. Apa aku putusin dia aja ya sebelum dia putusin aku? Tanya aku dalam hati…

 

That’s it! Udah sebulan lebih aku gak ketemu Ian. What should I do? Ngantor aja jadi lesu gini. Need mood booster…Mau pulang malesnya setengah mati. Terlepas dari tragedy Shara itu, aku coba-coba mengingat semua yang bikin aku selalu nyaman bareng Ian. Aku kangen suara Christian Sugiono-ku, muka Lian Firman-ku, body Josh Hartnett-ku…hik…hik..

Begitu jalan ke depan kantor,… kok tumben senyum manis Pa Asep belum nampak? Di depan aku ada cowok yang kayaknya sekantor juga. Mirip-mirip Raffi Ahmad gitu, tapi rambutnya cepak. Cowok itu nyamperin aku dengan muka friendly-nya.

“Hai! Sendirian aja? Pasti nungguin jemputan ya?” Hmmmm….gak ada mood ngeladeninnya. Aku hanya menebar sedikit senyuman untuk menjawab pertanyaannya.

“Ooo iya, kamu Helen kan? Anak baru itu? Aku Ricky bagian akunting.” Heemmmmm…Daripada digosipin belagu mending aku jawab deh.

“Iya…Hai Ricky! Aku Helen.” Kayaknya asyik juga nih anak? Lumayan lah buat temen atau sekedar informan di kantor. Selama beberapa menit aku basa-basi sama dia.

“Kalau mau, bareng sama aku aja Len, aku juga lewat arah rumah kamu kok.” Dengan ramahnya Ricky nawarin tumpangan sama aku. Kenapa enggak ya? Lagian dia anak kantor bukan orang gak jelas. Dulu aja pertama ketemu Ian, aku mau dianterin dia. Coba aja deh, siapa tau emang asyik Si Ricky.

Baru aja mau naik ke mobilnya Ricky, Pa Asep akhirnya nongol juga. Tapi…kali ini dia bawa gandengan baru…..OMG bos aku keluar dari mobil. Tanpa banyak basa-basi dia nyamperin sambil liatin terus Ricky.

“Yang sorry aku telat, barusan kita dari proyek dulu. Sekarang kita dianterin Pa Asep aja ya ke rumah aku. Orang rumah udah pada kangen sama kamu….Ooo iya Ricky, Ini Helen pacar saya. Kalau saya lagi gak ada, terus dia kenapa-kenapa, butuh bantuan misalnya, kamu yang urusin ya.” Si Ricky langsung mati kutu gitu ha..ha..ha…   

”Ii..ii…iya Pa. Sip Boss!” Aku juga gak ngerti dateng dari mana nih orang. Kayak jelangkung aja, dateng gak diundang, pulang minta dianter. Kita pun buru-buru masuk mobil.

“Hai…sorry, Yang aku baru sempet nemuin kamu. Kamu sehat kan?” Bosen kali, kalau cuma mau ngomong gitu doang text aja Bos.

HiI’m fine. Thank you for asking.” Pengennnn banget aku luapin kangen aku sama kamu, pengen liatin muka kamu sampe aku puas. Pengen dengerin suara kamu sampe aku ketiduran. Kalau aja aku bisa. Lagian kenapa juga mendadak kemarahan aku soal Shara jadi hilang gitu aja ya deket sama Ian.

“Di rumah udah pada nungguin kamu, Yang. Kebetulan lagi ada Pa De, Kakak sepupu Papa dari Palembang dateng berkunjung. Aku mau kenalin kamu sekalian.”

“Not in the mood to see a bunch of people.” Dengan juteknya aku ngomong gitu sama Ian. Mau tau ya aslinya kalau aku lagi marah itu kayak apa?           

“Kalau gitu kita jalan aja ya. Kamu mau kemana? Nonton terus dinner yuk?” Dengan tidak menghiraukan nada suara aku yang sedang tidak ramah, dia masih seperti biasa, dengan gaya cool-nya. Kok aku gak bisa ya cuekin dia, apa karena from top to toe dia perfect….atau suaranya? Aku juga gak tau.

“Aku becanda kok, yuk kita ke rumah kamu!” Yah… cuma segitu doang tahannya? Niatnya mau diemin dia 2 bulan buat pembalasan. Sepanjang perjalanan aku pura-pura sibuk dengan HP aku, sementara dari sudut mata aku terlihat kalau Ian mulai merasakan kejanggalan sama sikap aku.

Are you oke?”

Yah….”

Did I make you bored?”

Nop!Did I?”

Of course not, I miss you…”

Yah…I guess I miss you too.” Aku berusaha bersikap dingin kepada Ian dengan tidak terlalu menanggapi apa yang dia katakan. Dari tatapan matanya, aku tahu kalau Ian tidak mengharapkanku bersikap seperti ini.

Gerbang putih besar ini lagi, kirain aku gak akan pernah datengin lagi rumah ini. Semua keluarga Ian lagi ngumpul di halaman belakang deket mushola, karena sebentar lagi adzan maghrib. Kita pun menghampiri mereka yang sudah menyambut dari kejauhan dengan senyuman ramahnya.

“Pa De ini…” Sebelum dia bilang ini pacar saya, mendingan aku cut deh…malu dong keluarganya religius banget.

“Saya Helen, Pa.” Laki-laki 60 tahunan ini sama gantengnya kayak Papanya Ian.

“Ooo iya, Pa De udah denger banyak tentang kamu.” And…of course, sama ramahnya.

Setelah selesai sholat berjamaah, akhirnya tiba waktunya makan. Secara, perut aku dari tadi udah nge-Rap terus. Hidangannya selalu lengkap di sini. Appetizer, main course, dessert, gak ada yang gak cocok sama lidah aku. Semuanya top markotop, coba Pa Bondan wisata kuliner ke rumah ini.

Selesai makan, akhirnya aku dapet kesempatan ngobrol sama Ian di teras rumah.

“Pa De gak sama keluarganya ke sini?”

“Pa De istrinya udah meninggal setaun yang lalu. Pa De anak tunggal dan hanya punya 1 anak yang udah berkeluarga dan ikut suaminya tinggal di Singapore.”

“Kok bisa sih anak tunggal, trus anaknya juga cuma 1? Emang gak sepi apa?”

“Di keluarga aku itu susah banget punya anak, Yang. Papa sama Mama anak tunggal dan yang bisa punya anak 2 itu bisa dihitung jari.” Aku baru tau kalau ada yang secara genetik susah punya turunan.

“Pa De pensiunan ya?”

“Pa De itu dulu kepala KUA di Palembang? Yang…ceritain dong jalan-jalan sama Sammy kemaren…”

“Biasa aja, gak ada yang aneh…”

“Kok bisa ketemuan sama dia, emang kalian janjian ya?”

“Iya, dia ngajakin jalan terus ngajakinnya hari Sabtu, ya udah aku suruh jemput ke kantor.”

“Bukan karena kamu lagi kesel sama aku terus kamu suruh dia jemputkan?”

“Enggak lah, aku udah janjian dari seminggu yang lalu.”

“Makan dim sum ya?”

“Kok tau?”

“Dp kamu…” Ian bisa kepo juga ternyata.

“Eh Yang, kamu besok liburan mau kemana? Jalan sama Rima apa di rumah?” Sebenernya aku udah ada acara makan-makan bareng di rumahnya Rima. Tapi aku masih kangen sama Ian.

“Kamu mau maen ke rumah? Aku gak kemana-mana kok.”

“Enggak…besok aku banyak deadline. Tugas sekolah sama kerjaan juga, jadi aku diem di rumah aja.”

Aduh nih orang bikin kesel, ngapain pake tanya-tanya aku mau ngapain besok coba, kirain mau ngajakin kemana gitu. Apa aku tanyain Ian soal Shara ya? Tapi aku gak bisa nebak reaksi Ian kalau aku tanyain sekarang. Kalau marah kan, bisa-bisa malu aku sama keluarganya.

“Ya udah kalau gitu aku besok ke rumah Rime aja mau makan bareng sama temen-temen lainnya di sana.” Muka Ian langsung bertanya-tanya.

“Lho! Katanya besok kamu di rumah? Ya udah ati-ati aja ya jangan kemaleman.

Mamaaaaa…tolongin, pengen nimpuk dia pake bantal!…

”Kayaknya aku pulang sekarang deh takut kemaleman juga.” Padahal aku udah gak mood lagi ngomong sama dia, gak peka!

“Ok, kita pamit dulu ke dalem ya.” Bagus! Gak nahan-nahan aku pulang lagi

Selama di perjalanan aku gak banyak ngomong sama dia, kecuali basa-basi yang emang basi! Mendingan text sama Rime aja, ceritain begitu kangennya aku sama Ian walaupun dia sama sekali gak keliatan kangen sama aku. Saking asyiknya chat sama Rime, gak kerasa Hummer item udah parkir di depan rumahku. Seperti biasa, anak-anak nongkrong setia menghibur di tempat biasa dengan sambutan khas Doni.

“Hai Kak! Kemana aja? Kirain gak akan ke sini lagi?” Dasar Dodol!

“Hai Don! Iya nih agak Amnesia sampe lupa jalan ke sini he..he..he…” Si Bos becandanya garing banget sih!

Seperti biasa dia keluarin dulu sesajennya dari mobil, kali ini oleh-oleh dari Pa De.

“Eh Nak Ian, gimana kabarnya?” Mata ijonya mama mertua yang baru ketemu lagi mantu idamannya.

“Eh Ma, baik. Ini ada titipan dari Mama. Papa kemana?” Argghhh..kalau bisa skip, aku lebih milih skip deh part yang ini.                                                                     

“Terima kasih banyak ya, Papa lagi rapat RT, biasa sama bapa-bapa. Mama ke belakang dulu ya.” Aduh, mereka sok akrab banget lagi sekarang, pake bilang Mama Papa segala. Biasanya juga Bapa Ibu.   

“Tiap ke sini aku gak pernah ketemu Echi? Ntar kapan-kapan kita ajakin jalan ke toko buku ya?” Gara-gara bilang toko buku, mood aku mendadak drop gini.

“Ngomong-ngomong soal gaji. Kamu ngegaji aku kebesaran Ian. Aku gak mau nanti kalau yang lain pada syirik.”

“Kalau soal gaji semuanya aku yang transfer langsung. Jadi gak ada yang tau gaji setiap orangnya itu berapa, termasuk gaji kamu. Kalau kamu mau, aku masih bisa naikin gaji kamu”. Busyet deh ini orang!

“Aku gak mau naik gaji lagi! Orang aku cuma D3 lho inget!”

“Kamu ini karyawan yang aneh! Sementara karyawan lain itu pengen naek gaji, kamu malah gak mau. Ooo iya Yang, kalau kamu masih minat nerusin kuliah, aku bisa ko kuliahin kamu. Tapi itu demi kelancaran kantor juga. Jadi rencananya aku mau kuliahin lagi karyawan, cuma bertahap. Mungkin buat sekarang 2 orang dulu. Kalau kamu minat, kamu bisa ikutan gelombang pertama. Sebelum kamu bilang enggak, kamu pikir-pikir aja dulu.” Omongannya Ian kepotong karena ada telepon masuk, Mamanya mungkin?

“ Hai! Iya besok ya…ok.” Kayaknya???

“Aku gak bisa lama-lama ya, besok aku ada kerjaan Yang.” Singkat, padat dan mudah dimengerti. Ian pergi meninggalkan rumahku, aku hanya bisa memandangnya dari belakang dengan tatapan takut kehilangan.

Di kamar, aku mulai mencoba memakai satu-satunya high heels yang aku punya dan hanya aku jadikan pajangan. Saat ada promo buy 1 get 1, ternyata bonus item-nya sudah ditentukan dan kebetulan juga high heels. Di depan kaca aku mulai berjalan, selangkah…dua langkah…Aaaawwwwwwwdamn it! Akhirnya aku bisa berjalan lebih dari 5 langkah dengan sedikit menyeret kakiku. That’s it! Aku gak akan pernah bisa pake high heels seumur hidupku! Aku menjatuhkan badanku di atas tempat tidur dan bayangan Shara yang sedang berlenggak-lenggok dengan high heels-nya selalu memenuhi otakku.

***

I hate Monday! Hanya karena aku kerja di sini aja jadi gak begitu benci hari Senin.

“Hai cewek! Gimana Malmingnya lancar?” Si Rafi Ahmad, eh Si Ricky udah mulai sok akrab lagi.

“Awas lho Rick, aku gak mau ada yang tau ya! “ Bisa-bisa aku dimusuhin semua cewek di kantor ini kalau ketauan.

“Len, emang kamu udah berapa lama sih pacaran sama si Bos?” Nih cowok ember juga ya? Mau aku cakar apa mukanya…

“Sana-sana Rick! kalau kamu mau ngobrol ntar pas jam istirahat aja kamu ke ruangan aku, jangan di sini dong!” Daripada ketauan lagi Ian, mendingan aku cut deh si Ricky.

Dan emang beneran, ternyata pas jam istirahat Ricky makan di ruangan aku. Kita cekikikan bareng ngobrolin tentang pertemuan aku sama Ian. Gak tau kenapa, aku bisa ngerasain kalau Ricky itu tipe orang aku, sama kayak Rime. Sampai-sampai aku sempet nangis begitu nyeritain tragedi di toko buku. Ricky ngelus-ngelus rambut aku sambil berusaha ngehibur aku.

“Shara itu PR di sini Len, jadi dia banyak ikut ke lapangan sama Bos. Tapi sama kru lainnya juga. Aku juga gak tau dia itu orangnya kayak gimana. Yang jelas anaknya tertutup. Gak banyak ngomong.” Pelan-pelan Ricky mulai ceritain tentang Shara sama aku.

“Tapi aku yakin gak ada apa-apa kok dia sama Bos. Orang Ian kan nembak kamu Len, berarti dia emang cintanya sama kamu. Selama ini kan belum pernah ada rumor tentang pacarnya Ian. Berarti emang dia gak punya pacar selain kamu, Len. Aku percaya bos itu tipe setia.”

Kayaknya buat sekarang aku lebih milih percaya sama kata-katanya Ricky yang udah 2 tahun kerja di sini. Penjelasan Ricky bisa membuatku sedikit lega.

Hari ini pulang kantor aku ikut mobil Ricky, dia mau ngajakin aku jalan. Kita jalan ke Bazaar permen dan coklat. Ada coklat yang harga per-ons nya 200k, haduuhhhh kayak gimana rasanya sih? Ricky beliin aku dari yang standart sampai yang mahal. Katanya salah satu hiburan buat temen cewek yang lagi mellow. Ricky juga traktir aku makan yoghurt di Sour Sally, dia tantangin aku ngabisin yang porsi besar, and of course habis dong dengan 2 toping kesukaanku, kiwi and almond.

“Busyet Len! kamu satu-satunya cewek rakus yang aku ajakin jalan. Biasanya cewek kan suka jaim gitu di depan cowok. Kamu kalau jalan sama Ian juga gitu?” Ricky penasaran dengan selera makan aku, dia menyangka kalau aku rakus karena sedang stress.

“Tanya aja sendiri Rick, aku sama Ian juga sama-sama doyan makan lho!” Ricky menggeleng gak percaya. Setiap mendengar kata Ian aku merasa seperti ada seseorang yang menusuk hatiku.

“Rick, kok aku gak pernah bisa pake high heels ya? Shara sama Rissa selalu bagus kalau pake high heels?” Ricky heran dengan pertanyaanku ini.

“Emangnya Ian nuntut kamu pake high heels?” Aku menggeleng.

“Ya udah gak usah dipikirin, dari pertama ngeliat kamu, aku gak pernah peduli kamu pake sepatu apa.” Ricky tersenyum sambil ngacak-ngacak rambut aku.”

“kamu mau kan jadi temen aku Len? Aku seneng bisa jalan kayak gini.” Masa tipe orang yang menyenangkan seperti Ricky gak punya temen sih?

My pleasure…Emang kamu gak pernah jalan sama temen-temen kamu apa?”

Nop! Sebenernya aku orangnya pilihan Len kalau buat berteman. Kalau kira-kira diajakin ngobrol atau jalan sejam aja gak enak, ya aku gak mau jalan lagi sama orang itu.”

“Berarti aku orangnya menyenangkan Rick? Atau karena aku pacarnya Bos kamu jadi kamu temenan sama aku biar bisa dapetin benefit?” Ricky langsung cubitin pipi aku sambil ketawa.

“Gak ngaruh lagi, Ian itu gak Bossy orangnya, menyenangkan dan gak pernah mempersulit karyawan. Makanya semua karyawan betah kerja sama dia. Tapi dia juga tegas orangnya dan itu bikin karyawannya segan sama dia.”

Mata aku mulai berkaca-kaca ketika Ricky menceritakan tentang kebaikan Ian, dia memang laki-laki yang sempurna. Tapi kenapa dia selalu bikin aku sakit hati ya? Ricky merangkulku dan membelai rambutku.

***

And like always, Bos aku gak keliatan batang hidungnya sama sekali selama beberapa minggu ke belakang. Bodo amat deh! Mending aku beresin kerjaan aku biar gak keteteran. Begitu cek kalender, udah 8 minggu aku gak ketemu Ian. Not even a text or a phone call. Mungkin dia lagi mampir sama bini tuanya? Sekarang aku udah biasa becandain Shara thing.

Ooo iya, sekarang kalau hang out, kita punya member baru. Yupz! Ricky jadi temen kita sekarang. Kita nonton bareng, jajan, dan pastinya makan! Ricky orangnya asyik dan gak gampang marah kalau dibecandain. Terus, karena Ricky juga cowok, plus beroda 4, jadi sekarang kita bisa karaoke sampe jam 11 malem, gak takut atau bingung lagi mikirin pulangnya gimana.

Di kantor pun aku jarang makan di ruangan lagi, soalnya Ricky suka maksain aku biar mau naek ke atas makan bareng dia. Tapi, ada kalanya kalau dia lagi bad mood, dia pasti makan di ruangan aku. Seperti sekarang ini. Lagi asyiknya makan siang sama beef teriyaki, sambil cekikikan ngobrol ngaler ngidul…

            Knock…knock…” Gak ada orang di rumah!” Si Ricky asal nyeletuk aja.                              Pintu pun terbuka….

Can Helen come out and play?” Suara Christian Sugiono yang selalu bikin aku terhipnotis akhirnya bisa aku denger lagi.

“Kalian lagi makan siang ya? Kalau aku ikut gabung boleh ya?” Sambil bawa baki makan siangnya ke meja aku, dia duduk di sebelah Ricky.

“Ehem…Pa, saya terusin di atas aja makan siangnya ya, Pa?” Ha…ha…ha…gemeteran dia disamperin Bos nya.

“Sebenernya sih saya pengen ikut ngobrol sama kalian, tapi kalau kamu maksa, gak apa-apa silahkan.” Aduh beneran jelangkung nih cowok aku. Si Ricky langsung kabur ke atas.

“Kamu…marahin aku aja gak apa-apa, aku emang salah ngilang gitu aja.” Cari masalah nih orang. Pengen liat bogem super aku apa?

“Siapa yang mau marahin siapa? I’m fine thank you.” Kita lanjutin makan siang kita dengan obrolan-obrolan ringan.

“Kamu sekarang jarang banget atau lebih tepatnya gak pernah ikut jemputan kalau pulang ya? Pa Asep bilang kamu pulang sama Ricky terus? Kalian suka ke mana aja?” Mulai kepo…Aku aja ga pernah nanyain kamu ngapain aja sama Shara.

“Nonton, jajan, makan…Mmmmhhhh…karaoke.” Aku berusaha jujur sama Ian karena aku juga ingin dia jujur sama aku.

“Sama Rima juga kan? Jangan berdua ya…nanti ribet lagi kalau sampai dia suka sama kamu.” Gak salah apa ngomong kayak gitu bos? Aku tersenyum sinis sama Ian.

“Yah…kalau Rime lagi gak bisa jalan kadang kita berdua. Kayak pertama kali aku jalan sama Ricky kita ke Bazaar permen & Coklat, terus aku dibeliin macem-macem coklat sama dia. Dari yang standar sampai yang mahal. Terus abis gitu aku diajakin ke Sour Sally juga.” Ian mulai males-malesan ngabisin makan siangnya.

“Kasian banget kamu Yang, jarang diajakin jalan sama aku jadinya jalan sama orang lain.” Kali ini Ian sudah mulai terlihat cemburu. Aku seneng aja bisa balesin kelakuan dia yang suka main rahasia sama aku.

“Biasa aja gak usah kasihan, kita have fun kok. Ricky itu tipe cowok yang menyenangkan gak ngebosenin. Dia malah sebelumnya gak pernah jalan sama temen-temennya.” Ian mulai bosen ngedenger aku memuji Ricky terus.

“Jodohin aja sama Rima, kan mereka berdua single?” Ian lagi cari cara buat mengamankan aku he…he…he…Emang enak digituin.

“Gak dong! Kita sering jalan bertiga dan Rime sama Ricky itu lebih cocok berteman. Percaya deh!”

“Yang, kamu kalaupun temenan akrab sama cowok, tapi jangan mau dirangkul-rangkul atau dibelai-belai rambutnya dong.”

You’ve got to be kidding me! Kamu dapet laporan dari mana?”

I’m watching you! Please don’t do that!…”

“Aku kan cuma temenan aja sama Ricky…Kamu tuh sama aku aja bisa, kamu sendiri di belakang aku kayak gimana?”

“Aku gak ngapa-ngapain! Masih “temenen” juga sama Sammy?”

Text aja, aku belum mau jalan lagi.”

“Kalau aku ngelarang kamu ketemu lagi sama Sammy, kamu mau nurut gak?”

“Atas dasar apa kamu ngelarang aku ketemu sama Sammy?”

“Nanti kamu pusing sendiri Yang, makanya aku bilangin dari sekarang. Dari awal ketemu aja dia udah ngasih sinyal suka sama kamu. Kemaren pasti dia nyangkanya kamu udah single makanya diajakin jalan kan?” Aku tertegun sebentar mendengarkan analisis Ian, tapi memang bener juga sih. Tapi kan Sammy itu orangnya fun, jadi ga masalah kalau jalan sebagai temen sama dia.

“Hhhmmm…kamu diem berarti bener. Jangan jalan lagi sama dia ya? Kecuali kalau kamu emang mau pusing nantinya.”

Ian kemudian menyelesaikan makan siangnya dan dia menunggu di ruanganku sampai waktu pulang. Kali ini dia tidak menghabiskan waktu dengan gadget-nya, dia lebih memilih untuk membantuku meyelesaikan pekerjaanku. Sesekali aku memandang Ian sambil tersenyum karena senang dia ada disampingku dan membantuku.

“Kamu tuh…Kalau aku gak ngeliatin, kamu pelototin aku terus. Kalau aku liatin, kamu pura-pura gak liat. Kamu seneng kan aku nemenin kamu? Kamu cinta ya sama aku?” Ucapan Ian bener-bener bikin aku kelabakan, mukaku seperti biasa berubah menjadi merah. Ian tersenyum senang melihat muka merahku.

Pulang kantor kali ini, kita mampir dulu ke supermarket beli makanan buat malem ini ngumpul di rumah dia.

“Kok tumben belanja makanannya gak besok? Kan besok kumpul-kumpul hari minggu?” Sambil dorongin trolly belanjaan, Ian asyik masukin macem-macem makanan.

“Itu sih beda lagi, besok aja bareng-bareng. Sekarang aku mau beliin buat snack malem ini, sama beliin buat orang-orang di rumah kamu”.

Begitu sampe di deretan rak kecantikan yang banyak kaca-kacanya, aku yang waktu itu kebetulan lagi sok imut, karena tiba-tiba aja pengen pake rok pensil selutut berwarna putih sama blazer item, aku baru sadar kalau ternyata ada noda merah di rok ku. OMG, kayaknya aku dateng bulan deh? Memang sih aku pake panty liner. Tapi mungkin karena banyak, kayaknya udah harus pake pembalut.

Hold on a second…I’ll be right back!” Aku langsung copot blazer aku buat nutupin rok, terus lari ke toilet di sebelah supermarket. Ian yang kebingungan sama sikap aku langsung telepon.

I : “Kamu di mana Yang? Kenapa sih? Bikin khawatir aja!”

H: “Aku di toilet, sorry…Abis ini dadakan tamunya?”

I: “Maksud kamu tamu apa?”

H: “I’ve got my period this month…Mana pake rok putih lagi.”

I: “Ohhh…I see. Ya udah ganti di rumah aja pake yang Rissa.”

H: “Gimana mau ke rumah kamu? Kayaknya aku langsung pulang aja deh.”

I: “Nop!…I won’t let you go home now…”

H: “Aduuhhh…Ian ini kan emergency. Emang kamu mau beliin aku pembalut sama celana   dalem di situ? Kayak gak malu aja?”

I: “Hold on a second…..”

H: “Iihhh….kamu beneran mau ya?”

I: “Cerewet!…Yang mana sih? Ada yang wings sama non wings? Bedanya apa Yang?

H:“Wwkkkk…wwkkk…aku gak bisa bayangin kamu lagi di tempat pembalut…sorry…sorry…”

I: “Awas lho! You owe me!…Eh Yang, celana dalem kamu ukuran S ya?”

H: “Wwkkkk….wkkkkk…Sorry Yang, aku ga nahan aja pengen ketawa sama kelakuan kamu…S.”

I: “Udah dibeliin ginian aja, baru mau manggil aku Yang.”

H:”Apaan???….”

Ditutup gitu aja…Begitu aku cek di kursi depan tunggu toilet, Ian udah ada di situ bawain keperluan aku.

Setelah date disaster itu berlalu, Ian malah belokin arah mobilnya ke arah yang berlawanan sama arah rumah dia, maupun rumah aku. Sampe akhirnya dia berhentiin mobilnya di suatu rumah yang depannya masih dalam renovasi.

“Ini rumah siapa?” Tanya aku yang mulai curiga sama sikap Ian yang tiba-tiba jadi dingin sepulang dari supermarket.

“Aku mau culik kamu biar gak bisa pulang.” Jawabannya malah bikin aku makin parno lagi. Kenapa sih dia? Kita mulai jalan ke dalem rumah itu, dan ternyata ada satpam yang jaga rumah ini.

“Malem pa…Saya tunggu di depan kalau Bapa nyari.” Sapa satpam itu. Ian cuma acungin jempolnya aja. Dia terus jalan sampai akhirnya kita ke lantai atas. Kita berhenti di balkon rumah itu. Dan di sana pemandangannya romantis banget. Ian mulai membuka makanan yang tadi dia beli sambil mencopot sepatunya. Kita duduk di bawah lantai itu sambil nyender di tembok. Karena blazer aku dipake tutupin rok, dia buka blazernya buat aku pake, soalnya emang dingin udaranya.

“Kamu kalau aku ajakin nikah mau gak?” Pertanyaan Ian bikin aku kaget setengah mati. Kenapa dia tiba-tiba nanya gitu ya? Aku menggeleng. Mau nikah gimana, dia gak terbuka sama aku. Pacaran baru 4 bulan juga, ditambah drama tentang Shara masih melekat di pikiran aku.

“Kamu masih belum percaya sama aku ya?” Aku mengangguk.

“Terus biar kamu percaya sama aku, harus gimana? Aku geleng-geleng lagi. Terus terang, lidah aku tiba-tiba jadi kelu. Badan aku juga jadi kaku.

“Hhhmmmm….” Ian menarik nafas dalam-dalam. Dia nyamperin aku dan duduk persis di depan aku, Ian merebahkan kepalanya di atas lutut. Dia mandangin aku, mencoba nyari kepastian atas jawaban aku yang samar-samar tadi. Aku gak bisa ngapa-ngapain dengan posisi dia yang terlalu deket sama mukaku.

“Kalau aku cium kamu mau enggak?” Hell ya! Aduuuhhhh…kali ini lebih parah lagi, leher aku juga tiba-tiba gak bisa gerak. Setelah bibir kita hampir bertemu, tiba-tiba aja aku gak bisa nahan pengen ngomong sama dia.

“Shara itu siapa?” Dan pertanyaan aku bener-bener bikin dia kelimpungan. Entah karena dia gak jadi cium aku atau karena dia ketauan belangnya.

“Kenapa sih Yang gak bisa romantis?…Sekali aja! Aaarrggghhh….” Ian malah beranjak pergi dan ngajakin aku pulang. Tanpa menjawab pertanyaan aku sama sekali. Di mobil dia gak ngomong sepatah kata pun.

“Cowok itu emang egonya gede ya?” Tanya aku berusaha mencairkan suasana yang beku ini. Ian masih gak bereaksi sama omongan aku.

”Kalau aku buktiin sama kamu ego cowok itu emang gede. Kamu harus jawab pertanyaan aku tadi ya.” Masih juga gak digubris. Tatapannya tetep lurus ke jalan tanpa bereaksi sedikitpun.

“Ehem…Gini ya, aku mau ceritain salah satu scene dari film-nya Ethan Hawke Before Midnight. Ceritanya, Ibu salah satu dari tokoh di film ini berprofesi sebagai seorang suster. Tugasnya dia yaitu mendampingi pasien yang baru bangun dari koma. Setiap pasien cewek yang dia jaga, begitu bangun pasti pertanyaan pertama yang keluar dari mulut mereka itu Bagaimana keadaan keluarga saya, anak saya, suami saya? Lain halnya dengan pertanyaan pasien cowok, waktu pertama mereka sadar, hal pertama yang mereka tanyakan adalah…How is my dick?

Akhirnya Ian bisa juga tersenyum dengerin cerita aku ini.

“Gitu dong senyum, kalau cemberut jadi ilang cakepnya.”

“Kalau aku gak cakep lagi gimana? Kalau aku tiba-tiba gendut, perut aku buncit? Kamu pasti tambah gak mau nikahin aku?”

“Udah jangan mengalihkan pembicaraan, mana janjinya tadi? Jawab dulu pertanyaan aku tadi!…”

“Shara itu temen aku sewaktu SMA, anaknya baik. Aku terbiasa ngobrol sama dia, sampe akhirnya dia kerja di kantor aku sebagai PR. Jadi pasti dia sering barengan sama aku. Kamu ngapain tanya-tanya soal Shara?” Sok innocent!

“Aku liat kamu di gramedia sama dia. Inget kan waktu sehari sebelumnya kamu bilang lagi sibuk banget?” Sekarang mau ngeles apa lagi nih?

“Oooh…itu sih emang udah direncanain dari sebelumnya kalau aku mau nganterin dia hari itu. Terus kenapa kamu gak nyamperin?”

“Enggak, takut ganggu.” Aku jadi males mandangin mukanya dia. Daripada ngebahas lagi istri tua dia, mendingan aku tutup mata aku, siapa tau bisa merem. Lagian masih 30 menitan lagi buat sampe ke rumah aku.

“Udah 2 kali aku mau cium kamu kok gak mau terus, Yang?”

“Aku gak suka…kayaknya banyak kuman yang ditransfer, besides…kamu juga masih banyak rahasia sama aku.” Ian hanya geleng-geleng mendengar penjelasan aku.

“Aku bersih, gak jorok jadi gak ada kuman!”

“Tapi masih setengah-setengah, belum sepenuhnya jujur.”

Udah mulai macet nih jam segini. Gak ada lagi diantara kami yang mencoba membuka obrolan. Ian ngebiarin aku istirahat setelah obrolan terakhir yang masih gantung tadi.

“Yang, bangun Yang…udah sampe nih…Aku gak masuk dulu ya, sampe pintu rumah aja nganterin kamunya oke.” Aku cuma ngangguk karena masih males ngomong sama dia.

Bye… thank you!….” Kata-kata aku yang menjadi penutup pertemuan kita malam itu.

Ketika aku buka pintu gerbang, ternyata Doni masih ada di ruang tamu bernyanyi dengan gitarnya. Doni memandangku dengan penuh pertanyaan. Aku duduk di sebelahnya sambil membuka sepatuku.

“Kakak gak masuk dulu Sis?” Dengan senyuman jahil dan gaya khasnya, Doni berusaha menggodaku.

“Enggak…udah malem.” Jawabanku benar-benar datar karena selama ini Ian sudah membuat aku menjadi sedikit pemurung dibandingkan sebelumnya. Akupun mulai merebahkan kepalaku di pundak adikku itu. Saat itu kita bareng-bareng nyanyiin lagunya Daniel Powter-Bad Day.                                                                                                                                                                                    

WHEN I MET THE DOPPELGANGER

Aku gak sadar kalau ternyata sudah 5 bulan aku pacaran sama Ian. Rekor terlama dalam sejarah hubungan aku. Tapi selama 5 bulan, aku ketemu dia gak lebih dari 6x. Tapi aku juga gak bisa nyangkal kalau aku sayang sama Ian.

Kali ini, udah sebulan aku gak ketemu Ian. Ini malam minggu yang tenang buat aku. Aku lagi pengen ngadem, nonton TV di rumah. Lagi cekikikan nonton acara Sarah Sechan, Si Dodol dateng sama temennya, tapi aku belum pernah lihat orang ini. Begitu lewat depan aku, temennya mendadak berhenti dan nyapa aku.

“Helen ya? Aku Faris, Kakaknya Robi.” Ternyata semakin diperhatiin, aku baru nyadar kalau dia ini doppelgangernya Ian yang pernah diceritain Doni. OMG kayak kembar identik gitu! Tingginya mungkin 175cm, potongan rambutnya lebih klimis, suaranya engga seberat suara Ian juga sih. Oke…oke…mungkin bukan kayak kembar identik, tapi lebih kayak sodaraan.

“Hai juga! Nice to meet you!…” Kayaknya Faris orangnya akraban, dia langsung duduk dan memulai obrolan lagi.

“Gak kemana-mana? It’s Saturday night? For a girl like you? It’s weird.” Sebelum aku jawab, Si Dodol keburu sabotase pembicaraan.

“Helen tuh kayak janda Ris, udah mau ½ taun pacaran tapi sang pangeran datengnya 1 atau 2 bulan sekali. Mending cari lagi kaleeee!” Padahal setau aku Doni simpatisan Ian juga, tumben dia nyeletuk kayak barusan? Faris tersenyum dan dia masih duduk di sebelahku, padahal Doni sudah ke kamarnya di atas.

“Kerja?” Aku berusaha membuka obrolan.

“Baru lulus, kamu masih kerja di butik?”

“Kok tau aku kerja di butik?” Faris tersenyum dan menunjuk ke arah kamar Doni.

“Doni ngapain ngobrolin aku sama kamu?”

“Yah cerita aja, katanya Kakaknya cantik, baik, kerjanya di butik, terus…available!” Mendengar omongan Faris bikin aku dag dig dug, apalagi sebelahan gini. Mana mukanya mirip Ian lagi. Faris tersenyum hangat dan menatapku seolah-olah ingin mengenalku, kelakuannya itu bikin aku salah tingkah.

“Emang aku mirip pacar kamu ya?”

“Siapa bilang? Engga kok!” Aku terkejut dengan pertanyaan Faris. Si Dodol beneran wajib ditimpuk nih!

“Doni, terus temen-temen Doni, just rumor…” Aku mencoba fokus menonton TV, tapi Faris yang ikutan nonton di sebelah gak bisa bikin aku tenang. Akhirnya aku pamit ke kamar dan ninggalin Faris ketika Doni turun ke bawah membawa air minum.

Saatnya Me time dengerin musik sambil ngadem. Kali ini The Great Big World feat Christina Aguilera-Say Something.

Minggu siangnya, Faris sudah ada di depan bergabung dengan anak-anak nongkrong. Kali ini dia terlihat lebih rapi dari biasanya, sepertinya dia mau pergi ke suatu tempat. Melihatku sedang asyik dengan gadgetku di teras, Faris menghampiriku.

“Gak kemana-mana, Len?” Aku menggeleng.

“Jalan yuk? Aku mau cari kado buat Mama aku, cuma kalau gak sama cewek takutnya salah.” Berani juga nih anak ngajakin aku jalan.

“Mama kamu ulang tahun? Kenapa gak ajakin cewek kamu?”

“Iya besok ulang tahunnya, aku gak punya cewek.”

“Oh ya?…Mmmhhh…Karena aku iba cowok secakep kamu gak punya cewek, Oke…aku temenin kamu cari kado buat Mama kamu.” Ekspresi wajah Faris terlihat seperti orang baru lulus ujian dengan nilai tertinggi.

Aku mengantar Faris ke mall yang dekat dengan rumahku. Ternyata setelah menghabiskan waktu seharian dengan dia, aku baru tahu kalau Faris anaknya memang supel dan gak neko-neko. Dia juga asyik diajak ngobrol, bisa diajakin temenan nih kayaknya.

“Kamu gak suka Salmon steak ya? Kok gak dimakan?” Faris memergokiku yang sedang menatap dia, entah kenapa aku teringat sama Ian ketika melihat Faris. Salmon steak itu favoritenya Ian, aku jadi kehilangan selera makanku karena sepertinya aku kangen sama Ian.

“Suka kok, aku cuma lagi inget sama pacar aku.”

“Oooh…berarti beneran mirip aku ya?”

Short of…”

“Tapi cakepan aku kan?” Candaan Faris berhasil mengembalikan selera makanku. Dia memang kocak dan rame, sepertinya aku bakalan sering jalan sama dia.

“Selamat pagi Helen!” Suara Faris bangunin aku yang ketiduran semaleman di depan TV. OMG sampe gak sholat subuh.

“Hai! Kamu tidur di sini?” Aku berusaha membuka mataku, sudah mulai terbiasa dengan sleepover-nya Faris di rumah.

“Iya, aku lagi ajarin Doni bikin gambar.” Kenal orang ini sebulan, rasanya sama kayak aku kenal Ian 6 bulan. Doni bilang, Faris berasal dari keluarga yang sejahtera tapi dia termasuk anak broken home. Papanya ninggalin keluarganya demi nikahin seorang mahasiswi muda. Makanya dia betah tinggal di rumah aku yang selalu rame.

“Len, kita beli sarapan yuk! Di deket komplek aku ada serabi yang enak banget lho! Mumpung masih jam 8 pagi, biasanya masih ada.” Mata aja masih susah melek, udah ngajakin jalan.

“Aku mandi dulu ya, baru kita keluar.“ Sambil cari-cari handuk aku pergi ke kamar mandi. Kenapa mendadak aku jadi kangen sama Ian ya? Lagi ngapain ya dia?

I’m ready!” Lumayan juga nih, itung-itung punya temen baru yang seusia buat nemenin curhat di rumah. Baru aja Faris mau keluarin Motor Ninja Super Sport dia dari teras rumah, Hummer item parkir depan rumah aku.

“Ris…ris…bentar!” Aku langsung kasiin helm sama Faris, soalnya pasti dikuliahin sama Bos kalau tau mau beredar.

“Kenapa, Len?” Belum ngeh juga si Faris.

“Itu pacar aku dateng.” Sambil ngasih tatapan sinis sama Ian, Faris masukin lagi motornya ke teras.

“Aku ke atas lagi ya.” Faris buru-buru pergi sebelum aku sempet kenalin dia sama Ian.

“Hai! Siapa yang barusan?” Tanpa basa-basi minta maaf atau rayuan, Ian coba membuka obrolan.

“Kakaknya temen Doni, Faris namanya.”

“Temenan juga sama Doni?”

“Iya, dia kan baru lulus kuliah design graphis, Doni minta diajarin dulu sama dia sebelum dia putusin masuk jurusan itu taun depan.”

“Yang…kita jalan yuk? Terserah kamu mau kemana aja.” Tumben nih jelangkung ngajakin jalan, gak ngajakin ke rumahnya. Saking senengnya diajakin jalan, aku baru inget ada satu event booth ice cream yang belum pernah kesampean aku datengin.                           “Eh ada itu lho Yang Event booth ice cream yang bisa pilih-pilih topingnya sendiri, sekarang lagi di Bandung. Terus ada Bandung Food Bazar juga. Kita ke sana ya?” Ian cuma senyum-senyum seneng sambil ngangguk-ngangguk.

Setelah dandan dikit, aku langsung cabut beredar sama Ian.

“Kamu nyadar gak tadi kamu manggil aku apa?”

“Apa? Aku salah ngomong ya?”

“Enggak, malah kalau bisa kamu manggil aku gitu seterusnya?”

“Apaan sih? GJ kamu!”

“Nih aku kutip ya Ada itu lho Yang Event booth ice cream.”

“Masa sih? Kamu salah denger kali?” Dia cuma senyum-senyum seneng aja, gak ngomenin aku lagi.

“Tadi kamu mau ke mana sama si Faris, Yang?”

“Gak ke mana-mana, cuma mau cari sarapan deket komplek dia. Katanya ada serabi yang enak banget sampe-sampe ngantri”

“Yang…Yang…itu sih modus, paling-paling udah sampe sana, gak jualan orangnya, mending sarapan di rumah aku aja ya? Pasti gitu!”

“Orang Faris suka sleepover di rumah kok. Makanya gaul! Kemana aja 2 bulan ini, Pa?”

“Udah pernah jalan bareng Faris?”

“Udah sekali, nganterin dia beli kado buat Mamanya…Kenapa? Kamu jealous sama Faris?”

“Kalau sama Ricky masih suka jalan?”

“Tiap hari…dianterin pulang juga.”

“Wah…berarti aku harus nambahin uang transport dia ya? Kalau Sammy?”

“Kamu kan ngelarang aku biar gak jalan lagi sama dia.”

“Kamu nurut? Berarti emang bener kan dia suka sama kamu, jadi daripada pusing, kamu nurut gak mau jalan lagi sama dia?” Aku hanya mengangkat alisku, menandakan bahwa Ian benar, tapi aku gak mau kelihatan bersalah.

Ian bener-bener susah dibikin cemburu, dia selalu saja bisa mengendalikan emosi di wajahnya. Damn it!

“Kamu kemana aja selama ini?”

“Aku banyak kerjaan di proyek sama kuliah juga.”

“Kamu gak pernah curiga ya kalau aku pacaran sama Ricky atau Faris?”

“Ngapain, lebih cakep aku dari mereka berdua, terus yang satu malah karyawan aku lagi.” Ian asal-asalan menjawab pertanyaan aku tadi. Pengen banget nyekek dia sampai kejer.

Tujuan pertama kita tempat sarapan, kita cari tempat hang out yang agak santei. Setelah sarapan, Ian mengajakku ke Gramedia untuk mencari buku yang katanya bener-bener dia butuhkan. Di sana, aku benar-benar mengingat posisi dimana Ian dan Shara berdiri. Akhirnya, ketika Ian memintaku menemaninya di bagian itu, aku memilih menjauhinya karena aku tidak mau kalau dia sampai mengingat Shara ketika di dekatku, apalagi sampai salah sebut atau malah menganggap aku ini dia. Ian heran dengan tingkah lakuku ini.

“Yang, kamu kenapa?” Aku menggeleng sambil pura-pura memperhatikan buku-buku lain. Akhirnya aku asal mengambil buku yang paling dekat denganku dan berpura-pura asyik membacanya. Ian kembali di deretan rak buku tempat dia dan Shara dulu.

Seriously? Kamu enjoy banget baca buku itu?” Aku mengangguk sambil menyunggingkan sedikit senyuman.

“Macam-macam penyakit kelamin, Yang? Kamu bener-bener tertarik sama semua itu?” Mendengar Ian membaca judul buku yang aku pegang, benar-benar membuat aku kaget sendiri. Aku membalikkan bukunya dan membaca judul buku itu, kemudian aku taruh kembali di rak. Aku bergegas pergi ke bagian majalah. Ian tertawa melihatku dan kemudian mengikutiku dari belakang.

“Kamu kenapa? Dulu kamu liat aku sama Shara di sini? Kamu kayak De javu?” Aku sama sekali tidak tertarik dengan pertanyaannya itu, aku meninggalkan Ian, tapi dia menarik tanganku dan membawaku ke kasir, dia ingin aku menunggunya sampai selesai. Dia membalas semua sikap dingin aku itu dengan senyuman.

Setelah selesai, aku dan Ian berjalan ke parkiran di belakang gedung ini. Aku sama sekali tidak mau berjalan disamping dia. Aku berjalan di depannya, sehingga Ian mempercepat langkahnya supaya bisa berjalan disampingku. Dia malah tertawa melihat tingkahku ini.

“Kamu ngapain ketawa sendiri? Kayak orang sakit…sakit mentalnya.”

“Yang, udah dong cemburunya?”

“Ih…ngapain aku cemburu sama kamu? GR kamu!” Ian tersenyum dan membukakan pintu mobilnya untukku.

“Silahkan Tuan putri…” Dia malah menjadi-jadi meledekku. Aku membuka handphone-ku dan mulai chat dengan teman-temanku. Aku berusaha mendiamkan dia. Akhirnya setelah memakan waktu yang cukup lama, sampai di pemberhentian berikutnya, aku sudah mulai bisa bertingkah biasa lagi.

Hari ini bener-bener kita habisin buat jalan-jalan berdua. Makan siang udah, nonton udah, masih jam 3 nih? Akhirnya kita putusin mampir dulu ke rumahnya dia, sambil nunggu booth ice cream yang baru buka jam 6 malem.

“Hai Sis! Hebat lho…baru kali ini kakak jadi lebih lembut sama aku, pasti karena Kak Helen. Aku seneng Kakak pacaran sama Kak Helen.” Ucapan Rissa membuat aku bertanya-tanya. Apa mungkin semuanya karena aku?

“Enggak ah biasa aja kok. Riss…kamu tahu Shara? Dia pernah ke sini?” Sebelum sempat menjawab pertanyaannya, Arman membawa Baby Ryu ke pangkuan Rissa.

“Mama aku mau mimi, sebentar ya tante.” Dengan gaya becanda khasnya, Arman memotong obrolan kami dan diasaat Rissa akan berbicara, Ian sudah berdiri di belakangku dan mengajakku ke halaman belakang rumahnya.

“Yang, kamu jangan mau dong kalau dimintain anter cowok. Kamu tuh kadang gak bisa bedain cowok yang suka sama kamu sama yang beneran tulus mau temenan sama kamu.” Ian mulai protes sama kelakuan aku. Yess! Sepertinya misiku membuat dia jealous berhasil.

“Katanya gak cemburu? Bilang dulu kamu cemburu, baru aku berhenti.” Ian gak ngasih tanggapan apa-apa. Seperti biasa, dia bisa mengontrol ekspresi wajahnya.

Malemnya, kira-kira jam 18.30, kita meluncur ke tempat booth ice cream yang dari tadi siang udah kita tunggu. Ian ngasih aku surprise, di sana udah ada Rime sama Ricky, ternyata Ian nyuruh mereka dateng. Kesampean juga keinginan aku jalan bareng mereka berempat.

Aku sama Rima pamit ke toilet sebentar, sementara The Boys are enjoying the ice cream.

“Rick, kamu sekarang tiap hari jalan sama Helen ya?”

“Iya…Kamu keberatan?”

“Enggak, tapi…jangan sampai kamu suka sama Helen ya!”

Are you jelous with me? Seorang Ian Putra Perdana jelous sama aku? Really?

“Aku juga laki-laki biasa kayak kamu, Rick?”

“Sebelum tahu Helen pacar kamu, aku memang suka sama Helen. Tapi waktu aku tahu kalian pacaran, aku juga tahu diri lah.”

“Jadi kamu gak ada feeling sama dia kan?”

“Aku seneng punya temen kayak Helen, aku juga bisa deket sama sahabatnya dia. Kita bertiga sekarang temenan. Relax…everything it’s gonna be oke! Tapi….

“Tapi apa?”

“Kamu harus lebih terbuka dengan Helen. Dia itu paling gak suka rahasia-rahasiaan.”

Hai there!…Pada serius amat?” Aku menghampiri mereka dan duduk di sebelah Ian. Ian hanya tersenyum dan matanya memberikan tatapan yang hangat kepadaku.

“Kamu tau gak tadi kita papasan sama siapa begitu keluar toilet?” Rima gak bisa nahan ketawanya saat menginformasikannya kepada Ian.

“Robert Pattinson?” Tanya Ian asal. Rime menggeleng.

“Ashton Kutcher?” Ricky ikut menebak.

“Aku atau kamu yang bilang, Len?” Rima berapi-api dengan hal favoritnya ini.

“Aku aja, tadi kita foto bareng sama Josh Hartnett.” Jawabku sambil nutup mulut Rime pake tangan, aku gak mau sampai mati kutu di depan mereka.

“Hah! Josh Hartnett!” Ricky dan Ian sama-sama kaget kalau aku ketemu artis idolaku. Rima akhirnya berhasil menghindariku dan mulai ngoceh gak karuan.

“Alien BB!” Ian dan ricky tampak kebingungan, nama itu sangat asing di telinga mereka.

“Siapa Rim?” Tanya Ricky.

“Itu lho Helen’s huge fan! Yang dulu ketemu kita di Pizza, Ian.” Aduuuhhh…Rime skak mat aku. Dia menceritakan semuanya kepada Ricky yang sama sekali belum mengetahui cerita tentang Alien BB. Ricky tertawa mendengar cerita itu.

“Terus, kamu ngasih dia tanda tangan, Yang?” Ian mulai meledekku.

“Boro-boro, Helen baru senyum aja dia langsung kegirangan. Eh malah ngajakin Nge-date plus pegang-pegang rambut Helen lagi.” Rime tuh kadang-kadang emang suka kelewatan jujurnya. Dia gak bisa sensor-sensor dikit yang bisa memacu perpecahan…Haduuuhhh…

“Kasihan Yang, sekali-kali kamu terima tawaran dia jalan. Ntar aku bekelin kamu parfum deh buat semprotin ke muka dia.” Kali ini Ian gak kalah jahilnya sama temen-temen aku yang lainnya. Aku langsung menutup muka aku yang sudah mulai memerah. Mereka bertiga ngacak-ngacak rambut aku yang sekarang jadi objek penderita mereka.

Lumayan agak terobati juga setelah 2 bulan gak ketemu, quality time-lah. Seneeennnggg banget hari ini, tapi di lain sisi, aku juga bakalan kehilangan Ian lagi untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.

Di perjalanan pulang, obrolan kita pun semakin hidup.

“Hobi kamu selain Nonton, jajan, makan, apa lagi Yang?

Cooking, baking, dengerin musik. Aku juga kenal kamu 8 bulan belum tau hobi kamu apa, selain kerja sama belajar?”

“Ha…ha…ha…Olahraga, nonton, jajan, makan. Yang, kamu mau kapan ikut program kuliah di kantor?”

“Ntar deh, tahun depan kali. Biar bisa barengan sama Doni masuknya”

“Oke…Aku paling benci sama labu, aku gak suka.”

“Kamu kenapa gak suka labu? Kan enak kalau dibikin pudding.”

“Gak suka aja, rasanya aneh.”

“Aku paling gak bisa pake high heels, that’s hurt!

“Aku juga heran kenapa cewek suka gak peduli sama rasa sakit kalau udah menyangkut “kecantikan”. I’m glad that you’re not push yourself to do “that thing”soalnya aku lebih menghargai kenyamanan dan kesehatan daripada hal-hal seperti itu.” Aku tersenyum mendengar ucapan Ian, sedikit lega karena dia tidak menuntutku tampil perfect dengan high heels.

“Tapi Shara pake high heels, right?” Aku melirik Ian yang berusaha tidak menunjukkan perubahan ekspresinya. Tapi tetep aja dia sedikit kaget dengan pertanyaanku ini.

“Ya biarin aja, aku gak ngurusin dia…” Ian tidak mempedulikan ekspresi kesalku setiap membicarakan Shara.

“Kamu suka jogging ya? Sama,…malahan itu satu-satunya olahraga yang aku minat..” Tambahku.

“Yang, kamu jangan keseringan jalan sama Faris dong, kalau sama Ricky gak apa-apa aku percaya sama dia. Kalau Faris…aku punya bad feeling kayaknya.”

“Aku juga gak pernah ngelarang kamu temenan sama siapa aja termasuk cewek. Bilang kalau kamu gak pernah jalan sama Shara, aku gak akan jalan lagi sama cowok lain.” Ian terkejut dengan omonganku, dia hanya menatapku tanpa komentar apa-apa. Pertemuan malam itu ditutup dengan senyuman hangat Ian seperti biasanya.

***

Besoknya back to routine, seperti biasa, Ian kembali ditelan bumi. Tapi sekarang aku bisa lebih legowo lagi ngadepin semua ini.

Hari ini gak tau kenapa sepulang dari kantor mata aku berat banget, pengen cepet-cepet hang out sama bantal guling aku. Tapi, Papa minta kita semua kumpul, termasuk Faris, buat dengerin cerita Papa. Papa udah mulai suka sama Faris, makanya dia pengen berbagi kisah romansanya sama mama dulu. Kita sih udah bosen dengernya, kita mau tidur pun sebenernya gak apa-apa, yang penting hadir and gak ninggalin ruangan sebelum ceritanya beres.

Aku duduk berjejer di sofa panjang sama ade-ade aku. Posisinya Doni, aku, Echi. Faris duduk di tangga sebelah sofa panjang. Kalau pegel aku gantian nyender ke Doni atau Echi.

Kayaknya aku ketiduran lumayan lama. Begitu aku buka mata, ternyata aku nyender sama Faris. Katanya Doni tadi disuruh Papa kunci-kunci pintu sebelum tidur. Karena kaget aku cuma bisa melototin dia. Sambil senyum-senyum dia ngomong dengan suara keras di depan keluarga aku, minus Echi yang udah digiring ke kamar karena ngantuk berat.

“Kalau aku pacarin anak Mama sama Papa gak apa-apa? Aku tahu Helen udah punya pacar, tapi…selama belum nikah, sah-sah aja kalau masih dalam tahap pilih-pilih. Lagian orangnya juga hampir gak pernah dateng. Mau ya jadi pacar aku?” Gila nih orang, Skak mat aku di depan keluarga aku. Aku hanya bisa melongo kayak orang dongo.        

“Ini sih urusan anak muda, orang tua ngikutin aja selama itu bener.” Singkat tapi tidak bertanggung jawab omongan papa tadi.

Orang tua aku bergegas ke kamar, Doni juga pindah ke atas. Aku perhatiin mukanya Faris dengan maksud cari jawaban dari pertanyaan dia tadi.

“Keluarga kamu udah oke, tinggal kamu. 1…2…..ti…ti…ayo dong Len, just say I do. Aku janji bakalan perhatiin kamu. Kamu bakal punya pacar beneran sekarang, gak bakalan malming di rumah lagi sambil senewen.” Gimana ya? Aku juga gak tau Ian jujur apa enggak?

“Oke! Kita pacaran.” Lho kok aku ngomong gitu? OMG jangan sampe deh jadi rusuh!

Janji Faris sama aku emang bener, seminggu pacaran sama dia perhatiannya kayak selama ini aku pacaran sama Ian. Faris orangnya terbuka, dia gak banyak rahasia sama aku. Sekarang dia mulai bekerja di perusahaan industri yang lumayan besar. Tapi aku masih belum berani kenalin Faris ke Rime sama Ricky. Mereka kan simpatisan Ian banget.

Pagi ini, kita mau cari serabi yang dulu Faris sempet batal ajakin aku. Begitu sampe di tempat jualannya…

“Gak jualan nih si Emaknya, Len, gimana ya? Kita sarapan di rumah aku aja ya? Deket kok.” Kayaknya aku pernah denger omongan itu?

Ini kali pertama aku maen ke rumah Faris. Rumahnya besar juga, walaupun gak semewah komplek-komplek elite, tapi cukup mewah untuk ukuran komplek perumahan PNS. Pagi ini aku sarapan nasi goreng buatan mamanya Faris. Enak juga rasanya mmmhhhh yummy….

Mamanya Faris lebih pendiem, gak banyak ngomong, tapi dia juga baik sama aku.

“Kalau Faris harus banyak dimaklum ya Len, orangnya terlalu terus terang.” Mamanya, mencoba membuka obrolan sama aku.

“Engga kok Bu, Faris orangnya baik, sopan, udah kayak keluarga sendiri di rumah saya.” Kunjungan aku ke rumah Faris hari ini bener-bener membuka pikiran aku tentang keluarga dia. Faris gak punya temen ngobrol di rumahnya. Ade Faris, Robi sibuk dengan hobi futsalnya.

Berbeda dengan dinding rumah Ian yang seperti galeri foto, di ruangan keluarga ini hanya ada sedikit foto. Foto wisuda Faris dan adiknya dari TK sampai sekarang dan foto mereka bertiga tanpa memajang foto Papanya satupun.

“Hai Robi!”

“Hai! Kesampean juga Faris mau pacaran sama Kakaknya temen aku?” Robi ternyata gak jauh beda sama Faris, ngomongnya ceplas-ceplos. Aku hanya menimpali omongan Robi dengan senyum, sementara Faris yang baru ganti baju nimpukin kepala Robi dari belakang. Faris duduk di sebelah aku, dia merangkul aku di depan mamanya.

“Ma, aku sama Helen serasi kan?” Mamanya hanya tersenyum melihat kelakuan anaknya yang super manja sama aku.

“Kalau aku liat sih lebih mirip kakak ade.” Robi berusaha memancing mood kakaknya saat itu. Setelah dipelototin Faris, Robi baru ngacir ke kamarnya.

Faris mengajakku ke teras belakang rumahnya. Di sana dia asyik menggambar salah satu kerjaan kantornya. Aku memberanikan diri bertanya tentang keluarganya dia. Aku ingin mengetahui sedikit tentang keluarga dia, sehingga aku bisa merasa mengenal mereka.

“Kok gak ada foto Papa kamu, Ris?” Faris menggeleng dan sekarang matanya terlihat sendu.

“Kamu boleh tanya apa aja tentang keluarga aku asal jangan yang nyangkut itu.”

“Bapa, Ayah, Papi, Dady kamu gak ada fotonya?” Aku ingin Faris lebih percaya denganku, aku sengaja membuat pertanyaan yang serius ini terdengar lebih santai. Faris berhenti mengerjakan tugasnya dan mulai berbicara denganku.

“Aku gak mau pajang foto itu, karena dia rela ninggalin aku, terutama Mama dan Ade aku, demi cewek murahan.” Aku tidak kaget mendengar jawaban Faris itu.

“Udah lama perginya?”

“5 tahun yang lalu…”

“Itu kan udah lama Ris, kamu gak bisa terus-terusan membenci Papa kamu seperti itu. Keadaanya juga gak bakalan berubah dengan kebencian kamu itu.” Faris menatapku dengan tajam, dia menggenggam tanganku.

“Kalau kamu cinta sama aku terus kita nikah, terus tiba-tiba aku niggalin kamu sama anak-anak kita karena aku lebih memilih cewek yang lebih muda, gimana perasaan kamu?” Aku tesenyum dan membelai wajah Faris.

“Mungkin untuk 1-2 tahun aku belum bisa terima, tapi…aku juga harus bisa menerima karena mungkin memang jodoh kita hanya sampai hari itu. Aku gak mau selama hidup aku ada dalam kebencian.” Faris tersenyum dan beranjak dari lantai, dia mengajakku pergi.

Faris ngajakin aku nonton, tapi bukan di tempat biasa aku sama Rime nonton, di mall deket rumah. Seperti biasa, nonton, jajan, makan dan akhirnya pulang ke rumah. Tapi, bedanya, keesokan harinya aku bisa ketemu dia kapan aja. Baru ngerasain lagi enaknya punya pacar. Kalau dia ada tugas ke luar kota, pasti sempetin dulu telepon or text.

Kadang Faris bisa bersikap bener-bener dewasa, tapi di hari yang lainnya dia bisa berubah menjadi super manja. Kayak hari ini, setiap mau ada meeting, pasti dia maunya dipasangin dasi sama aku. Begitu dasinya rapi, dia langsung cium kening aku sambil bilang I love you. Ian aja yang pacar resmi aku belum pernah semesra ini, gandeng tangan aja enggak. Bener-bener bertolak belakang kelakuan mereka ini. Yang satu super cool, yang satunya bener-bener warm.

Hari ini, sebulan aku pacaran sama Faris. Kebetulan semalem dia sleepover di rumah, jadi pagi-pagi begitu Pa Asep jemput, dia ikut anterin aku keluar.

“Beneran kamu gak sarapan dulu? Ntar masuk angin lho!

“Gak apa-apa Ris, ntar juga di jalan atau begitu sampe kantor rotinya dimakan.” Faris ngorek-ngorek isi tasnya kayak lagi cari sesuatu, eh dia ngeluarin coklat segitiga.

“Nih, coklat aja ya sarapannya, gak ada alesan ribet kan kalau coklat?” Enggak ribet cuma nempel di gigi kaleee…

”Titip calon istri saya ya, Pa.” Busyet deh Faris, kamu ngomong gitu sama simpatisannya Ian. Haduuuhhh…bisa-bisa rusuh nih!

Begitu sampe kantor, aku langsung sibuk kerja sambil cari cara gimana buat ngeles dari Ian, jaga-jaga kalau dia ada.

Aku liat Pa Asep masuk kantor Bos.text singkat dari Ricky. Kok jadi mual gini sih, beneran masuk angin deh. Begitu aku mau makan rotinya….Knock…Knock…

May I come in?Dateng juga nih orang.

“Kamu belum sarapan? Pucet banget muka kamu, Yang? Kamu sakit ya?” Ian menempelkan tangannya di kening aku. OMG aku nervous banget, takut ketauan.

“Nanti lagi kalau Pa Asep jemput, terus kamu belum sarapan, suruh tungguin aja dulu bentar sampe kamu selesai sarapan.” Kok tambah mual sih dengerin Ian ngomong?

“Pa Asep bilang tadi ada cowok mirip aku nganterin kamu ke mobil sambil bilang titip calon istri saya, Si Faris ya?” ketauan deh…Aku menghela nafas.

”Faris itu orangnya suka becanda, gak usah diambil hati.” Mudah-mudahan Ian percaya.

“Trus, kamu dikasih coklat ya? Ini kan coklatnya?” Sambil bawa coklat segitiga di atas meja aku.

“Mending kamu makan roti aja, coklatnya biar aku yang makan.”    

“Terserah kamu deh, aku mau sarapan terus minum obat biar bisa kerja lagi.” Ian belum beranjak sedikitpun dari hadapanku. Akhirnya aku putusin puter kursi aku ngebelakangin si Bos. Aku biarin dia nungguin aku sampai selesai makan. Tiba-tiba handphone aku nyala, karena tanggung lagi ngunyah plus males ngangkat juga, aku biarin suara Ariana Grande dan kawan-wan yang lagi nyanyiin Bang-Bang, itung-itung mood booster. Sampe akhirnya…

“Halo!…Faris ya? Ada nih di sebelah aku lagi sarapan, mulutnya kepenuhan sama roti jadi gak bisa ngomong, ya Yang? Sambil ngelirik sama aku. Kacau…rusuh…kisruh!…ngapain dia pake angkat-angkat telepon aku lagi…Ian tutup teleponnya begitu percakapannya selesai. Dia merogoh saku celananya dan ngeluarin iphone 6- nya.

“Yang, sementara kamu pake iPhone aku yang ini dulu ya! HP kamu aku yang pake….”Apa nih maksudnya? Kenapa sih dia? Biasanya juga sok cool

“Gak bisa gitu dong, nanti kalau ada orang yang ngehubungin ke iPhone kamu or ke HP aku gimana? Jawab aku yang langsung berdiri berusaha ngambil Samsung S4-ku, tapi, Ian masih gak kasih tuh HP.

“Gak ada kok, iPhone yang itu khusus buat orang-orang deket aku aja. Kalau ada yang coba ngehubungin kamu, ntar aku kasih nomor itu deh…” Ian langsung masukin HP ku ke dalam saku celananya dan ngangkat tangan dia lebar-lebar, seolah-olah nantangin aku kalau berani ambil aja sendiri!…Akhirnya dengan ragu-ragu, aku ngambil langkah maju ke arah Ian untuk merogoh sakunya, sampai jarak aku sama dia tinggal sejengkal lagi.

Begitu aku mendogak ke atas, ternyata mukanya Ian berubah menjadi merah, sepertinya baru aku cewek yang bisa sedekat ini sama dia. Akhirnya, karena gak tahan liat dia grogi, aku yang tadinya mau hanyut dalam suasana yang harusnya berakhir dengan adegan kissing or hugging ini, lebih memutuskan untuk cubitin six pack-nya dia, sampe-sampe dia kewalahan ngehindarinnya.

“Awww…awww….aduhhhh, Yang udah dong stop!” Sambil berlari keluar dari ruangan aku dengan senyuman kemenangannya. Hhhhhmmm…masa iya aku harus kejar-kejaran sama dia kayak ababil? Aku pun pasrah dengan HP aku yang dibajak sama dia.

Len, HP kamu kok bisa dibajak gitu?” Text dari Faris ke HP Helen.         

“Sorry…still me!…” Sialan si Faris cari-cari kesempatan. Aku gak bakalan ngasih dia kesempatan deketin Helen.

Akhirnya…aku coba liat isi iPhone 6 ini. Ternyata, wallpapernya foto aku yang lagi gendongin Baby Ryu. Setahu aku dulu yang ambil gambar ini kan Rissa? Dan ketika aku buka contactnya, emang bener, cuma ada nama aku, keluarga dia, Rime, sama Ricky….Hmmm…kok bisa ya aku gak marah diginiin sama Ian? Handphone-kan sifatnya private, pake dibajak segala.

Eh..tiba-tiba aja lagu Daft Punk-Get Lucky mengalun dari ponsel yang lagi aku pegang ini. Ternyata incoming call dari nomor Ian yang satunya lagi.

“Ooo iya Yang, berkas yang kemaren sore kamu beresin dulu ya. Ntar jam 11 tolong anterin ke ruangan aku ya. Thank you.” Tumben dia minta aku yang anterin?

11.00 Aku udah otw ke ruangannya Ian.

“Eh…eh…Len…mau ke mana?” Si ricky juga bawa berkas yang katanya mau dianterin ke ruangannya Ian, begitu Ricky ketok pintunya, tiba-tiba mualku kambuh lagi.

”Rick…Rick…aku titip berkasnya ya.” Aku langsung balik badan, tapi Ricky keburu buka pintunya dan Ian lihat aku mau kabur.

“Yang…Yang…sini masuk dulu sebentar!” Dengan terpaksa aku memasuki ruangan Bos aku ini.

OMG, kalau aku gak salah liat itu Marissa Nasution. Ternyata Marissa kliennya Ian. Cantik bangettt…malahan lebih cantik aslinya daripada di TV!

“Marissa aku mau kenalin calon istri aku Helen…Yang, ini klien aku Marissa.” Calon istri? Gak mau kalah sama si Faris nih! Kok aku jadi malu sendiri ya, di depan cewek perfect ini Ian malah ngenalin aku sebagai calon istrinya.

“Siang ini kita mau makan siang di luar, aku mau kamu ikut ya!” Gak bakalan aku PD duduk semeja sama Marissa, yang ada aku disangkain asistennya lagi.

“Aduh, kayaknya aku masuk angin deh, aku gak bisa ikut. Aku makan siang di sini aja ya? Ini pencernaannya lagi gak bagus juga.” Mudah-mudahan Ian setuju.

“Ya kan masih ada waktu sejaman lagi, siapa tau kamu udah enakan nanti.” Huu…uuhhh selalu aja ada jawabannya Ian yang bikin aku bingung. Begitu keluar ruangan, Ricky langsung berkicau.

“Len….busyet!…Marissa Nasution Len!…. Kamu kenapa gak bilang mau aja ikut makan siang, asal sama Ricky gitu.” Yaaahhh…ini lagi marmut, bisa aja nyelem di aer keruh.

“Tau ah aku mau kerja lagi.” Gimana caranya ya, biar aku gak usah ikut lunch di luar?

12.00 Aku buru-buru lari ke tempat makan di atas sambil gandeng Ricky.

“Rick…Rick..buruan kita makan!” Ricky hanya bisa menurut karena aku udah tarik dia, setengah maksa tentunya.

Belum habis setengah porsi, Bos udah nyamperin.

“Yang, aku ke ruangan kamu udah kosong, taunya di sini. Beneran kamu gak akan ikut makan siang di luar?”                                                                                                                     “Iya bener, daripada ntar di sana aku malah kambuh mual mulesnya”.

“Ya udah aku temenin dulu kamu makan siang di sini ya…”.

“Gak usahlah…Kasian lho Marissa nungguin…aku di sini aja sama Ricky.” Ian duduk disebelahku, dan saat itu aku sadar bahwa teman-teman sekantorku mulai memperhatikan kami.

“Enggak…aku nungguin sampe kamu selesai makan. Dia nunggu sebentar gak apa-apa kok.” Gimana aku bisa makan kalau dipelototin gitu? Ricky juga jadi aneh gak karuan makan diliatin bosnya. Walaupun kita pernah makan semeja di luar, tapi bukan suasana kantor yang formal seperti ini.

“Beneran Yang aku gak apa-apa kok, malahan kamu tungguin gini jadi gak enak makannya. Apalagi semua mata mulai terarah ke sini lagi.” Harus dirayu nih biar dia mau pergi.

“Biarin aja gak usah mikirin omongan orang yang gak perlu. 5 menit lagi ya? Aku masih mau di sini.” Yah ini jelangkung gak bisa diprediksi maunya apa.

Lima menit kemudian,…

“Yang aku pergi sekarang ya…Ntar kalau kamu masih sakit telepon aku aja, biar aku yang anterin kamu nanti.” Seneng banget aku diperhatiin gini sama dia, coba gak 2 bulan sekali ya. Tapi kenapa juga aku gak bisa ngomong sama dia langsung tentang kemauan aku? Susah banget mau protes sama kelakuan dia yang seenaknya muncul.

Sorenya sebelum pulang, karena Ricky udah selesai duluan, dia nunggu di ruangan aku sampe aku beres.

“Eheemmm…calon istri nih?” Ledek Ricky.

“Gak tau tuh orang….”

“Len, kamu masih masuk angin ya?” Tanya Ricky, sambil megang-megang kayu putih yang ada di meja aku.

“Agak lumayan, kan udah diolesin minyak kayu putih Rick.” Jawab aku enteng sambil terus beresin kerjaan aku.

“Aku minta ya, aku seneng sama wanginya.” Sambil ngolesin minyak kayu putih di leher sama pergelangan tangannya.

Knock…knock…

“Masih sakit, Yang?…Mmmmhhh…wangi kayu putih ya?” Tanya Ian. Tumben dia balik lagi ke kantor, biasanya kalau habis lunch di luar suka bablas.

“Iya, tadi Helen abis diolesin minyak kayu putih.” Jawab Ricky, sambil main-mainin minyak kayu putih di tangannya. Tiba-tiba aja, sorot mata Ian berubah menjadi marah, tangannya dia membentuk kepalan kayak yang mau nonjok orang.

“Kamu yang olesin Rick?” Tanya Ian dengan nada marah. Kita yang gak tahan denger pertanyaan Ian cuma bisa ketawa-ketawa sampe perut kita terasa sakit.

“Enak aja kamu ngomong!…Ya sendirilah diolesinnya. Masa iya sama Ricky? Kok bisa sih kamu kepikiran gitu?” Ian yang merasa malu sama kelakuannya sendiri langsung nyamperin dan nyuruh Ricky cepet-cepet pulang.

“Pulang sana kamu cepetan Rick, gangguin orang pacaran aja!” Yah…begitulah kalau Bos udah salah, karyawan tetep harus mengalah. Ricky pun keluar sambil berusaha nahan ketawanya.

“Kamu gak gemeteran apa deket Marissa? Aku aja cewek seneng banget ngeliat dia, sampe speechless.” Sebenernya sih masih mau ketawa, tapi kasian nih cowok aku, bisa-bisa gak balik lagi saking malunya.

“Enggak biasa aja…aku gemeteran kalau deket kamu.” Jawab Ian singkat.

“Kalau deket Shara?” greget deh sama masalah ini. Buruan jawab bos!                    

            “Enggak…Dibilangin cuma deket kamu aja!” Jawab Ian sambil beresin file-file di meja aku, dan itu tandanya dia ngajakin pulang.

“Yuk ah cepetan, kita pulang!…” Ajak Ian. Kenapa sih, selalu aja GJ kalau aku tanyain Shara?                                                                                      

Malamnya, Ian menemui Shara di sebuah café sekedar untuk mengobrol. Ian sedang bermain dengan gadgetnya sambil menikmati secangkir Hot Chocolate. Shara sesekali menatap Ian dengan senyuman manis di bibirnya. Shara seakan-akan menikmati kebersamaannya bersama Ian.

“Kenapa kamu gak bilang tentang kita sama Helen?”

“Ga kpenting…gak ada yang harus dijelasin.”

“Kamu bener-bener suka sama dia ya?”

Ian menghela nafas dan tersenyum kepada Shara. Selama ini Shara belum pernah melihat Ian benar-benar memiliki perhatian kepada lawan jenisnya.

“Kamu yakin gak akan cerita?”

Nop!

“Oke…aku udah ingetin kamu, sekarang terserah kamu.”

WHAT SHOULD I DO?

Sebulan berlalu dari pertemuan aku sama Marissa. Sebulan juga aku gak ketemu Ian. Tapi, malem ini 2 bulannya anniversarry aku sama Faris. Faris makin perhatian sama aku, aku juga nyaman deket dia. Kalau sama Faris, aku bisa nyender, rambut aku dibelai, kalau mau nyebrang tangan aku pasti dipegang. Ian sekalipun gak pernah gandeng tangan aku. Lagi asyik-asyiknya hang out sama anak-anak di depan rumah termasuk Faris juga, Hummer item parkir di depan rumah aku.

“Halo semuanya!” Kok jadi canggung gini ya kalau bentrok? Seperti biasa, dia keluarin dulu sesajennya.

“Ngapain sih dia ke sini gak bilang-bilang?” Faris mulai ngerasa keganggu sama kehadiran Ian. Aku masuk ke rumah sambil bawain sebagian sesajen Ian. Kali ini orang tua aku gak berani keluar nemuin Ian.

“Pada kemana orang rumah?” merasa kehilangan sambutan, Ian nanya sama aku.

“Papa lagi di pos sama Bapa-bapa, Mama agak pusing jadi tidur.” Udah terbiasa sekarang bikin skenario dadakan.

“Yang, minggu depan kan ulang tahunnya kamu?” Tanya Ian antusias.

“Iya aku tau, malahan aku kaget kamu inget.” Bales aku yang masih kesel karena dia gak ngasih kabar sebulan ini.

“Mmmmhhh…karena ada kemungkinan aku gak bisa nemuin kamu hari itu, aku mau ngajakin kamu keluarnya hari ini aja ya?” Ajak Ian.

“Gak usah…Dulu juga aku gak ngasih yang special waktu kamu ultah.” Gila deh ngajakin aku jalan sementara Faris ada di luar.

Seperti biasa, karena dia itu hobi banget maksa, akhirnya aku mau juga diajak Ian ke luar.

“Ayo cepetan siap-siap, ntar kemaleman lagi!”

“Emang kita mau ke mana sih? Kok gak bilang dari siang mau ngajakin jalan?”

That’s the element of Surprise, ntar aja liat sendiri.” Jawab Ian sambil beranjak keluar. Aku gak berani liat muka Faris, dari gerbang udah jelas keliatan asem banget tuh muka.

Aku manggil Doni supaya nyamperin aku.

“Don, bilangin Mama, aku pergi sama Ian ya. Kayaknya agak malem pulangnya. Kalau ngantuk, kunci simpen aja di pot.” Pinta aku sama Doni. Doni cuma ngasih isyarat kalau keadaan bisa lebih memanas lagi.

“Siap-siap aja pulangnya Sista!” Ledek Doni sambil liatin Faris. Ian mulai bunyiin klakson mobil. Aku meninggalkan rumah tanpa basa-basi sama Faris.

“Si Faris mukanya keliatan kesel banget lho, Yang…Masa kamu gak sadar? Apa pura-pura gak tau?” Tanya Ian penasaran.

“Gak tau…gak perhatiin!….”Jawab aku pendek.

He crush on you! Come on, Yang…Dari pertama ketemu aja dia belum pernah sapa aku coba! Perasaan aku gak pernah punya salah sama dia. Ngobrol aja enggak pernah. Kenapa lagi kalau bukan karena dia suka sama pacar aku!” Tanya Ian lagi yang kali ini pertanyaannya atau lebih tepat pernyataannya lebih penuh tekanan.

“Katanya kita sekarang mau ngerayain ulang tahun aku? Kok auranya udah negative gini sih?” Aku gak mau aja kebiasaan Ian banting setir kalau lagi bad mood tiba-tiba kambuh. Mau dibawa kemana lagi coba?

“Oke…tapi lain kali kamu bilang ya sama aku.” Kayak dia gak punya rahasia soal Shara aja. Selama di perjalanan Ian lebih pendiam dari biasanya. Aku melihat dia malam ini lebih charming dari biasanya. I know that I miss him so much.

Akhirnya Ian parkir mobilnya di sebuah resto di kawasan Dago atas. Tempatnya sejuk banget, jauh dari kebisingan kota. Begitu turun dari mobil, bulu kuduk aku langsung merinding. Suasananya romantis. Tempat makannya terdiri dari gazebo-gazebo besar yang jaraknya berjauhan satu sama lain. Otomatis privasi kita terjaga di sana.

“Yang, kamu bisa gak keep positive, apapun yang terjadi sama hubungan kita?” Tanya Ian gantung, seperti biasanya. Eh…aku baru sadar, kalau Ian hari ini pake kemeja tangan panjang Navy blue hadiah ulang tahun dari aku.

“Tergantung…Tergantung apa kamu jujur alias bisa dipercaya, atau enggak?” Jawab aku singkat. Ian keluarin kotak panjang beludru warna biru tua dari kantong celananya.

Happy birthday, Yang…Kamu juga harus percaya sama aku. Karena kalau suatu hubungan tidak didasari kepercayaan, pasti gak akan bisa bertahan. Dan aku gak mau kalau sampe kita kenapa-kenapa.” Terang Ian dengan pasti. Dia mulai membuka kotak itu, yang ternyata berisi gelang emas putih yang tertutup dengan bling-bling dan cantelannya huruf i kecil. Ian pasangin gelang itu di tangan kiri aku.

Aku cuma bisa melongo kebingungan. Gimana nantinya Faris ya? Tapi, Ian juga selalu punya rahasia tentang Shara, dan aku pun punya rahasia tentang Faris. Just call it even!

Sambil mandangin gelang di tangan aku, aku berusaha merangkai kata-kata yang pas buat aku omongin sama Ian. Ian belum mau mengganggu kesenangan aku yang masih PDKT sama kado pemberiannya. Sampai suara waiter yang sepertinya gak asing lagi mengagetkan aku.

“Ehem…Mau pesan apa Mba?” Begitu aku liat…ternyata Rime, Ricky, dan keluarga Ian sudah berdiri di belakang aku meniupkan terompet-terompet kecil sebagai surprise party ulang tahunku.

Happy birthday Helen!…” Secara kompak mereka meneriakkan ucapan selamat kepadaku. Ricky yang waktu itu membawa birthday cake-nya minta aku sama Ian tiup lilinnya.

Make a wish dulu dong biar cepet merit!” Teriak Rissa, Baby Ryu kali ini dititip di Mamanya Arman. Begitu Aku sama Ian tutup mata buat make a wish, taunya mereka mulai olesin muka kita sama birth day cake. Alhasil terjadilah perang kue. Termasuk Papa sama Mamanya Ian yang kali ini belepotan kue karena diolesin anak-anaknya. Kalau aku mana berani!….                                                                                                                                   Dinner malem ini kita lewatin dengan badan yang lengket karena krim kue. Tapi lucu juga, Ian yang selalu rapi sama keluarganya, baru kali ini berantakan. Hangatnya keluarga Ian sama seperti yang aku rasain di keluarga aku. Kalau sampe orang tuanya bela-belain dateng buat ulang tahun aku, berarti Ian emang serius sama hubungan kita. Gak mungkinlah Shara sampe dikenalin sama keluarganya juga kan?

“Nih kado dari aku, ini dari Ricky.“ Kata Rime yang ikut latah ngasih kado hari ini. Padahal kan mereka seminggu lagi pasti ketemu sama aku.

“Kalau ini dari Mama sama Papa, yang ini dari Baby Ryu.” Ucap Rissa gak mau kalah.

“Buka dong…buka…buka…buka!…” Teriak Arman yang sekarang udah mulai ngobral kekocakannya di depan aku. Seneng banget rasanya malem ini, kayak beneran aku ulang tahun hari itu.

Aku membuka kado pertama dari Mama dan Papanya Ian, sebuah tas Prada original berwarna shock pink. Rima dan aku sama-sama melotot melihatnya. Ricky memberiku jam tangan guess keluaran terbaru berwarna gold, sedangkan Rime memberiku Ipod shuffle supaya aku bisa lebih sabar jika sedang menunggu seseorang. Last but not least, dari Rissa dan Arman. Aku, Ian, Rime dan Ricky sama-sama heran melihat kado dari Rissa…High heels berwarna putih dengan renda di bagian depannya. Untuk mereka yang sudah lama mengenalku, pasti akan tertawa jika mereka melihatku memakai high heels. High heels adalah musuh bebuyutanku, tapi karena ingin menghormati permberian mereka, alhasil yang keluar dari kami berempat hanyalah senyuman terpaksa.

“Gimana? Suka kan Sis? Pokonya nanti harus dipake ya! Aku belum pernah liat Kak Helen pake high heels sebelumnya.” Rissa memang maniak high heels, dia bilang sepatu yang bagus bisa membuat kita seperti seorang Diva. Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum pasrah.

Waktu berlalu sangat cepatnya, gak kerasa 15 menit lagi sudah tepat tengah malam. Sebelum beranjak pulang, aku bergegas ke toilet dulu. Udara di sini dingin banget sampe aku bolak balik ke aer. Di sana ada jembatan gantung kecil dan disebelah kirinya ada gazebo yang diisi sama kumpulan ABG SMP atau baru masuk SMA kalau dilihat dari gayanya. Tiba-tiba salah satu cowok dari kumpulan itu menghadang aku sambil mengulurkan tangannya.

“Hai! Boleh kenalan gak?” Sialan nih anak ingusan! Maluuu deh kalau sampe keliatan Ian, pasti diketawain. Padahal aku udah dandan sedewasa mungkin. Kali ini aku pake kemeja hitam yang tangannya digulung sampe sikut plus celana putih ¾. Masa masih aja keliatan kayak ABG sih?

Belum sempet ngeladenin brondong manis ini, Arman udah ada di belakang aku berdiri di jembatan gantung sambil nahan tawanya. Akhirnya aku buru-buru lari ke toilet. Mudah-mudahan Arman gak bilang sama Ian ya….Aduuhhh kalau lagi gugup gini kenapa suka mules ya?…..

Begitu menuju ke tempat parkir, ternyata semuanya lagi pada ketawa ngedengerin ceritanya Arman. Mampus deh! pasti lagi ngomongin aku.

“Gimana Brownies-nya…dapet?” Sambil ketawa-ketawa Ian sama yang lainnya gak peduli sama muka aku yang pastinya udah merah saat itu. Aku buru-buru masuk ke mobilnya Ian karena malu setengah mati.

24.00…Cinderella harus kembali ke tempat asalnya. Akhirnya semua kawanan tadi bubar ke sarangnya masing-masing. Di perjalanan, Ian masih aja senyum-senyum inget sama kejadian barusan.

Selama di perjalanan mukanya Ian sumringah banget, aku juga masih berbunga-bunga mengingat kebersamaan tadi. Pengen deh tiap hari akur gini, gak usah mikir-mikirin orang ketiga atau hal-hal negative lainnya. Eh…ngomong-ngomong orang ketiga, mudah-mudahan aja Faris udah pulang atau udah pada tidur ya.

“Yang…Kamu mimpi apa sih semalem? Hari ini kamu bikin aku ketawa terus….Ehhmmm…I can see your bra for a second time?” Sambil nunjuk ke arah dada aku.

OMG, ini apalagi, kancing tengah kemeja aku kebuka, sampe kalau dari pinggir bisa keliatan bra satin putih aku. Kenapa sih tiap pake baju item putih selalu sial aja. Aku udah kebal diketawain terus, akhirnya aku tutupin muka aku pake majalah.

Setengah jam kemudian aku sampai di rumah. Dan ternyata pintu depan masih terbuka, Faris sama Doni masih asyik maen gitar di teras rumah. Karena udah malem banget, aku minta Ian langsung pulang aja.

“Kamu hati-hati di jalan ya! Udah kemaleman takut ada orang jahat nanti.” Waktu aku bilang gitu, taunya Faris denger dan cuma mandang aku sinis. OMG rusuh nih! Senyuman hangat Ian menutup pertemuan kita malam itu. See ya Ian!

“Kamu gak bisa marah Ris, kan kamu tau resikonya kayak gini.” Sambil nyelonong ke dalam rumah, aku berusaha bangunin Faris dari mimpinya yang beranggapan dia satu-satunya pacar aku.

“Tapi kan kamu sendiri yang bilang kalau kamu bosen sama kelakuan Si Ian yang seenaknya, atau kamu lupa sama kebencian kamu setiap kali ngeliat hummer itemnya?” Kalau udah gini, males deh ngeladeninnya. Mendingan buru-buru tidur ke kamar daripada tambah panjang urusannya. Semoga besok ceritanya bakalan lebih baik lagi.

Sekarang hari ulang tahun aku. Semalam Faris baru pulang dari luar kota. Aku dan Faris masih belum melanjutkan pembicaraan kita seminggu yang lalu. Sepertinya dia masih marah sama aku.

Matahari mulai muncul malu-malu, sekarang sudah memasuki musim penghujan. Maleesss banget mau bangunnya juga. Enaknya sih kalau lagi libur gini, tidur seharian.Tapi aku janji mau anterin Doni cari kain buat celana panjang. Begitu buka pintu kamar, aku lihat Faris ketiduran di sofa.

“Ehem…ehem…Good morning Faris! Waky!….waky!…it’s 8.00 am.” Sambil berharap dia lagi pemaaf hari ini.

“Hai Sweety! Nice to hear your voice in the morning. Happy birthday…I love you so much.” Faris mencium keningku sambil berusaha membuka matanya. Nah gitu dong genit lagi.

“Aku mandi dulu terus cabut nganterin dulu Doni bentar ya.”

“Kamu kan boncengan sama aku, Doni pake motornya sendiri.” Kampret si Dodol ngajakin Faris gak bilang-bilang, kan masih canggung gara-gara berantem seminggu yang lalu

“Oh gitu ya?…oke.”

Akhirnya kita bertiga jalan seharian. Karena Doni ade aku, jadi aku gak ngerasa dia third wheel. Kita nikmatin hari itu dengan hal yang biasa dilakuin anak ABG. Dari mulai ke Time Zone, foto box, sampe foto-foto groupies ala ABG.

“Sis, HP masih dibajak ya?” Tanya Doni yang berusaha curi start selagi Faris beliin aku minum. Aku yang duduk di sebelah Doni langsung melihat HP-nya Doni.

“Iya, aku kan masih pake iPhone-nya Ian.” Terang aku yang ikut bisik-bisik.

“Kalau gitu, dijamin rusuh lho, nih liat!…. Faris pajang foto kita bertiga pake status Me, My girl and My Bro. Mana Posisi kamu di tengah lagi, dipeluk plus dicium pipinya sama Si Faris.” Ya ampuuunnn!…Faris kayaknya mau ngebales perlakuan Ian selama ini. Gimana nih???….

Ehhh…Daft Punk mulai nyanyi…

H: “Iya Halo!”

I: “Kamu di mana?”

H: “Aku lagi jalan, kamu di mana?”

I: “Iya jalan di mana, Yang?”

H: “Sekarang sih baru mau ke TSM…”

I: “Baru mau berarti masih di mana?”

H: “Masih di Ciwalk lagi makan, kamu kenapa sih?”

Tiba-tiba aja Ian tutup teleponnya. Sementara aku sendiri udah gak enak hati sama kejadian ini. Kenapa sih Faris harus bikin gara-gara? Gak bisa apa sekali aja adem tanpa pake drama gini?

Faris yang udah ada di sebelah aku nyodorin strawberry juice pesenan aku. Sementara Doni di sebelah aku nungguin kita cabut ke tempat selanjutnya.

“Si Ian ya? Kamu berantem sama dia? Biarin aja…kan bagus tuh. Gak usah cari-cari alesan buat putusin dia.” Jawab Faris seenak jidatnya…

“Kamu ngapain Ris pake pajang-pajang foto kita di BBM? Kan kamu tau sendiri HP aku lagi dibawa sama Ian.” Waktu aku bilang gitu sama Faris, dia ternyata baru ngeh sama gelang aku yang ada inisial i-nya, dia pegang tangan aku sambil nanya-nanya…

“Ini dikasih bos kamu?…Aku mau pajang foto kamu terserah dong, Aku juga pengen temen-temen aku tau kalau kamu pacar aku!” Kalau udah gini, aku paling males comment. Faris yang biasanya selalu ngertiin aku, lagi tinggi egonya. Kalau aku keukeuh bahas ini, bisa-bisa dia datengin Ian lagi. Aku menghela nafas dan berusaha tidak menghiraukan ucapan Faris.

Waffle ice cream yang biasanya aku lahap dengan semangat, kali ini sampe keblenger gak abis-abis. Dan kalau udah gitu sih, jatahnya Doni sebagai pembuangan sikat habis semua makanan yang tersisa.

Faris yang duduk di depan aku masih asyik ngabisin burger ukuran big-nya. Gak disangka-sangka, ternyata Ian dateng dari arah belakangku tanpa kita tau sama sekali. Kontan saja kita bertiga terkejut sama kedatangan dia yang tiba-tiba ini. Dia duduk di kursi kosong sebelah Faris. Aku dan Doni mendadak seperti menjadi juri di acara mirip artis, kita berdua melongo liatin Ian sama Faris. Ternyata mereka emang beda-beda dikit kalau duduk sebelahan gini.

“Bener kan Sis, kayak sodaraan? Pilih yang mana? Mending yang bisa dicelupin kayak Oreo.” Situasi gini Si Dodol masih bisa becandain aku walaupun sambil bisik-bisik.

Dengan muka tenangnya, Ian berusaha merubah emosi dia di telepon tadi.

“Hai!…Sorry aku dateng gak bilang-bilang. Tapi kayaknya aku mau bawa kamu pergi, Yang. Gak apa-apa kan? Ntar Doni yang bilangin ke orang rumah ya?” Pinta Ian tanpa basa-basi. Faris yang ada di sebelahnya sama sekali gak dilirik. Ngeliat reaksi Faris yang baru mau nyemburin omongannya sama Ian, aku buru-buru potong.

“Eh…Emang kita juga udah selesai kok jalannya, tadi nganterin Doni beli kain buat celana. Ntar tolong bilangin Mama ya, Don!” Sanggah aku sambil buru-buru bawa tas sama cardigan aku tanpa melihat reaksi Faris. Ian ngikutin aku di belakang.

Gak tau deh harus bilang apa nantinya. Mau jelasin apa coba? Selama jalan ke parkiran, Ian sama sekali gak ngomong apa-apa. Buru-buru dia injak pedal gas….Sampe akhirnya dia menghentikan mobilnya di halaman depan rumah kliennya yang dulu itu. Kali ini kita hanya diam di dalam mobil.

“Aku mau nanya sama kamu. Faris apanya kamu?” Ian liatin foto aku bertiga sama bacain statusnya Faris. Aku cuma bisa gigit bibir aku, kebingungan sama semua situasi ini.

“Dia itu orangnya emang gitu Yang, kamu jangan kepancing gitu dong.” Jelas aku, berusaha keluar dari situasi ini.

“Gak bisa kayak gitu dong, aku aja gak berani peluk-peluk apalagi cium-cium kamu. Kok kamu mau sih? Dia itu suka sama kamu Yang, keliatan jelas. Atau jangan-jangan kamu juga suka sama dia ya?” Mampus deh! Aku memilih diam gak bilang sepatah katapun sama Ian.

“Kamu juga ngapain tiba-tiba muncul? Katanya kamu gak bisa ngajakin aku keluar pas ulang tahun aku?”

“Denger Yang, kalau kamu nganggap aku maen-maen sama kamu, itu gak bener. Aku serius sama kamu.” Aku menghela nafas panjang dan memperhatikan Ian yang saat itu sedang menatapku dengan tajam. Tiba-tiba saja Handphone Ian di atas dashboard berbunyi, dan Yap! Itu panggilan dari Shara. Aku mulai memberikan tatapan bertanya kepada Ian, kenapa dia tidak berani mengangkat panggilan dari Shara?

“Sebulan ke depan, aku sama keluargaku ada urusan keluarga di Palembang. Jus’t stay away from him! oke?

Ian sama sekali tidak menghiraukan tatapanku itu. Dia mulai menginjak pedal gas nya dan mengantarku pulang. Ada apa sebenarnya antara dia dengan Shara?

Hubungan aku sama Faris…dibilang mulus sih enggak, tapi lumayan lancar. Dia akhirnya berusaha ngertiin aku. Mama sama Papa sampe kebingungan sama hubungan kita bertiga.

“Sis, kalau Si Faris tiba-tiba ngelamar gimana? Emang mau ngelepasin Ian?” Doni tiba-tiba aja ngasih aku pertanyaan itu. Kebetulan malem ini di rumah lagi sepi, cuma keluarga inti kita aja. Aku nemenin Doni yang lagi baca-baca brosur perguruan tinggi di teras.

“Mmmmhhhh…gak tau ya belum kepikiran juga Don, kan aku juga belum 23 tahun, jadi masih ada waktu buat mikirin itu.” Gak tau kenapa, setelah pertanyaan Doni tadi, aku gak bisa lepas mikirin apa yang bakalan aku lakuin kalau sampe Faris ngelamar aku. Padahal, terlepas dari kedatangan Ian yang seenaknya itu, aku gak bisa bohongin diri aku sendiri kalau aku sayaaaaaannngggg banget sama Ian. God please help me

THIS IS IT!

Sehari setelah ulang tahunku, aku potong rambut ala-ala Victoria Beckham sewaktu masih di Bob nungging gitu…Pengen terlihat lebih fresh aja. Faris marah karena aku potong rambut, selama ini ternyata dia suka dengan rambut panjang aku. Akhirnya setelah terbiasa dia mulai menyukainya, dia memasang fotoku di profile dia. Tapi ternyata Ian belum bereaksi dengan tingkah Faris yang mulai mengusik dia.

Ian kenapa ya? Apa dia di Palembang tiba-tiba aja dijodohin atau mungkin dia bikin bunting Shara? Ihhhhh…amit-amit….jangan sampe deh. Tapi kenapa ya, tiba-tiba aja perasaan aku sama Ian jadi imbang kayak perasaan aku sama Faris. Apa karena aku udah lama gak ketemu Ian ya?

Sore ini, Faris mengajakku nonton di tempat biasa aku nonton dengan Rima, Ricky dan Ian. Karena Ian baru pulang minggu depan, aku tidak menolak ajakan Faris jalan ke Mall ini. Pertujukan filmnya baru dimulai ½ jam lagi, aku dan Faris menunggu di café XXI sambil memesan snack. Faris duduk di sebelahku, dia sedang asyik membuka Twitternya, sementara aku sedang chat dengan Ricky ‘n Rime. Aku bersandar di bahunya Faris, sesekali dia membelai rambutku dan menyuapiku Nachos.

Tanpa mereka sadari, ternyata Ian memperhatikan dari café di depan XXI. Karena dindingnya semua dari kaca, dia bisa melihat Helen dan Faris dengan jelas walaupun dari kejauhan.

Ian saat itu sedang menikmati lunch dengan Shara. Melihat perempuan yang dia sayangi sepenuh hatinya tengah berduaan dengan laki-laki lain, Ian merasakan hatinya mulai berasap. Ingin rasanya dia menghampiri mereka, tetapi Helen pasti akan mempertanyakan tentang kehadiran Shara juga. Salmon steak favorite-nya pun tidak dia habiskan, Ian hanya menatap ke cafe di seberangnya. Shara bingung melihat sikap Ian yang tiba-tiba murung.

Are you oke?

Turn around…” Shara pun berbalik dan melihat ke café di seberangnya.

What?…Is that?…Cowok yang di sebelahnya Faris? Beneran mirip kamu Ian…”

“Aku gak suka semua orang bilang dia mirip aku…”

“Kamu tunggu apa lagi? Kamu samperin aja Helen. Pastikan kalau yang kamu lihat itu memang benar hanya sebatas temen aja.”

No…I’ll talk to her latter.”

Ian mencoba untuk mengetes kejujuran Helen dengan mengirimkan text.

Hai! How are you?”

I’m fine, thank you. How about you?”

I’m just a little unwell…I think.”

Are you sick? Where are you?”

No…I just miss you so bad. Where are you?”

“@ The Movie…”

Really? With your friends?”

Sorry, GTG…the movie is playing.”

Ian masih memperhatikan gerak-gerik Helen yang sama sekali belum beranjak dari kursinya, sama sekali tidak terlihat sedang bersiap-siap memasuki theater. Ian menghela nafas panjang, dia menegetuk-ngetukan jarinya di atas meja.

“Ian…aku udah pernah ngingetin kamu supaya cerita tentang hubungan kita. Kamu sendiri yang gak mau, jadi kan kamu gak bisa protes sama Helen.” Shara berusaha menenangkan Ian.

Ian kemudian mencoba menelepon Helen, dia masih melihat ke arah Helen. Tapi Helen hanya memandang Handpone-nya dan tidak mengangkat panggilan itu. Ian kemudian memberikan sorot mata dingin kepada Helen. Dalam hatinya dia merasa dikhianati oleh satu-satunya perempuan yang mengisi hatinya.

Saat ini Ian membuka Handphone Helen yang dia bajak, Ian mengirimkan text singkat kepada Faris.

“Lagi di mana Ris?” Ian tetep memperhatikan gerak-gerik mereka. Ian melihat Faris membalikkan badannya dari Helen supaya Helen tidak melihat apa yang dia tulis atau kepada siapa dia mengirimkan text.

“@ The Movie.”

“Sama Helen ya?”

You’re not my boss!…but…guess what? Yes I’m with her and now I’m hugging her.” Faris kemudian mengambil gambar mereka berdua dan mengirimkannya kepada Ian.

Do we look good together?” Faris memang tidak tahan dengan status dia sebagai pacar kedua, dia tidak bisa bebas mengajak jalan Helen kemanapun.

Ian tidak meneruskan chat-nya dengan Faris, untuk kali ini dia membiarkan mereka berdua. Ian segera beranjak dari tempat duduknya dan mengajak Shara keluar dari mall itu. Di basement langkah Ian terhenti karena dia berpapasan dengan seorang laki-laki yang sepertinya dia kenal. Dia bersama seorang perempuan cantik berambut bob ikal. Laki-laki itupun tampak mengenal Ian, mereka saling menatap untuk beberapa saat.

“Sammy?”

“Pacarnya Helen? Ian?” Sammy mengucapkannya ragu-ragu sambil memandang Shara.

“Iya, udah gak pernah jalan lagi sama Helen?” Ian pun ragu-ragu mengucapkannya karena tidak enak dengan perempuan yang digandeng Sammy.

Text masih, tapi kalau jalan belum sempet lagi, Helen lagi sibuk kayaknya. Kamu udah gak bareng Helen?” Sammy masih berharap kalau mereka putus. Ian kebingungan menjawabnya, kalau dia bilang ya, Sammy pasti akan melaporkan semua yang dilihatnya pada Helen. Akhirnya Ian hanya tersenyum membalas pertanyaan Sammy.

“Kamu udah boleh ajakin dia jalan sekarang, bilang aja kalau aku udah kasih izin.” Ian berlalu meninggalkan Sammy sambil menepuk bahunya. Ian berasumsi bahwa perempuan yang digandeng Sammy adalah pacarnya, dia tidak merasa terancam lagi oleh Sammy.

What was that? Kenapa kamu gak bilang kalau Helen masih pacar kamu? Lagian maksud kamu apa ngasih dia kebebasan jalan sama pacar kamu?” Shara bingung dengan tingkah Ian barusan, Ian yang selalu menaruh cemburu kepada Helen tiba-tiba saja berubah melunak.

“Kalau aku bilang, ntar dia laporin ke Helen dong aku jalan sama kamu. Aku ngebolehin dia buat jalan sama Helen karena sekarang dia udah punya pacar, jadi paling kalau jalan pun mereka cuma temenan aja.” Shara menertawakan ucapan Ian, Ian kebingungan dengan sikap Shara.

“Emang kamu yakin itu pacarnya? Gimana kalau mereka ade kakak atau sepupuan atau malahan temenan? Congratulation! Kamu baru nambahin satu masalah lagi. Ian tertegun mendengar penjelasan Shara, dia menyesal karena telah berkata seperti itu kepada Sammy.

Setelah kejadian itu, Ian mencoba untuk merenungkan semuanya tentang hubungan dia dengan Helen. Mungkin alasan Helen belum mempercayainya karena dia masih belum menceritakan hubungannya dengan Shara selama ini.

Mungkin Helen pun merasakan hal yang sama ketika waktu itu melihat aku dan Shara di toko buku? Ian berusaha untuk tetap tenang dan berpikiran jernih. Seminggu ini dia habiskan untuk berusaha melupakan dan tidak peduli kepada Helen, tapi perasaan sayang dan takut kehilangan Helen semakin memenuhi pikirannya.

Len, jalan yuk?Text dari Sammy yang membuat Ian merasa seperti orang bodoh. Sialan! Ini lagi satu, ngapain nih orang? Ian memilih untuk mematikan Handphone itu.

Kali ini, Ian meminta Ricky dan Rima dinner bersamanya tanpa sepengetahuan Helen. Ricky dan Rima merasa aneh dengan sikap Ian yang murung.

“Kamu bukannya mau mutusin Helen kan?” Tanya Rima yang sudah mulai curiga dengan sikap Ian yang lebih pendiam dari biasanya.

“Kamu mau putusin Helen?” Ricky jadi ikut deg-deg-an dengan gerak-gerik Ian.

“Ngomong apa sih? Aku sengaja nemuin kalian karena ada hal penting yang mau aku omongin. Helen di belakang aku pacaran sama Faris kan?”

“Faris siapa? Setahu aku pacar Helen itu kamu aja.” Jawab Rima. Helen selama ini belum pernah menceritakan tentang Faris kepada kedua sahabatnya ini.

“Kalian kenapa sih?” Ricky gak mau kalah penasarannya sama Rima.

“Kemarin aku melihat mereka berdua di café XXI.” Ian menghela nafas panjang dan menutup mukanya dengan tangan.

“Iya sih, kemarin dia bilang nonton, tapi kirain sama Doni atau Echi. Soalnya waktu aku ajakin nonton dia bilang udah ada janji. Biasanya kan temen nonton dia kalau gak kita bertiga ya ade-adenya.” Rima masih tidak percaya kalau sahabatnya ini menyimpan rahasia dari dia.

“Jadi kalian emang gak tau?” Ian gak percaya kalau Helen menyembunyikan hal ini dari kedua sahabatnya.

“Kenapa gak kamu samperin terus tanya aja langsung. Kalau aku liat cewek aku sama cowok lain pasti aku samperin terus aku tonjok muka cowoknya.” Ricky kesal karena merasa hubungan Ian dan Helen sudah mulai tidak sehat.

“Enggak bisa Rick…Aku lagi sama temen juga, gak enak.”

“Sama Shara kan?” Rima dan Ricky kompak mengeluarkan pertanyaan yang sama kepada Ian. Ian merasa teman-temannya itu seperti sedang menghakiminya.

“Helen cerita tentang Shara sama kalian?”

“Udah aku bilangin Bro, kamu harus lebih terbuka dengan Helen, dia gak suka rahasia-rahasiaan. Eh malahan sekarang juga dia main rahasia-rahasiaan dari kita.”

“Helen cerita sama kita soal Shara. Dari mulai text, telepon, Gramedia sampai ciuman kalian yang gak jadi itu, semuanya karena Shara.” Ian tertegun mendengar semua penjelasan Rima. Dia tidak tahu kalau hanya dengan masalah yang dia anggap kecil itu bisa membuat Helen tidak nyaman dan akhirnya menjadi tidak terbuka bahkan kepada sahabat-sahabatnya sekalipun.

“Oke, minggu depan aku jelasin semuanya sama kalian. Hari ini aku harus pulang cepet dan minggu ini aku harus menyelesaikan tugas kuliahku dulu. Tolong rahasiakan semua pertemuan dan obrolan kita ini sama Helen ya!”

Minggu pagi di awal bulan Oktober ini, aku mengadakan acara barbeque di rumah. Ricky dan Rime sleepover di sini. Kemarin sepulangnya dari kantor, kita bertiga belanja bahan-bahan makanan. Hari ini, aku mau kasih tau Rime sama Ricky soal hubungan aku sama Faris.

Faris baru aja pulang dari luar kota dan memasukkan motornya ke halaman rumahku. Rima dan Ricky seperti sedang melihat hantu ketika Faris membuka helm-nya. Dia merangkulku dan mencium keningku, ketika itu aku baru sadar kalau ternyata Hummer item parkir di depan rumahku juga.

Kali ini Ian pasti melihat semuanya. Rima dan Ricky terkejut dengan semua yang mereka lihat. Aku tidak sempat melihat ekspresi Ian, aku langsung menarik Rima ke dalam dan menuju dapur. Kali ini the guys kebagian ngurusin barbeque grill, sementara the girls nusukin sate, sosis dan jagung.

“Kamu gila apa? Faris siapa, kok mukanya bisa mirip Ian? Kamu mulai main rahasia-rahasiaan sama aku?” Rima yang baru aku kenalkan sama Faris jadi tambah sewot, karena dia tahu kalau ada sesuatu antara aku dan Faris.

Sorry, tadinya aku mau ceritan ini sama kamu sekarang, tapi Ian keburu dateng. Aku gak tau kalau sekarang dia bakalan ke sini.” Tiba-tiba Ian sudah berdiri di depan pintu dapur dan bawa sesajen 2 kantong besar.

“Halo semuanya! Ikutan boleh ya?” Anehnya hati aku yang biasanya luluh sama senyuman hangat Ian, seketika menjadi mati rasa sama semua tentang Ian. Dia deketin aku, duduk di sebelah aku.

“Hai Yang!…Hati-hati ntar tangan kamu ketusuk kalau meleng.”

“Gak lucu banget sih! Emang aku anak SD apa? pake warning segala. Aaaaawwwwww!…..” Dan benar saja kuku tangan aku ketusuk tusukan sate.

“Kamu sih pake ngomong gitu, kan berdarah!” Mama, Rime sama Echi yang diseret Mama langsung pindah posisi ke kubu cowok-cowok di depan ninggalin aku sama Ian berdua.

Suasana sempet hening sebentar karena aku lagi nyoba merangkai kata-kata yang bener buat aku omongin sama Ian, sementara dia sibuk ngobatin luka aku.

“Aku mau bikin pengakuan sama kamu.”……Ian cuma mengernyitkan dahinya.

“Aku udah 4 bulan ini pacaran sama Faris. Karena selama ini aku juga nganggapnya kamu pacaran sama Shara.” Gak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Ian, dia cuma ngasih isyarat mata bertanya-tanya sama kelakuan aku ini.

“Kalau kamu mau marah…marah aja, atau kamu putusin aku.” Dia cuma narik nafas panjang sambil mengangkat sebelah alisnya.

“Siapa yang mau marahin siapa?…. Kita kan masih pacaran belum nikah, jadi itu semua enggak dosa. Tapi, aku minta sama kamu, nanti kalau udah nikah gak boleh gini ya!” Ian…Ian…makhluk aneh macem apa sih kamu??????… Eh tapi, pulang dari Palembang emosinya makin terkontrol ya? Ikutan kelas Yoga kali?       

“Ya iyalah klo udah nikah, mau nikah sama siapapun gak mungkin aku berani, itu kan dosa.” Raut wajah Ian berubah jadi lebih serius.

“Maksud kamu nikah sama siapapun apa, Yang? Klo kamu nikah ya sama aku dong masa sama yang lain?”.

“Mana aku tau jodoh aku itu siapa? Orang kita kan cuma pacaran, ditambah sama kedatengan kamu yang seenaknya plus gak pernah ngasih kabar, aku pasti ragu-ragu sama kamu. Apa mungkin kamu punya pacar lagi atau kamu cuma iseng sama aku? Kalau jalan sama Faris, tiap mau nyebrang pasti dia pegang tangan aku, dia pengen aku ngerasa aman sama dia. Kamu tuh gak pernah kayak gitu.”                                                                                “Selama ini kan kalau jalan kita langsung parkir di mall, gak ada acara nyebrang-nyebrang segala. Emang kalian kemana sih pake acara nyebrang jalan?”

“Ihhhh…kamu itu ya, bukan itu intinya! Selama ini aku gak pernah complain karena aku pengen liat mau sampe kapan kamu kayak gini? Hari ini kita udah setaun pacaran lho! Masih inget kan kamu?” Aku gak tau darimana datengnya semua amarah itu, yang jelas unek-unek aku selama ini sama Ian tersampaikan begitu saja.                                                        “Aku inget Yang, cuma kan kamu tadi berdarah terus kamu belum berhenti ngomong jadi aku nunggu kamu selesai dulu. Happy Anniversary!…”. Aku cuma bisa usap muka aku sambil liat ke matanya Ian.

“Kamu maunya apa sih? Kalau aku, terus terang aku gak bisa lagi nerusin hubungan kita kalau kamu masih kayak gini. Pacaran 4 bulan sama Faris dibandingin pacaran 1 tahun sama kamu, aku jauh ngerasa lebih deket sama Faris, gak pernah ada rahasia-rahasiaan. Dari dulu aku tanya Shara itu siapa, kamu jawabnya selalu gantung.”

“Kamu mau tau Shara itu siapa? Dia itu sama aku udah dijodohin dari dulu. Keluarga besar di Palembang yang bikin semuanya itu. Tapi, karena aku gak pernah punya hati sama dia, terus waktu SMA dia juga suka sama orang lain, jadi kita berdua putusin perjodohan ini. Kalau sekarang aku masih jalan sama dia, itu karena aku udah anggap dia sodara, Yang. Dia gak punya kenalan di Bandung. Aku gak ceritain semuanya sama kamu karena aku pikir itu semua gak penting, aku juga gak mau kalau sampe kamu ngira keluarga aku masih kuno. Kalau kamu gak percaya, besok aku temuin kamu sama dia. Atau kalau mau sekarang aja mumpung masih pagi kita ketemuan.” Aku cuma bisa menggelengkan kepala aja. Dasar! Kenapa gak cerita dari dulu?

Akhirnya, setelah kuliah aku yang agak panjang tadi, Ian membuka hatinya buat aku. Ian mulai cerita tentang hal-hal yang selama ini gak pernah dia ceritain sama aku. Ternyata di keluarga besarnya dia gak pernah ada kata pacaran, baru dia yang ngejalanin hubungan selama satu tahun tanpa menikah. Di keluarga besarnya, paling lama mereka saling mengenal selama 2 minggu dan langsung menikah untuk menghindari hal-hal yang tidak baik.

“Kenapa kamu gak pernah cerita dari awal? Aku kan bisa ngertiin kamu kalo gitu. Ini kan jadi kayak aku selingkuh dari suami aku, karena aku salah sangka sama dia, padahal selama ini dia ada masalah disfungsi ereksi.” Saking malunya sama kelakuan aku plus bingung juga mikirin Faris aku jadi ngoceh gak karuan. Muka Ian mendadak berubah merah.

”Kamu ngomong apa sih, Yang? kayaknya kejauhan deh. Aku normal-normal aja kok.”

OMG, harus gimana dong ini kenapa dia baru ngasih tau ini semua. Sementara aku sibuk mikir, dia juga sibuk text gak tau sama siapa.

“ Yang, kalau dari pertama aku bilang, kamu pasti nganggap aku kuno. Aku minta kamu jadi pacar aku aja mikirnya lama, apalagi waktu itu aku langsung ajakin kamu nikah, bisa-bisa kamu lari ketakutan ngira aku pshyco.Iya juga sih

“Berarti Rissa juga sama Arman cuma kenal sebentar?” Ian yang biasanya paling jago kontrol emosi, sekarang matanya terlihat berkaca-kaca.

“Kalo Rissa……” Ian menghela nafas berat dan panjang. Dia mau cerita tapi kayaknya ini hal yang tidak dia bagi sama orang luar.

“Dulu sewaktu kelulusan SMU, Rissa minta izin sama Papa Mama buat ikut acara perpisahan sekolah, dia bilang acaranya di Hotel punya temennya biar diizinin, tapi ternyata acaranya di villa temennya dan cuma perpisahan kelas aja bukan sekolahan. Seminggu setelah itu semuanya normal-normal aja, sampai waktu Rissa ikut Mama ke Palembang buat nengokin Pa De, sahabatnya Rissa namanya Maia dateng ke rumah pengen ketemu aku sama Papa.

Maia cerita kalau ada anak laki-laki di kelas mereka, namanya Rendi, dia suka banget sama Rissa. Dia anak orang berada cuma keluarganya broken home. Gak pernah diperhatiin orang tuanya, dibesarin sama materi aja. Maia bilang kemaren Rendi over dosis dan dibawa pindah sama keluarganya ke Thailand tempat Papanya dia dinas, supaya Rendi jauh dari temen-temennya di sini yang udah bawa pengaruh buruk sama dia.

Sebelum pergi Rendi sempet text Maia dan nitipin kotak yang dibungkus rapi di satpam rumahnya Maia. Ternyata isinya HP sama note, tulisannya I’m sorry I don’t mean it and I promise I will never come back! Kamu mau tahu isi HP nya apa, Yang? Sex tape dia sama Rissa, Ade aku di-drug sama dia Yang, dia sendiri gak tau sampe sekarang kalau dia udah diapain sama cowok brengsek itu.

Tanpa sepengetahuan aku, ternyata Arman nguping obrolan kita bertiga. Dia tahu walaupun Rissa udah kayak ade sendiri, tapi Rissa suka sama Arman. Sepulangnya Mama sama Rissa dari Palembang, besoknya Arman sama keluarganya dateng ke rumah dan melamar Rissa. Keluarga kita itu temenan dari semenjak aku kelas 6 SD sampai sekarang Yang.” Ian berhenti sebentar dan bersandar di kursi.

“Itu salah satunya yang bikin aku gak mau keseringan ketemu kamu, emang kamu pikir aku gak mau ketemu kamu tiap hari kayak Si Faris? Aku berusaha enggak terjerumus sama hal-hal kayak gitu, Yang. Kamu bayangin aja, sebulan sekali ketemu aja aku udah sayang banget sama kamu, apalagi kalau tiap hari udah pasti ada physical touch. Kayak kamu bilang gandengan tangan, ngebelai rambut emangnya gampang kalau deket kamu nahan-nahan biar gak megang tangan kamu, Yang? Waktu aku nyaris cium kamu, aku sengaja menghindar lama dari kamu biar aku bisa balikin emosi aku jadi stabil lagi. Asal kamu tau aja, aku gak pernah kepikiran nikah sama siapapun juga kecuali sama kamu…..kamu tau kenapa? Karena kamu satu-satunya perempuan yang bakalan jadi istri aku!”

Sekarang giliran aku yang berkaca-kaca setelah denger cerita dia. Ian yang bikin aku ragu-ragu selama setaun, hanya dengan beberapa menit cerita sudah mampu ngegaet hati aku lagi.

“Kamu tau aku habisin waktu aku dimana sepulang kerja atau di waktu luang saat aku gak nemuin kamu?” aku cuma geleng-geleng karena ngerasa malu, bingung, campur aduk.

”Kamu masih inget kan gambar rumah klien yang kamu liat di laptop aku? Udah 2x kita ke sana. Selama ini aku habisin waktu bikin rumah itu sama team khusus sendiri, rumah itu bukan rumah klien Yang, rumah itu aku bikin buat kamu. Aku design semirip mungkin sama keinginan kamu, kalau kita udah resmi nikah aku bakalan bawa kamu ke rumah itu.”

Hik…hik…hikbodo banget sih aku, egois, pengennya diperhatiin terus tapi gak pernah perhatiin dia. Dasar bodooohhhh!….

“Kasih aku waktu buat mikir sebentar.” Aku masuk kamar dan nangis sambil mikirin tindakan aku selanjutnya. Aku pandangin high heels putih dari Rissa, aku membayangkan Rissa dengan permasalahannya yang tadi diceritakan Ian. Saat ulang tahunku, dia berbisik padaku kalau dia sengaja membelikan high heels putih berenda ini supaya aku bisa memakainya disaaat pernikahanku dengan Ian. Saat itu aku tidak pernah berpikiran sejauh itu.

Tanpa sepengetahuan Helen, Ian nyamperin Faris yang lagi duduk di ruang tamu. Ternyata selama ini dia nguping pembicaraan mereka.

“Kamu maunya gimana, Ris? Helen udah bilang kalau kalian pacaran. Aku gak bisa lepasin Helen. Karena tau keadaannya mendesak gini, aku juga harus bertindak cepat Ris!” Tegas Ian sama Faris, yang mungkin sekarang juga lagi harap-harap cemas nungguin keputusannya Helen.

“Maksud kamu bertindak cepat apa?” Tanya Faris berusaha menyerap omongan Ian.

“Keluarga aku lagi OTW ke sini, sama Pa De aku juga yang mantan Kepala KUA di Palembang. Aku minta mereka lamarin Helen buat aku. Selama sebulan di Palembang, keluargaku merencanakan pernikahan aku dan Helen. Sudah tradisi di keluargaku kalau mau menikah harus benar-benar meluangkan waktu untuk berembuk dengan seluruh keluarga besar di sana. Terang Ian lantang. Ian gak mau kalau sampe kocolongan start sama Faris.

“Helen itu orangnya punya pendirian, lamaran kamu belum tentu dia terima.” Bantah Faris mencoba menutupi kekhawatirannya.

“Dia gak ada alesan lagi buat nolak aku Ris. Aku udah bikinin dia rumah persis sama keinginan dia. Keluarga aku semuanya sayang sama Helen, dan cuma dia satu-satunya cewek yang bakalan jadi istri aku. Aku tahu kamu orang baik. Kamu juga pasti tahu kalau aku yang terbaik buat Helen.” Saat ini Ian berusaha nunjukin power-nya sama Faris demi mendapatkan perempuan yang menjadi tambatan hatinya.

“Pilihan itu ada di tangan kamu, Ris. Kamu bisa tinggal dan gagalin lamaran ini, atau kamu bisa lepasin Helen buat bahagia sama aku.”

Setelah berfikir panjang dan bolak balik omongannya Ian. Faris yakin kalau sebenernya rasa sayang Ian ke Helen sama besarnya dengan dia, hanya saja bedanya, Ian punya semua yang bisa membahagiakan Helen lebih dari dirinya, terutama keluarga harmonis yang tidak pernah dimiliki Faris. Akhirnya Faris memilih mundur dan meninggalkan rumah Helen dengan alasan ada tugas mendadak. Ian sedikit lega dengan kepergian Faris, tetapi dia masih menunggu keputusan Hellen yang masih juga belum keluar dari kamarnya.

”Helen…Ian…ada tamu nih!…” Suara Mama tuh, tapi kok tamu buat aku sama Ian? OMG gak salah liat tuh, dari jendela aku liat Mama, Papanya Ian sama Rissa, Arman plus Baby Ryu juga dateng ke rumah aku.

Aku langsung keluar kamar dan narik tangannya Ian yang lagi duduk nonton TV.“ Kamu tadi text Papa ya suruh ke sini?” Ian cuma senyum-senyum.

“He…he…he…Iya aku tadi text Papa mumpung ada Pa De di rumah, Pa De kan suka nikahin orang, jadi aku minta dilamarin hari ini.”

“Pa De juga dateng? Kamu gimana sih? Gak bisa dadakan gini dong, lagian belum tentu aku mau. Terus Faris gimana?” Ngeliat muka Ian, kayaknya dia udah gemes sama aku yang gak ngerti-ngerti omongan dia.

“Kamu harus mau dong! Alesan kamu buat nolak apa? Aku udah masuk semua 8 pasal kamu lho! Terus kalau Faris gak usah dipikirin lagi, aku liat dia barusan pergi pake helm kayaknya pulang. Aku tahu dia orang baik Yang, dia pasti ngerti. Aku yakin karena aku tahu dia nguping obrolan kita dari tadi. Kalo dia pilih pulang artinya dia pilih jalan yang terbaik buat kita semua.”

Tau darimana dia soal pasal-pasal itu? Tapi lihat Ian maen isyarat sama Rima, aku tau pasti dia yang bocorin.

Tapi apa bener Faris ga apa-apa? Aku langsung keluarin HP bermaksud menelepon Faris. Belum selesai aku memijit tombol di handphone-ku, Ian memotong tindakanku itu.

“Yang, kalo kamu pengen aku bisa pegang tangan kamu, belai rambut kamu, cium kamu, kamu cepetan ikut aku ke depan nemuin keluarga kita, oke?” Dia rebut HP aku terus dia simpen di kantong celananya. Bagus! Ambil aja semua gadget aku…

“Aku sayang sama Faris! Gimana sih kamu gak bisa ngerti apa? Selama kamu ngilang, Faris itu selalu ada buat aku. Kali ini aku belum bisa milih antara kamu sama Faris.”

“Yah salah kamu sendiri, tadinya juga aku mau sabar nungguin sampai umur kamu 23, tapi karena kamu kayak gini…Si Faris jadi ada di tengah-tengah kita, aku gak mau dia curi-curi start.” Ian menarik tanganku, kita menuju ke ruang tamu yang sudah dipenuhi keluarga inti aku dan Ian.

“Kalau kita sih terserah anaknya aja Pa, Bu. Kita orang tua selama itu bener ikut-ikut aja.” Pasti mereka udah ngomong sebelum aku ke situ.

“Jadi gini Len, tadinya kita mau datang ke sini nanti malam, tapi mendadak Ian kirim pesan harus sekarang ke sini. Kami sekeluarga bermaksud melamar kamu buat Ian, dan sebisa mungkin karena besok pagi Pa De udah harus pulang ke Palembang, alangkah baiknya kalau hari ini kita langsungkan pernikahan secara agama saja, karena syarat-syarat nikah pun sudah ada semua. Untuk urusan resepsi, nanti keluarga kita berembuk lagi.” Ucap Pa De.

Aku shock mendengar omongan Pa De, Ian bilang ini cuma lamaran, kenapa jadi pernikahan? Ini sih bukan pertanyaan tapi tekanan, jawab apa coba? Udah pasti harus iya kan? Cita-citaku nikah di umur 23 pupus sudah.

“Iya Pa De, oke katanya. Tadi di belakang udah setuju kok.” Ian inisiatif ngasih jawaban aku, serentak semua orang di situ matanya langsung bertanya-tanya sama aku.

“Mmmmhhh…Pa De, kalau buat nikah sekarang aku belum siap. Kasih waktu buat mikir dulu ya, nanti kapan-kapannya aku kabarin. Soalnya kalau buat dadakan gini, akunya juga gak bisa mikir.” Ian menatapku sepertinya dia sudah tahu kelanjutannya seperti apa kalau aku tidak memberikan jawabannya sekarang.

“Jadi kamu pengen tunangan aja gitu?” Bisik Ian yang berusaha meresmikan hubungan kami dengan ikatan keluarga.

Can I talk to you for a second?”

No!…just say I do!…“ Ian mulai mengeluarkan jurus memaksanya dan menatapku seperti seekor harimau yang siap menggigit mangsanya. Papa Ian yang saat itu berada di samping Ian mendengar pembicaraan kami dan menyadari kalau anaknya sudah terlalu keras memaksaku.

“Bagaimana kalau sekarang kita adakan acara pertunangan dulu, mungkin beberapa bulan ke depan kita kasih waktu buat keluarga Helen di sini memutuskan tanggal pernikahannya.”

Akhirnya keluargaku menyetujui semua permintaan keluarga Ian tanpa bertanya kepada aku dan Ian yang masih mendebatkan masalah ini. Aku gak habis pikir kalau Ian ternyata tidak pernah memberitahuku tentang maksudnya pergi ke Palembang untuk merencanakan pernikahan kami.

Setelah acara tunangan berlangsung, aku memakai cincin di jariku manisku, dengan nama Ian terukir di dalamnya. Aku memandang cincin itu seolah-olah tidak percaya bahwa aku dan Ian sudah bertunangan. Keluarga Ian sudah pulang sejak sore tadi, sementara Ian mengajakku keluar. Selama di perjalanan, aku masih belum bisa berkomentar tentang pertunangan ini. Ian menatapku, dia tahu kalau aku tidak suka dengan paksaan dia itu. Kali ini untuk pertama kalinya Ian menggenggam tanganku.

Still mad at me? I’m sorry…”

“Kenapa sih kamu? Kalau dari dulu kamu terbuka sama aku, gak ribet gini keadaannya.”

Ian kemudian membuka dashboard mobilnya dan memberikan handphone lamaku. Ian kembali menggenggam tanganku.

“Aku juga gak tau kenapa. Mungkin memang udah jalannya Si Faris ada di tengah-tengah kita.” Ian menghela nafas.

“Sebelum kita nikah, aku kasih kamu kesempatan buat beresin masalah kamu sama Faris, tapi aku mau kamu perjelas perasaan kamu sama dia. Aku mau kamu sadar kalau dari dulu alesan kamu mau pacaran sama dia karena kamu lihat sosok aku ada di Faris, Wake up!…Aku bakalan berusaha jadi calon suami yang lebih baik buat kamu. Aku hanya mau kamu tegas sama dia.”

Aku menyalakan Handphone-ku dan mengirim text kepada Faris.

“Ris…Ini aku, Handphone aku udah balik lagi.”

Great!…Congratulation for your engagement…”

“Ris…Bisa jemput aku besok di kantor?”

“Kamu cari mati ya? Bisa-bisa Si Ian kebakaran jenggot.”

“Ya udah kalau gak mau…Besok aku potong rambut aku jadi sependek kamu ya!”

“Eh jangan dong…Iya…Iya…besok aku jemput jam 5.”

Ian memperhatikanku yang sedang asyik chatting.

“Kamu lagi text sama siapa? Kok senyum-senyum sendiri, Yang?”

“Faris…kan kamu bilang aku dikasih kesempatan selama kita belum nikah.”

“Kesempatan buat beresin masalah ya, bukan memperlebar masalah!” Jelas Ian dengan tegasnya. Sekarang Ian sudah mulai agak keras karena melihat sikap aku yang mulai bimbang. Aku berusaha untuk tidak menghiraukan omongan Ian.

“Dulu ada text dari Sammy, dia ngajakin kamu jalan.”

“Iya aku tahu, aku jalan sama dia seminggu yang lalu.”

“Kamu…Kenapa masih mau? Bukannya kamu mutusin gak akan nemuin dia lagi?

“Dia jemput aku di kantor, tadinya aku bilang gak mau, tapi dia bilang kamu udah kasih izin. Bener gak Bos?”

“Iya aku salah, waktu aku papasan sama dia, aku kira cewek yang gandeng dia itu pacarnya. Makanya aku udah gak merasa dia bakalan minta kamu jadi pacarnya lagi.”

Well, guess what? Yang kamu liat itu ade sepupu dia. Terus dia bilang juga kamu gak jawab waktu ditanya masih pacar aku atau bukan?”

“Iya Yang sorry, aku barengan Shara, aku gak mau nanti dia laporin itu sama kamu. Terus gimana jalannya?”

“Tebak aja sendiri?” Aku masih belum bisa bicara baik-baik sama Ian karena jelas-jelas dia gak ngakuin aku pacarnya di depan Sammy dan Shara.

“Dia nembak kamu ya? Sammy kan cakep Yang, mapan juga. Kenapa gak kamu terima?”

“Iya, tadinya dia mau-mau aja aku jadiin selingkuhan, tapi aku kan punya Faris. Dia pasti ngakuin aku ini pacarnya di depan siapapun, enggak kayak kamu!” Ian memberikan tatapan sinisnya padaku, tapi dia tidak berani protes dengan ucapanku ini karena dia tahu bahwa dia sudah membuat kesalahan juga.

“Sekarang kita nginep di rumah baru kita, besok pergi kerja bareng aku.”

“Gak mau…ngapain? Nikah aja belum udah nginep-nginep.” Kali ini Ian mulai memutar mobil ke arah rumah yang dia bilang rumah kita kelak sesudah kita menikah. Ketika sampai di sana, ternyata semua renovasinya sudah selesai. Dan memang Ian membuat rumah itu semirip mungkin dengan rumah di film It’s complicated yang aku ceritakan sama dia.

Aku gak bisa berkata-kata melihat rumah itu memang sangat sesuai dengan keinginanku, Ian tidak pernah main-main selama ini denganku. Setiap ruangan di rumah itu sudah diisi dengan furniture yang lengkap. Ian membukakan pintu kamar tidur utama dan menaruh tasku di atas tempat tidurnya.

“Kamu tidur di sini, aku tidur di kamar sebelah.”

“Kok gitu sih?”

“Kamu mau aku tidur di sini juga?”

“Apaan sih kamu! Kamu bilang tadi mau jalan aja, kenapa jadi tidur di sini?”

“Gak apa-apa…cepetan tidur nanti kamu kesiangan lagi.” Ian menutup pintunya dan keluar meninggalkanku di kamar ini sendiri.

Ketika aku pandang sekeliling kamar itu, membuat aku merinding sendiri. Kamarnya benar-benar romantis dan hangat, bahaya kalau sampai Ian masuk ke sini. Aku kunci pintunya dan mulai mengelilingi kamar ini. Ketika aku lihat lemarinya, sudah terisi dengan baju Ian dan baju perempuan size aku. Di bawahnya ada rak sepatu yang sudah berjejer sepatu-sepatu cantik size aku juga. Di meja sebelah tempat tidur ada foto-foto aku sama Ian yang diambil Rissa atau Arman ketika aku berkunjung ke rumah dia.

Aku tidak mengira kalau perhatian Ian sama aku sampai sedetail ini. Aku terharu setelah melihat semuanya ini, aku juga masih terbayang dengan semua pengakuan yang Ian buat hari ini. Tapi aku juga mempunyai perasaan yang sama kepada Faris.

Aku mulai berjalan ke arah teras kamar ini, aku duduk di kursi panjang di teras. Aku memandang ke sekeliling rumah ini. Ketika aku melihat ke depan, ternyata kebun yang aku minta sama Ian sangat jelas terlihat dari sini. Aku tersenyum bahagia melihat apa yang sudah Ian buat untukku…

“Ehem…Do you like it?” Ian tiba-tiba muncul di belakangku dan menunjukan kunci cadangan di tangannya. Dia duduk di sebelahku, kemudian Ian menyelimuti tubuhku dengan selimut yang dia bawa dari kamar. Ian memelukku dan mencium keningku.

I’m sorry…I just don’t wanna loose you.” Aku memilih tidak berkata-kata saat itu. Ian yang selama ini tidak pernah menunjukkan perhatiannya kepadaku, dalam sekejap bisa berubah menjadi seorang laki-laki yang penuh dengan kehangatan. Ian tidak melepaskan pelukannya sama sekali, hingga kami pun tertidur sampai pagi.

Kali ini aku pergi ke kantor bareng Ian, ketika aku turun dari mobil, Ricky sudah berdiri di depan pintu dan tersenyum melihat kami berdua. Tatapan jahilnya membuatku merasa tidak nyaman setelah apa yang terjadi semalam. Ian tersenyum melihat wajahku yang berubah menjadi merah.

Jam sudah menunjukkan pukul 12.00 tapi aku masih belum menyelesaikan ½ dari pekerjaanku karena tidak bisa berkonsentrasi. Tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintuku, aku menduga kalau itu adalah Ricky yang sedang membawakan makan siang buat kami. Tapi ternyata ketika pintu terbuka, aku melihat Shara memasuki ruanganku dengan membawa undangan berwarna pink pastel.

“Hai Helen!…Kita belum pernah kenalan secara resmi, aku Shara.” Dia mengulurkan tangannya kepadaku. Aku tersenyum dan memperkenalkan diriku juga.

Shara memberikan undangan itu kepadaku dan tertulis To : Helen & Ian. Ketika aku lihat di dalamnya tertulis nama Shara sebagai mempelai wanita dan nama seorang laki-laki yang belum pernah aku kenal sebagai mempelai pria.

“Bukan sama Ian kan?…Helen, walaupun dia jarang sekali menemui kamu, tapi kamu harus percaya sama Ian, dia itu serius sama kamu. Baru sekarang aku melihat Ian benar-benar mencintai seseorang. Kalau saja kamu tahu Ian itu seperti apa sama perempuan, kamu pasti kaget. Dia sama sekali tidak pernah menghiraukan permpuan-perempuan yang ngejar dia. Dia sangat ingin menghabiskan waktunya dengan kamu, tapi dia tidak berani ambil resiko. Ian bilang sangat susah berada dekat kamu tanpa menyentuh kamu. Itu sebabnya dia selalu memberi jeda dari setiap pertemuan kalian. Dia berusaha mengalihkannya dengan mewujudkan semua keinginan kamu. Kamu harus tahu Helen, setiap Ian sudah bertemu kamu dan besok-besoknya dia hilang, itu karena aku yang jadi korban curhatan dia. Setiap dia ngobrol sama aku, semua obrolannya itu tentang kamu. Helen inilah…Helen itulah…Aku sayang sama Helen…Aku cemburu sama Helen…”

Aku masih belum bisa mencerna omongan Shara ini, karena selama ini Ian yang aku kenal jauh dari sosok orang yang mau berbagi privasinya kepada orang lain. Apa mungkin selama ini dia berusaha terlihat cool di depan aku dan lebih suka menjadi laki-laki misterius. Kali ini pintu ruanganku kembali diketuk, dan sudah pasti kali ini Ricky. Dan ketika pintu terbuka, memang Ricky yang masuk membawa makan siang kami, Shara kemudian pamit keluar.

“Shara ngapain?” Ricky masih kebingungan dengan kedatangan Shara yang tiba-tiba ke ruanganku.

“Ngundang aku sama Ian ke nikahan dia.” Kemudian tatapan Ricky mulai jahil dan aku tahu pertanyaan apa yang akan dia ajukan.

“Kamu semalem kemana sama Ian? Ade kamu nyariin soalnya.”

“Gak kemana-mana, aku nginep di rumahnya Ian.” Karena bohong aku gak berani menatap mata Ricky.”

“Bohong kamu, aku text Rissa katanya kamu gak ada di rumahnya.”

“Ngapain kamu text Rissa Rick, aduuuhhh gimana sih kamu?” Aku mulai kebingungan kalau sampai keluarga Ian ada yang nanya tentang kepergian kami malam itu.

“Makanya jangan bohong kamu sama aku, baru digituin aja kelimpungan. Mana aku tahu nomor Rissa, aku cuma ngetest kamu aja. Kalian ke mana sih, gak ngapa-ngapain kan?” Si Ricky mulai kepo kayak pembawa acara infotainment.

“Gak ke mana-mana Dodol!…Gak lucu tau!” Tiba-tiba aja Ian masuk karena pintu bekas Shara keluar tidak ditutup rapat. Dia tersenyum melihat muka aku yang merah karena kepergok bohong sama Ricky.

“Kita tidur di rumah baru kita Rick…Gak usah bohong Yang, gak apa-apa kok.” Penjelasan Ian malah bikin aku malu dan gak bisa lagi menampakkan wajah aku. Aku menjatuhkan mukaku di atas meja dan menutupnya dengan tangan, karena sudah pasti mukaku berubah menjadi merah. Ian dan Ricky tertawa melihat aku yang jadi salah tingkah dengan kelakuan mereka.

“Eh Yang, pulangnya mulai sekarang bareng aku ya.”

“Aku hari ini minta dijemput Faris.” Ricky dan Ian serentak berhenti mengunyah dan mempertanyakan ucapanku itu.

“Kamu becanda kan, Yang?”

“Kan kamu sendiri yang bilang kalau kamu kasih aku kesempatan buat beresin masalah aku sama Faris.”

“Pake mobil aku aja, kita bertiga jalannya.”

“Bertiga gimana? Mau ngobrolnya gimana?”

“Kalau gitu ditemenin Ricky aja ya, Rick?” Ian menoleh kepada Ricky yang disertai anggukan Ricky.

“Enggak!…Aku berdua aja sama Faris. Kamu cek aja nanti juga jam 9 aku udah sampe rumah.” Ian menghela nafas panjang dia masih tidak memberiku kepercayaan untuk jalan dengan Faris.

“Aku gak bisa Yang…Aku gak bisa melihat kamu berduaan sama dia. Kamu pulang bareng aku aja. Kamu ngobrol sama dia nanti pas di rumah kamu, gak usah jalan keluar.” Baru kali ini aku melihat Ian begitu sulit membiarkan aku keluar.

“Enggak!…Kamu kalau mau aku tegas sama perasaan aku sendiri, kamu harus siap dong sama konsekuensinya. Aku sekarang mau memperjelas semuanya. Aku mau tahu perasaanku yang sebenernya sama Faris. Kamu harus ngebolehin aku pergi sama dia.” Ian beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan ruanganku.

“Kamu kenapa, Len? Kamu kan udah mau nikah sama Ian. Kenapa masih ketemuan sama Faris?” Ricky menegur aku karena dia tidak tahu tentang obrolanku dengan Ian kemarin.

“Aku kemarin sebenernya marah sama dia karena tiba-tiba aja bawa keluarganya buat ngelamar aku, padahal waktu itu aku juga masih belum jelas dengan perasaanku sama dia atau sama Faris. Makanya Ian balikin Handphone aku dan ngasih kesempatan buat aku beresin masalah aku sama Faris sampai sebelum kita nikah.” Akhirnya Ricky paham dengan keadaanku.

“Ngeberesin lho, Len…bukan memperlebar masalah!”

“Kenapa sih kalian ngomongnya sama aja kayak gitu. Aku juga tau!”

Ketika tiba waktu pulang, aku melihat Ian dan Ricky sudah menunggu di pintu keluar. Aku menghampiri mereka yang saat itu seperti sedang menunggu maling yang siap digebukin.

“Ngapain? Pada nungguin Pa Asep? Mobil kalian pada diderek?” Tapi muka mereka sama sekali tidak memperlihatkan senyuman seperti biasanya.

“Mana sih Si Faris? Udah kamu pulang bareng aku aja, Yang! Gak berani kali dia, dari tadi motornya gak nongol-nongol.”

“Kata siapa gak berani, tuh udah parkir di depan.” Sambil menunjuk Honda Jazz biru di depan parkiran. Memang setelah bekerja, sesekali Faris menggunakan mobil di rumahnya. Aku berjalan menuju mobil Faris, kali ini Faris melambaikan tangan dan senyuman sinisnya kepada Ian yang dibalas tatapan sinis Ian. Ricky tersenyum karena dia merasa Faris tidak pernah membuat masalah dengan dia.

“Kayaknya kita harus ikutin dia, Rick?”

“Cari mati itu! Bisa-bisa Helen ngamuk lagi. Udahlah kali ini kamu percaya aja sama Helen.” Dengan berat hati, Ian melepaskan kepergian Helen.

Hai! Nice ring…Do you miss me?” Tanya Faris sambil memegang tanganku dan menciumnya. Aku merasa seperti kencan yang pertama kalinya dengan Faris, jantungku berdetak cepat.

“Ris, kenapa kemarin kamu pergi tanpa pamit dulu sama aku? Kenapa kamu gak bawa aku pergi, atau kamu nyerah gitu aja?”

Do you want me to stop the engagement?”

I don’t know, but at least you can try. I just trying to figure it out.”

So, you want to make it clear with me, right?”

            “With him too…” Aku melihat ke arah Faris, kenapa aku bisa memiliki perasaan yang sama kepada mereka berdua?

Sepanjang perjalanan Faris tidak melepaskan tanganku dari genggamannya. Sesekali dia melihat ke arahku dan memberikan senyuman hangatnya. Entah kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkan Ian setiap aku bersama Faris, anehnya setiap jalan dengan Ian aku tidak pernah memikirkan Faris.

Then tell me, what should I do to win your heart?” Faris mulai menangkap raut wajah kebingungan tersirat padaku.

You tell me…” Jawabku.

Tidak lama kemudian, Faris memarkir mobilnya di basement sebuah café. Dia melepaskan seatbelt-nya dan mendekat ke arahku. Faris menyentuh wajahku dengan tangannya, dia menciumku dengan lembut.

You know that I always love you right?I left because I though that he’s the best for you. He has everything that you want.”

            “How could you? That ridiculous!…I’m sorry…I just confused”

            Faris beranjak dari kursi mobil dan mengajakku untuk langsung masuk ke café ini, karena dia bilang dari siang dia belum sempat makan berat. Aku dan Faris mulai memesan makanan untuk dinner kali ini. Faris sangat tenang dengan semua yang akan kita lalui nanti. Faris yang aku kenal lebih bersemangat dari ini. Kali ini dia lebih dewasa menghadapinya.

“Len, pertama kali kamu suka sama aku karena apa? Bukan karena aku mirip sama Ian kan?” Pertanyaan Faris itu membuatku berfikir ke belakang tentang awal mula aku membuka hatiku kepadanya. Dan setelah aku ingat-ingat, memang benar perkataan Ian, bahwa aku selama ini menerima Faris karena aku menemukan sosok Ian di sana.

“Aku gak inget, Ris…” Faris tersenyum dan meneruskan makannya. Dalam hatinya, Faris sudah mengetahui bahwa Helen memang mencari sosok Ian dalam dirinya.

“Kalau kamu? Apa alesan kamu suka sama aku.”

“Kamu selain cantik apa adanya, gak rese!” Aku tersenyum dan mengacak-acak rambut Faris. Faris selalu bisa menghiburku dan selalu bisa menjadi temanku diasaat aku membutuhkan seorang teman. Aku menatap mata Faris yang selalu bersemangat, emosinya selalu meletup-letup.

Seperti biasa, setelah selesai makan aku bersandar di bahunya Faris. Dia membuka twitternya dan aku membuka handphone-ku untuk sekedar chat dengan teman-temanku. Aku benar-benar menikmati kebersamaanku dengan Faris, dia selalu membuatku nyaman berada di dekatnya.

“Aku bingung, Ris…Aku harus gimana?” Faris hanya tersenyum dan mencium keningku.

Just follow your heart.” Malam ini kami lewati dengan merenungkan perasaan kami. Waktu berlalu begitu cepat, jam sudah menunjukkan pukul 08.00. Handphone-ku berbunyi, dan kali ini Faris menjawab teleponnya karena dia tahu itu dari Ian. Faris memijit tombol load speakernya.

“Hai! Helennya baru selesai makan, sekarang lagi di toilet. Ada pesen gak?”

“Ada…Ntar pulangnya bawain aku makanan, calon suaminya nungguin dia kelaperan di kantor! Cepetan pulang, Ris gak lucu!”

Faris tertawa mendengar ocehan Ian di seberang sana. Aku merebut handphone-ku dari tangan Faris. Dia menghentikan tawanya dan mulai bersikap dewasa.

“Tau gak Len? Salah satu alesan aku pergi kemarin, karena Ian itu orangnya baik. Aku kalau marah atau cemburu, belum tentu masih bisa mengontrol omongan aku seperti tadi. You deserve the best! So whatever your decision, I accept that.” Aku hanya bisa tersenyum hambar menanggapi ucapan Faris.

Akhirnya Faris mengantarku pulang, kali ini dia tidak masuk ke rumah karena melihat mobil Ian yang sudah terparkir di depan rumahku.

Ketika aku keluar mobil, Ian sudah berdiri di depan pintu rumahku. Malam itu hanya ada Doni di rumah karena Orang tuaku dan Echi menginap di rumah Nenek untuk membicarakan pertunanganku.

Begitu melihat Ian, hatiku seolah berbunga-bunga, aku selalu senang melihat Ian tersenyum padaku seperti itu. Aku membalas senyumannya, dia merangkulku dan membawaku ke ruang tamu.

So?…” Ian langsung memburuku dengan pertanyaannya.

“Aku gak tau, cape pengen tidur.” Aku menjawabnya dengan ketus karena masih belum bisa mengetahui jawaban atas perasaanku sendiri. Ian mulai merubah sikapnya menjadi lebih lembut dan menungguku tenang.

Can you tell me what happened there?” Aku menghela nafas panjang. Sikap Ian yang tenang selalu bisa membawaku ke alam lain yang damai di saat aku gundah. Saat itu aku hanya merasa ingin berbicara dengan Rime atau Ricky, jadi aku mencoba menganggap Ian sebagai sahabatku.

“Kamu bisa gak kali ini jadi sahabat aku dulu? Aku lagi mau ngomong sama sahabat aku.”

Oke…go ahead! I’m listening…” Aku menutup wajahku dengan tangan dan mulai menatap Ian dengan cemas.

I’m sorry…”

For what?”

He kissed meand I let him” Tiba-tiba saja wajah Ian berubah merah karena emosi, tangannya membentuk kepalan seperti biasa jika dia sedang marah. Tapi kemudian, Ian berusaha menenangkan dirinya.

“Terus? Kamu udah tahu perasaan kamu yang sebenernya sama dia?” Aku menggeleng.

“Ga bisa hanya sehari buat tau isi hati kita yang sebenernya.”

“Jadi kamu mau sampai kapan jalan sama dia? Nanti setiap jalan kamu mau biarin dia cium kamu juga?” Ian mulai menaikkan nada bicaranya.

I’m sorryit all happened suddenly.”

Right!… Just go to bed because you srew!…” Ian meninggalkan rumahku. Ketika Ian pergi, air mata mulai membasahi wajahku. Doni duduk di sampingku dan membiarkanku menangis di pelukannya. Aku menyesali semuanya, aku tidak tahu kalau ternyata mencintai 2 orang laki-laki itu sangat menyakitkan pada akhirnya.

Come on, you better than this…Just fight with your own strength!” Doni berusaha menyemangatiku karena dia paling benci melihatku rapuh seperti ini.

“Kamu sih pake bawa-bawa Faris ke sini! kan jadi gini Don…”

“Iya sorry… Tapi kalau aku boleh vote, kayaknya Kakak lebih cocok jadi suami kamu Sis. Faris lebih cocok jadi sodara kita.” Ucapan Doni membuat tawa kecil muncul diantara tangisanku.

***

Hari ini aku malas sekali bekerja, setelah semua yang aku lalui kemarin. Di ruangan ini menyimpan sejuta kejadian indah dan kadang mengesalkan. Aku berusaha fokus mengerjakan semua berkas di mejaku, sampai aku menerima panggilan dari nomor Ian.

“Iya halo…”

“Kakak…bisa ke RS sekarang? Kak Ian kecelakaan, sekarang koma. Lt. 3 Ruangan VVIP 1.” Suara Rissa yang bergetar menghentikan semua aktivitas-ku saat itu. Aku berlari meninggalkan ruanganku. Pandanganku mulai terlihat buram karena menahan air mata.

Pa Asep sudah menungguku di depan kantor dengan mobil jemputan, siap mengantarku ke RS. Sepanjang perjalanan, aku tidak bisa berfikir jernih. Perlahan air mataku mulai berjatuhan, jantungku sepertinya mendadak tidak berfungsi. Hatiku merasakan sakit yang tidak bisa diobati dengan apapun. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai dia tidak bisa bangun lagi.

Sesampainya di RS aku memijit tombol lift ke Lt. 3, pintu lift terbuka, dua orang sahabatku sedang duduk di depan ruangan VVIP 1. Rima terlihat seperti habis menangis. Matanya yang sembab mulai berkaca-kaca lagi begitu dia melihatku. Aku melihat dari pintu, Ian terbaring di brankar dengan perban di kepala dan beberapa bagian tubuh lainnya. Aku tidak bisa memasuki ruangan itu, langkahku mendadak menjadi berat. Aku duduk di samping Rima dan mencoba merenungi semua kejadian ini.

Pikiranku seperti flashback dari pertama aku bertemu Ian, bahkan sebelum aku bertemu dia. Semua senyuman orang-orang yang aku sayangi memenuhi pikiranku. Keluargaku, sahabatku, Faris dan Ian. Setahun yang lalu sebelum aku bertemu dengannya, sebelum itu tidak pernah ada air mata kesedihan.

Dan sampailah aku di depan pintu ruangan perawatan ini, aku baru mengetahui perasaanku yang sebenarnya kepada Ian. Selama ini dialah laki-laki yang aku cari, disaat dia tidak ada aku berharap Faris bisa menggantikan posisinya. Tapi tetap saja tidak bisa, Ian selalu menjadi satu-satunya laki-laki di hatiku. Ketika Faris meninggalkanku ke luar kota untuk tugas, aku tidak pernah merasa kehilangan seperti aku ditinggalkan Ian walaupun hanya sehari. Kali ini Rima memapahku menuju tempat tidur Ian yang sedang terbaring koma.

Aku tidak melihat orang tua Ian, hanya Rissa dan Arman di sebelah mereka. Ketika aku duduk di sampingnya, aku tidak bisa mengontrol air mataku lagi. Aku membayangkan reaksi Ian ketika aku bilang kalau Faris sudah menciumku, dia hanya menyuruhku beristirahat tanpa memakiku.

“Len, kamu kenapa sih? Kok kamu gak mau dinikahin Ian cepet-cepet. Kamu malah tarik ulur sama Si Faris, kamu gimana sih Len? Sekarang kamu tahu perasaan kamu sama mereka seperti apa?” Rime menceramahiku sambil terisak menahan tangisannya.

“Iya Rim, aku juga gak tau, sampai sekarang baru aku sadar kalau sebenarnya aku mau membuka hati aku buat Faris karena aku mencari sosok Ian dalam dirinya. Aku gak tau harus gimana kalau sampai Ian kenapa-kenapa.” Aku berusaha setenang mungkin melihat keadaan Ian yang mengenaskan itu. Aku menggenggam tangan Ian dan mulai memeluknya, aku sangat takut kehilangan dia.

“Jadi, sekarang Kakak mau nikahin Kak Ian kapan aja?” Tanya Rissa sambil mengelus punggungku. Aku mengangguk.

“Iya lah Ris, masa masih belum mau juga, kan keterlaluan! Aku gak mau kalau sampai Ian meninggal. Aku gak bisa ngebayangin hidup aku kayak gimana kalau sampai dia ninggalin aku.” Aku melihat Rima masih menangis karena tidak tahan melihatku seperti ini. Tanpa disangka-sangka, tangan Ian memeluk tubuhku yang saat itu sedang memeluknya di tempat tidur.

“Kok kamu gak ngasih aku CPR biar cepet sembuh, Yang?” Suara Ian yang terdengar sangat sehat itu terngiang jelas di telingaku. Rissa, Arman dan Ricky tidak bisa lagi menahan tawa mereka. Aku dan Rima masih terisak dan kebingungan dengan semua itu. Aku baru sadar kalau mereka semua membuat semacam shock therapy untukku.

Aku menarik tangan Rima dan menyeretnya keluar, aku gak terima dengan perlakuan mereka semua. Aku merasa sangat malu dengan perbuatanku tadi, aku merasa menjadi orang yang bodoh dengan semua perlakuan mereka ini. Ricky menghadang di pintu keluar tidak memperbolehkan kami keluar. Aku melihat Rima yang tadinya marah tapi ikut tertawa dengan mereka. Ternyata mereka sengaja tidak memberitahu Rima supaya dia bisa ikut masuk ke situasi ini, sehingga aku bisa mempercayai opera sabun yang mereka rencanakan ini.

Tiba-tiba Ian memelukku dari belakang dan mencium kepalaku.

“Jangan nagis lagi ya, aku masih hidup kok!…There is no way I’m letting you go.” Aku tetap menangis karena merasa malu dan campur bahagia juga, karena akhirnya aku bisa memilih laki-laki yang terbaik untuk menjadi pendamping hidupku kelak.

Rissa, Arman, Rime dan Ricky meninggalkan kami berdua di ruangan ini. Aku dan Ian duduk di sofa, dia merangkulku dan mulai membahas tentang hubungan kami.

“Kapan kamu mulai tahu perasaan kamu yang sebenernya sama aku?”

“Sebenernya waktu aku jalan sama Faris, dia nanya kenapa dulu aku suka sama dia? Aku gak bisa jawab, aku cuma inget sama semua omongan kamu kalau aku memang mencari sosok kamu dalam diri Faris.”

“Terus kenapa waktu semalem kamu gak bisa jawab pertanyaan aku?”

“Aku masih ragu-ragu, Yang…Aku takut salah sama perasaan aku sendiri.”

“Terus kenapa kamu tadi nangis sampai segitunya?” Kali ini lebih terlihat Ian ingin meledekku sama semua reaksi aku tadi.

“Siapa yang nangis, tangan aku baru kena pedes terus aku gak sengaja usap mata aku jadinya perih.”

“Ha…ha…ha…Sekarang bilang dong kalau kamu sayang sama aku, kamu tuh gengsinya gede banget gak pernah mau ngungkapin rasa sayang kamu sama aku, mana gak romantis lagi.” Aku mencubit dada Ian yang diikuti rintihan kesakitannya.

“Aaawww!…Tahu gak yang? Jadi pacar kamu tuh gak gampang, saingannya berat-berat.”

“Terus kenapa kamu masih ngejar-ngejar aku?”

“Yah gimana lagi? Hati aku udah nyangkut sama kamu.”

“Aku tegasin sama kamu ya…aku gak suka sama cowok gombal!” Aku beranjak pergi meninggalkan Ian, tapi dia menarikku dan membuatku terjatuh, duduk dalam pangkuannya. Dia memandangku dan menciumku dengan lembut. Aku merasakan detakan jantung yang cepat dan dadakku berdegup keras, tubuhku lemas dan bibirku sama sekali tidak mau lepas dari bibirnya. Ciumanku sebelumnya dengan Faris sama sekali tidak membuatku meleleh seperti ini.

Am I a good kisser?” bisik Ian di telingaku, wajahku berubah merah karena tidak bisa menahan geli. Ian ternyata memang sengaja berbisik kepadaku, dia sangat suka melihat wajah merahku disaat geli. Kali ini, karena aku duduk di pangkuan dia, aku tidak bisa meloloskan diri. Ian menggigit kupingku dengan gemas, aku tidak bisa lari, aku hanya memeluknya erat untuk menahan rasa geliku.

“Kamu dengerin, Yang…I love you, no matter what. Kamu juga harus bisa mencintai aku seterusnya, gak boleh berkurang, gak boleh bosen. Kita harus saling percaya, sabar dan tahu batasan kita dalam pernikahan.” Aku terharu mendengar semua ucapan Ian, dan kali ini aku harus mendengarkannya, karena aku tidak mau menyesal untuk yang kedua kalinya.

I love you more.” Ian tersenyum mendengarku untuk pertama kalinya mengungkapkan rasa cintaku kepadanya. Dia lega karena sudah bisa menyelesaikan semua drama ini.

Let’s eat!…I’m starving.” Ian beranjak dari kursi dan menggandeng tanganku meninggalkan ruang perawatan itu, seperti kami meninggalkan semua permasalahan kami di belakang.

***

Seminggu setelah kejadian itu, akhirnya Aku dan Ian melangsungkan pernikahan di rumah baru kami dan hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat. And guess what? I’m wearing high heels for my special day…Hadiah ulang tahun dari Rissa. Ternyata dia memang benar, memakai high heels membuat kita menjadi merasa sexy, just like a Diva. Setelah seharian memakai high heels dibarengin Rime, akhirnya aku bisa terbiasa. Mungkin untuk ke depannya aku akan belajar memakainya di saat acara-acara istimewa.

Kami mengundang Faris, tapi dia tidak bisa hadir karena sedang tugas di luar kota. Sammy yang masih single, datang bersama adik supupunya. Aku resmi menjadi Ny. Ian Putra Perdana. Akhirnya aku baru bisa benar-benar merasakan makna puisi di undangan pernikahan itu.

For my Dearest Prince Charming…Thank you for always believing me, loving me even when I’m not around. You are the most beautiful thing that ever happen in my life. I Love U So Much.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Nilai Uas Semester 2

Sebenernya dari selesai UAS, saya sengaja tidak mengingat-ingat pengumuman nilai. Untuk semester kali ini saya sudah bersiap-siap mendapat nilai D…padahal jujur, E juga sempat membayangi saya. Sampai hari itupun datang. Dengan sibuknya pekerjaan saya, saya beneran lupa dengan hari itu. Text dateng dari temen saya yang ngabarin kalau dia dapet text dari UT kalau nilai sudah bisa dilihat di web.

Dengan jantung yang mulai nge-rap, saya buka web tanpa bilang suami saya. Semester lalu saya buka bareng dia karena ga berani. Semester ini saking parnonya saya bahkan takut jika ternyata nilainya jelek dan memang dapat E, saya malu di depan dia. Akhirnya, saya buka, walaupun sempat beberapa kali eror web-nya.

Bismillah…jreng…jreng…fffiiiuuuhhhhh!…Ga ada D sama sekali! I got 3A, 2B and 2C. Walaupun IPK-nya turun dari 3,59 jadi 3,19, at least ga ada yang harus diulang. Semoga semester 3 bisa dapet lebih besar dari sekarang, aamiin.

Oke pals, wish me luck! Luv u readers!

UAS Semester 2, Minggu kedua

Kalau inget ujian minggu kedua ini, pengen mewek hik…hik…hik….Hari minggu, 10 Mei ini kebetulan berbarengan dengan photo shoot salah satu merk busana muslim ternama. Kebetulan lokasinya di taman lansia. Jam 06.00, saya drop baju2 yang mau difoto ke rumah salah satu model (kebetulan kita deket). Suami saya nganterin pake motor dan pukul 06.30, entah kenapa tiba-tiba motor mogok. Saya tlp si burung biru, operatornya bilang “tunggu yg lewat aja!” (nasib……) Akhirnya di pangkalan ojeg antapani, ada satu ojeg yg udah mangkal. Tanpa basa-basi lagi, saya panggil dan akhirnya heading to SMKN 3 Solontongan dengan ojeg. Saya BBM temen supaya cariin bangku saya, karena kebetulan hari ini dia satu ruangan dengan saya, dan ternyata saya duduk tepat di depan dia. 06.55 saya sampe di depan gerbang sekolah dengan diiringi doa dari si bapa ojeg “tenang neng, jangan lupa bismillah, bapa yakin neng bisa….” Aamiin….terharu dengan doa si bapa ojeg. Thank u pa, semoga Allah selalu memberikan keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat kepada bapa, aamiin.

Reading II mengawali pagi ini. Dengan badan yg masih gemeteran karena panic attack tadi mewarnai saya dalam mengerjakan soal ini. Seperti biasa, dalam reading banyak soal yang mengecoh, sangat diperlukan kejelian untuk bisa memilih jawaban yang tepat. Akhirnya beres juga, break time. Lumayan 15 menit bahas soal di depan kelas bareng temen2 yang kebetulan hari ini kelasnya sebelahan lagi, yippie! seru lagi!

Bel udah jerit2 lagi, sampai juga pada Matkul kedua Cross Cultural Understanding. Saya mempelajari mateeri ini di awal buku dateng dan sangat disayangkan saya tidak membukanya kembali pada saat mendekati ujian. Tapi alhamdulillah sebagian besar masih saya ingat.

Setelah selesai, rehat kali ini cukup lama 2 1/2 jam. Sehingga ada teman yang pulang dulu, ke undangan, sementara saya cuss ke lokasi photoshoot. Ya Allah, sangat tidak nyaman bekerja diburu2 seperti ini, apalagi saat itu suami saya juga lagi kurang fit. AKhirnya saya hanya bisa mengerahkan kinerja saya dengan maksimal and begin to work with fun, like always. Photoshoot selesai jam 1.30, saya kembali diantar suami ke tempat ujian. Kali ini, telat 5 menit lagi.

Dimulai dengan PKN yang selama semester berjalan ini bikin saya parno karena beredar rumor banyak yang mendapat nilai E. Begitu dibuka, OMG jawabannya mirip-mirip semua, God help me! Seperti biasanya, saya tandai dulu dengan titik semua jawaban yang saya pilih, setelah beres saya lingkari semuanya dan saya periksa kembali. Diperiksa berkali-kalipun sepertinya tidak akan merubah rasa pesimis saya ini menjadi optimis. Break time!

Ternyata di luar temen2 saya saa pusingnya, mereka bahkan ada yang pasrah dengan hasilnya nanti. Selanjutnya kita memperkirakan soal untuk Writing 1, temen saya bilang ada kemungkinan yang keluar soal membuat surat lamaran. Well hey! Sewaktu di SMK jurusan sekretaris, saya hafal surat lamaran dengan b. ing di luar kepala, tapi rasanaya 13 tahun cukup untuk membekukan semua itu di otak saya. Akhirnya kita menghafal surat itu. Ngemil-ngemil, bahas soal, sampe akhirnya ga kerasa waktunya untuk ujian selanjutnya.

Kali ini Writing II, ternyata soalnya mirip-mirip dengan semester 1. Damn! surat lamaran buyar lagi, karena ternyata tidak ada. Saya masih sangat merasa cape setelah photoshoot. Saya berusaha sebisa mungkin mengumpulkan semuanya sehingga bisa mengerjakan soal-soal ini dengan benar. Akhirnya selesai dan saat keluarpun pesimis masih melekat enggan berganti dengan optimis.

Pengumuman nilai tanggal 29 Juni……..Ohhhhh God!

UAS Semester 2, Minggu Pertama

UAS pertama tgl 3 Mei 2015, di SMKN 3 Solontongan. Saya masuk jam ke 3, kebetulan semua teman saya di Lt. 1, saya di Lt. 2. Pelajaran pertama Stucture II, seperti biasa PG, saya lupa jumlah soalnya. Karena PG masih agak santei, masih bisa ngira-ngira jawaban yang mendekati yang mana hehehehehe…(jangan ditiru ya!).

Setelah selesai, akhirnya saya keluar ruangan dan rehat sejenak untuk mempelajari Ilmu Sosial Budaya Dasar/ISBD. Text teman-teman mengajak maksi aja cuma saya jawab “Kayaknya saya belajar ISBD aja deh, soalnya belum sampai tamat. Kalau saya nyamperin kalian, yang ada saya pasti ngobrol.” Sok teladan banget sih guwe hehehehehe….segitu parnonya sampe ngelupain hobi jajan ckckckckck…..Akhirnya matkul selanjutnya dimulai. Soalnya PG juga, Berasa di SMK lagi kalau dapet soal2 gini, kalau menurut saya sih pelajaran ini hampir sama dengan PKN juga hanya lebih mengutamakan pembentukan karakter individual.

Pelajaran ketiga English For Translation. I’m so happy! Gampang bingitssss!!!! (So banget sich GuWe! wkwkwkwk) karena memang pada dasarnya soal-soalnya terampat gampang buat saya hehehhee….Ada 10 soal, @ soal menerjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Sebisa mungkin terjemahan harus terdengar wajar. Thank god! Akhirnya, sayapun pulang dengan merasa puas. Now, Prepare for next week! UAS ke-2!….Oh No!!!!

Semester 2 di UT

Well Hello there! Miss me?….yeahhh, miss u 2 hehehehe….

Belum sempet berbagi cerita lagi seputar kuliah di UT nih….Jadi ceritanya sekarang saya mau ceritain soal UAS semester 2.

Semester 2 ini sangat beda dengan semester 1. Setelah registari mengambil 7 matkul, 21 SKS, saya pesen buku seperti biasa. Buku dateng, saya mulai dengan yang paling tipis dan menarik hehehehe….Cross cultural understanding, cuma 2 SKS. Buku ini berisi tentang perbedaan budaya di belahan dunia. Buku yang cukup meanrik menurut saya, karena saya sendiri bisa tahu berbagai budaya. Karena tipis dan seru, saya bisa selesai mempelajarinya dalam waktu seminggu, yeeaayyyyy!……

Next, yang menurut saya cukup rumit Structure II, ini yang selalu kita bahas setiap pokjar. Entah kenapa sangat susah sekali mempelajari gerund dalam kalimat buat saya. Padahal gerund itu kan verb+ing yang berubah menjadi noun. Reading, writing, saya pelajari sendiri. Matkul lain yang menarik menurut saya English for translation. Dasar menerjemahkan ada di buku ini. Awal sampai pertengahan buku saya semangat, sampai ada yang bab berikutnya ternyata masih sama dengan bab sebelumnya, seperti salah cetak tapi bukan. Bab akhir mulai ngaco, sepertinya materi di buku diterjemahkan dalam google translate sehingga terjemahannya menjadi acak-acakan. Ada apa dengan si pengarang ya????

Ada dua matkul MKDU yang saya ambil di semester ini dan menurut rumor banyak mendapat nilai E, PKN dan Ilmu Sosial Budaya Dasar. Saya mempelajari PKN lebih giat dari matkul lainnya karena takut harus mengulang di semester berikutnya. Tuton masih seperti biasa saya ikuti dan tugas di minggu 3, 5 dan 7 masih saya kumpulkan.

Bedanya, semester sekarang alhamdulillah kerjaan saya banyak jadi saya tidak sempat menonton film seri dengan menggunakan teks English seperti biasa. Menurut saya praktek seperti itu benar-benar membantu saya dalam belajar di program studi sastra inggris ini. Dengan pekerjaan yang amat padat, saya hampir tidak pernah melakukan kegiatan itu lagi di semester 2 ini.

Agak Pesimis menyambut UAS tanggal 5 dan 10 Mei nanti……..

To be continue ke artikel UAS semester 2 ya plen, hehehehhe…..

Nilai pertama UAS semester 1

Sesuai dengan informasi yang tertera di kalender akademik, pengumuman hasil UAS 2014.2 tanggal 5 Januari 2015. Dari jam 7 pagi, udah online nih! Masih gak muncul juga. Jam 9 pagi, temen-temen mulai recok cari-cari info tentang nilai. Siangnya, salah satu temen saya bilang kalau nilai udah muncul karena dia udah cek FB UT. Katanya juga kalau ternyata pengumuman nilainya jam 10 pagi dan fakultas lain udah dapet nilai.

Akhirnya saya cek lagi di web dan ternyata memang ada pengumuman di sana kalau pengumuman nilai hasil UAS 2014.2 akan diumumkan tanggal 5 Januari pukul 10.00 WIB. And yet….saya reload setiap 30 menit sekali dan sekarang sudah sorepun masih belum muncul juga. Udah mules nih perut dari pagi, biasa…panic attack. Akhirnya salah satu temen bilang, hari ini kan masih panjang, kita tunggu sampai tengah malam. Akhirnya, pasrah plus keburu males…

Sampai keesokan paginya saya cek masih kosong…OMG! Sampai saya sendiri lupa buat cek lagi karena saya lagi semangat nulis buku baru. Jam 3.21 PM (Ciee sok Amrik) wkwkwkwk….Irna, temen saya BBM kalau nilai udah keluar tapi gak ada IP nya, saya bilang kalau IP harus ngitung sendiri. Ada di buku katalog cara ngitung IP. Nih saya lampirkan cara ngitung IP ya, siapa tahu kalian males buka katalog heehee….

Konversikan nilai huruf menjadi nilai mutu dengan ketentuan : A=4; B=3; C=2; D=1; E=0. Selanjutnya nilai mutu dikalikan dengan SKS mata kuliah. Jumlah nilai yang diperoleh dibagi dengan jumlah SKS.

Semester ini saya ambil 7 MatKul dengan 22 SKS. Saya mendapatkan 6 nilai A=4 (Yeeayyyy!……Thank u, hehehehe…) dan 1 nilai D=1 (Boooo!…..I’m sorry….hik…hik..) Jadi IP saya = 79 : 22 = 3,59

Semoga semester 2 bisa lebih bagus dari semester sekarang ya, aaminn. Besok saya mau ke UT buat cetak LIP semester 2. Mungkin buat nilai yang D saya ulang semester berikutnya, karena semester ini saya udah ngambil 21 SKS plus ujiannya pun bentrok dengan matkul yang diulang. Bisa saja salah satu MatKul yang bentrok saya ikutkan SUO, tapi takut meleduk kalau dipaksain sampai 24 SKS hehehehe….Keep in touch!

Thank u good readers…..

Happy New Year 2015

Malam tahun baru mungkin buat sebagian cewek MIDNIGHT SALE! Heheehehe….Barbeque time, firework, party, doa, travelling atau sekadar kumpul bareng di rumah bareng keluarga. Yang jelas, seperti apapun kalian merayakannya, semoga di tahun 2015 kita bisa lebih baik dari sebelumnya, aamiin.

Yang suka baca novel dan kebetulan lagi habis stok bukunya, baca aja novel karya saya ya…di sini nich!

For my dearest prince charming, I’d Choose You Everytime, It’s Complicated, What Are You?

Jangan lupa sign up dulu ya, biar bisa kasih rate sama comment.

Thank u.